Top of FormOleh: Ayatullah Javadi
Amuli ra
"Manusia dalam segala sesuatu memiliki dua kewajiban;
satu kewajiban bersyukur dan satu kewajiban bersabar. Yang menjadi masalah
adalah jika manusia bersabar, bagaimana ia tidak sedih dan tidak gelisah
serta merasa senang dengan nikmat-nikmat Tuhan, dan jika ia merasa senang
dengan nikmat-nikmat Tuhan, bagaimana ia bersabar? Oleh karena itu, perlu di jelaskan bagaimana kedua hal ini
bisa dikumpulkan (di miliki secara bersama). Untuk menjawab permasalahan
tersebut bisa di katakan seperti ini, bahwa mungkin saja seseorang di nisbahkan
kepada sesuatu ia merasa senang dan juga merasa sedih. Misalnya, keberadaan
pabrik roti yang berdekatan dengan rumah kita, dari sisi asap dan suara mesin
pabrik yang selalu sampai ke mata dan memekakkan telinga kita, membuat
kita jengkel dan sedih, akan tetapi dari sisi kebutuhan kita dengan roti dan
denganya kita terbebas dari lapar, kita menjadi senang dan gembira." Pensucian akhlak dapat digambarkan dengan salah satu dari
tiga jalan berikut ini, dimana masing-masing jalan ini bagi setiap orang
tidaklah mudah. Jalan pertama: Adanya hubungan dengan seorang
ruhaniawan suci yang telah tersucikan jiwa dan akhlaknya. Dengan kekuatan jiwa
dan bimbingan paripurna, ia akan menjauhkan seluruh sifat jelek dan akhlak
buruk dari darinya. Dan hal ini tidak mungkin kecuali dengan inayah dan
pertolongan jiwa suci Wali Ashr Ajf. Jalan kedua: Yang mungkin bagi kita, meskipun berat dan
sulit adalah sekali dalam sehari semalam atau sekali dalam sepekan, kita
duduk merenungi dan memikirkan nikmat-nikmat Tuhan yang ada disekitar kita,
hingga dengan sendirinya(secara fitrawi) terbukti bahwa nikmat-nikmat Tuhan
mustahil untuk dapat dihitung. Hal ini bisa menyebabkan munculnya usaha yang
patut dan layak dalam mensyukuri nikmat-nikmat Tuhan. Namun, kesulitan
pada bentuk ini adalah ketidak sucian jiwa yang menjadi penghalang manusia
dalam mengikuti cara dan gagasan seperti ini, karena itu jalan ini pun adalah
sulit. Jalan ketiga: adalah dengan membentuk majlis-majlis nasehat
dan akhlak serta dengan dukungan kehendak jiwa yang kuat sembari mengingat
nikmat-nikmat Tuhan, kita kenalkan pendengaran hati kita pada hal-hal demikian
ini. Dan kondisi-kondisi ini butuh kesinambungan, karena itu jika
pengadaannya hanya sekali dalam sebulan atau sekali dalam setahun saja maka
tidak akan pernah mencapai hasil sebab jiwa kita mesti senantiasa di desak
untuk mengulangi bahasan-bahasan ini hingga menjadi kesenangan baginya.
Kesimpulannya, pemilik bashirah dapat mendapatkan nikmat agung ini melalui satu
di antara tiga jalan tersebut. Akan tetapi mereka yang ahli lalai, pekerjaan mereka pada
bagian ini sangatlah sulit, dimana dengan berkumpul dan mengikuti majlis-majlis
seperti ini tidak akan mengubah kondisi mereka dan juga tidak akan mengubah
sikap dan perbuatan mereka. Jalan untuk menyembuhkan orang-orang ini adalah
dengan mendesak mereka untuk memandang dan memperhatikan orang-orang di bawah
mereka, sehingga dengan demikian perlahan-lahan akhlak mereka bisa
diperbaiki. Karena jika seseorang senantiasa melihat kepada orang-orang di
bawah mereka maka dengan sendirinya mereka akan menjadi ridho dengan
nikmat-nikmat Tuhan yang telah diberikan padanya. Oleh karena itu, orang-orang
yang ingin mengambil faedah dari nikmat dalam kondisi senang adalah mereka yang
selalu berkunjung ke kuburan-kuburan dan merenungi kondisi orang-orang
yang telah meninggal dan menggambil ibrah(pelajaran) darinya. Mereka masuk ke
dalam taman kuburan serta tidur di dalamnya atau mereka mendatangi dan
mengunjungi orang-orang sakit yang tinggal di rumah-rumah dan yang ada di
pinggiran atau sudut-sudut jalan, dengan begitu mereka menjadi terbangun dan
sadar. Atau dengan mendatangi majlis orang-orang yang sedang mendapat musibah,
barulah mereka akan merasa senang dengan nikmat yang di dapatkannya. Maka dari
itu, keadaan orang-orang yang meninggal telah memudahkan dan membatu kita
untuk memikirkan amal dan perbuatan kita, sehingga dengannya kita sadar
untuk memperbaiki dan membersihkan akhlak diri kita masing-masing. Pada
dasarnya, manusia harus memandang kepada sesuatu yang lebih tinggi darinya
dalam urusan-urusan ukhrawi dan melihat kepada sesuatu yang lebih rendah dalam
urusan-urusan duniawi. Sebab, jika dalam urusan-urusan ukhrawi ia melihat
kepada yang lebih tinggi maka dengan sendirinya ia akan mengetahui(memahami)
dirinya pada tingkat amal dan perbuatan sebagai orang yang lalai dan bersalah,
dan hal ini bisa menjadi sebab kebaikan dan kebahagian bagi dirinya. Begitu
juga sebaliknya, dengan ia melihat kepada yang lebih rendah dari dirinya dalam
urusan-urusan duniawi maka ia akan merasa puas dan bersyukur dengan apa yang
telah diberikan Tuhan kepadanya, dan kondisi ini sendiri bisa menjadi sebab
bertambahnya nikmat, sebagaimana dalam riwayat: "Barang siapa yang dalam urusan dunia melihat kepada
yang lebih rendah dari dirinya dan dalam urusan agama melihat kepada yang lebih
tinggi, akan tertulis sebagai orang-orang yang bersabar dan juga dari
orang-orang yang bersyukur. Dan barang siapa yang dalam urusan duniawi melihat kepada
yang lebih tinggi darinya dan dalam urusan agama melihat kepada yang lebih
rendah dari dirinya, tidak akan tercatat sebagai orang-orang yang bersabar dan
bersyukur (sebab ia selalu dalam keadaan sedih dan gelisah "mengapa
kepunyaan mereka (orang lain) tidak saya miliki, mengapa kepribadian dan
kesejahteraan mereka tidak saya punyai)".[1] Oleh karena itu, ia tidak akan pernah ridho dengan nikmat
yang dimilikinya serta tidak akan mensyukurinya dan juga tidak akan mampu
bersabar, dan begitu pula dalam masalah agama, apabila ia telah mengerjakan
ibadah yang sedikit, ia akan beranggapan bahwa ia sudah memperoleh saham dari
surga. Sebab itu, ia bukan golongan orang yang sabar dan juga bukan golongan
orang yang bersyukur. Jika seseorang mengetahui, di antara hamba-hamba Tuhan
terdapat wali Tuhan dan sedang merencanakan bentuk-bentuk penyiksaan dan
gangguan padanya maka betapa ia sangat merugi, karena Tuhan berfirman:
"Barang siapa yang menghina wali (Tuhan) maka dia telah menghina-Ku." Manusia dalam segala sesuatu memiliki dua kewajiban; satu
kewajiban bersyukur dan satu kewajiban bersabar. Yang menjadi masalah adalah
jika manusia bersabar, bagaimana ia tidak sedih dan tidak gelisah serta
merasa senang dengan nikmat-nikmat Tuhan, dan jika ia merasa senang dengan
nikmat-nikmat Tuhan, bagaimana ia bersabar? Oleh karena itu, perlu di jelaskan bagaimana kedua hal ini
bisa dikumpulkan (dimiliki secara bersama). Untuk menjawab permasalahan
tersebut bisa di katakan seperti ini, bahwa mungkin saja seseorang di nisbahkan
kepada sesuatu ia merasa senang dan juga merasa sedih. Misalnya, keberadaan
pabrik roti yang berdekatan dengan rumah kita, dari sisi asap dan suara mesin
pabrik yang selalu sampai ke mata dan memekakkan telinga kita, membuat
kita jengkel dan sedih, akan tetapi dari sisi kebutuhan kita dengan roti dan
denganya kita terbebas dari lapar, kita menjadi senang dan gembira. Contoh lain adalah seorang dokter ketika ingin menyembuhkan
kita dari suatu penyakit, ia akan memberikan obat-obatan yang pahit dan berbau
tidak sedap dan pada saat meminumnya di karenakan tidak cocok dengan
kondisi natural kita, kita bersedih, akan tetapi di karenakan dengan
perantaraan itu penyakit akan hilang dari tubuh kita,maka kita akan merasa
senang. Pada akhirnya, nikmat dan musibah dalam tingkatan yang ada
tidak akan sampai pada suatu tingkat dimana ia berhenti atau berakhir dan yang
lebih tinggi dari itu tidak dapat dibayangkan, karena kekuasaan Tuhan tidak
memiliki akhir. Jika kita misalkan musibah itu mempunyai derajat atau tingkatan
dan seseorang sedang mengalami musibah tingkatan kesepuluh, dalam kondisi
itu, dari satu sisi akan menyenangkan dan dari sisi yang lain akan
menyedihkan, menyedihkan karena ia telah terjangkiti dan mengalami
musibah, tetapi menyenangkan karena musibah yang di alami tidak lebih tinggi
dari itu. Paling kecilnya bala` dalam agama (dibandingkan) dari paling
besarnya bencana dunia mempunyai derajat yang lebih penting sebab
sebesar-besarnya bencana dunia pada akhirnya akan berhenti dan berlalu akan tetapi
paling kecilnya bala` dalam agama baginya akan berkelanjutan. Sebagaimana dalam
sebuah kisah, seseorang menukilkan bahwa seorang pencuri mendatangi rumahku dan
membawa pergi seluruh harta yang ada, seseorang berkata kepadaku pergi dan
bersyukurlah dimana syaitan tidak datang(masuk) ke dalam rumah hatimu dan
membawa pergi imanmu, oleh karena itu bencana(musibah) ini juga menyebabkan
rasa senang dan gembira. Juga dinukilkan bahwa seseorang yang tidak
mempunyai tangan dan mata dalam suatu kondisi dimana sekumpulan lebah sedang
menyerang dan menyengat badannya yang luka, dengan semua ini ia
mensyukuri Tuhan dan berkata: Wahai Tuhanku sesuatu yang telah engkau berikan
kepadaku, kepada siapa juga engkau berikan! Orang-orang bertanya: Apa sesuatu
yang telah diberikan kepadamu dan kepada yang lain tidak diberikan-Nya? ia
berkata: sesuatu itu adalah iman!. Rasulullah saw bersabda; Terlaknatlah orang yang terlewatkan
baginya 40 hari dan kepadanya tidak turun bala` (musibah), para
sahabat berkata; Wahai Rasulullah, lalu mengapa bala` tidak sampai kepada kami?
kemudian Nabi saw berkata yang maknanya hampir seperti ini : "Meskipun
hanya sebatas tusukan dari sebuah duri atau jarum yang tertancap pada
badan, adalah juga termasuk bala` (musibah), oleh karena itu cepatnya
siksaan itu sendiri merupakan suatu nikmat. Bala` (musibah) itu sendiri adalah sebuah jalan menuju Allah
swt dan merupakan sumber kebahagiaan abadi. Dan yang di maksud dengan
kebahagiaan adalah sehatnya hati(kalbu) dalam merenung atau memikirkan
Tuhan serta kesuciannya dari segala sesuatu selain-Nya dan hal ini tidak bisa
dihasilkan kecuali dengan keikhlasan dalam niat dan amal. Dan oleh karena ia
telah sampai pada tingkatan ini keadaannya menyerupai keadaan sebuah emas
dan perak yang ia cairkan dan kemudian memisahkan ayar-nya (bahan pembanding untuk
mengetahui kadar kemurnian emas/perak–penj.) serta memurnikannya kembali dimana
selain emas atau perak tidak ada lagi sesuatu yang lain yang tersimpan di dalam
bute (suatu tempat khusus untuk menyimpan emas atau perak–penj.). Ikhlas dalam
perbuatan dan amal adalah kosongnya amal dari syirik dan riya` dan hanya untuk
Allah swt tidak untuk selain-Nya. Oleh karena itu segala bentuk ketidak
nyamanan (hal-hal yang tidak sesuai dengan tabiat seseorang) menjadi baik sebab
akan menyampaikan manusia kepada sebuah kebaikan dimana di dalamnya terdapat
banyak manfaat dan semakin banyak manfaat di dalamnya, semakin banyak pula
kesenangan atau kegembiraan. Dan mungkin hal ini pula yang menjadi alasan
dimana umumnya bagi para Auliya Ilahi, prinsip atau azas kehidupan
mereka ,kehidupan yang bermusibah(bala`i).Menghilangkan kebergantungan(rasa
cinta mendalam) adalah ketika seseorang sedang mengalami suatu kesedihan
mendalam namun pada saat yang sama seluruh perhatiannya hanya tertuju kepada
Allah SWT sebagaimana Imam Husein As. yang dalam kesyahidan putranya Ali Akbar
As. Berkata : Úáí ÇáÏäíÇ ÈÚÏß ÇáÚÝÇÁ Jika musibah (bala`) telah mengantarkan manusia pada makam
ini apakah masih ada sesuatu yang bisa di gambarkan lebih baik dari pada
musibah? Tidak…! akan tetapi hal ini tidak dimaksudkan bahwa kita mencari dan
menghendaki bala` dari Tuhan hingga di bawah bayang – bayang bala` tersebut
kita mendekatkan diri kepada-Nya dan hal ini adalah salah dan bahkan merupakan
suatu bentuk sikap mencampuri dihadapan Tuhan dimana kita meminta atau
menginginkan bala` dari-Nya. Sebagaimana dalam kondisi (kehidupan) para
Ma`sumin As. tidak kita temukan hal seperti ini dimana mereka menghendaki bala`
dari-Nya.Bahkan sebaliknya dengan bahasa dan kata-kata yang lembut mengharapkan
kebahagiaan dan keselamatan dari-Tuhan, sebagaimana dalam "Zadul
ma`ad" terdapat do`a dimana Ma`sumin As. setelah Tuhan dan seluruh
malaikatnya dengan para Nabi dan Rasul bersumpah dan berkata : "Wahai Tuhanku! janganlah membuatku berada dalam
bencana (bala`), namun jika engkau menjadikannya bagiku maka jadikanlah aku
orang yang bersabar dalam bencana tersebut akan tetapi jika engkau
menyerahkannya padaku tentang apa yang aku inginkan dari-Mu akan kukatakan;
keselamatan adalah lebih baik dari bencana (bala`)." Sebagaimana halnya seorang Imam tidak pernah meminta
bala`dari Tuhan apalagi mereka yang bukan Imam, akan tetapi sebahagian
masyarakat dalam hal ini bersifat tidak sopan dimana hal itu hanya
mengkhikayatkan kelalaian mereka, seperti seseorang yang berkata "Wahai
Tuhanku dalam mencintaimu sungguh aku rela engkau jadikan jembatan
jahannam dan seluruh makhluk berlalu di atasku dan kemudian aku terjatuh di
dalamnya" Maka dari itu sifat ini adalah suatu kekurangan yang mana
jika sifat tersebut adalah sebuah kesempurnaan maka tentu saja para Imam suci
kita pun mesti memilikinya. Namun dalam kenyataannya mereka (para Imam)
tidaklah seperti itu bahkan mereka senantiasa memohon keselamatan dari Tuhan
,dan alasan lainnya adalah kata-kata sejenis ini hanya terdapat pada bagian
kecintaan yang besifat majazi dimana ketika pecinta berada dalam kondisi zyauq
(sangat cinta) dan rela menjadi tumbal bagi yang di cintainya, kata-kata
semacam ini tidak membingungkan sebab ketika ia menjadi sadar kondisi seperti
itu akan hilang dan keadaan langka ini sangat jarang terjadi di masyarakat
dan mungkin sepanjang hidup seseorang hanya terjadi sekali saja, itu pun
seperti arus listrik yang menghentak dan kemudian berlalu dengan begitu
cepat dan munculnya keadaan seperti itu bagi manusia adalah suatu sifat
sempurna dan juga merupakan kekurangan, sempurna dari sisi bahwa kondisi itu
adalah keadaan yang paling baik dan merupakan derajat atau kenikmatan
tertinggi dimana kelezatan yang lebih tinggi darinya tidak bisa di bayangkan
tetapi kondisi itu juga merupakan suatu kekurangan dari sisi bahwa ia berlalu
dengan begitu cepat dan kemudian menghilang. Dan setiap kali keadaan seseorang
mencapai tingkatan ini maka apapun yang di ungkapkannya ia katakan dengan lisan
yang di cintainya,apapun yang di dengarkannya ia dengarkan dengan telinga
yang di cintainya dan apapun yang di lakukannya ia lakukan dengan kehendak yang
di cintainya bahkan segalanya hanyalah dia(yang di cintainya) dan tidak ada
sesuatu selainnya. Inilah makna ketertarikan dan fana` sebagaimana makna
ini juga bisa terjadi pada hal-hal selain Tuhan,seperti halnya ketika di
katakan: "Di karenakan rusa sedang menyaksikan keagungan dan
kewibawaan sang singa ia menjadi lupa dengan dirinya dan dengan kecepatan
tinggi berlari kearahnya dan perginya ini tidak dengan ikhtiyar atau
kehendaknya melainkan dalam kehendak sang singa seperti sebuah mahnet dimana
ia di tarik kearahnya dan kemudian terkendalikan dengan
kekuatannya". Oleh sebab itu,karena ikhtiyar dan kehendak manusia senantiasa
terbungkus dalam kehendak Tuhan maka pada saat itu perbuatan dan amal-amalnya
menjadi perbuatan dan amal-amal Ilahiyah dan kondisi-kondisi seperti ini
mendapatkan sumbernya dari cinta. hasil dan kesimpulan dari mukadimah-mukadimah
ini yaitu: bahwa dalam bagian suatu musibah (bala`) atau perbuatan seseorang
sangat mungkin adanya untuk sampai pada suatu makam atau kondisi dimana tidak
ada lagi kenikmatan yang lebih tinggi darinya.[] Di terjemahkan oleh Ali Imami, dari buku : Dars ha-e
Akhlak [1] Al-Mahajjatul Baidhâ, 7,
hal. 220. |