Islam dan Barat: Benturan Budaya Yang Tak Kunjung UsaiDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Oleh: Abdul Hadi W. M.
Islam dan Barat, atau Barat dan Islam, adalah kisah benturan
peradaban yang langgeng dan tak kunjung usai. Selama hampir 1300 tahun
orang-orang Eropa memandang Islam sebagai ancaman erbesar bagi peradaban dan
kebudayaan mereka. Penyebab awalnya berkaitan dengan persoalan sistem
kepercayaan yang berbeda, baru kemudian dikaitkan dengan masalah ekonomi,
politik dan kebudayaan. Karenanya sejak itu pula mereka menyusun berbagai
siasat dan strategi untuk menghancurkan dan memporak-porandakan kebudayaan
serta peradaban Islam. Untuk memahami akar dari prasangka dan anggapan Barat
bahwa Islam merupakan ancaman terbesar bagi peradaban dan kebudayaan mereka,
kita perlu melihat sejarah di belakang kita – tepatnya ketika agama Islam
muncul sebagai agama baru pada abad ke-7 M. Ketika agama Islam muncul dan berkembang dengan pesatnya,
kekaisaran Byzantium baru saja mengalahkan kemaharajaan Persia di Hilal Subur,
Iraq, tidak jauh dari perbatasan Semenanjung Arab yang telah dikuasai kaum
Muslimin. Selama hampir sepuluh abad dua adikuasa ini terlibat dalam peperangan
memperebutkan wilayah-wilayah yang strategis khususnya di Timur Tengah dan
Afrika Utara. Pada abad ke-7 M itu pula agama Kristen telah mapan dan mantap
sebagai agama resmi kekaisaran Byzantium. Doktrin trinitas telah disahkan
sebagai satu-satunya aqidah Kristen yang diakui. Madzab-madzab Nasrani lain
yang tidak mengakui trinitas dan ketuhanan Yesus seperti aliran Nasaritah
(Nestoria), Yaakibah (Yacobian), Koptik dan lain-lain dianggap sebagai aliran
sesat. Sejalan dengan itu, Injil Barnabas juga tidak diakui karena mengandung
ajaran yang cenderung menolak ketuhanan Yesus. Tetapi tidak lama setelah Byzantium memperoleh kemenangan
atas Persia, pasukan kaum Muslimin menyapu bersih kemarahajaan Persia dan
wilayah-wilayah yang dikuasai Byzantium misalnya Syam, Pelestina, Mesir, Iraq
dan Yaman Wilayah-wilayah ini sangat strategis karena merupakan gerbang masuk
ke daratan Asia dan laluan perdagangan internasional yang menghubungkan Asia
dengan Eropa dan Afrika. Anggapan bahwa Islam merupakan ancaman besar
benar-benar menjadi kenyataan dan bukan merupakan isapan jempol. Telah dikatakan bahwa anggapan orang Eropa Kristen terhadap
Islam sebagai ancaman besar berakar dalam perbedaan yang menyolok antara aqidah
dan doktron Kristen dengan aqidah dan doktrin Islam. Lahirnya agama Islam dan
pesatnya perkembangan agama ini dalam waktu yang relatif singkat, menumbuhkan
perasaan benci yang amat mendalam. Betapa tidak. Doktrin trinitas yang mereka
agungkan digugat habis-habisan oleh ajaran tauhid Islam. Yesus Kristus yang
mereka yakini sebagai putra Tuhan, dianggap hanya sebagai nabi seperti halnya
nabi-nabi lain sebelum Isa. Islam juga menolak anggapan bahwa yang mati di
palang salib adalah Yesus Kristus untuk menebus dosa umat manusia. Bagi Islam
yang mati di palang salib adalah orang lain yang rupanya mirip Nabi Isa a.s.
Nabi Isa sendiri raib entah kemana berkat pertolongan Tuhan. Orang Islam juga yakin bahwa Injil yang berada di tangan
orang Nasrani dan diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, bukanlah kitab Injil
yang pernah diwahyukan kepada Nabi Isa dalam bahasa Suryani (Syria Kuno).
Memang, seperti halnya orang Kristen, orang Islam percaya pada hari kebangkitan
serta sorga dan neraka. Namun tentang pahala yang diperoleh orang beriman di sorga,
terdapat perbedaan yang menggelisahkan bagi orang Kristen. Orang Islam percaya
bahwa penghuni sorga akan hidup bahagia bersama pasangan mereka yang cantik
atau tampan. Orang Kristen beranggapan bahwa orang Islam patuh menjalankan
syariat agama karena mempunyai pamrih sensual dan seksual. Agama Kristen
melarang penganutnya berpoligami, agama Islam membenarkan poligami. Ini menjadi
sasaran kecaman orang Barat terhadap Islam berikutnya. Persoalan-persoalan tersebut ditambah lagi dengan kenyataan
bahwa akhir abad ke-8 M, setelah berhasil menguasai Andalusia dan semenanjung
Iberia (Spanyol dan Portugal sekarang), pasukan kaum Muslimin berhasil
menerobos wilayah Perancis, salah satu jantung utama peradaban Kristen pada
masa itu. Pada abad ke-16 dan 17 M, peristiwa serupa terulang lagi. Pasukan
Turki Usmani memporak-porandakan Eropa yang selama satu milenium membangun
peradaban dan kebudayaan dengan tenang, tanpa gangguan yang berarti dari luar
benua itu. Bahkan pada abad ke-18 dan 19 M, ketika kekuasaan kolonial Eropa
(Spanyol, Portugis, Inggris, Belanda dan Perancis) telah mencengkram banyak
negeri dunia termasuk wilayah kaum Muslimin yang luas, sekali lagi pasukan
Turki Usmani yang perkasa menusuk jantung Eropa dan memporak-porandakan
kota-kota mereka. Mereka hampir saja menguasai Hongaria dan Austria, pintu
masuk utama ke Eropa Barat dan Skandinavia. Kenyataan ini semakin memperkuat
anggapan Barat bahwa Islam adalah agama pedang yang disebarkan melalui
peperangan dan tindakan kekerasan, dan karenanya merupakan ancaman besar bagi
peradaban Eropa. Untuk membendungnya merupakan kewajiban bangsa Eropa, sebab
kalau dibiarkan tatanan dunia akan porak poranda disebabkan hadirnya agama yang
lahir di padang pasir Arabia yang tandus itu. Namun Barat lupa bahwa lebih sepuluh abad sejak tahun 600 SM
hingga abad ke-7 M saat lahirnya agama Islam, tidak henti-hentinnya
kemaharajaan Romawi dan Makedonia menggobrak-abrik wilayah yang dihuni
orang-orang Semit dan Persia, yang nantinya akan berbondong-bondong memeluk
agama Islam. Mereka lupa bahwa kerajaan-kerajaan nenek moyang bangsa Arab
seperti Hira, Petra, Himyar, Palestina dan lain-lain telah berulang kali
diserbu dan menjadi ajang rebutan kekaisaran Romawi dan Persia. Selama beberapa
abad pula orang Arab hidup di bawah penjajahan bangsa Romawi. Orang Arab baru
memperoleh kesempatan merebut kembali wilayah nenek moyang mereka setelah
datangnya agama Islam. Itulah sebabnya, bagi bangsa Arab agama Islam dipandang
sebagai agama yang membebaskan dan menyelamatkan, serrta dapat mempersatukan
mereka. Jadi pandangan mereka sangat berbeda dari pandangan orang Eropa yang
menetapkan Islam sebagai sumber bencana dan malapetaka. Perang Salib yang berlangsung selama hampir dua abad
(1096-1270 M) dalam enam gelombang, menambah parah kebencian orang Eropa
terhadap Islam, dan sebaliknya orang Islam terhadap Eropa Kristen. Orang Eropa
jengkel karena tidak memperoleh kemenangan yang diharapkan dari peperangan yang
lama itu dan tidak pula berhasil merebut Yerusalem tempat salib suci disimpan. Ketika
itu kekuasaan Bani Saljug di wilayah Iraq, Iran dan sebagian Asia Tengah sedang
mencapai puncaknya. Pada akhir abad ke-11 M Armenia, yang merupakan wilayah
paling timur dari kekaisaran Byzantium ditaklukkan oleh pasukan Saljug. Perang
dahsyat berkobar pada tahu 1071 di Manzicert, dekat perbatasan Armenia dan
Anatolia. Tentara Byzantium mengalami kekalahan telak. Hasrat Byzantium untuk
membalas kekalahannya itu berubah menjadi perang agama. Dalam Encyclopaedia of World History (1956:255) William K.
Langer menggambarkan sebab-sebab timbulnya Perang Salib I (1906-1099). Menurut
Langer perang ini bermula dari permintaan bantuan pasukan dari kaisar Byzantium
kepada Paus Gregorius VII. Setelah bala bantuan datang dari berbagai negara
Eropa, berupa 300.000 tentara reguler, Paus Gregorius VII mengubah bantuan
militer menjadi Perang Suci (Perang Salib) melawan tentara Islam yang
dianggapnya kafir. Hasrat Byzantium untuk berperang ditambah lagi dengan
berita-berita buruk yang disebarkan para peziarah Kristen yang berkunjung ke
Yerusalem. Setelah mereka kembali ke kampung halamannya, mereka menebar issue
bahwa orang Kristen di Yerusalem dan Palestina banyak yang dianiaya dan
disiksa, serta wanita-wanita mereka diperkosa oleh tentara Saljug. Ini
menimbulkan amarah kasir Byzantium di Kontantinopel. Berita pun segera tersebar
ke seluruh daratan Eropa. Ketika itu sedang terjadi pula pergolakan internal dalam
tubuh gereja Katholik. Gereja Romawi dan Gereja Yunani Ortodoks saling bersaing
merebut kepemimpinan umat Kristen. Paus Gregorius VII berkeinginan menjadikan
Perang Salib itu sebagai upaya menyatukan Dunia Kristen. Pada saat Perang Salib
sedang digodog, Paus Gregorius VII diganti oleh Paus Victor II dan Victor II
diganti pula oleh Paus Urbanus II (1088-1099). Ketika Paus Urbanus II
dinobatkan muncul pula Paus tandingan berkedudukan di Auvergne, Perancis, yaitu
Paus Clement III (1084-1100). Kaisar Alexius dari Byzantium selain meminta
bantuan Paus di Roma, juga menghimbau seluruh umat Nasrani di Eropa untuk
membantu rencana perangnya. Dalam imbauannya Kaisar Byzantium memnjanjikan
bahwa barang siapa berani bergabung dengan tentara salib, sebagai balas jasanya
akan dilimpahi kekayaan dan memperoleh wanita-wanita Yunani yang cantik jelita. Perang Salib tambah berkobar disebabkan khotbah keliling
yang dilakukan seorang rahib bernama Peter the Hermit. Menurut sang rahib
barang siapa yang ikut berperang membela kehormata agama Kristen akan mendapat
pengampunan dosa, walaupun dahulunya ia seorang penyamun dan penjahat. Demikianlah
tentara Salib berangkat ke medan perang pada bulan Agustus 1095 dan pada
permulaan tahun 1096 perang pun berkobar. Meskipun tentara Salib mengalami
kekalahan di Anatolia dan Armenia, mereka berhasil menguasai Yerusalem selama
beberapa tahun. Fakta-fakta yang telah dikemukakan cukup memberi gambaran
bahwa sejak awal orang Eropa atau Barat memerlihatkan sikap bermusuhan terhadap
Islam, baik Islam sebagai agama ataupun Islam sebagai kesatuan masyarakat yang
memiliki kebudayaan dan peradaban berbeda dari mereka. Selama beberapa abad
kekaisaran Byzantium di Konstantinopel berhasil membangun tembok tinggi yang
memisahkan secara tegas antara dunia Islam di Timur dan dunia Kristen di Barat.
Kesalahpahaman Eropa terhadap Islam adalah buah yaang dihasilkan oleh pembangunan
tembok pemisah antara dua peradaban ini. Sumber-sumber Byzantium yang memandang
Islam sangat buruk dalam semua aspek dari ajaran agamanya dijadikan kacamata
Barat dalam memandang dan menyikapi Islam. Dikatakan misalnya bahwa agama Islam tidak lebih dari aliran
sesat dan bentuk kermutadan yang timbul dari agama Kristen. Dengan kata lain,
Islam adalah ajaran Kristen yang menyimpang. Muhammad adalah nabi palsu, yang
memperoleh pengetahuan agama dari seorang pendeta Kristen bernama Bahira. Kitab
suci al-Qur`an pula dianggap sebagai kitab yang dibawa di atas tanduk lembu
putih. Lebih jauh dikatakan bahwa Nabi Muhammad adalah tukang sihir yang
berhasil meyakinkan orang banyak bahwa dia memperoleh wahyu dari Tuhan setelah
melakukan ritual yang menjijikkan, yaitu melakukan hubungan seksual dengan
banyak wanita di luar nikah. Namun demikian pada abad ke-12, seusai Perang Salib I,
keinginan mengetahui ajaran Islam secara lebih benar mulai muncul di kalangan
terpelajar Eropa. Al-Qur’an mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, begitu
pula karya-karya penulis Muslim Arab dan Persia. Terjemahan al-Qur’an pertama
dalam bahasa Latin ditulis oleh seorang sarjana Inggris Robert dri Ketton pada
tahun 1143 M. Kemudian pada abad ke-13 dan 14 M , upaya memahami ajaran Islam
ditumpukan pada dua hal; Pertama, mencari kemiripan ajaran al-Qur’an dengan
Bibel; kedua, menyusun alasan-alasan logis untuk mengecam Nabi Muhammad saw
sebagai nabi palsu. Mereka berpendapat bahwa seseorang yang tidak memiliki
mukjizat seperti Isa Almasih tidak layak mengaku diri sebagai Nabi dan Rasul
Tuhan. Dua hal inilah yang menjadi target utama serangan pemuka agama Kristen
terhadap kaum Muslimin dan agama Islam. Menurut mereka orang Islam terdorong melakukan jihad karena
dua hal. Pertama, ingin membetulkan ajaran Kristen yang salah dan menyimpang
dari tradisi monotheisme Ibrahim dan memperoleh pengakuan terhadap kenabian
Muhammad. Mereka lupa bahwa Perang Salib, yang oleh mereka dipandang sebagai
perang agama Kristen melawan kekafiran Islam, tidak dimulai oleh orang Islam.
Apa yang dilakukan oleh Bani Saljug dan penguasa Byzantium sebelum Perang Salib
meletus, semata-mata perang memperebutkan wilayah demi kekuasaan politik dan
sumber-sumber ekonomi. Adalah penguasa-penguasa Kristen Eropa dan penguasa
gereja yang pertama kali menyebut Perang Salib sebagai perang agama, perang
antar budaya dan peradaban. Orang Islam tidak pernah melihat perang di Armenia
itu sebagai perang agama. Kecaman lain yang ditujukan kepada Islam ialah berkenaan
dengan poligami yang dilakukan Nabi Muhammad s.a.w. Tetapi mereka bahwa Nabi
Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Sulaiman dan lain-lain mempunyai istri lebih dari
satu, tetapi tidak membuat mereka berkeinginan untuk mengecam nabi-nabi ini.
Mereka juga lupa bahwa dalam Perjanjian Lama (Old Testatamen) Nabi Luth
dilukiskan berhubungan seksual dengan putrinya sendiri, karena ketika itu
penduduk Sodom dan Gomorra hampir musnah. Gambar kemurtadan Islam dapat dilihat
dalam Divina Comedia (Komedi Ketuhanan) karangan Dante, pengarang Italia yang
masyhur pada abad ke-13 M. Dalam bukunya itu Nabi Muhammad digambarkan sebagai
penghuni neraka yang paling rendah dan mendapatkan siksaan berat karena
dosa-dosanya mengajarkan aliran sesat. Ibn Sina, Ibn Rusyd, dan bahkan Sultan
Saladin pahlawan Perang Salib, dilukiskan mendapat hukuman ringan dari Tuhan. Pandangan orang Eropa pada zaman Renaissan dan Reformasi
(abad ke-15 – 16 M) telah berubah, padahal mereka telah mulai memandang gereja
secara kritis. Polydare Virgil, ahli sejarah abad ke-15, mengulang pandangan
Kristen abad pertengahan ketika menggambarkan Nabi Muhamad. Nabi dikatakannya
sebagai tukang sihir, yang mendpat pelajaran agama dari pendeta Kristen dan
ajaran sesatnya disebarkan melalui kekerasan dan janji-janji tentang kenikmatan
seksual di sorga yang akan diperoleh jika seseoang berjuang di jalan Tuhan.
Ensiklopedi yang disusun oleh Bartolomeus d’Hesbelot, Bibliothque Orientale,
memulai entrinya dengan kalimat-kalimat serupa. Bahkan Edward Gibbon (abad
ke-18) yang mengagumi Nabi Muhammad dalam bukunya The Decline and Fall of Roman
Empire, merasa ogah untuk membenarkan risalah ketuhanan yang disampaikan Nabi
Muhammad s.a.w. Martin Luther, pendiri Protestanisme bersama-sama dengan
Calvin dan Zwingli, menyamakan kemurtadan Muhammad dengan penyimpangan yang
dilakukan oleh Gereja Katholik Romawi terhadap ajaran Nabi Isa a.s. Dalam
sebuah dramanya berjudul La Fanatisme, ou Mahomet le prophete, Voltaire (akhir
abad ke-18 M) menggambarkan bahwa ketika Nabi Muhammad akan wafat, beliau
mewasiatkan kepada para penggantinya (khalifah) agar kejahatan-kejahatan yang
dilakukan beliau dirahasiakan agar tidak merusak keimanan kaum Muslimin. Pada permulaan abad ke-18, memasuki zaman Aufklarung
(Pencerahan) sebenarnya sejumlah sarjana Eropa sedang sibuk membangun
dasar-dasar pemahaman yang lebih luas tentang Islam dan kebudayaan Timur.
Ketika itu pamor agama Kristen mulai luntur. Tetapi prasangka-prasangka yang
dibangun oleh Kristen Byzantium belum bisa dikikis dalam jiwa manusia Eropa
yang mulai sekular. Bahkan walaupun sejumlah sarjana dan pemuka masyarakat
bersimpati pada kebudayaan lain, termasuk kebudayaan Islam, namun pemahaman
mereka tentang segala hal masih tetap terkungkung oleh Eropanisme. Khusus
mengenai Islam, bertahannya prasangka lama itu antara lain disebabkan oleh
ketakutan mereka terhadap ancaman tentara Usmani Turki, yang pada abad ke-18 M
memang sangat kuat. Baru pada akhir abad ke-18 orang Eropa mulai yakin bahwa
mereka dapat melakukan hubungan produktif dengan dunia Islam, bahkan dapat
mengalahkan dan menguasai mereka. Perubahan sikap itu terjadi karena dua hal:
Pertama, pada tahun 1798 secara dramatis Perancis menaklukkan Mesir tanpa
mengalami banyak kesukaran. Untuk merebut hati orang Islam, Napoleon
menggunakan jargon-jargon yang diambil dari ajaran Islam. Kedua, setahun
kemudian, 1799 pasukan Inggris memenangkan pertempuran di Mysore India melawan
tentara Dinasti Mughal. Tidak lama kemudian pada permulaan abad ke-19 Rusia
berhasil menaklukkan negeri-negeri kaum Muslimin di Kaukasus dan wilayah Asia
Tengah yang lain. Belanda berhasil mengatasi perang anti-kolonial yang
ditujukan kepadanya di pulau Jawa dan Sumatra, khususnya Perang Diponegoro di
Jawa Tengah dan Perang Padri atau Imam Bonjol di Sumatra. Perang anti-kolonial
ketiga yang paling berat dihadapi Belanda setelah Perang Diponegoro dan Padri,
ialah Perang Aceh. Perang Aceh dipicu antara lain oleh seruan ‘jihad’ melawan
kolonial oleh Syekh Abdul Samad al-Falimbangi. Ketika itu sebenarnya orang Eropa telah mulai bebas dari
kungkungan pandangan gereja dan agama Kristen, dan pemahaman terhadap Islam
beserta kebudayaan dan peradabannya menjadi lebih mungkin. Apalagi setelah
berkembangnya pemikiran humanisme Tetapi justru pada masa yang penuh peluang
itulah, tumbuh dan berkembang orientalisme – suatu bangunan ilmu pengetahuan
tentang dunia Timur, khsususnya Islam, yang dirancang mengikuti metode dan
kepentingan Barat. Setelah orientalisme berkembang inilah kampanye misionaris
menentang Islam kian menjadi-jadi. Bersama-sama penguasa kolonial mereka
berusaha melucuti kekuatan umat Islam secara politik, ekonomi, militer, budaya
dan intelektual. Di Hindia Belanda tokoh utama orientalisme yang berhasil
mempengaruhi kebijakan pemerintah kolonial mengenai Islam ialah Snouck
Hurgronje. Setelah berakhirnya Perang Diponegoro dan Padri, kaum orientalis
membuat konstruksi ilmu yang akan diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan
modern, terutama untuk kaum terpelajar Indonesia. Dalam konstruksi ilmu
tersebut, Islam – kebudayaan, peradaban, sejarah dan agamanya – ditempatkan
sebagai outsider dan dipandang sebagai sesuatu yang asing dalam sejarah
kebudayaan bangsa Indonesia (Tauqik Abdullah 1997). Sementara itu citra Islam
yang buruk terus menerus dipropagandakan ke khalayak masyarakat luas. Salah satu buku penting yang berpengaruh dalam memberikan
citra negatif tentang ialah buku Sir William Muir A Life of Muhammad, terbit di
Bombay pada tahun 1851. Ketika buku ini terbit, pemerintah kolonial Inggeris
sedang gencar menggalakkan missi dan zending Kristen. Yesus Kristus atau Isa
Almasih diberi gambaran sebagai manusia superstar sedangkan Nabi Muhammad
adalah utusan setan. Para missionaris tidak bosan-bosannya mengutip bagian dari
buku William Muir ini dalam menyebarkan agama Kristen di kalangan orang-orang
India yang beragama Hindu dan Islam. Dalam buku itu Nabi Muhammad disebut
Mahound (roh jahat) yang menyebarkan agama melalui kekerasan dan kegiatan
seksual. Bandingkan gambaran dalam buku Muir ini dengan gambaran dalam buku
Salman Rushdi yang menghebohkan pada akhir 1980an The Satanic Verses. Gambaran bahwa Islam merupakan agama kekerasan dan
menghalalkan kebebasan seks, semakin kuat menghunjam benak bangsa Eropa pada
abad ke-19. Akar penyebabnya ialah kenyataan bahwa pemerintah kolonial Eropa
menghadapi sejumlah perlawanan sengit dari para ulama dan pemimpin tariqat sufi
sebelum menaklukkan negeri Islam. Perlawanan kaum Muslimin berlangsung sengit
sejak abad ke-18 hingga abad ke-20 M, khususnya di Aljazair, Lybia, Iraq, Iran,
India, Afghanistan dan Indonesia. Dalam perangnya menentang kehadiran
kolonialisme Eropa itu kaum Muslimin mengusung issu jihad melawan kekuasaan
raja kafir. Itu tidak keliru, karena penjajahan bukan hanya menghancurkan
kehidupan ekonomi dan kedaulatan politik kaum Muslimin, tetapi juga menghancurkan
sendi-sendi kebudayaan dan kehidupan agama. Pangeran Diponegoro diceritakan pernah mengatakan kepada
utusan pemerintah Belanda yang menawarkan perdamaian kepadanya, “Jika orang
Belanda mau memeluk agama Islam, kami tidak akan melakukan perlawanan dan akan
menyambut anda dengan tangan terbuka.” Ucapan serupa pernah dikemukakan oleh
Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) dari Aceh kepada kepala perwakilan dagang
VOC. Iskandar Muda menawarkan orang Belanda memeluk agama Islam dan dengan
demikian akan leluasa melakukan aktivitas perdagangan di Sumatra tanpa gangguan
yang berarti. Ini menunjukkan bahwa motif perlawanan terhadap kolonialisme
bukan sekedar masalah politik dan ekonomi. Dalam bukunya yang telah disebutkan William Muir mengatakan,
“Pedang Muhammad dan al-Qur’an adalah musuh paling berbahaya bagi Peradaban,
Kebebasan dan Kebenaran yang dijunjung tinggi oleh dunia yang beradab!” Kurang
lebih seperti inilah pemahaman tentang Islam yang hidup dalam jiwa dan pikiran
para pemimpin Eropa, sebelum dan sesudah Perang Dunia II, dari zaman Napoleon
sampai zaman Bush dan Tonny Blayr. Gambaran tentang Islam sebagai agama kekerasan dan
menghalalkan kekebasan seks dapat dilihat dalam banyak buku karangan sarjana
dan pengarang Eropa abad ke-19 M. Misalnya dalam novel Gustave Falubert,
novelis Perancis abad ke-19 dan buku Erdward Lane, seorang sarjana Inggris.
Gambaran dan pemahaman serupa juga dapat dilihat dalam sajak “Hari Terakhir
Olanda di Tanah Jawa” karangan Multatuli, novelis Beland abad ke-19 yang
masyhur karena novelnya Max Havelaar.. Dalam sajak ini Multatuli
mengatasnamakan dirinya sebagai Sentot Alibasya, panglima perang tentara
Diponegoro. Dikatakan misalnya bahwa, tentara Muslim Jawa tidak akan pernah
puas jika hanya memperoleh kemenangan di medan perang. Mereka baru akan puas
jika dapat menggauli noni-noni Belanda yang cantik dan montok setelah
memenangkan pertempuran di medan perang. Pada bagian akhir sajak itu dikatakan,
bahwa perang anti-kolonial tidak akan dihentikan sebelum, “Orang Jawa berlutut
di depan Muhammad, dan dibebaskan bangsa yang terlembut, dari cengkraman
anjing-anjing Kristen.” Memang selama dua abad ini tidak sedikit sarjana Barat yang
berusaha memberikan pemahaman yang simpatik terhadap agama Islam dan kaum
Muslimin. Itu terjadi sejak Goethe hingga Esposito. Konsili Vatikan yang kedua
beberapa dasawarsa yang lalu, menyerukan pula agar umat Kristiani lebih
meningkatkan toleransinya kepada kaum Muslimin, karena agama yang mereka anut
adalah agama monotheis seperti agama Kristen. Tetapi sejauh mana seruan itu
dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah Barat yang hegemonik, tidak seorang pun
tahu. Begitu pula sejauh mana pengaruh pandangan para orientalis yang simpatik
terhadap Islam dapat mengubah pikiran dan jiwa orang Eropa dan Amerika yang telah
keruh, tidak seorang di antara kita dapat menjawabnya. CATATAN
- G.H. Jansen (1979) dalam bukunya Militant Islam mengatakan
bahwa konfrontasi Islam dan Kristen/Barat dimulai dari bidang agama dan
spiritual. Penulis Kristen selalu menggunakan argumen licik terutama berkaitan
dengan pribadi Nabi Muhammad s.a.w. Kemudian gambaan ini diperbaiki sedikit.
Orang Islam digambarkan sebagai pemalas, apa dia Muslim Turki, Ara, Melayu atau
India. Selain pemalas orang Islam digambarkan egosentirk dan senang seks.
Sebetulnya banyak hal-hal baik dari Islam mereka ketahui, tetapi sengaja
ditutup-tutupi. - Misionaris Kristen mengeluh orang Islam enggan diajak
berdebat dan bedialog menyangkut kepercayaan agama mereka. Diam itu emas dan
tidak mudah terpencing adalah senjata orang Islam sampai abad ke-17 M. Kegiatan
misionaris semakin menonjol setelah Napoleon menaklukkan Mesir. Kegiatan missi
dan zending Kristen pada abad ke-19 mempunyai hubungan erat dengan perluasan
kekuasaan dari kaum penjajah. Karena mereka menjumpai perlawanan sengit dari
orang Islam. Karena membiarkan dirinya menjadi alasat kekuasaan kolonial inilah
orang Islam memandang mereka sebagai musuh. - Walau missi mereka gagal pada abad ke-18 M, tetapi pada
pada abad ke-19 mereka yakin berhasil. Dugaan ini melesat. Orang Islam yang
telah disekulerkan seperti di Indonesia dan mendapat pendidikan Barat justru
menentang kolonialisme. Ini membuat penguasa Barat semakin jengkel. - Pada masa pemerintahan kaisar Justianus I akhir abad ke-7
M, kebebasan beragama dihapus. Pemerintah Byzantium hanya mengakui Katholik
Romawi dengan doktrin trinitasnya sebagai agama resmi. Para penganut mazhad
Yaakibah, Nasaritah dan lain-lain ditindas. Tetapi di beberapa wilayah
kemerahajaan Byzantium seperti Mesir, Syria, Libanon dan lain-lain mereka
mengadakan perlawanan. Pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Khattab
(634-644 M) mereka meminta bantuan kepada kaum Muslimin untuk membebaskan tanah
air mereka dari penjajahan Romawi. Permintaan itu dipenuhi oleh khalifah Umar
bin Khattab. Dalam peperangannya melawan pasukan pendudukan Byzantium pasukan Muslim
Arab memperoleh kemenangan, sehingga Syria, Mesir dan lain-lain menjadi bagian
dari kekhalifatan Islam. - 2 Tepatnya Ninive. Dikemukakan dalam al-Qur’an surah
al-Rum. Karena wilayah kerajaan Hira termasuk wilayah Arab, khalifah Abu Bakar
memerintahkan tentaranya mengambil kembali wilayah ini pada tahun 633 M. Pada
tahun 590 M wilayah ini direbut oleh penguasa Bani Ghazzan yang memerintah di
wilayah Palestina dan Yordania. Kerajaan Ghazzan adalah negara vasal dari
kekaisaran Byzantium. Akibat penaklukkan itu orang-orang Arab mengungsi ke
selatan, ke jazirah Arab, khususnya Madina. Tidak lama kemudian Hira direbut
kembali oleh kemaharajaan Persia. Byzantium kembali menyerang wilayah ini dan
dalam pertempuran sengit yang terjadi di Ninive pada tahun 614 M Byzantium
dapat menaklukkan tentara Persia. Raja Hira berhasil membebaskan diri. Pada
tahun 631 khalifah Abu Bakar mengirim misi dagang dan dakwah ke Hira, tetaopi
rombongan misi dari Madinah itu dibantai habis oleh raja Ghazzan. Itulah alasan
penyerbuan ke Hira. - Kendati demikian mereka memperoleh keuntungan lain yang
kelak menjadi sumber kemajuan peradaban Eropa. Naskah-naskah dan buku-buku
pengetahuan berhasil diboyong ke Eropa oleh pasukan Salib setelah dirampas dari
perpustakaan-perpustakaan orang Islam. Buku-buku itu dikaji dan diterjemahkan
ke dalam bahasa Latin, dipelejari dengan giat. Ini melahirkan Renaissance di
Eropa pada abad ke-15 M. |