Bijakkah Kita Memandang Ilmu Pengetahuan?Deprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 PENDAHULUAN
Perkembangan peradaban manusia jauh lebih cepat dibandingkan
dengan makluk lainnya di dunia ini. Sejak kelahirannya di dunia manusia terus
berkembang dan mengembangkan dirinya demi mencapai kenikmatan, kesenangan,
kesejahteraan, dan berbagai keindahan hidup lain, yang bisa jadi tidak pernah
dinikmati oleh binatang, atau makluk lain ciptaan Allah SWT. Peradaban yang
terus berkembang pada dasarnya didorong oleh hasrat manusia yang tidak pernah
puas dengan apa yang dimilikinya. Manusia selalu ingin mendapatkan lebih dari
apa yang dimiliki. Hasrat ini, disatu sisi mendorong manusia untuk terus
berusaha melakukan perubahan dan menemukan hal-hal baru, namun di sisi lain
sering mendorong manusia terjerumus ke dalam “jurang” yang tidak berujung. Peradaban manusia pada hakikatnya adalah hasil dari proses
upaya manusia untuk menemukan sesuatu yang baru untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Berbagai upaya yang dilakukan manusia berbeda, karena tuntutan
kebutuhan yang berbeda. Bisa juga perbedaan tersebut diakibatkan oleh cara dan
proses yang dilakukan antara satu manusia dengan manusia lainnya berbeda.
Justru perbedaan inilah yang menghasilkan dan memperkaya peradaban manusia
tersebut. Salah satu wujud peradaban manusia yang sangat cepat
berkembang adalah dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan
pada bidang ini selain mendorong dirinya untuk berkembang juga mendorong bidang
lain untuk terus juga ikut berkembang, seperti kemajuan dalam bidang teknologi
komunikasi dan informasi yang sangat mengagumkan. Sama halnya dengan bidang
lain, sudah menjadi sunatullah, bidang inipun dalam perkembangannya beragam dan
bervariasi. Keberagaman ini disebabkan oleh banyak factor diantaranya
disebabkan oleh cara, proses, asal-usul, dan hubungannya (epistemology)
(Al-Hussaini, 2007) dengan manusia dalam mengembangkan ilmu dan pengetahuan
yang menjadi minat dan perhatiannya yang juga berbeda. Masing-masing bidang tentu memberi dampak dan manfaat yang
berbeda bagi kehidupan manusia; masing-masing memberi kepuasan dengan jenis dan
tingkat yang berbeda. Sehingga satu bidang ilmu pengetahuan dan teknologi tidak
bisa mengklaim bahwa hanya bidangnyalah yang paling benar, paling bermanfaat,
dan paling penting dalam kehidupan manusia. Dalam hal ini diperlukan
keterbukaan sikap pada setiap individu yang mengembangkan suatu bidang atau
disiplin ilmu pengetahuan dan teknologi dan memperhatikan prinsip holistik
dalam upaya mencari kebenaran ilmu yang diusungnya. PERBEDAAN KESADARAN
Keragaman dan perbedaan antara satu pengetahuan dengan
pengetahuan lain sering bertentangan atau dipertentangkan. “Pertentangan”
antar-ilmu pengetahuan ini disebabkan karena cara, proses, dan sumber
(epistemology) ilmu pengetahuan sendiri yang berbeda memang tidak bisa
dihindari. Dilihat dari sumbernya, berbagai kategori telah berkembang, seperti
sumber ilmu pengetahuan yang berasal dari barat dan timur, ilmu pengetahuan
tradisional dan modern, dan kategori lainnya. Sumber ilmu pengetahuan barat
yang berasal dari proses pemikiran yang rasional dan empiris, berbeda dengan
sumber ilmu pengetahuan timur yang berasal dari intuisi dan wahyu; Sebagai
contoh, teori kepribadian barat yang dinilai bersifat relatif dan tidak mutlak,
berbeda dengan teori sufis dari timur yang dinilai bersifat mutlak. “Pertarungan” antarkedua kutub terus berlangsung,
masing-masing merasa yang paling benar. Hal ini disebabkan oleh karena kedua
“kutub” masing-masing menggunakan terminology dan indicator yang berbeda dalam
menentukan kebenaran dari ilmu yang dikembangkannya. Teori kepribadian sufis,
misalnya, menilai dirinya sebagai teori yang universal karena tidak dibatasi
oleh ruang dan waktu, dan dapat diterjemahkan ke dalam realitas kehidupan.
Sedangkan teori saintifik modern lebih terbatas oleh waktu, tertutama bila
tidak didukung oleh penemuan-penemuan terbaru. Para filosof Islam, misalnya, meyakini bahwa Islam memiliki
sejumlah pilar utama dalam pencarian kebenaran (epistemologi), salah satunya
adalah tasawuf. Aspek epistemologi Islam ini dapat dijadikan sebagai alternatif
di jaman modern ini dimana kebanyakan manusianya telah dikuasai oleh hegemoni
paradigma ilmu pengetahuan positivistic-empirisme dan budaya barat yang
materialitik dan sekularistik. Al-Hussaini menilai bahwa filsafat pengetahuan
barat yang hanya menilai keabsahan ilmu pengetahuan semata-mata yang bersifat
induktif-empiris, rasional-deduktif, dan pragmatis, serta menafikkan atau
menolak ilmu pengetahuan non-empiris dan non-positivisme, merupakan suatu
masalah yang akut. Karena pada saat paradigma ini berhasil menemukan cabang
disiplin suatu ilmu, maka penemuannya sering mereduksi sebuah kenyataan menjadi
hanya kumpulan fakta dan bersifat material. Adam Smith, misalnya, pada saat
bicara teori ekonomi, ia bicara tentang prinsip “mekanisme pasar”, dan Charles
Darwin dalam biologi berbicara tentang “mekanisme evolusi”. Jelas ini
menampikkan peran Penguasa, Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah mengatur seluruh
sendi kehidupan manusia. Dengan kata lain, paradigam mekanistik-materialistik telah
mengesampingkan Tuhan dari wacara keilmuan dan mempromosikan sekularisme
(Al-Hussaini, 2007) Kondisi, sebagaimana yang digambarkan di atas, mendorong
digunakannya berbagai cara, proses dan sumber ilmu (epistemologi) yang
menyeluruh (holistik) dan komprehensif. Dengan demikian, maka pengembangan
epistemology berwawasan holistik akan kebenaran pengetahuan selalu bersifat
intersubjektif, dimana keberadaan suatu ilmu tidak direduksi ke dalam satu
aspek kebenaran dan kepastian tertentu saja. Hal ini sejalan dengan esensi dari
epistemologi, yaitu suatu usaha membiarkan pikiran untuk mencapai pengenalan
akan esensinya sendiri, dan berusaha mengekspresikan dan menunjukkan kepada
dirinya sendiri tentang dasar-dasar kepastian yang sifatnya utuh, kokoh, dan
holistik (Watloly, 2001) KEBENARAN PENGETAHUAN YANG RELATIF
Prinsip holistik bermaksud menunjukkan bahwa pengetahuan
mempunyai sifat analogis. Kehadiran pengetahuan tidak dinyatakan secara sama,
misalnya pengetahuan di dalam persepsi indrawi tidak sama seperti pengetahuan
abstrak atau pengalaman moral. Karena panca indra manusia yang merupakan
satu-satunya alat penghubung manusia dengan realitas eksternal terkadang atau
senantiasa melahirkan banyak kesalahan dan kekeliruan dalam menangkap objek
luar. Kesadaran tidak bersifat subjektif murni, tetapi memiliki keterarahan
kepada yang lain yang bukan-diri yang sesungguhnya dan mempunyai tingkat
kejelasan yang berbeda. Para saintis umumnya cenderung memaksakan adanya suatu jenis
epistemology tertentu yang benar-benar pantas disebut pengetahuan. Mereka
menekankan adanya jaminan metode dan ukuran kebenaran tertentu saja yang dapat
menentukan ketepatan dan kejelasan suatu kebenaran ilmiah. Hal ini berakibat
pada sikap yang cenderung menolak kebenaran lainnya dan hanya memandangnya
sebagai sesuatu yang mendekati kedudukan ilmiah (Greg Soetomo, 1995: 14). Cara
demikian ini sangat tidak memadai karena untuk menghasilkan suatu definisi yang
pasti dan tetap mengenai pengetahuan adalah hal yang tidak mungkin. Pengetahuan manusia selalu bersifat dialogis. Sifat analog
dalam pengetahuan mensyaratkan bahwa sifat awal yang tepat bagi ilmuwan adalah
kerendahan hati di dalam menghadapi pengalaman dengan sikap keterbukaan total. Prinsip holistik mensyaratkan bahwa dibutuhkan sikap kehati-hatian
dalam rangka mencari pernyataan-pernyataan epsitemologis yang lebih pasti.
Tidak ada kebenaran yang sifatnya mutlak dalam setiap pernyataan pengetahuan
yang bersifat reduksi sektoral, walaupun adalah hak setiap orang untuk membuat
pernyataan atau penegasan. Tidak ada kebenaran dan kepastian yang sifatnya
“exemplaris” (tidak selamanya A=A, bersifat analog bukan univok), sebab
kebenaran dan kepastian itu penuh nuansa dan membangun perspektif. Dalam filsafat ilmu, kita mengenal tiga macam kebenaran, yaitu:
(1) kebenaran deduktif atau bisa disebut juga kebenaran
subjektif/otoritatif/deklaratif; (2) kebenaran naratif atau transmisif; (3)
kebenaran induktif atau objektif/konklusif. Tiga jenis kebenaran ini bisa
berkaitan namun tak bisa dicampuradukkan. Sedangkan dalam epistemology Islam,
konsep kebenaran ilmu pengetahuan di samping mencakup kebenaran korespondensi,
koherensi dan pragmatisme, juga yang bersifat spiritual-ilahiyah. Artinya
sumber ilmu pengetahuan, selain mungkin didapat melalui akal rasional, dan
empiris inderawi (observasi) juga niscaya didapatkan dan diperkuat melalui
petunjuk wahyu (kitab suci), pelajaran sejarah, latihan-latihan ruhani,
penyaksian dan penyingkapan ruhaniyah. Seperti kata Jalaludin Rumi, seorang
sufi agung, kaki rasionalisme semata adalah kaki kayu yang rapuh untuk meraih
ilmu pengetahuan dan kebenaran (Al-Hussani, 2007) Prinsip holistik menunjukkan bahwa karena isi pernyataan
muncul dari sisi eksistensi dan eksistensi bersifat analog, maka sifat
pengetahuan pun harus analog. Dibutuhkan kerendahan hati dan keterbukaan total
karena setiap objek persepsi tidak dapat hadir secara tepat sama (univok). Hanya dengan kesadaran moral, orang dapat mengenali
kesalahan moral. Hanya kesadaran estetiklah yang dapat menyadari kesalahan estetik
dan seterusnya. Epistemologi, pada hakikatnya, merupakan ekspresi reflektif
diri pribadi atau pengalaman pribadi yang perlu pemurnian terus menerus tanpa
melenyapkan nilai epistemologisnya. Penegasan ini sekaligus menunjukkan bahwa
elemen pokok dalam proses pemurnian pengetahuan adalah dialog antarbudi. PERLUNYA KERJA SAMA Prinsip holistik dalam pengembangan ilmu mensyaratkan
perlunya kerja sama antarberbagai jenis epistemology yang sifatnya khusus.
Melalui kerjasama akan diperoleh ilmu yang lebih baik, karena masing-masing
epistemologi akan memberikan kontribusinya dan saling mengisi. Menurut hakikat
dan strukturnya sebagai pengetahuan ilmiah atau “ilmu” (scince) maka
pengetahuan (jenis-jenis epistemology yang sifatnya khusus) harus bersifat
terspesialisasi. Kemajemukkan dan keanekaragaman aspek kemanusiaan
mengisyaratkan perlunya kerja sama antara semua jenis epistemologi khusus
karena semuanya saling terkait dan saling membutuhkan. Van Melsen selanjutnya
menekankan bahwa spesialisai dalam ilmu pengetahuan (jenis-jenis epistemology
yang khusus) biasanya terjadi karena ilmuwan membatasi diri pada satu wilayah
tertentu saja. Setiap jenis epistemology khusus berbeda satu sama lain karena
menggunakan metode atau cara pandang (objek formal)-nya masing-masing yang
sangat berlainan untuk menyelidiki, melukiskan, dan mengerti realitas manusia
sebagai objek material. Akibatnya masing-masing melakukan observasi dan
eksperimen yang berbeda-beda terhadap objek material yang umumnya sama yaitu
pada manusia. Prinsip holistik bermaksud menjelaskan bahwa keanekaragaman
epistemology itu penting dalam rangka saling memperkaya untuk menciptakan iklim
kesatuan dalam berbagai jenis epistemology. Seandainya jenis-jenis epistemology
yang beraneka ragam itu memetakan sebagian realitas, maka hanya perlu
menggabungkan peta-peta itu supaya dapat diperoleh tujuan yang mencakup seluruh
realitasnya. Alasan yang kuat bagi epistemology untuk dikembangkan secara
menyeluruh (holistik) karena terdapat sesuatu yang sifatnya bersama yang terdapat
diantara jenis-jenisnya yang khusus. Dalam filsafat Islam permasalahan epistemologi tidak dibahas
secara tersendiri, akan tetapi, begitu banyak persoalan epistemologi dikaji
secara meluas dalam pokok-pokok pembahasan filsafat Islam, misalnya dalam pokok
kajian tentang jiwa, kenon-materian jiwa, dan makrifat jiwa. Dengan demikian
proses kerjasama benar-benar diperlukan. Ilmu-ilmu yang dimiliki oleh manusia
berhubungan satu sama lain, dan tolok ukur keterkaitan ini memiliki derajat
yang berbeda-beda. KEUTUHAN PENGETAHUAN MANUSIA Prinsip holistik juga mengakui bahwa betapa pun besarnya
kemampuan bidang pengetahuan eksakta dengan teknologinya, tetap tidak dapat
merangkum dan mencakup seluruh pengalaman manusia. Karena masing-masing bidang
memiliki fokus, proses, dan sumber kajian yang berbeda. Pengetahuan, rasa
citranya, perasaan terhadap keindahan, cinta dan kasih sayang, serta rasa harga
diri manusia secara utuh tidak dapat dirangkum secara eksak. Ini menunjukkan
tidak ada satupun bidang pengetahuan yang sempurna dan komprehensif. Masing-masing
memiliki karakteristik sendiri, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Masalah yang dihadapi manusia sangat kompleks, beragam baik
jenis maupun tingkat kesulitannya. Oleh karena itu, setiap masalah manusia
tidak dapat diselesaikan oleh salah satu disiplin secara sendiri-sendiri,
apalagi hal itu dilakukan secara otonom, tertutup, dan terspisah dari disiplin
lainnya. Prinsipnya, harus diberi tempat yang wajar untuk semua bidang
pengetahuan kemanusiaan dengan sumbangsihnya sendiri, baik dalam hal objek
maupun dalam hal metode. Keutuhan pengalaman manusia harus ditemukan kembali
dan diteliti secara ilmiah. Dengan kata lain untuk mengatasi berbagai
permasalahan yang dihadapi umat manusia diperlukan kerjasama antardisiplin ilmu
yang dikembangkan dengan menggunakan epistemologi dan kebenaran yang beragam. KESIMPULAN
- Perkembangan peradaban umat manusia didorong oleh adanya
perkembangan ilmu pengetahuan yang beragam baik jenis maupun lingkupnya.
Keragaman ilmu pengetahuan tersebut diakibatkan oleh fokus, proses, dan cara
pengembangannya yang berbeda, dan dikembangkan untuk mengatasi masalah hidup
manusia yang juga berbeda. Kondisi ini justru menghasilkan peradaban manusia
menjadi lebih beragam dan kaya. - Perkembangan ilmu yang beragam menghasilkan bipolaritas
dalam ilmu itu sendiri. Pengkategorian ilmu tidak bisa dihindari, seperti
sumber ilmu pengetahuan yang berasal dari barat dan timur; ilmu pengetahuan
tradisional dan modern; ilmu yang bersifat induktif-empiris, rasional-deduktif,
dan pragmatis. - Aspek epistemologi Islam mengingatkan bahwa di jaman
modern ini kebanyakan manusia telah dikuasai oleh hegemoni paradigma ilmu
pengetahuan positivistic-empirisme dan budaya barat yang materialistik dan
sekularistik, serta menampikkan peran Penguasa, Tuhan Yang Mahakuasa, yang
telah mengatur seluruh sendi kehidupan manusia. - Kemajemukan dan keanekaragaman karakteristik hidup dan
kehidupan manusia, memerlukan ilmu yang berbeda yang saling bekerja sama secara
komprehensif. DAFTAR PUSTAKA
* Ahmad Y. Samantho al-Hussaini, Tasawwuf Sebagai
Epistemologi, * Watloly, Aholiab. Tanggung Jawab Pengetahuan. Jakarta:
Kanisius, 2001 * Amhar, Fahmi. Penelitian, Kebenaran dan Kreativitas dalam
Paradigma Islam. http://famhar.multiply.com * Rohmat. Pendekatan Islam Dalam Ilmu Ekonomi: Tinjauan
Beberapa Alasan Krusial. http://www.rohmat.web.id * Isyraq. Epistemologi; Teori Ilmu Pengetahuan
http://isyraq.wordpress.com [Sumber: Tarbiyah-uin.blogspot.com] |