Tugas Syar’i; Beban atau Rahmat?Deprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Oleh: Hadi Shadiqi
Sebagian orang berpendapat bahwa jika Tuhan adalah pengasih
dan penyayang lalu mengapa Tuhan membebani hamba-hambanya dengan setumpuk
kewajiban dan taklif yang telah membuat mereka bersusah paya dan mengalami
berbagai bentuk kesulitan hidup di dunia ini, dan disebabkan kelalaian dan
pelanggaran mereka atas sebagian taklif atau kewajiban-kewajiban yang ada
mereka harus disiksa, sesungguhnya apa pentingnya sebuah taklif? dan mengapa
mesti ada siksaan? Manusia di zaman modern senantiasa ingin bebas dan
melepaskan diri dari segala bentuk batasan, belenggu dan berbagai ikatan. Agama
dan syariat dipandang sebagai aturan dan batasan-batasan yang mengikat kaki dan
tangan manusia, jika di zaman ini kepercayaan terhadap Tuhan masih harus
berlanjut dan dipertahankan maka hanya Tuhan cintalah yang layak untuk
diperkenalkan, yaitu Tuhan yang selalu mengasihi dan menyayangi hamba-hambanya
dan tidak menghendaki mereka untuk bersusah paya dan juga tidak akan pernah
melarang atau memberi perintah, Tuhan yang senantiasa memberi kebebasan kepada
manusia dan membiarkan mereka untuk melakukan apa saja yang mereka inginkan dan
pada akhirnya mereka akan ditempatkan atau dimasukkan kedalam surga
kenikmatan-Nya dan tidak ada lagi berita tentang siksaan dan hari perhitungan.
Tuhan seperti inilah yang dapat diterima di zaman modern. Tuhan Kaum Modernis Manusia di zaman modern senantiasa ingin bebas dan
melepaskan diri dari segala bentuk batasan, belenggu dan berbagai ikatan. Agama
dan syariat dipandang sebagai aturan dan batasan-batasan yang mengikat kaki dan
tangan manusia, jika di zaman ini kepercayaan terhadap Tuhan masih harus
berlanjut dan dipertahankan maka hanya Tuhan cintalah yang layak untuk
diperkenalkan, yaitu Tuhan yang selalu mengasihi dan menyayangi hamba-hambanya
dan tidak menghendaki mereka untuk bersusah paya dan juga tidak akan pernah
melarang atau memberi perintah, Tuhan yang senantiasa memberi kebebasan kepada
manusia dan membiarkan mereka untuk melakukan apa saja yang mereka inginkan dan
pada akhirnya mereka akan ditempatkan atau dimasukkan kedalam surga
kenikmatan-Nya dan tidak ada lagi berita tentang siksaan dan hari
perhitungan.Tuhan seperti inilah yang dapat diterima di zaman modern. Dalam pandangan kaum modernis Tuhan di zaman sebelumnya
adalah Tuhan yang bermuka masam, pemarah, kejam, berbahaya, selalu melarang dan
memberi perintah, dogmatis, kasar, diktator serta egois. Mereka berkeyakinan bahwa Tuhan yang semestinya ada dan
menggantikan Tuhan yang mempunyai sifat-sifat tersebut adalah Tuhan yang
pengasih, penyayang dan memiliki kekuatan atau kekuasaan terbatas (sebab
ketidakterbatasan kekuasaan Tuhan adalah sangat menakutkan), tanpa larangan dan
perintah, menyenangi semua manusia, menyiapkan segala bentuk kebutuhan dan
kenikmatan hidup serta kesejahteraan mereka, memberi kebebasan kepada manusia
dan seterusnya, Tuhan seperti ini menemukan relevansi dan keselarasan dengan
peradaban modern dunia barat, olehnya itu sangat memikat hati kaum modernis. Konsepsi-konsepsi Murni Tentang Tuhan
Dalam membahas atau mengkaji masalah-masalah taklif, pahala
dan siksaan dibutuhkan adanya gambaran atau konsepsi-konsepsi benar terhadap
Tuhan, syariat, surga dan neraka. Konsepsi atau penggambaran yang terdapat
dalam pandangan-pandangan orisinil tentang Tuhan dibagi kedalam tiga kelompok,
ketiga jenis konsepsi ketuhanan ini melahirkan tiga bentuk religiusitas
(ketaatan dalam beragama), yaitu religiusitas orang awam, intelektual dan para
pecinta. Religiusitas Orang Awam
Bentuk religiusitas seperti ini biasanya ditemui dalam
kelompok masyarakat awam yang tidak terpelajar, mereka mengkonsepsikan wujud
Tuhan sebagai penguasa yang kejam dan tidak mengenal belas kasih serta
mewajibkan berbagai aturan dan perintah yang apabila dilanggar akan membuat-Nya
marah dan efek kemarahan-Nya akan menyulut kobaran api neraka dimana para
pendosa atau pelanggar akan dimasukkan kedalamnya, tetapi jika mereka berdo`a
dan memohon ampun atau mendatangkan seorang penjamin(pemberi syafaat) maka hal
itu bisa saja meredakan api kemarahan Tuhan dan menyebabkan hilangnya siksaan
dan Tuhan seakan menutup mata dari dosa-dosa mereka.Gambaran tentang siksaan,
api, surga dan neraka bagi mereka adalah non hakiki dan bersifat kesepakatan
yang dapat berubah atau mengalami penambahan dan pengurangan atau kemudian
tergantikan dengan adanya permintaan dan sikap memohon seorang hamba, konsepsi
dan perilaku keberagamaan seperti ini disebut dengan keberagamaan awam. Religiusitas Kaum Cendekia
Pada jenis keberagamaan ini, yang umumnya terdapat dalam
kelompok masyarakat terpelajar dan telah banyak bersentuhan dengan
wacana-wacana teologi dan filsafat, yang dipahami adalah bahwa relasi antara
Tuhan dengan kosmos (alam semesta) serta manusia yang merupakan bagian
didalamnya sebagai relasi takwini yang berpijak pada serangkaian hukum yang
berlaku atas seluruh wilayah eksistensi. Pahala dan siksaan adalah sebuah
realitas takwini dan hakiki, bukan sesuatu yang bersifat kesepakatan dan non
hakiki, demikian pula halnya dengan doa, taubat dan syafaat yang tidak akan
memberi efek sedikit pun tanpa adanya perubahan pada realitas kedirian
seseorang. Taklif sendiri hanyalah serangkaian petunjuk dan bimbingan Tuhan
dalam hubungannya dengan serangkaian aturan atau hukum-hukum yang mengendalikan
alam semesta dan begitu pula dengan perbuatan dan kehendak bebas manusia.
Perbuatan-perbuatan manusia senantiasa mengikuti serangkaian hukum dan aturan
yang apabila manusia mengetahuinya akan membuat mereka mampu mengetahui
hubungan perbuatan mereka dengan apa yang dihasilkannya sehingga mereka dapat
memilih bentuk atau jenis-jenis perbuatan yang bisa mengantarkan mereka pada
tujuan tinggi kemanusiaan. Sesungguhnya taklif atau kewajiban-kewajiban yang
ada dalam syariat (agama) adalah sebuah bentuk interpretasi atau penafsiran
hakiki atas serangkaian hukum-hukum yang telah disebutkan serta
menginformasikan dimensi-dimensi keburukan ataupun kebaikan dari sebuah
realitas, penerimaan atau penolakan terhadapnya tidak meniscayakan siksaan atau
pahala yang sifatnya perjanjian, tetapi menyebabkan seseorang sampai pada
hakikat realitas suatu perbuatan. Surga dan neraka pada hakikatnya merupakan
jelmaan atau manifestasi dari perbuatan-perbuatan baik dan buruk seseorang.
Ketika seseorang melakukan perbuatan baik dan terpuji, pada jiwanya akan
tercipta suatu kondisi atau keadaan surgawi, yaitu sebuah kondisi dimana
sekiranya seseorang berada didalam surga dan tersifati dengan sifat atau
perbuatan baik tersebut maka ia akan menemukan (mengalami) keadaan yang sama.
Pepohonan, aliran-aliran sungai, minuman dan makanan-makanan surga secara
esensi (dzati) tidaklah baik bagi manusia, tetapi kelezatan yang timbul dan
dihasilkan dari mereka itulah yang baik dan bermanfaat baginya, bentuk
kelezatan seperti ini akan tercipta dan mengaktual dalam diri seseorang dengan perbuatan
baik. Tetapi hal itu tidak pernah terasa oleh seseorang disebabkan ia masih
dalam keadaan ‘tertidur’. Setelah meninggal, seseorang akan terbangun dari
tidur panjangnya dan pada saat itu ia akan merasakan suatu keadaan jiwa yang
berbeda, ia akan merasakan kelezatan surga yang seakan tak bertepi dan begitu
pula dengan pedihnya siksaan yang merupakan hasil atau jelmaan dari
perbuatannya sendiri. Tetapi bukan berarti bahwa keadaan atau kondisi yang
tercipta pada jiwa seseorang tidak dapat berubah dan keburukan-keburukan yang
ada tidak bisa tergantikan dengan kebaikan dan begitu pula dengan kemustahilan
hilangnya kebaikan dari seseorang. Seorang yang melakukan perbuatan buruk
ibarat orang yang terjatuh dari suatu tempat yang tinggi dan mengalami patah kaki,
ia bisa saja menyembuhkan dirinya dengan melakukan upaya perawatan yang baik
atau dengan merujuk kepada seorang dokter hingga pada upaya melakukan operasi
atau pembedahan, tapi sebaliknya apabila ia meremehkan dan seakan tidak peduli
dengan keadaannya maka kaki yang patah itu tidak akan sembuh dan menjadikannya
cacat seumur hidup, bahkan jika kaki yang patah dan terluka tersebut mengalami
infeksi maka boleh jadi dengan terpaksa ia harus memotong kakinya.
Keburukan atau dosa-dosa seseorang dapat dihilangkan dengan upaya taubat dan
do`a atau bahkan dengan syafaat dan sebaliknya sikap malas dan tidak peduli
hanya akan membuatnya semakin kokoh dan mengakar sehingga tidak bisa lagi
tergantikan dengan kebaikan. Hal ini pun bisa terjadi pada perbuatan-perbuatan
baik seseorang dimana dengan perbuatan buruk yang ia lakukan setelahnya bisa
saja menghapus atau menghilangkan kebaikan yang telah ia lakukan
sebelumnya, dan jika perbuatan yang ia lakukan itu perbuatan baik maka akan
semakin menguatkan perbuatan-perbuatan baik sebelumnya. Dalam suatu literatur
keagamaan disebutkan bahwa keistiqomahan dalam suatu perbuatan jauh lebih sulit
dari pada melakukan perbuatan itu sendiri, dengan alasan bahwa mungkin saja
perbuatan-perbuatan yang dilakukan setelahnya menghilangkan efek
perbuatan-perbuatan sebelumnya, hal ini sangat jelas mengingat bahwa efek atau
hasil dari suatu perbuatan bukan sesuatu yang besifat kesepakatan dan non
hakiki serta berada diluar wujud manusia dimana perbuatan-perbuatan selanjutnya
tidak memberikan efek atau pengaruh sedikit pun. Dengan penggambaran ini orang
akan lebih mudah memahami bagaimana lenyapnya suatu perbuatan (amal) bisa
terjadi… Mereka itu adalah orang-orang yang lenyap amal-amalnya di dunia dan di
akhirat;…(Ali Imran:22), dan demikian pula dengan kemungkinan berubahnya suatu
keburukan menjadi kebaikan …dan mereka menolak kejahatan dengan kebaikan;… (Al
Qishas:54), …sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan
perbuatan-perbuatan yang buruk;… (Hud:114). Begitu pula dengan prihal do`a dan
taubat yang memberikan efek perubahan pada diri seseorang dan bahkan dengan
jalan ini bisa mengangkat atau menghilangkan efek merusak dari dosa serta
menggantikannya dengan kondisi-kondisi surgawi dalam jiwa seseorang, dengan
alasan inilah do`a dan taubat harus dimunculkan dari dalam diri seseorang
sehingga benar-benar bisa memberikan efek. Hal ini pun berlaku pada syafaat,
sebab tawassul dan keterhubungan dengan orang-orang baik (orang-orang yang di
ridhoi Tuhan) pada dasarnya selalu disertai dengan adanya perubahan yang
terjadi pada jiwa (ruh) sehingga tercipta adanya keselarasan atau kesesuaian
antara seseorang dengan wasilahnya. Ketaqwaan yang muncul pada diri seseorang
pada hakikatnya adalah suatu bentuk perubahan eksistensial yang menyebabkan
diri (wujud) seseorang berubah dan keburukan-keburukan yang ada padanya berubah
menjadi kebaikan-kebaikan serta mejadikannya layak sebagai penghuni surga.
Jenis religiusitas ini disebut dengan religiusitas orang-orang
bijak(intelektual). Religiusitas Para Pecinta
Religiusitas pada jenis ini pada dasarnya merupakan bentuk
penafsiran yang lebih dalam dari jenis keberagamaan sebelumnya atau
dengan kata lain masih merupakan jenis religiusitas yang kedua dengan
penisbahan ruh kehidupan dan pengetahuan atas serangkaian hukum dan
hubungan-hubungan yang berlaku dalam kosmos. Berbeda dengan jenis ini, pada
jenis religiusitas sebelumnya tidak ada tinjauan tentang eksistensi kesadaran,
pengetahuan, kehendak dan kehidupan pada hubungan-hubungan yang terjadi dan berlaku
atas alam semesta. Hubungan antara Tuhan dengan makhluk-Nya adalah bentuk
hubungan antara pecinta dan yang dicintainya. Keberadaan hubungan-hubungan yang
menguasai alam eksistensi pada hakikatnya tercipta dari relasi kecintaan antara
Tuhan dengan makhluk-Nya dimana didalamnya terdapat pengetahuan dan kesadaran,
jiwa dan kehidupan, serta memandang totalitas keberadaan (eksistensi) sebagai
wujud yang hidup dan dalam keadaan bergerak menuju kekasih abadi dan gerakan
ini senantiasa disertai dengan kehendak, pengetahuan, kesadaran, ketertarikan
dan pujian. Berdasarkan konsepsi ini relasi antara Tuhan dan manusia
adalah hakikat hubungan antara pecinta dan kekasihnya. Kasih sayang Tuhan
terhadap makhluk-Nya tidak terbatas, Tuhan senantiasa memanggil dan mengajak
manusia mendekati-Nya, undangan dari seorang kekasih menjadikan totalitas wujud
seorang pecinta dipenuhi dengan perasaan senang dan gembira serta memberinya
daya gerak, yaitu gerak yang bersifat prinsip, orisinil, bertujuan dan penuh
makna, suatu gerak untuk sampai pada kekasih yang menjadi dambaan setiap
manusia, yakni meraih segala bentuk kesempurnaan atau dengan kata lain
‘mencapai’ wujud yang tak terbatas. Taklif dalam penggambaran ini ibarat sepucut surat dari
seorang kekasih dimana didalamnya tertulis petunjuk-petunjuk dengan ratusan
pengungkapan tentang jalan menuju rumah sang kekasih. Taklif bagi seorang
pecinta adalah paling lembutnya sapaan yang dapat terbayangkan, sebab dalam
taklif atau kewajiban agama, seorang mukmin memahami bahwa Tuhan yang Maha
pengasih dan penyayang menyukai dirinya serta menunjukkan kecintaan padanya. Ia
seakan merasa layak dan mendapat kesempatan untuk berdialog dengan-Nya dan yang
terpenting dari semuanya bahwa ia telah mendapat izin untuk hadir menyapa dan
menyatakan cinta dihadapan sang kekasih. Seorang pecinta tidak akan pernah merasa lelah dan terbebani
dengan keberadaan taklif sang kekasih bahkan sebaliknya ia senantiasa menikmati
serta memahaminya sebagai bentuk perhatian dan kasih sayang yang paling tinggi,
ketika hendak berdiri melakukan shalat perhatian dan konsentrasinya hanya
tertuju kepada sang kekasih hingga melupakan seluruh kesibukan-kesibukan
duniawi yang dapat mengotori jiwa (ruh)-nya, ia merasa tenang dalam
perlindungan sang kekasih dan sesaat pun tidak pernah terlewatkan tanpa rasa
nikmat dang senang bersama-Nya. Hubungan ini senantiasa menghaluskan jiwanya
serta mempersiapkannya menjadi surga keridhoan, dalam keadaan ini ia akan
merasakan paling tingginya kelezatan disebabkan ia berkesempatan untuk hadir
dalam istana megah sang kekasih serta bertutur kata dengan-Nya. Taklif baginya
secara lahiriah menyerupai beban tetapi secara batiniah adalah rahmat. Cara
pandang seorang mukmin terhadap hakikat dan realitas membuat mereka mengerti
dan memahami bahwa taklif agama bukanlah sebuah titah dari seorang penguasa
diktator yang bertujuan melampiaskan hasrat berkuasanya, tetapi dari seorang
penguasa yang penyayang dan memahami kemaslahatan dan lebih tinggi dari
semuanya adalah dari seorang kekasih berhati lembut dimana seluruh kebaikan
terkumpul padanya, sehingga dari lorong ke lorong kota cinta menggiring pecinta
menemui kekasihnya. Dalam penggambaran ini apabila Tuhan meninggalkan manusia
dan kepadanya tidak memberi larangan atau perintah serta tidak menentukan
taklif untuknya dan kemudian berkata: Wahai manusia kalian bebas dan lakukanlah
apa yang kalian inginkan…!, dan jika Tuhan tidak menujukkan batas-batas suatu
jalan dari sebuah selokan serta tidak mengenalkan diri-Nya sebagaimana yang
diinginkan kaum modernis, maka hal itu menunjukkan ketidak pedulian Tuhan
terhadap pecinta-Nya, dan sesungguhnya sikap acuh seorang kekasih adalah paling
pedihnya ketersiksaan.Ketidak pedulian kekasih terhadap seorang pecinta adalah
kegelapan terbesar yang dapat menimpa sang pecinta, oleh karena itu
ketiadaan taklif sama saja dengan kegelapan(ketersiksaan) dan keberadaan taklif
merupakan suatu rahmat. Kepedihan yang dialami pecinta akibat keterjauhan dari
kekasih ibarat api yang membakar dan membuatnya tersiksa, api
ketersiksaan karena kehilangan kekasih dan keterjauhan dari keindahan-Nya
ini bersumber dari kedalaman wujud seseorang sehingga tidak lagi memerlukan
‘kayu bakar’ yang lain …Peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya
manusia dan batu;… (Al Baqarah:24), …Dan mereka itu adalah bahan bakar api
neraka (Ali Imran:10). Para pendosa adalah mereka yang tak mengindahkan ajakan
sang kekasih sehingga terjauhkan darinya. Dalam keadaan ini eksistensinya
menjadi wujud yang dapat ‘mengatur’ dan ‘mengubah’, kewujudan ini menyebabkan
keterasingan terhadap dirinya, di dalam dirinya ia memelihara dan mengembangkan
api keburukan, dan api keburukan ini bukan sesuatu yang bersifat non
hakiki atau berada diluar wujudnya sehingga manusia dapat bertanya; mengapa
Tuhan yang Maha kasih menciptakannya?, akan tetapi wujud api merupakan sebuah
realitas hakiki dan takwini yang tercipta dari diri manusia itu sendiri. Tuhan
hanya menunjukkan jalan kebaikan serta mengutus nabi-Nya untuk menasehati dan
memberi peringatan kepada manusia …Sesungguhnya Kami telah mengutusmu(Muhammad)
dengan kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan;… (Al
Baqarah:119), … Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita
gembira bagi orang-orang yang beriman(Al A`raf:188), bentuk religiusitas ini
disebut dengan religiusitas para pecinta. [Sumber: wisdoms4all.com] Dialih-bahasakan oleh Ali Imami dari buku : Dar Amadi Bar
Kalam-e Jadid (2007). |