APOKALIPTISISME DAN TEOKRASI AMERIKA (2)Deprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Abdul Hadi W. M.
Tidakkah kau lihat pemerintahan demokrasi di Barat Yang kelihatan cerah? Namun kalau dijenguk lebih mendalam Jiwa mereka sebenarnya lebih kelam dari Jengis Khan (Iqbal dalam “Parlemen Setan” 1933) Dalam lebih tiga dasawarsa terakhir sejak berkobarnya Perang
Arab-Israel 1967, banyak sekali buku diterbitkan di Amerika Serikat berkaitan
dengan latar belakang sejarah dan agama dari krisis Timur Tengah yang tidak
pernah usai hingga kini. Dua di antaranya yang mengundang perdebatan ramai
ialah karangan bersama J. F. Walvoord dan putranya J. E. Walvoord, Armageddon:
Oil and Middle East Crisis (Grand Rapids MI: Zondervan, 1974) dan karangan
Kevin Philips, American Theocracy: The Peril and Politics of Radical Religion,
Oil, and Borrowed Money in the 21st Century (New York: Viking, 2006). Buku yang
pertama, walaupun bukan mengenai eskatologi apokaliptik dalam arti sebenarnya,
tetapi titik tolak pembahasannya mengacu pada ramalan Bibel tentang perang
besar pada akhir zaman di Megido (Armageddon), yaitu di bumi Palestina yang
diduduki Israel sekarang. Pengarang buku itu mengatakan bahwa kekuatan yang dimiliki
bangsa Arab disebabkan kekayaan minyaknya suatu ketika akan membuat kekuatan
global beralih dari AS dan Rusia (dulu Uni Sovyet) ke Timur Tengah. Dengan
senjata minyaknya itu Dunia Arab akan mampu menekan Israel untuk menanda
tangani perjanjian damai yang sifatnya permanent. Tetapi hal itu hanya mungkin
jika di kalangan bangsa Arab muncul pemimpin yang kuat dan kharismatik yang
mampu menyatukan bangsa Arab dan solidaritas Islam. Apabila hal itu memang
terjadi tentu tidak dikehendaki oleh Amerika dan Rusia. Oleh karena itu kedua
negara digjaya itu akan mengerahkan seluruh kekuatan politik, ekonomi, militer,
dan budaya untuk mencabik-cabik dunia Arab. Buku kedua lebih penting, karena berkaitan dengan kebijakan
Timur Tengah dari pemerintahan Bush, yang pada masa akhir jabatannya melahirkan
Tragedi Gaza. Di Indonesia buku ini sesaat diperdebatkan dalam harian Republika.
Namun sayang perdebatan itu tidak menyentuh masalah yang mendasar sebagaimana
disarankan oleh judul buku tersebut. Karangan ini mencoba membahas hal mendasar
dan substansial dari buku ini. Buku ini dapat dipercaya karena penulisnya
pernah menjadi ahli strategi politik Partai Republik selama lebih dua
dasawarsa. Diperkuat lagi dengan pengetahuannya yang luas mengenai sejarah
agama di Amerika. Ini semua memungkinkan Kevin dapat menjelaskan banyak hal
berkaitan dengan pemerintahan Bush. Khususnya pengaruh pandangan kaum
fundamentalis Protestan terhadap politik luar negeri AS di Timur Tengah, yang
di daamnya Bush merupakan tokohnya yang terkemuka. Ada tiga hal saling terkait dibahas oleh Kevin Philips dalam
bukunya itu. Pertama, peran AS sebagai pemimpin terdepan ‘imperialisme minyak’
( petro imperialism) dan akibat-akibatnya terhadap perdamaian dan tatanan dunia
beradab. Kini rakyat Amerika sendiri merasa gerah dengan peran negaranya
sebagai imperialis minyak. Persoalannya AS harus menempat ribuan tentaranya di
berbagai penjuru dunia yang dianggap strategis dalam rangka mengamankan suplai
minyak. Untuk itu diperlukan biaya yang besar dan sukar diramalkan sampai kapan
dapat dipertahankan. Runtuhnya supremasi Inggris setelah Perang Dunia I sebagai
negara adidaya di dunia ketika itu, disebabkan oleh terlalu besarnya biaya yang
harus dikeluarkan negara itu selaku polisi dunia. Kedua, Philiips menguraikan panjang lebar kuatnya pengaruh
fundamentalis Kristen yang radikal dalam pemerintahan Bush. Motif serbuan AS
menduduki Afghanistan dan Iraq, dukungan penuhnya kepada Israel, dan ancamannya
terhadap Iran, serta kegalauannya atas kehadiran kelompok perlawanan seperti
Hamas di Palestina dan Hizbullah di Libanon, tidak hanya disebabkan keinginan
menguasai minyak dunia. Motif lain yang tersembunyi bersifat keagamaan, yaitu
keinginan untuk mewujudkan “impian apokaliptik” yang melekat dalam dogma
Kristen fundamentalis. Ketiga, kebijakan neo-liberal dalam ekonomi yang diterapkan
sejak masa pemerintahan Reagan telah menyebabkan krisis keuangan. Salah satu di
antaranya ialah keleluasaan menggunakan kartu kredit walaupun penggunanya tidak
memiliki uang. Contoh lain ialah macetnya kredit perumahan yang menyebabkan
bank-bank besar kelabakan dan memicu krisis keuangan global. Dari tiga hal itu, masalah yang berkaitan dengan ‘impian
apokaliptik’ AS menguasai Timur Tengah dan Dunia Islam yang belum banyak
dibahas di Indonesia. Terhadap masalah inilah karangan kecil ini akan
dipusatkan. Palestina dan Apokaliptisisme
Kata-kata ‘apokaliptik’ (apocalyptics), berasal dari kata
Yunani apokaluptein yang berarti wahyu, penyingkapan, atau yang disingkapkan
melalui pewahyuan. Apa yang disingkapkan itu ialah tanda-tanda datangnya akhir
zaman berupa kejadian-kejadian dahsyat dan kerusakan besar disebabkan ulah Sang
Perusak yang disebut Antichrist (orang Islam menyebutnya Dajjal). Untuk
menyelamatkan umatnya yang beriman Isa Almasih akan turun dan memulihkan
kembali kerajaan Tuhan di muka bumi dengan Yerusalem sebagai ibukotanya. Bukit Zaitun di Palestina diyakini sebagai tempat pemunculan
kembali Isa Almasih. Sebagai Messiah atau Juru Selamat, Almasih akan turun jika
Antichrist muncul dan membuat kekacauan di seantero dunia. Aliran paling
radikal yang disebut “post-milleniarisme” percaya bahwa kedatangan Antichrist,
dan demikian juga Almasih, bisa diusahakan dengan membuat kekacauan di negeri
yang menjadi tempat turunnya Isa Almasih. Menjelang akhir zaman, menurut
keyakinan ini, Perang besar antara bala tentara Antichrist dan Isa Almasih
diramalkan akan meletus di Megido atau Armagedon, Palestina. Antichrist akan
dikalahkan dan orang-orang Yahudi yang insaf akan berbondong-bondong memeluk
agama Kristen. Kita tahu Yerusalem pernah diduduki pasukan Perang Salib I pada
akhir abad ke-11 M, namun dalam Perang Salib II awal abad ke-12, pasukan kaum
Muslimin di bawah pimpinan Sultan Salatin dapat merebutnya kembali dan
menguasainya hingga berakhirnya Perang Dunia II. Berbeda dengan apokaliptisisme Yahudi. Rabi-rabi Yahudi
yakin bahwa Yerusalem kelak menjadi ibukota Israel, kerajaan yang dijanjikan
Tuhan untuk bangsa Yahudi sebagaimana dituturkan oleh nabi-nabi mereka. Impian
itu telah tertanam dalam jiwa bangsa Irsael sejak abad ke-6 SM, namun belum
kunjung terealisir sehingga mereka berusaha menduduki dan menguasai Yerusalem.
Pada tahun 1967 pare arkeolog Israel menemukan batu besar di dekat Masjid
al-Aqsa yang mereka yakini sebagai bekas fundamen Kuil Sulaiman I. Kini Israel
menggali terowongan menuju Masjid al-Aqsa untuk mencari fundamen bekas fundamen
Kuil Sulaiman II. Mereka yakin jika kuil Sulaiman dapat dibangun kembali,
Mesiah mereka akan turun ke bumi untuk membantu bangsa Yahudi mendirikan
kerajaan Israel di tanah yang telah dijanjikan. Jika dikaitkan dengan kata-kata yang selalu diulang Bush
dalam pernyataan-pernyataan politiknya, seperti crusade (perang salib), axis of
evil (poros Iblis) dan Islamic fascist (fasis Islam), akan jelas bahwa semua
itu berhubungan dengan kepercayaam apokaliptik atau apokaliptisisme yang hidup
di kalangan kelompok-kelompok fundamentalis Kristen dan Yahudi. Kata-kata
Perang Salib (crusade) adalah sebutan yang diberikan oleh pemimpin Eropa
sendiri pada abad ke-11 M, karena motif merebut Yerusalem itu memang bersifat
keagamaan yaitu merebut tanah suci Yerusalem dan Salib suci yang ada di kota
itu. Yang diperangi oleh penduduk Muslim dan Yahudi. Sedangkan lawan perangnya,
tentara Dinasti Saljuq, tidak pernah menyebut perang tersebut sebagai perang
agama kecuali kemudian ketika motif keagamaan dari perang itu memang kelihatan
dengan nyata. Sedangkan istilah fasis Islam digunakan untuk mendustai sejarah
seakan-akan orang Islamlah yang berperan dalam holocaust dan diaspora bangsa
Yahudi. Bahwa Bush seorang fundamentalis Kristen yang fanatik,
sebenarnya masyarakat AS sudah lama tahu. Kevin Philips menggambarkan bahwa
presiden AS yang sebentar lagi akan lengser itu adalah anggota jemaah Gereja
Southern Baptist Convention, sebuah gereja yang semula tidak begitu menonjol di
Amerika. Sampai tahun 1980an keberadaannya kalah menonjol misalnya dibanding
Gereja Advent, Mormons, Pantekosta, dan Presbyterian. Semua gereja ini
masing-masing telah pula melahirkan kelompok-kelompok fundamentalis yang
militan dan radikal. Tetapi setelah Bush memegang tampuk pemerintahan, gereja
yang berpusat di selatan itu tumbuh menjadi gereja Protestan terbesar di
Amerika. Dari kalangan radikal gereja inilah lahir para penginjil (evangelist)
yang radikal dan fundamentalis. Mereka sangat giat dalam kehidupan politik,
khususnya dalam menghimpun dana dan dukungan bagi pencalonan Bush dalam
kampanye pemilihan presiden AS 1998. Sejak itulah keberadaan gereja ini dikenal
luas dan jumlah jemaahnya bertambah besar melebihi gereja Protestan lain. Gereja ini juga giat mengirim para misionaris ke
negeri-negeri kaum Muslimin setelah 1998, khususnya ke daerah-daerah yang
bergolak seperti Iraq, Afghanistan, Indonesia, dan Sudan. Kelompok radikal
dalam gereja menyebut aliran keagamaan mereka sebagai reconstructionism. Mereka
berpendapat bahwa pemisahan negara dari gereja merupakan mitos dan salah besar
dilihat dari sudut doktrin Kristiani. Mereka bercita-cita mendirikan negara
teokrasi ala Taliban di Afghanistan dalam bentuk lain. Mereka inilah yang
berhasil menjadikan Southern Baptist Convention menjadi gereja paling menonjol
di AS dalam dasawarsa 90an, aktif menggalang dukungan untuk pemilihan Bush
sebagai presiden. Kedekatan Bush dengan kelompok ini telah lama terjalin, yaitu
sejak Bush menjadi gubernur Florida. Sebelum Bush menjadi presiden, kelompok rekontruksionalis
ini kurang dikenal oleh masyarakat AS, apalagi kesungguhan ikhtiarnya untuk
mewarnai kehidupan politik. Tetapi melalui kegiatan yang digerakkan oleh para
penggiatnya yang militan dan berduit, beserta jaringan organisasi dan medianya
seperti Theocracy Watch, the Public Eye, the First Amandment Foundation,
majalah Church & State, organisasi American United for Separation of Church
and State, kiprah mereka lantas dikenal oleh khalayak luas. Dalam mempengaruhi
pemerintahan Bush, kelompok ini tidak melakukannya secara langsung. Tetapi
melalui perantaraan lembaga-lembaga gereja seperti Southern Baptist Convention
sendiri, serta lembaga-lembaga Protestan lain seperti the Assemblies of God,
Promise Keepers, the Christian Broadcasting Network, the Christian Coalition,
Council for National Unity, dan lain sebagainya. Kaum rekonstrukionis menentang aborsi dan perkawinan sejenis
(pasangan lesbian atau homo). Mereka menghendaki pelajaran agama (Kristen
Protestan) dihidupkan kembali di sekolah umum dengan tujuan menyadarkan
masyarakat akan kelarasan (relevansi) hukum Tuhan yang diajarkan Bibel. Pada
tahun 2004 mereka menguasai kepemiminan Southern Baptist Convention. Arah
kebijakan luar negeri AS ternyata memang ikut dipengaruhi oleh pandangan
kelompok rekonstruksionis ini. Bahkan dapat dikatakan bahwa Bush merupakan
jurubicaranya yang paling lantang. Bukti kuatnya pengaruh kepercayaan apokaliptik kepada Bush
telah dikemukakan. Kosa kata ‘poros Iblis’ dan lain-lain berakar dalam
pemikiran apokaliptik mereka. Tidak hanya itu, adalah berkat kegiatan kelompok
ini maka kepercayaan apokaliptik kian berkembang dalam masyarakat Amerika.
Kejadian-kejadian di dunia bakda Perang Dingin ikut memperkuat keyakinan ini di
kalangan penduduk Amerika, tidak hanya di kalangan penganut Protestan. Mereka yakin
bahwa Isa Almasih atau Yesus Kristus yang merupakan juru selamat akan hadir
kembali pada awal millenium keetiga atau abad ke-21. Sampai sekarang tidak sedikit orang Kristen meyakini hal
itu. Menurut poll yang dibuat majalah Newsweek pada tahun 1999, tidak kurang
dari 18 prosen penduduk AS yang dewasa (36 juta) meyakini ramalan tersebut.
Karena itu tidak mengherankan apabila pada tahun 1999 ratusan orang Kristen
dari berbagai penjuru dunia, terbesar dari AS, berkumpul di Bukit Zaitun
menunggu kehadiran sang juru selamat. Kita juga ingat betapa jutaan orang pada akhir tahun 1999,
terutama di AS, dengan penuh kecemasan menunggu saat tibanya tahun 2000. Mereka
mengkuatirkan datangnya Y 2 K Bug yaitu kekacauan disebabkan rusaknya jaringan
dan sistem komputer yang akan berdampak luas dan menimbulkan chaos untuk
beberapa waktu lamanya, terutama organisasi keuangan dan sistem keamanan di
dunia. Pada saat itu pula jutaan orang Kristen dan Yahudi menunggu munculnya
tanda-tanda kedatangan Dajjal sekaligus messiah. Tragedi 11 September 2001 atau
runtuhnya gedung WTC di New York akibat ditabrak dua pesawat yang dibajak
teroris, tambah meyakinkan bahwa Antichrist telah datang. Melalui pertanda ini
mereka yakin pula bahwa tidak lama lagi Isa Almasih akan turun untuk kedua
kalinya di bumi. Apokaliptisisme dan Milleniarisme
Berdasarkan makna etimologisnya seperti yang telah
dikemukakan dalam awal tulisan ini, perkataan apokaliptisik bisa diberi arti
sebagai “penyingkapan tanda-tanda tersembunyi berkenaan dengan datangnya akhir
zaman melalui pewahyuan.” Berbeda dengan pengakuan profetik (nubuwa) terhadap
eskatologi yang menggunakan ta’wil atau penafsiran simbolik, pengakuan
apokaliptik didasarkan atas penafsiran harfiah terhadap teks-teks suci dalam
Perjanjian Lama dan Baru. Karena itu pandangan apokaliptik meyakini bahwa pada
akhir zaman peristiwa-peristiwa besar yang tersembunyi, yang akan menimbulkan
bencana dan kerusakan total, akan disingkap oleh Tuhan kepada umat manusia. Teks-teks apokaliptik ini merangkum uraian tentang peristiwa
masa depan, dan pada umumnya lahir pada masa-masa terjadinya krisis besar dalam
kehidupan politik. Menurut Smithals (2004) tujuannya ialah untuk meneguhkan
keyakinan penganut Kristen dengan menyingkap kerusakan yang dilakukan penguasa
atau kaum yang dipandang durjana secara religius. Di dalamnya juga terdapat
janji kemenangan bagi orang yang beriman (orang Yahudi kepada Messiah yang
merupakan keturunan Daud, orang Kristen kepada Isa Almasih). Kepercayaan semacam ini terdapat dalam semua agama, termasuk
Islam, Hindu dan Buddha. Dalam tradisi agama Semit, mula-mula orang Yahudilah
yang mengembangkannya dengan mencampurkannya dengan prinsip-prinsip eskatologi
Zoroaster dan Gnostisisme Yunani. Titik awal perkembangannya dapat dilacak pada
peristiwa dihancurkannya kerajaan Israel oleh Nebukadnesar dari Babylonia pada
abad ke-6 SM yang menyebabkan ribuan orang Yahudi dibuang ke Babylon. Pada abad
ke-2 SM ketika terjadi Perang Yunani yang menyebabkan mereka gagal mendirikan
kerajaan di tanah yang dijanjikan, dan terutama pada pertengahan abad ke-1 SM
ketika pasukan Romawi menduduki Palestina (Syria, Yordania, Libanon dan
Palestina sekarang), apokaliptisisme Yahudi mencapai kematangan dan menemukan
bentuknya yang muktamad (definitif). Kepercayaan seperti itu tumbuh pula pada masa-masa
berikutnya di kalangan orang Kristen dan Islam, karena banyaknya orang Yahudi
memeluk agama ini dan memasukkan kepercayaan mereka di kalangan Kristen dan
Muslim yang awal. Dalam perkembangannya, apokaliptisisme tidak hanya mengambil
corak religius, tetapi tidak jarang bercorak sekular. Terutama setelah zaman
Pencerahan pada abad ke-18 di Eropa yang melahirkan paham-paham seperti
rasionalisme, humanisme, idealisme, materialisme, evolusionisme, dan lain-lain.
Ia juga bisa merupakan pandangan pribadi dan kelompok. Aspek negatif dan
positif, serta kekaburan pandangan, kerap berbaur dan lebur dalam kepercayaan
ini. Pesimisme dan optimisme bisa pula muncul darinya, tergantung bagaimana
orang menyikapi dan menindaklanjuti gagasan-gagasan yang terdapat dalam
kepercayaan ini. Tema tentang apokaliptisisme banyak dijumpai dalam karya
sastra dan lukisan, dan pada abad ke-20 dalam film, lagu, tayangan televisi,
novel-novel popular dan serius. Di antara film-film apokaliptik termasuk The
Day After Tomorrow, Armageddon, The End of Evangelion, The Road Warrior, dan
lain-lain. Lagu popular bernada apokaliptik ialah Last Day on Earth (Duran
Duran), Progenies of the Great Apocalypse (Dimnu Borgir) dan King of the World
(Steely Dan). Novel atau fiksi termasuk serial Left Behind (Tim LaHaye dan
Jerry B. Jenkins), Its Only Temporary (Eric Shapiro) dan Survivors (Zion
Ben-Jonah). Ia juga mempengaruhi kehidupan politik, misalnya melalui
gerakan Zionisme Kristen yang menggagaskan berdirinya negara Israel pada abad
ke-20. Gerakan-gerakan lain yang muncul dari buaian apokaliptisisme di
antaranya ialah milleniarisme, pietisme, salvasionisme, messianisme, mahdisme,
transhumanisme, dan lain sebagainya. Gerakan-gerakan keagamaan terkenal yang
berpegang teguh pada apokaliptisisme selain Zionisme Kristen ialah The Qumran
Essenes, The Millerites, The Jehovah’s Witness (Kesaksian Yehova), The Seventh
Day Adventist. Gerakan-gerakan ini pada umumnya melahirkan pandangan hitam
putih yang ekstrim. Terlebih apabila menjelma sebagai gerakan politik. Kawan
dan lawan, rekan dan musuh dibedakan secara tegas. Musuh selalu dipandang
sebagai kelompok yang berada dalam poros kejahatan. Tidak jarang ia melahirkan
paham konspirasisme. Dalam pandangan ini lawan boleh dituduh sebagai agen
kekuatan jahat yang berkonspirasi dengan agen jahat lain untuk menghancurkan
keberadaan kelompok mereka yang berpihak kepada kebaikan seperti demokrasi,
pluralisme, kebebasan, dan lain-lain. Demikian kita lihat betapa kepercayaan eskatologi yang
bercorak apokaliptik berakar kuat terutama dalam Protestanisme. Ini tidak
mengherankan karena sejak awal Gereja Katholik mengambil sikap kritis terhadap
apokaliptisme. Mereka memandang bahwa eskatologi yang terdapat dalam kitab suci
dimaksudkan sebagai ajaran untuk mendorong penganut Kristen menyongsong masa
depan melalui sakramen. Keselamatan hanya bisa diperoleh setelah manusia mati
melalui penyucian diri (purgatory) dan penebusan dosa sewaktu seseorang masih
hidup. Sebaliknya panganut apokaliptisisme berpegang pada pendirian bahwa
eskatologi kitab suci mengandung makna yang mengharuskan manusia berperan aktif
untuk mencapai tujuan yang dimaksud melalui gerakan-gerakan yang mampu merubah
keadaan. Kemenangan gereja Katholik atas kekaisaran Romawi pada abad
ke-5 M membuat lunturnya kepercayaan ini di kalangan penganut Kristen di Eropa
hingga abad ke-13 M. Tetapi dengan munculnya gerakan reformasi pada abad ke-15
M, dan terutama dengan munculnya Protestanisme pada abad ke-16 M,
apokaliptisisme bangkit kembali dan tumbuh subur di kalangan penganut agama
Kristen. Kebangkitan itu ditandai antara lain dengan tampilnya sekelompok
teolog yang tidak puas terhadap kehidupan agama yang dikuasai Gereja Katholik.
Mereka merasakan penguasa gereja berlaku tidak adil dan bertindak
sewenang-wenang terhadap tokoh-tokoh gerakan reformasi. Paus yang akan datang
malah mereka gambarkan sebagai Antichrist. Pada masa Reformasi, Martin Luther – pendiri Protetanisme –
pernah memaklumkan bahwa akhir zaman sudah dekat. Karena itu dia menyerukan
agar kaum pembaru (reformis) segera mengambil langkah tegas untuk menyelamatkan
dunia seraya menyongsong datangnya Isa Almasih. Walaupun pada akhir abad ke-16
dan awal abad ke-17 M pengaruh apokaliptisisme ini agak memudar berkat pengaruh
humanisme dan rasionalisme, tetapi kelompok-kelompok Kristen fanatik masih
berpegang pada dogma tersebut. Misalnya seperti tampak dalam gerakan Anabaptis.
Gerakan ini berusaha mendirikan kerajaan Tuhan melalui jalan kekerasan. Dampak
buruk dari kepercayaan ini di Jerman telah mendorong lahirnya Article XVII
Konfesi Augsburg yang menyatakan bahwa kepercayaan apokaliptik sebenarnya
merupakan doktrin agama Yahudi. Karena itu untuk beberapa waktu lamanya
kepercayaan apokaliptik menjadi luntur. Tetapi pada akhir abad ke-18 bersamaan dengan bangkitnya
kesadaran akan sejarah, apokaliptisisme tampil kembali dalam pentas keagamaan
di Eropa. Ketika itulah lahir apa yang disebut sebagai Teologi Penyelamatan
atau Salvasionis. Ajaran kelompok ini didasarkan antara lain pada dua buah buku
karangan Hess berjudul Life of Jesus (3 jilid) dan Of the Kingdom of God: An
Essay on the Plan of God’s Prarsions and Revelations. Apokaliptisisme di Amerika Di Amerika apokaliptisisme mendapat penerimaan luas lagi di
kalangan orang Protestan yang pada umumnya berasal dari negara-negara Anglo
Saxon. Pada abad ke-19 M kepercayaan ini melahirkan banyak aliran-aliran
keagamaan. Dan berdasarkan kepercayaan apokaliptik ini pulalah salasilah
fundamentalism berpucuk dan kepada pendukungnya pula sebutan fundamentalis
dinisbahkan. Menurut Smithals Dictionary of the Hitory of Ideas (2004),
berkembangnya apokaliptisisme di Amerika bermula dengan munculnya kelompok
Adventis dan gerakan kesaksian Yehova atau Yahwe. Di antara pokok ajaran
kelompok ini ialah bahwa seorang yang beriman harus meyakini kehadiran Roh
Kudus dalam diri manusia dan kedatangan Isa Almasih untuk kedua kalinya di
dunia ini, Kecuali itu ia harus meyakini bahwa isi Bibel itu sepenuhnya benar,
karena ia merupakan satu-satunya kitab yang diwahyukan. Berdasarkan kepercayaan itu William Miller, pendeta yang
merintis lahirnya kelompok Adventis pada abad ke-19, meramalkan bahwa Isa Almasih
akan turun kembali ke dunia antara tahun 1843-4. Teolog lain Charles T. Russel
mengemukakan bahwa Isa Almasih muncul secara rahasia pada tahun 1874 dan akan
mulai mewujudkan misinya pada tahun 1914. Berdasarkan pengakuan Russel inilah
Gerakan Kesaksian Yehova lahir. Tetapi kebangkitan akan kepercayaan ini dalam arti
sebenarnya bermula pada awal abad ke-20. Yaitu ketika Dwight L. Moody, seorang
evangelis atau penginjil terkemuka, menerbitkan serial buku kecil yang diberi
judul The Fundamentals pada tahun 1910. Tulisan-tulisannya merupakan tanggapan
dan kritik keras terhadap berkembangnya teologi liberal dan sekularisme di AS.
Berdasarkan judul serial buku Moody ini sebutan fundamentalisme terhadap
gerakan keagamaan radikal diambil. Pada tahun 1919 sebuah kelompok garis keras dalam
Protestanisme muncul pula mendirikan sebuah organisasi diberi nama World’s
Christian Fundamentals Association. Setahun kemudian sempalan dari gerakan ini
mengumumkan sikap anti modernisme. Curtis Lee Lavis, editor majalah Watchman
Examiner (terbitan Gereja Baptis) menyebut kelompok ini sebagai kaum
fundamentalis. Dasar-dasar ajaran Moody, yaitu keyakinan terhadap hadinya Roh
Kudus dalam diri manusia dan kedatangan kembali Isa Almasih untuk kedua kalinya
kelak, lantas dijadikan asas teologi Gereja Baptis. Namun di antara buku abad ke-20 yang paling berpengaruh
ialah Evangelische Kommentare (1968) karangan Moltman. Di situ teolog terkemuka
itu menggagaskan sebuah Teologi Harapan, Dalam bukunya itu dia mengajarkan
bahwa semua kekuatan Kristen Protestan harus ditumpukan untuk mencapai tujuan
apokaliptik sejarah, oleh karena kebangkitan Isa Almasih merupakan tanda
berakhirnya dunia dari cengkraman penderitaan, ketakadilan dan kefanaan.
Menurut Moltman, “Revolusi sosial disebabkan keadaan tidak adil adalah hasil
dari pengamatan yang seksama atas harapan melalui kebangkitan kembali Isa
Almasih”. Tetapi menurut Joel Carpenter, gagasan kaum fundamentalis
itu berkembang bukan semata-mata disebabkan penentangannya terhadap modernisme,
liberalisme dan sekularisme. Juga bukan semata-mata disebabkan persoalan
politik. Terlalu sederhana jika suatu gerakan keagamaan yang besar dan dominan
muncul disebabkan paham-paham duniawi yang tidak terlalu sukar
ditransformasikan dan diberi sifat keagamaan. Fundamentalisme keagamaan,
menurut Carpenter, berakar dalam ide-ide keagamaan yang telah berkembang di
Amerika pada abad ke-19. Ia memberi contoh Pantekosta, sebuah aliran keagamaan
yang populis dan menonjol pada abad ke-20. Pantekosta memperoleh banyak pengikut justru karena
menekankan pada kepercayaan bahwa Roh Kudus bisa dipanggil hadir ke dalam jiwa
seseorang melalui doa-doa dan nyanyian. Aliran ini juga yakin bahwa apabila
seseorang telah kerasukan Roh Kudus, maka dapat menjadi sarana untuk menyampaikan
apa yang ingin dikemukakan oleh Roh Kudus. Seperti Gereja Baptis, Pantekosta
berkembang menjadi gerakan keagamaan besar karena keberhasilan mengumpulkan
uang dri setiap jemaahnya, misalnya sepersepuluh dari hasil yang diperoleh
dalam bisnis atau pekerjaan lain. Sepanjang tahun 1920 – 1960 gerakan fundamentalisme
mengalami perkembangan yang cukup menakjubkan. Tetapi lebih menakjubkan lagi
perkembangannya dalam dasawarsa 1990an, terutama sejak Bush terpilih menjadi
presiden AS pada tahun 1998. Daya tarik utamanya adalah apokaliptisisme dan
milleniarisme yang diajarkannya. Tetapi Bratcher dalam artikelnya “Doomsday
Prophets” (The Voice, 14 Agustus 2006) menyatakan bahwa oleh karena penganut
kepercayaan apokaliptik ini beranggapan bahwa kejahatan itu datang dari luar
golongan mereka, maka gerakan mereka tidak jarang muncul sebagai gerakan yang
egosentris dan arogan, serta merasa bahwa hanya kelompok mereka saja yang
benar. Umat atau golongan agama lain dipandangnya sebagai serba jahat dan
merupakan sumber utama kerusakan di muka bumi. Untuk kepuasan diri sendiri, kata Bratcher lagi, Tuhan
diminta segera campur tangan melalui doa, sedangkan mereka wajib melakukan
persiapan-persiapan yang memadai untuk menyongsong datangnya akhir zaman.
Padahal eskatologi yang sebenarnya, kata Bratcher lagi, justru mengajarkan agar
kita ini berbuat adil dan benar untuk mencapai keselamatan, serta saling
mencintai, tawadduk dan benar-benar tunduk kepada kemauan Tuhan. Kejahatan
adalah masalah internal manusia, dan bisa muncul di lingkungan penganut agama
atau ideologi apa saja tidak terkecuali Kristen, Yahudi dan Islam. Apokaliptisisme Yahudi dan Islam
Dalam sejarah agama Yahudi, sebagaimana telah dikemukakan
wacana apokaliptisisme tumbuh subur sejak abad ke-6 SM ketika kerajaan Yahudi
di Palestina diserbu Babylonia (Iraq sekarang) dan mereka hidup penuh
penderitaan dan keputusasaan dalam pembuangannya di kerajaan Nebukadnesar itu.
Harapan dan janji kemenangan yang berulang kali disampaikan oleh nabi-nabi
mereka, walaupun tidak kunjung terpenuhi akibat hambatan-hambatan politik dan
keagamaan, dari waktu ke waktu memperkuat keyakinan mereka bahwa tanah yang
dijanjikan dan kedatangan messiah atau juru selamat di Palestina pasti akan
terpenuhi juga. Yang dianggap sebagai peletak dasar epokaliptisisme Yahudi
ialah Ezekiel, Jeremiah dan Zefaniah. Ezekiel mengatakan bahwa Tuhan identik
dengan wahyu dalam kitab suci. Dengan demikian turunnya wahyu adalah juga
merupakan kehadiran Tuhan di tengah umat manusia. Karena pandangan apokaliptik
tertulis dalam kitab suci, maka sebenarnya Tuhan sendirilah yang menyingkap
tanda-tanda datangnya akhir zaman berikut ketentuan waktunya. Zefaniah
mengatakan bahwa Tuhan menjanjikan bagi Bani Israel tanah atau negeri yang di
atasnya Messiah akan mendirikan kerajaan yang megah dan membebaskan bangsa
Yahudi dari penderitaan. Meskipun ramalan itu tidak kunjung memperlihatkan kenyataan
selama berabad-abad, dan setiap kali direvisi, namun kepercayaan apokaliptik
tentang tanah yang dijanjikan itu semakin tertanam jauh dalam lubuk jiwa
penganut agama Yahudi. Seperti orang Kristen mereka yakin bahwa messiah akan
turun di Palestina dan mendirikan kerajaan Israel di tanah yang dijanjikan itu
dengan Yerusalem sebagai ibukotanya. Adapun messiah itu bukan Isa Almasih
seperti diyakini penganut agama Kristen, tetapi salah seorang dari keturunan
Nabi Daud yang perkasa dan dianugerahi mukjizat oleh Yahwe. Isa Almasih dalam
keyakinan orang Yahudi justru adalah Dajjal sang Perusak Agung. Di bawah pengaruh eskatologi Persia atau Zarathustra,
sejarah dipandang bergerak dalam putaran waktu menuju eskatologi apokaliptik,
yaitu keadaan penuh kekacauan pada akhir zaman. Ketika itulah Tuhan akan
memberi pertolongan kepada bangsa Yahudi dengan dihadirkannya Messiah. Dengan
demikian dalam apokaliptisisme Yahudi, sejarah dipandang sebagai sesuatu yang
berjalan dan berkembangnya waktu secara linear dengan tujuan tertentu, yaitu
membawa bangsa terpilih menuju kemenangan. Inti apokaliptisisme Yahudi dapat diringkas sebagai berikut:
(1) Tuhan mempersiapkan tanah yang dijanjikan; (2) Sebelum janji itu terpenuhi
mereka akan mengalami masa-masa sulit disebabkan diaspora dan pengasingan,
sebelum akhirnya mereka mengalami zaman baru yang akan menyelamatkan dan
membebaskan mereka dari diaspora dan pengasingan; (3) Tuhan akan mengirimkan
raja dan pemimpin kuat sebagai juru selamat yang adalah keturunan Nabi Daud;
(4) Isa Almasih adalah Antichrist atau Dajjal. Berdirinya negara Israel adalah wujud nyata dari harapan itu
dan sekaligus merupakan persiapan menyambut datangnya Messiah. Jelas sekali,
kepercayaan apokaliptik Yahudi bercorak etno-religius. Ibn al-Qayyim, ahli
hadis abad ke-11 M, mengatakan bahwa memang sudah sejak lama orang-Yahudi
meyakini hal ini. Mereka juga yakin bahwa apabila Messiah mengucapkan doa-doa
dan jampi-jampi maka seluruh umat manusia akan tunduk pada bangsa Yahudi,
sedangkan yang menentang akan binasa. Dalam kenyataan, menurut Ibn al-Qayyim
lagi, orang Nasrani justru meyakini bahwa yang dimaksud Messiah oleh orang
Yahudi itu tidak lain adalah Antichrist atau Dajjal. Dalam Islam, baik Sunni maupun Syiah, kepercayaan akan akhir
zaman dan tanda-tandanya juga terdapat. Di kalangan Syiah apokaliptisisme
disebut mahdaviyat atau kepercayaan terhadap turunnnya Imam Mahdi. Tetapi
sekalipun demikian tidak ada yang cenderung berlebihan seperti dalam keyakinan
apokaliptik Kristen. Mereka meyakini bahwa begitu Dajjal –raja diraja
keangkaraan dan kedurjanaan – datang, maka dunia akan menyaksikan malapetaka
dan kerusakan besar disebabkan perbuatannya. Untuk mencegah marajalelanya
Dajjal, Imam Mahdi turun. Peperangan terjadi antara Dajjal dan Imam Mahdi.
Ketika peperangan dahsyat terjadi dan pasukan Imam Mahdi kewalahan, Nabi Isa
a.s. akan turun untuk menyelamatkan dan membebaskan kaum mukmin. Berbeda dengan
eskatologi Kristen yang meramalkan Isa Almasih turun di Bukit Zaitun,
eskatologi Islam mengemukakan bahwa Nabi Isa a.s. akan muncul di sebelah timur
Damaskus, Syria sekarang. Sedangkan Dajjal akan muncul di sebelah barat Isfahan (Iran)
antara Iraq dan Mesir. Pengikut Dajjal adalah kebanyakan orang Yahudi. Uraian
tentang eskatologi dalam Islam secara rinci lebih banyak dikemukakan dalam
hadis. Berdasarkan sumber-sumber hadis, penulis Muslim menyusun kitab
eskatologi atau karya sastra yang memaparkan tentang eskatologi. Salah satu di
antaranya Ialah Masa’ilu `abdi’l-Lahi `bai Salam `ila’l-Nabi. Kitab
ini disadur ke dalam bahasa Melayu pada abad ke-17 di negeri Aceh Darussalam,
dengan judul Kitab Seribu Masalah. Secara simbolik dan imaginatif Dajjal digambarkan sebagai
berikut: “Dajal itu turun di negeri Ajam, Ia mengendarai keledai besar. Jika
berjalan di tengah laut, kakinya tidak basah. Segala orang kafir , orang yang
menyembah berhala, Yahudi, Nasrani, dan segala orang yang durhaka bersujud
menyembah Dajal itu. Ia berjalan membawa dua buah bukit, sebuah di sebelah
kanannya berisi segala macam kenikmatan dan segala macam perhiasan, makanan,
minuman, pakaian, gadis-gadis cantik; sebuah lagi di sebelah kirinya berisi
segala macam siksa neraka, ular, kalajengking, dan api yang berkobar-kobar.
Siapa yang percaya dan bertuhan kepadanya dimasukkannya ke dalam surganya itu,
dan siapa yang tiada mau bertuhan kepadanya dimasukkannya ke dalam nerakanya
itu.” (h. 127-133). Rasail atau wacana apokaliptisisme seperti tampak dalam teks
Kitab Seribu Masalah Melayu itu sangat dikenal secara luas oleh kaum Muslimin
di seluruh dunia sejak lama, baik di kalangan Muslim Sunni maupun Muslim Syiah.
Dewasa ini perbincangan tentangnya dihubungkan dengan dua hal, yaitu gagasan
mahdaviyat dan globalisasi. Yang pertama, adalah bentuk apokaliptisisme
sebagaimana dipercaya kalangan Syiah di Iran, yaitu keyakinan bahwa sebelum
Nabi Isa Almasih turun kembali ke dunia terlebih dahulu ditandai kemunculan
Imam Mahdi yang dititahkan memerangi Dajjal. Media internasional, khususnya
yang terbit di AS, mengaitkan kepercayaan itu dengan tampilnya Iran di bawah
kepemimpinan Ahmadinejad. Perseteruan Iran dengan AS, khususnya dalam era
kepemimpinan Bush, ikut menyebar luaskan kepercayaan terhadap keyakinan kaum
milleniaris. Lantas jika perang antar agama benar-benar terjadi kelak, siapa
yang harus disalahkan? Bush, kaum fundamentalis Kristen, dan Zionis, tentu akan
menjawab: Semua itu kesalahan orang Islam, bangsa Palestina, Arab, Iran, Hamas,
Hizbullah dan gerakan-gerakan pembebasan yang lain karena tidak mau berhenti
melakukan perlawanan. |