Bada’, Lauf Mahfuz, Kitabul MubinDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Apa yang dimaksud dengan badâ'', lauh mahfuz, kitabul mubin,
lauh mahw wa itsbât? ************ “Badâ'” secara leksikal bermakna nampaknya (jelasnya)
sesuatu setelah tersembunyi. Dan yang digunakan dalam al-Qur'an adalah makna
leksikal ini: "wa badâ lahum minaLlâh mâ lam yakunu yahtasibun”; “Dan
jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan."
(Qs, al-Zumar [39]: 47). Dan secara teknikal sebagian ulama berpandangan bahwa
badâ' dalam urusan penciptaan (takwini) semacam nasakh dalam urusan tasyri'i
(pelaksanaan syariat). Dan ia bermakna barunya sebuah "pendapat".
Harus diketahui bahwa badâ' dan nasakh dari sisi Tuhan adalah sesuatu yang
mustahil, lantaran hal ini meniscayakan, didahuluinya ilmu Tuhan dengan
kejahilan, sementara Tuhan suci dari sifat jahil. Sebagaimana Imam Shadiq As
bersabda: "Sesungguhnya Allah Swt tidak memulai sesuatu dengan
kejahilan." Apa yang dapat digambarkan dari Tuhan adalah badâ' dan nasakh
secara lahir; itu artinya memunculkan sesuatu bagi manusia yang tersembunyi
bagi mereka sebelunya, dimana perkara ini telah diketahui oleh Tuhan semenjak
azal. Dan semenjak permulaan dengan bentuk baru yang muncul ini Tuhan
mengetahuinya, akan tetapi demi kemaslahatan yang dituntut pada tingkatan
taklif membuat perkara itu tersembunyi bagi manusia. Kemudian sesuai kondisinya
muncul dan makna ini dapat diterima oleh akal manusia. Dalam al-Qur'an disebutkan: "Bagi tiap-tiap masa ada
kitab (yang tertentu). Allah menghapuskan dan menetapkan apa yang Dia
kehendaki, dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul Kitâb (Lauh Mahfûzh).” (Qs.
Ar-Ra’ad [13]:39). Ayat ini merupakan ayat yang paling tegas membincang masalah
perubahan dalam takdir adalah badâ''. Karena ilmu Tuhan, sebagaimana yang
disabdakan oleh Imam Shadiq As, terdiri dari dua jenis: "Ilmu maknun dan
ilmu makhzun yang tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Swt, dimana badâ'
sendiri diambil dari ilmu tersebut. Ilmu yang lainnya adalah ilmu yang
diajarkan kepada para malaikat, para nabi dan kepada kami yang juga mengetahui
ilmu tersebut." Oleh karena itu, ilmu dimana badâ' bersumber adalah lauh
mahfuz dan ilmu yang terkait dengan badâ'' adalah "lauh mawh wa
itsbât." Sekarang mari kita amati bersama apa yang dimaksud dengan lauh
mahfuz dan lauh mahw wa itsbât itu. Lauh mahfûz
dan lauh mahw wa itsbât
Yang dimaksud dengan lauh mahfuz (ummul kitab) adalah ilmu
azali Tuhan dimana segala yang ditakdirkan dalam ilmu Tuhan tersebut bersifat
tetap dan tidak dapat berubah. Menurut kebanyakan penafsir, lauh mahfuz dan
kitabul mubin adalah satu. Karena kitab mubin adalah derajat ilmu Allah Swt,
dan pada ayat ditegaskan bahwa "Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biar
pun sebesar zarah (atom) di bumi atau pun di langit. Tidak ada yang lebih kecil
dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam
kitab yang nyata (Kitab Mubin)." (Qs. Yunus [10]:61) Adapun yang dimaksud dengan lauh mahw wa itsbât adalah
lembaran kosmos, dunia eksistensi, dan pelataran tabiat dimana nasib dan takdir
segala sesuatu tercatat di dalamnya, namun tidak satu pun dari nasib dan takdir
ini bersifat tetap. Melainkan segala sesuatunya memiliki sisi
tuntutan-tuntutan. Hasil dari perubahan ini adalah berdasarkan kemaslahatan dan
tuntutan ruang dan waktu dan sebagainya. Pada lauh mahw wa itsbât ini segalanya
berproses dimana badâ' juga terkait di dalamnya. Berbeda dengan lauh
mahfuzh (ilmu azali Tuhan) yang juga disebut sebagai "kitabul mubin"
dan "ummul kitab", ia tidak berubah dan bersifat tetap. Penjelasan:
Makna leksikal dan teknikal "badâ'" Badâ'' derivatnya adalah “buduww” yang bermakna tampak nyata [1]
dan secara teknis disebutkan bahwa sebagaimana nasakh memiliki dua makna: 1. Munculnya pendapat baru bagi Tuhan –yang tadinya
tidak diketahui dan kemudian diketahui oleh Tuhan– makna dari badâ'' dalam
artian ini adalah tidak benar dan dalam kaitannya dengan Allah Swt adalah tidak
mungkin dan mustahil. 2. Memunculkan suatu perkara bagi manusia yang tadinya
terpendam dan tersembunyi; artinya perkara ini diketahui oleh Tuhan
semenjak azal dan semenjak permulaan dengan bentuk barunya yang kemudian
muncul, akan tetapi sesuai dengan kemaslahatan yang dituntut pada tingkatan
taklif, untuk beberapa waktu terpendam dan tersembunyi bagi manusia kemudian
dimunculkan sesuai dengan tuntutan maslahat yang ada. Makna badâ' yang
sedemikian adalah makna yang dapat diterima dan masuk akal.[2] Yang diyakini oleh ulama Syiah sebagai
makna badâ'' adalah bersandar kepada riwayat-riwayat Ahlulbait As seperti
yang dinukil dari Imam Shadiq As yang bersabda: "Di samping mengikat janji
tentang tauhid, Allah Swt juga mengikat janji dengan para nabi tentang iman
terhadap badâ''."[3] Atau hadis yang lain yang menyebutkan
bahwa: "Setiap orang yang beranggapan bahwa sebuah permasalahan menjadi
jelas bagi Tuhan yang sebelumnya tidak diketahuinya, maka hendaklah ia
berlindung kepada Allah Swt."[4] Imam Shadiq As menegaskan masalah ini,
makna badâ'' tatkala disandarkan kepada Allah Swt adalah bermakna ibdâ', yang
berarti memunculkan sesuatu yang tadinya tersembunyi, terpendam dan sebelumnya
tidak terprediksi.[5] Di antara ayat-ayat yang menunjukkan pada realitas ini
adalah " Bagi tiap-tiap masa ada kitab (yang tertentu). Allah menghapuskan
dan menetapkan apa yang Dia kehendaki, dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul Kitâb
(Lauh Mahfûzh).” (Qs. Ar-Ra’ad [13]:38-39) Penjelasan masalah ini adalah bahwa ilmu Tuhan yang
dengannya Dia mengatur seluruh kondisi ciptaan-Nya terdiri dari dua jenis: Yang pertama adalah ilmu makhzun yang tiada diketahui oleh
siapa pun kecuali Tuhan yang disebut sebagai "Lauh Mahfuzh" dan yang
kedua ilmu yang dianugerahkan Tuhan kepada para malaikat, para nabi dan
wali-wali Tuhan lainnya yang disebut sebagai "lauh mahw wa itsbât"
dimana badâ'' memiliki akses pada bagian ilmu ini.[6] Imam Shadiq As bersabda: "Allah Swt memiliki dua jenis
ilmu: Ilmu maknun dan ilmu makhzun yang tidak diketahui oleh siapa pun kecuali
Allah Swt dimana badâ'' sendiri bersumber ilmu dari jenis ilmu ini. Yang
lainnya adalah ilmu yang diajarkan kepada para malaikat, para nabi dan kami
juga mengetahui ilmu ini."[7] Oleh karena itu, kita memiliki dua jenis ilmu: Ilmu yang
menjadi nara-sumber bagi badâ'' yang merupakan lauh mahfuzh dan ilmu yang
terkait dengan badâ'' yang disebut sebagai lauh mahw wa itsbât. Dengan
demikian, badâ'' adalah penghapusan (mahw) pertama dan penetapan (itsbât) kedua
dan Allah Swt mengetahui keduanya. Hal ini merupakan realitas yang tidak dapat
dinafikan dan diingkari oleh orang-orang yang berakal; karena untuk terwujud
dan terealisirnya pelbagai peristiwa dan kejadian dua jenis prediksi yang dapat
digambarkan: Yang pertama terjadinya peristiwa tersebut tanpa kekeliruan yang
sesuai dengan tuntutan sebab-sebab nâqish (tidak sempurna), misalnya syarat
atau sebab (illat) atau tiadanya halangan. Yang kedua terjadinya peristiwa
tersebut tanpa kekeliruan yang selaras dengan pelbagai tuntutan
sebab-sebab tâmmah (sempurna) peristiwa tersebut. Wujudnya bersifat tetap, tidak
bersyarat dan tidak menyelisih dan kedua kitab tersebut yang disinggung dalam
ayat yang disebutkan di atas; yaitu yang diperkenalkan sebagai kitab
penghapusan (mahw), kitab penetapan (itsbât) dan ummul kitab, atau adalah dua
tingkatan wujud, dan atau awal dari keduanya.[8] Lauh mahfuzh, kitabul mubin, dan lauh mahw wa itsbât "Dan pada sisi Kami pun ada kitab yang memelihara
(mencatat segala sesuatu)." (Qs. Qaf [50]4), atau pada ayat, "yang
(tersimpan) dalam Lauh Mahfûzh." (Qs. Al-Buruj [85]:22) Kedua ayat
ini menandaskan tentang sebuah kitab yang memelihara (mencatat) seluruh
perbuatan manusia dan selainnya. Dan pada saat yang sama termasuk seluruh
karakteristik seluruh peristiwa dan tipologi setiap orang dan segala perubahan
yang terjadi pada keduanya. Namun kitab tersebut tidak mengalami perubahan dan
pergantian. Sesuai dengan ucapan kebanyakan penafsir, lauh mahfuzh adalah kitab
mubin (kitab yang nyata) itu sendiri. Karena yang dimaksud dengan kitab mubin
adalah tingkatan ilmu Allah Swt; artinya seluruh maujud tercatat pada ilmu-Nya
yang tak-terbatas. Dan bukti dari ucapan ini adalah: "Tidak luput dari
pengetahuan Tuhanmu biar pun sebesar zarah (atom) di bumi atau pun di langit.
Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan
(semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfûzh). (Qs. Yunus [10]:61) dan
pada ayat, "Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan
Allah-lah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam dan tempat
penyimpanan binatang itu. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata
(pada Lauh Mahfûzh pada kitab ilmu Tuhan)." (Qs. Hud [11]:6) dan
menunjukkan bahwa semesta keberadaan yang membentang luas juga merupakan potret
dari lauh mahfuzh ini. Dengan demikian yang dimaksud dengan lauh mahfuzh (ummul
kitab) dan kitab mubin (kitab yang nyata) adalah ilmu azali Tuhan dimana
seluruh takdir dan nasib manusia tercatat di dalamnya dan tidak dapat berubah. Berbeda dengan lauh mahw wa itsbât, dimana nasib dan takdir
segala sesuatu tercatat, namun tidak satu pun dari takdir ini bersifat tetap,
melainkan seluruhnya memiliki dimensi maslahat. Yang dimaksud dengan lauh mahw
dan itsbât adalah lembaran kosmos, semesta eksistensi dan dunia natural dimana
takdir segala sesuatu pada tabiatnya, berdasarkan kemaslahatan dan tiadanya
halangan, tersedianya sebab sempurna (illat tammah) bagi terpenuhinya sesuatu
dan kita tidak memiliki pengetahuan terkait dengan halangan yang dimaksud.
Sementara Allah Swt mengetahui halangan tersebut. Atas alasan ini, Imam 'Ali bin
Husain As bersabda: "Sekiranya tiada ayat dalam Kitabullah, aku akan
menyebutkan apa yang akan terjadi hingga hari Kiamat." Zurarah berkata,
"Aku bertanya, ayat yang mana?" Imam menjawab: "Allah
menghapuskan dan menetapkan apa yang Dia kehendaki, dan di sisi-Nya-lah
terdapat Ummul Kitâb (Lauh Mahfûzh).” (Qs. Ar-Ra’ad [13]:38-39)[9] Dengan demikian lauh mahw dan itsbât adalah hukum yang
bersifat umum yang termasuk di dalamnya seluruh peristiwa yang terbatas pada
masa dan waktu. Dengan kata lain, seluruh maujud yang terdapat pada tujuh
petala langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya tunduk pada hukum
ini. Sebagaimana Allah Swt berfirman: "Kami tidak menciptakan langit dan
bumi dan apa yang ada antara keduanya melainkan dengan benar dan untuk waktu
yang ditentukan. (Qs. Ahqaf [46]:3) Dari keseluruhan pembahasan dapat disimpulkan bahwa
perubahan berdasarkan kemaslahatan dan tuntutan ruang dan waktu dan sebagainya
terproses pada lauh mahw wa itsabt. Berbeda dengan lauh mahfuzh (ilmu azali
Ilahi) yang tidak mengalami perubahan. Oleh karena itu, seluruh maujud
berdimensi ganda, dimensi pertama perubahan terkait dengan kematian, kehidupan,
sirna dan tetap, dan segala jenis perubahan. Dan dimensi kedua yang memiliki
corak permanen yang tidak mengalami perubahan dan bada' adalah termasuk pada
dimensi yang pertama.[Sumber: indonesia.islamquest.net] [1] Kamus Qur'an,
Qurasyi, Sayid Ali Akbar, jil, 1, hal. 172 [2] Hadi Ma'rifat, Tafsir wa
Mufassirân, Muassasah Farhang-e al-Tamhid, cetakan pertama, Urdibehesyt, 1379,
jil. 1, hal. 522. [3] Kâfi, Dar al-Kitab
al-Islami, Teheran, 1265, hal. 148, hadis 15. [4] Safina al-Bihâr, jil. 1,
hal. 51, dan Kafi, idem, hal 148, hadis 9 yang mirip dengan redaksi ini. [5] Nasir Makarim Syirazi,
Tafsir Nemune, jil. 10, 249. [6] Hadi Ma'rifat, Tafsir wa
Mufassirân, idem, hal. 523. [7] Allamah Majlisi, Bihâr
al-Anwâr , jil. 4, hal. 109-110, no.27 dan Kafi, hal 423, hadis 8 yang
mirip dengan redaksi ini. [8] Allamah Thaba’thabai,
Tafsir al-Mizan, terjemahan Musawi Hamadani, jil. 11, hal. 584 [9] 'Arusi Huwaizi, Tafsir
Nur al-Tsaqalain, Muassasah Ismailiyyan, 1373, jil. 2, hal. 512. |