Ijtihad; Sebuah PertanyaanDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Al-Qur'an adalah salah satu sumber ijtihad. Apakah seorang
juris atau alim dapat bersandar kepada al-Qur'an tanpa adanya pra-supposisi?
Apabila jawabannya tidak, pra-supposisi apa saja yang harus ada sebelum seorang
juris (faqih) atau alim bersandar kepada al-Qur'an? * * * * * * * * * * * * 1. Secara global dalam menjawab pertanyaan di atas
dapat dikatakan sebagai berikut bahwa al-Qur'an adalah nara sumber pertama dan
utama syariat. Al-Quran merupakan referensi pertama untuk memperoleh pandangan
agama; 2. Mengeksplorasi al-Qur'an tidak akan memiliki
konsideran (i'tibar) dan tidak bermakna, kecuali jika dua asas berikut ini
ditetapkan dan dibuktikan, dan kedua asas itu adalah hujjiyat shudur dan
hujjiyat dalali al-Qur'an; 3. Asas penerimaan seorang juris dalam menginferensi
al-Qur'an terbagi menjadi dua: Shuduri (keluaran) dan dalâli (denotasi); 4. Asas keluaran (shudur) al-Qur'an adalah: a. Al-Qur'an berasal dari Tuhan; b. Al-Qur'an terjaga dari distorsi, pengurangan dan penambahan; c. Wahyu terjaga dari kesalahan; d. Nabi Muhammad Saw terjaga dan maksum dari segala
bentuk kesalahan baik sengaja atau lalai dalam menerima wahyu, juga dalam
menyampaikannya; 5. Asas yang dapat ditunjukkan oleh al-Qur'an (dalali)
adalah sebagai berikut: a. Allah Swt menghendaki makna-makna khusus atas
redaksi-redaksi al-Qur'an; b. Dalam menjelaskan maksud Ilahi, minimal dalam
hukum-hukum cabang, tidak beralih dari metode umum yang digunakan dalam proses
pemahaman dan metode para uqala. Serta tidak menggunakan penjelasan analogik
dan simbolik; c. Tersedia ruang untuk memahami makna-makna yang
dihendaki oleh Tuhan bagi para uqala (orang-orang berakal) terkait ayat-ayat
jurisprudensial (fiqih) pada masa turunnya ayat-ayat tersebut; d. Hukum-hukum Ilahi bersifat universal dan tidak
terkhusus pada tempat dan kondisi tertentu kecuali hukum-hukum tersebut telah
mansukh (teranulir) atau berubahnya hukum-hukum tersebut dapat dibuktikan. Penjelasan:
Al-Qur'an dalam perspektif seluruh mazhab dan firqah Islam
dikenal sebagai sumber pertama dan utama dalam agama Islam. Dan seluruhnya
mengakui perkara ini, bahwa sumber pertama syariat dan rujukan (marja' ) utama
untuk memperoleh pandangan agama dalam wilayah yang beragam harus merujuk
kepada al-Qur'an. Artinya adalah bahwa al-Qur'an merupakan mukjizat abadi
Rasulullah Saw dan lebih superior (muhaimin) atas kitab-kitab
samawi sebelumnya. Sejatinya dengan pandangan ini dua asas dalam wilayah
inferensi al-Qur'an diterima oleh setiap kalangan: 1. Al-Qur'an merupakan sanad Ilahi dan hujjah Tuhan
bagi manusia. Dan apa yang kini disebut al-Qur'an di tangan setiap kaum
Muslimin adalah al-Qur'an yang diturunkan oleh Tuhan dan tidak memiliki unsur
non-Ilahi. Di dalamnya tidak terdapat kesalahan baik lalai atau sengaja. Artinya
al-Qur'an yang kini di tangan kita kaum Muslimin memiliki hujjiya shuduri
(dalil keluaran). 2. Pesan al-Qur'an dapat diakses. Untuk dapat mengakses
dan memperoleh pandangan agama, al-Qur'an menjadi rujukan. Artinya al-Qur'an di
samping memiliki hujjiyah shuduri, ia juga memiliki sisi hujjiyah dalâli (dalil
denotatif). Oleh karena itu, tatkala seorang juris terjun dalam proses
istinbâth (inferensi) hukum-hukum syariat ia menjadikan al-Qur'an sebagai
sumber ijtihadnya dan menggunakan al-Qur'an untuk sampai pada hukum fiqih.
Sebelum beranjak untuk mengeksplorasi al-Qur'an, ia menerima sekumpulan asas
pada sisi keluaran (shudur) al-Qur'an dan sekumpulan lainnya pada sisi
denotatif (dalâli) al-Qur'an. Karena apabila ia menerima secuil pun keraguan
terkait dengan keluaran al-Qur'an sekali-kali ia tidak dapat menyandarkan
pandangannya pada al-Qur'an dan wahyu serta mengatributkan hukum-hukum yang
diperoleh dari proses instinbâth sebagai hukum Tuhan dan agama. Asas-asas keluaran al-Qur'an adalah
sebagai berikut:
1. Sebelum segala sesuatunya, seorang juris memandang
bahwa al-Qur'an diturunkan dari sisi Allah Swt; lantaran sekiranya al-Qur'an
tidak berasal dari Tuhan, maka al-Qur'an tidak memiliki sisi keunggulan yang
membuat seorang juris harus merujuk kepadanya untuk memperoleh pendapat agama.
Tatkala dikatakan bahwa al-Qur'an bersumber dari Tuhan, maknanya adalah bahwa: a. Kandungan al-Qur'an bersumber dari Tuhan; b. Lafaz-lafaz dalam bentuk kosa-kata dan rangkaian
kata yang terajut menjadi ayat dalam al-Qur'an bersumber dari Tuhan. Artinya
bahwa rangkaian lafaz-lafaz dan ayat-ayat ini adalah wahyu; c. Model kodifikasi al-Qur'an yang tersusun di antara
ayat-ayat yang berurutan kemudian membentuk surah-surah, dan juga
urutan-urutannya yang membentuk al-Qur'an adalah wahyu; 2. Seorang juris meyakini bahwa al-Qur'an adalah
al-Qur'an yang terkumpul pada awal-awal kemunculan Islam dan seluruh
ayat-ayatnya yang terhimpun menjadi al-Qur'an adalah wahyu Ilahi. Artinya
tidak ada penambahan pada himpunan ayat-ayat ini dan juga tidak terdapat
pengurangan. Dengan demikian, asas yang ada dapat dikaji pada pembahasan
distorsi (tahrif) dan juga dapat ditelaah pada masalah tawâtur al-Qur'an. 3. Seorang juris menerima bahwa wahyu terjaga dan
terpelihara dari kesalahan. Maksudnya adalah bahwa ilmu Ilahi ini yang turun
dalam bentuk wahyu sampai kepada Nabi Muhammad Saw tanpa adanya perubahan dan
pergantian. Artinya tidak bermakna bahwa Nabi Saw tidak berkata-kata selain
yang diwahyukan kepadanya juga tidak berarti bahwa Nabi Saw tidak melakukan
dalam menerima wahyu, melainkan bermaksud bahwa pada proses transformasi wahyu
dari ilmu Ilahi kepada Nabi Muhammad Saw tidak terjadi kesalahan. 4. Juris menerima bahwa Rasulullah Saw terjaga dan
terpelihara dari segala jenis kesalahan disengaja atau tidak. Artinya bahwa di
samping tidak terjadi kesalahan pada wahyu itu sendiri, Nabi Saw juga tidak
melakukan kesalahan, baik dalam menerima al-Qur'an atau menyampaikannya. Adapun asas-asas denotatif al-Qur'an
sebagai berikut:
1. Juris merujuk kepada al-Qur'an berdasarkan pada asas
bahwa Allah memiliki maksud terhadap makna-makna tertentu dari kalimat-kalimat
yang digunakan dalam al-Qur'an. Asas ini kendati secara lahir sangat jelas,
namun hal ini dapat menjadi sumber perdebatan sengit di antara maktab pemikiran
di Barat. Sebagian pemikir yang meyakini ilmu hermeneutika disebut
sebagai relativisme. Tatkala seorang pelukis melukis sesuatu di atas kanvas,
boleh jadi Anda tatkala melihatnya berkata bahwa ia tengah menjelaskan
kesedihannya. Dan orang lain mungkin berkata bahwa ia sedang menerangkan
kegembiraannya. Orang ketiga yang menyaksikan pelukis ini barangkali
beranggapan bahwa pelukis itu sedang mengekspresikan kemarahannnya. Kini
apabila diajukan pertanyaan yang mana dari ketiga pandangan ini yang benar?
Harus dikatakan bahwa seluruh pernyataan ini benar adanya dan bahwa siapa saja
yang menyimpulkan dari lukisan kanvas itu pemahamannya benar dan maknanya dapat
diterima. Keyakinan semacam ini sejatinya tidak bermakna bahwa lukisan
kanvas tersebut tidak memiliki pesan khusus sehingga pemahaman orang lain harus
dibandingkan. Pelukis yang menggoreskan lukisan di atas kanvas tersebut tidak
memiliki makna pamungkas dan siapa saja dapat dengan benar mengekspresikan
setiap makna yang terlintas dalam benaknya yang sesuai dengan tradisi dan
kebudayaan tipikalnya. Berdasarkan hal ini, setiap penafsiran yang dilakukan
terhadap teks-teks agama berada dalam tawanan tradisi dan budaya tertentu
penafsir dan senantiasa pemahaman agama adalah pemahaman situasional dan
bergantung pada pikiran para penafsir. Terkadang di antara para pemikir Muslim
santer terdengar bahwa pada ayat-ayat al-Qur'an tidak terdapat makna-makna
khusus, sehingga harus dijelajahi dan disingkap, melainkan maknanya luas,
menjuntai dan lebar untuk setiap pemahaman sedemikian sehingga siapa pun yang
memahami sesuatu darinya maka yang dipahaminya itu adalah benar. Oleh karena itu, juris dalam menginferensi (menyimpulkan) ayat-ayat
al-Qur'an menerima asas definitif ini bahwa Allah Swt menghendaki makna-makna
khusus dari ayat-ayat tersebut. Karena makna inferensi dan istinbath
hukum-hukum dari al-Qur'an adalah bahwa juris berusaha semaksimal mungkin
menggali makna-makna yang tertimbun pada ayat-ayat Ilahi dan Tuhan berada pada
tataran menjelaskan lafaz-lafaz dan redaksi ayat-ayat tersebut. Dengan demikian
adagium benar dan keliru dalam memahami al-Qur'an sebagaimana yang disebutkan,
"Bagi yang benar mendapatkan dua pahala dan satu pahala bagi yang
keliru," menemukan maknanya.[1] 2. Al-Qur'an dalam menjelaskan maksud Tuhan, setidaknya
dalam domain hukum-hukum cabang dan bertautan dengan perbuatan para mukallaf,[2] tidak
menggunakan bahasa simbol, melainkan menggunakan pendekatan umum yang dilakukan
oleh orang-orang berakal. Artinya Allah Swt dalam menjelaskan maksud-maksud-Nya
memilih metode orang-orang berakal. Ihwal hujjiyah zhawair dalam ilmu Ushul disebutkan bahwa,
"Bentuk-bentuk lahir lafaz-lafaz adalah hujjah." Maksudnya adalah
bahwa apa yang dapat dipahami dari ucapan seorang pembicara secara lahir,
orang-orang berakal menerapkan makna itu kepada pembicara. Namun matlab
ini apa hubungannya dengan Tuhan (Syâri')? Bagaimana kaidah dapat diterapkan
pada penjelasan Syâri' dan atas dasar apa bentuk-bentuk lahir penjelasan Syâri'
dibebankan kepada-Nya? Matlab ini berhubungan tatkala kita menerima bahwa
Allah Swt dalam al-Qur'an dan Rasulullah serta para Maksum As berkata dengan
menggunakan metode orang-orang berakal dan tidak mengadakan model penjelasan
yang berbeda. Secara umum, berpengaruhnya hukum dialog urf (masyarakat umum)
terhadap firman-firman Syâri' berdasarkan kepada penerimaan asas ini, bahwa
Syar'i berfirman dengan menggunakan metode orang-orang berakal. 3. Ruang untuk memahami makna-makna yang diutarakan
dari ayat-ayat Ilahi, setidaknya pada ranah hukum fikih tersedia bagi
orang-orang berakal, pada masa pewahyuannya. Artinya bahwa ayat-ayat tentang
hukum (fikih) sedemikian sehingga orang-orang pada masa itu dengan satu
pemahaman valid urf dapat menangkap maksud Ilahi dan menjalankan tugas (taklif)
mereka. Dan apabila mereka tidak menangkap maksud tersebut maka hal itu bukan
dikarenakan bahwa ruang untuk memahami tidak tersedia, dan budaya yang
berkembang pada masa itu tidak mengizinkan masyarakatnya untuk mengakses maksud
tersebut, serta seiring dengan berlalunya waktu, menyempurnanya ilmu
pengetahuan, datangnya pemahaman baru makna-makna tesebut dapat tersingkap
melainkan disebabkan oleh kekeliruan berpikir mereka yang lalai dari
matlab yang ada atau salah memahami maksud-maksud Ilahi tersebut. Sebagai contoh,
terkadang terjadi perawi yang menukil riwayat dari Imam As turut menyebutkan
kesimpulan pribadinya. Namun juris di masa kita sekarang memahami matlab yang
lain dari riwayat tersebut dan memiliki kesimpulan yang berbeda dengan perawi.
Pada saat yang sama ia membenarkan pandangannya dan menyalahkan pandangan
perawi. Apabila juris ini diprotes bagaimana kesimpulan perawi yang merupakan
pemahaman masa dikeluarkannya riwayat dari maksum As ia tepikan dan
sebagai gantinya pemahaman baru juris itu sendiri meski dengan jarak waktu yang
sedemikian membentang. Ia menjawab: "Makna ini yang aku pahami dari
riwayat adalah pemahaman yang dapat dipahami pada masa lampau dan maksud imam
As dari riwayat ini pada masa itu adalah makna ini. Akan tetapi perawi melakukan
kesalahan dan memahami makna yang berbeda. Juris tidak berkata bahwa apa yang dipahami hari ini
berhubungan dengan zaman ini, dan pada masa disampaikannya riwayat terdapat
pemahaman lain pada benak orang-orang berakal. Pemahaman kekiniannya tidak ia
pandang sebagai ganti dari pemahaman lampau. Ia tidak menerima pemahaman yang
berubah dan berganti. Sepanjang yang berkenaan dengan pemahamannya yang berbeda
dengan kesimpulan yang diambil oleh para pendahulunya, secara asasi ia
menyalahkan pemahaman para pendahulu yang keliru memandang bahwa pemahamannya
adalah apa yang dimaksud oleh riwayat. Juris tidak merasa harus sejalan dengan
perubahan pemahaman agama dan tidak memandang bahwa setiap pemahaman itu benar
dan sejalan dengan maksud Syâri'. Ia meyakini bahwa kandungan agama bersifat
tetap dan apa yang dikehendaki oleh Tuhan, Nabi dan para Imam dari ayat dan
hadis memiliki makna yang khusus yang boleh jadi dapat atau tidak diperoleh
oleh sang juris. Apabila juris berkata bahwa pemahaman yang ia peroleh
merupakan hasil dari kemajuan ilmu pengetahuan dan pada masa pewahyuan
pemahaman ini tidak mungkin diperoleh, maka inferensi (istinbath) dan pemahaman
yang ia peroleh itu tidak memiliki nilai dan konsideran. Kesimpulannya bahwa Tuhan menurunkan hukum-hukum ini kepada
seluruh manusia dan menugaskan seluruh manusia untuk menunaikannya. Tidak
bermakna bahwa tugas itu dibebankan pada orang-orang yang hidup tiga millennium
kemudian, atau masyarakat yang hidup satu millennium yang lampau memiliki
taklif yang berbeda dan Tuhan dalam sebuah penjelasan memiliki beberapa
kehendak tasyri'i dari sebuah amal khusus,[3] itu pun kehendak yang pelaksanaannya
diserahkan kepada sejarah dan perubahan pelbagai tradisi, kebudayaan dan
perubahan pemahaman. Sebab mengapa kita memerlukan ilmu ushul melebihi keperluan
para pendahulu kita adalah karena terbentangnya jarak yang membentang antara
kita dan masa pewahyuan. Orang-orang pada masa itu berada pada situasi
kebudayaan masanya yang juga merupakan zaman Syâri'. Apa yang seharusnya mereka
pahami, mereka pahami. Namun dewasa ini dengan memperhatikan jarak yang
membentang, banyak terjadi perubahan pada ruang kebudayaan dan perubahan bahasa
keseharian yang memungkinkan terwujudnya kesepahaman yang cepat dan mudah
antara Syari’ dan umat dimana baik semasa dan sebahasa dan keterikatan budaya
pembicara dan pendengar telah tiada. Dengan demikian, tatkala kita ingin memahami ayat-ayat dan
riwayat-riwayat yang dijelaskan pada seribu tahunan yang lalu, maka mau-tak-mau
kita harus bersandar pada kunci-kunci umum pemahaman lafaz-lafaz yang tidak
terikat oleh masa dan waktu tertentu, sehingga dengan cara demikian dapat
ditetapkan bahwa makna yang dipahami adalah makna yang mengikuti kaidah,
yang dipahami pada masa lampau. Dan masalah ini adalah masalah yang mengemuka
dalam pembahasan lafaz-lafaz dalam ilmu Ushul.[4] 4. Ayat-ayat
al-Qur'an tidak terkhusus pada masalah-masalah pewahyuan saja, kendati
kebanyakan ayat memiliki sebab-sebab pewahyuannya (sya'n nuzul) dan terkait
dengan keadaan tertentu akan tetapi juris mengeksplorasi ayat-ayat tersebut
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dimilikinya. Dan tidak memandangnya
sebagai ayat-ayat yang tanggal penggunaannya telah berlalu (expired); karena ia
menerima asas bahwa ayat-ayat tidak terkhusus pada kondisi tertentu dan apa
yang dijelaskan dalam lintasan ayat, sepanjang belum dianulir (nasakh)
bertautan dengan setiap ruang dan waktu. Dengan kata lain,
ayat-ayat al-Qur'an dan hukum-hukum yang diadopsi darinya adalah bersifat
universal. Meninjaunya secara kritis dan holistik akan menyebabkan mengemukanya
pembahasan "tetap (tsâbit) dan berubah (mutaghayyir)" yang dalam
bahasa Imam Khomeini Ra disebut sebagai peran ruang dan waktu dalam ijtihad. Adapun bagaimana
pembahasan "tsâbit dan mutaghayyir" ini mengemuka dan terkecualikan
pada sebagian kaidah teologis yang bersifat universal, tetapnya hukum-hukum dan
keberadaan hukum-hukum yang bercorak partikular diterima, merupakan
matlab yang memerlukan penjelasan lebih. Secara global persoalan
ini dapat dijawab bahwa hukum-hukum yang berubah dan kondisi-kondisi juga
secara umum bersumber dari hukum-hukum tetap dan universal; lantaran
hukum-hukum tersebut dikeluarkan berdasarkan kriteria-kriteria tetap dan dengan
memperhatikan kondisi tertentu serta tipologi persoalannya. Pembahasan "tsâbit
dan mutaghayyir" juga terdapat dalam ranah pemikiran fiqih para juris masa
lampau. Hukum-hukum yang berubah (mutaghayyir) secara global telah diterima,
namun lantaran umumnya hukum-hukum agama dalam pandangan mereka bersifat tetap,
dan mereka tidak ragu dalam berhadapan dengan hukum-hukum, apakah ia bersifat
tetap atau berubah. Dan kaidah yang menjadi parameter mereka adalah
"hukum-hukum agama yang bersifat tetap, kecuali yang menyelisihnya
ditetapkan."[5] Sumber untuk telaah lebih jauh: - Mahdi Hadavi Tehrani, Mabâni Kalâmi Ijtihâd. |