Tiga Kelompok Dari Generasi Nabi SAW di Era Pra-KarbalaDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Oleh: Ali Syariati
Secara tegas saya katakan bahwa Imam Husein adalah pewaris
Islam, pewaris revolusi yang diledakkan oleh kakeknya, pewaris gerakan
perubahan menyeluruh yang dipertahankan oleh sang ayah dan saudara tercinta.
Sayangnya, beliau tidak mewarisi pasukan, senjata atau harta. Oleh karena itu,
tidak ada lagi sisa-sisa kekuatan yang bisa beliau andalkan. Bahkan, beliau pun
tidak mendapatkan warisan kelompok yang punya komitmen yang cukup. Semua ini menunjukkan bahwa pada awal mulanya kepemimpinan
Imam Husein merupakan modal dan basis utama. Sebagaimana keberadaan setiap
pemimpin yang mengimani keharusan perjuangan, bangkit dan melakukan perlawanan
bagi beliau bukan sebuah pilihan yang bebas. Namun, beliau harus tunduk pada
segala situasi dan kondisi yang tengah berkembang, termasuk dalam mengambil
pola peperangan yang harus beliau hadapi. Situasi dan kondisi tersebut adalah sebuah keadaan yang
telah didominasi oleh segenap syarat kekuatan dan kelemahan musuh, kemudian
dilakukan usaha untuk dapat menentukan sikap yang harus diambil. Oleh
karenanya, kita tidak dapat memahami dengan benar cara yang dipilih Imam Husein
as di memperjuangkan revolusinya kecuali setelah kita memahami ihwal kondisi
umum dan khusus yang beliau hadapi, serta faktor-faktor yang mengharuskan
beliau memilih cara tersebut. Gerakan Imam Husein as. dimulai pada tahun 60 H, di saat
umat sedang menunggu sosok pemimpin yang akan mengemban tugas kepemimpinan
serta meneruskan revolusi yang dicetuskan oleh Muhammad bin Abdullah saww,
dimana panji-panjinya mulai runtuh lantaran serangan dan pukulan Bani Umayyah
serta kroni-kroninya. Dari sinilah kita dapat memahami bahwa masa Imam Husein as.
adalah masa yang begitu sulit, sedemikian mencekik, karena memang sebuah masa
yang akan menjadi tonggak sejarah. Beliau telah melihat apa yang terjadi di
sekitar beliau serta kondisi yang meliputi beliau, maka beliau menyadiri
dirinya akan sebuah tanggung jawab melindungi revolusi yang telah kehilangan
asas-asasnya dan runtuh benteng terakhir serta nilai-nilai misinya. Bahkan,
tidak lagi tersisa -sejak wafatnya sang kakek dan sang ayah sebagai wajah
Islam, kebenaran dan keadilan- satu pedang atau satu orang pun. Kondisi sosial-politik umat pada awal-awal tahun 60 adalah
sebagai berikut; bahwa telah berlangsung beberapa tahun, dimana Bani Umayyah
merongrong Revolusi Islam dan pondasi sosialnya serta berusaha menumbangkan
para pemimpinnya, satu persatu. Di sisi lain, orang-orang Quraisy memanfaatkan
segala hasil dan berkah Revolusi tersebut untuk kepentingan pribadi mereka.
Sedangkan para pejuang Revolusi dan para generasi penerusnya yang pernah
mengenyam pendidikan langsung Rasulullah berada di ambang keruntuhan pusat
kekuatan Revolusi tersebut. Mereka dapat terpecah ke dalam tiga
kelompok:
Pertama, mereka yang tidak dapat tinggal diam dengan sabar
melihat nilai-nilai Islam yang agung diinjak-injak dan dihinakan. Untuk itu,
mereka bangkit, menegakkan sholat, berperang, dll. Di dalam kelompok ini kita
temukan Abu Dzar, Ammar bin Yasir, Abdullah bin Mas’ud, Haitsam, Hijr bin
‘Adiy, dll yang telah memilih jalan untuk dapat meneguk cawan syahadah. Mereka
adalah orang-orang unggul kelompok pertama ini. Kedua, mereka yang menganggap bahwa jalan menuju surga tidak
hanya terbatas pada berjuang di bawah kilatan pedang, bahwa jihad bukanlah
satu-satunya pintu surga. Menurut mereka, banyak jalan lain yang lebih mudah
dan lebih aman yang dapat ditempuh untuk mencapai surga, yaitu hidup dengan
zuhud, ibadah dan menyendiri dari keramaian khalayak. kelompok ini dipelopori
oleh Ibnu Umar atau Abdullah bin Umar. Ironisnya, lahirnya kelompok ini
diprakarsai oleh segolongan sahabat yang pernah mendapat didikan langsung
Rasulullah saw dan memahami makna jihad serta perjuangan dan pengorbanan dalam
rangka membela dan mempertahankan kebenaran. Sungguh mengherankan. Mereka mengisi
kehidupan mereka di masa-masa yang sulit –yang menuntut adanya orang-orang yang
meneriakkan suara mereka demi keadilan- dengan menghindari medan pertempuran
antara hak dan bathil. Mereka lebih mengkonsentrasikan jiwa dan pikirannya di
sudut-sudut masjid dan rumah-rumah kosong. Mereka mengira dirinya telah
mengorbankan pribadi-pribadi pilihan menjadi pahlawan kebenaran dalam rangka
kebaikan penguasa dan mereka yang menginginkan untuk kembali pada suasana
sebelum Islam. Apalagi di saat itu banyak dari kalangan umat yang berada di
bawah tarian cambuk Bani Umayyah, menunggu sikap yang tegas dari mereka yang
dapat melawan berbagai penyimpangan dan kedzaliman. Kelompok kedua ini
sesungguhnya telah mementingkan keselamatan diri sendiri ketimbang peduli pada
arti pengorbanan dan jihad. Ketiga, mereka yang pernah mengantongi curicullum vitae yang
gemilang dan seabrek prestasi serta kemuliaan jihad bersama Rasulullah di
sejumlah peperangan seperti; Badar, Uhud dan Hunain. Mereka pernah mendapatkan
kemuliaan berkorban di Madinah, kota Hijrah dan Jihad. Sialnya, mereka sendiri
yang telah menjual kecemerlangan kemarin dengan kekerdilan, kehinaan dan
kesenangan sementara di 'istana hijau' Muawiyah. Mereka memungut harta dan
melakukan praktek busuk suap-menyuap. Mereka tak segan-segan lagi menempuh
cara-cara yang dilakukan Abu Hurairah, yakni memproduksi hadis dalam rangka
memberikan pembenaran atas apa yang dilakukan oleh Muawiyah terhadap Keluarga
Rasul, Revolusi Rasul dan nilai-nilai Rasul saww. Selanjutnya saya akan mengajak
Anda menganalisa lebih dalam kelompok ke dua dan ke tiga ini. Segera akan kita
lihat analisa kita berujung pada pengecaman terhadap mereka. Pada kelompok kedua yang meninggalkan perjuangan serta lari
mendekam di tempat-tempat ibadah di saat-saat yang sulit seperti ini,
sesungguhnya tangan mereka berlumuran darah suci. Cairan merah kental yang
menetes dari tangan mereka adalah darah-darah suci para pahlawan yang syahid.
Para syahid Karbala itu adalah para pahlawan ini. Hal itu karena setiap orang
atau setiap pribadi mukmin yang memahami tanggung jawabnya dengan baik serta
punya kemampuan untuk mengambil sikap, namun membiarkan kebenaran dikorbankan
di bawah kebatilan serta meninggalkan perjuangan serta meluluhkan keteguhan
kepercayaannya yang hakiki pada jihad serta perjuangan, pada sadarnya mereka
telah mengorbankan kehidupan para pahlawan yang berkorban di di medan
pertempuran itu demi kenyamanan penguasa yang dzalim. Adapun kelimpok ketiga, mereka itu kelompok yang lebih
kerdil, busuk dan lebih berbahaya. Bagaiamana tidak? Merekalah yang
mendagangsapikan nilai-nilai Rasulullah dan kemulian amanah beliau dengan
segerincing receh dirham yang bisa dibilang. Mereka telah menukar kemuliaan
dengan kehinaan. Mereka adalah segolongan sahabat Rasul yang pernah berjuang
bersama beliau. Apa yang dapat Anda katakan jika sahabat seperti Abu
Hurairah yang menimba ilmu dan hadis yang begitu banyak dari Rasulullah,
kemudian meratifikasi hadis suci hanya untuk membela kepentingan Muawiyah.
Bahkan, dia pula yang mengusahakan desakan cinta Yazid yang terkenal itu pada
istri Abdullah bin Salam? Orang-orang seperti mereka adalah generasi pascarevolusi
Islam, generasi kedua yang mayoritas mereka relatif muda. Mereka tidak pernah
melihat kegemilangan Islam di masa-masa awal revolusi. Sepatutnya, mereka
mendengar riwayat kebesaran Islam dari mulut generasi sebelumnya yang berada di
dalamnya dan menyaksikan langsung. Justru sebaliknya, yang mereka dapatkan
adalah tersungkurnya para tokoh revolusi ini, satu persatu jatuh ke jurang
kehinaan dan keterpurukan! Kekecewaan apakah, kepahitan yang mana, dan
kehancuran yang bagaimana yang akan mereka rasakan di hadapan cita-cita besar
yang disebut 'Islam', sementara mereka melihat riwayat hitam jajaran elit Islam
yang lahir di dalam masyarakat madani Rasulullah dan revolusinya. Kebangkitan Hijir Bin Adiy
Namun, harapan belumlah pupus! Kabar-kabar gembira revolusi
lahir dari rahim generasi ini sendiri! Yaitu pergerakan. Meskipun belum
sempurna syarat-syarat kematangan mereka, namun melalui sosok seorang pemimpin
yang bernama Hijir Bin Adiy, atmosfir politik dan sosial revolusi Al-Husein
telah mulai menyelimuti Kufah setelah gugurnya para pahlawan mereka di Karbala. Oleh karena itu, di dalam barisan generasi ke dua ini
terdapat gerakan yang dibicarakan dari mulut ke mulut, di lorong-lorong Kufah.
Hijir bin Adiy-lah yang menjadi pelopor gerakan ini. Ia adalah seorang sahabat
mulia. Ia sempat bertemu Nabi saww. Ktika masih kanak-kanak. Ia ikut berperang
bersama Imam Ali pada usia yang relatif muda. Pada zaman Imam Hasan, ia
menunjukkan kematangannya sebagai seorang politikus yang cerdas, yang
mengalirkan ide-ide cemerlang dan kesadaran yang dalam akan tanggung jawabnya.
Pada awalnya, ia “menyalahkan” keputusan Imam Hasan yang telah menAndatangani
perdamaian dengan Muawiyah. Tidak lama setelah itu, Imam Hasan berhasil
memuaskannya dan membuatnya puas untuk menerima akan kebenaran apa yang beliau
lakukan menghadapi kebusukan Muawiyah. Hijir adalah seorang yang kuat pendiriannya. Dia tidak
pernah membiarkan kedzaliman dibangkitkan. Ia tidak pernah mengatakan “Ya” demi
kehinaan dan politik kotor. Tidak mudah menerima logika taqiyyah dan gerakan
“bawah tanah” yang digagas oleh Imam Hasan as. Pada saat yang sama, Hijir tidak
siap hidup secara terhina dan menyaksikan wabah kedzaliman, dominasi kejahatan,
kediktatoran, kebebasan nafsu di segala bidang, pemerkosaan hak, sikap
masabodoh terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang telah dihasilkan oleh revolusi
Islam. Maka itu, sewaktu Hijir bangkit untuk menyatakan perlawanan
terhadap rezim Bani Umayyah di Irak, dan dengan cepat meluas ke seluruh penjuru
negeri itu, segera dia arahkan laras dan ledakan revolusi tepat di jantung
kejahatan mereka yang telah mencekik seluruh nilai kebebasan dan keadilan.
Namun apa boleh dikata, revolusi Hijir tidak mencatat kemenangan sebagaimana ia
mencatat syahadah para pahlawannya. Sebab, tidak lama kemudian Hijir gugur
meneguk cawam syahadah setelah rezim Bani Umayyah mengeluarkan fatwa palsu.
Akibatnya, fatwa itulah yang menyeret Hijir ke dalam acara pemenggalan
kepalanya dan kepala-kepala para sahabatnya di kota Marj Adzra’ dekat
Damasykus. Hukuman itu mereka terima dalam rangka membayar komitmen mereka pada
nilai-nilai Ali, ajaran-ajarannya serta butir-butir pendidikan madrasahnya. [] (Diterjemahkan oleh Abdullah Beik, dari Al-Syahadah, Ali
Syariati, Darul Amir lil Staqofah, Beirut, 2002) Sumber: Swaramuslim.com |