Tasawuf Di Indonesia, Dulu Dan SekarangAbdul Hadi W. M.
Hamzah Fansuri di dalam Mekkah Mencari Tuhan di Baitil Ka’bah Di Barus ke Quds terlalu payah Akhirnya jumpa di dalam rumah Sufinya bukannya kain Fi’l-Makkah daim bermain Ilmunya lahir dan batin Menyembah Allah terlalu rajin Hidup dalam dunia upama dagang Datang musim kita ‘ La tasta’khiruna sa`atan lagi’ Mencari makrifat Allah jangan kepalang (Hamzah Fansuri, penyair sufi Melayu abad ke-16
M) DALAM lingkait (konteks) sejarah Islam di kepulauan Melayu
Nusantara, tasawuf bukanlah fenomena baru dan asing. Sejak awal pesatnya
perkembangan Islam dan perlembagaannya pada abad ke-13 – 15 M,
komunitas-komunitas Islam yang awal telah mengenal tasawuf sebagai bangunan
spiritualitas Islam yang kaya dengan kearifan dan amalan-amalan yang dapat
menuntun para penuntut ilmu suluk menuju pemahaman yang mendalam tentang
tauhid. Sedangkan ahlinya yang dikenal sebagai sufi tak jarang dikenal sebagai
wali, guru kerohanian, pemimpin organisasi tariqat, pendakwah dan darwish atau
faqir yang suka mengembara sambil berniaga untuk menyebarkan agama Islam ke
berbagai pelosok negeri. Mereka menemui para bangsawan, saudagar, kaum terpelajar,
pengrajin, orang-orang di pinggiran Seperti berkembangnya Islam sendiri di Indonesia yang
dimulai di kota, begitu pula dengan tasawuf. Setelah itu ia baru merembet ke
kawasan pinggiran atau urban, kemudian ke wilayah pedalaman dan pedesaan.
Sufi-sufi awal seperti Hasan Basri dan Rabiah al-Adawiyah memulai kegiatannya
di Basra, kota yang terletak di sebelah selatan Iraq yang pada abad ke-8-10 M
merupakan pusat kebudayaan. Makruf al-Karqi, Junaid al-Baghdadi, dan Mansur
al-Hallaj mengajarkan tasawuf di Baghdad yang merupakan pusat kekhalifatan Abbasiyah
dan kota metropolitan pada abad ke-8 – 13 M. `Attar lahir dan besar di
Nisyapur, yang pada abad ke-10 – 15 M merupakan pusat keagamaan, intelektual
dan perdagangan terkemuka di Iran. Rumi hidup dan mendirikan Tariqat Maulawiyah di Konya, kota
penting di Anatolia pada abad ke-11 - 17 M. Hamzah Fansuri lahir dan besar di
Barus, kota dagang di pantai barat Sumatra yang merupakan pelabuhan regional
pada abad ke-13-17 M. Sunan Bonang, seorang dari wali sangat terkemuka,
mengajarkan ilmu suluk di Tuban yang pada abad ke-14 – 17 M merupakan kota
dagang besar di Jawa Timur. Syamsudin Pasai adalah penganjur tasawuf wujudiah
dan pendiri madzab Martabat Tujuh yang terkenal. Dia seorang sufi dan juga
perdana menteri pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) di
kesultanan Aceh Darussalam. Jika demikian halnya acara ini tepat disebut Pekan Tasawuf
Kota. Sebab sebagaimana kebangkitannya pada masa awal, bangkitnya kembali
gairah terhadap tasawuf di Indonesia bermula di kota besar seperti Jakarta dan
Bandung pada akhir 1970an, dan terutama sekali dalam decade 1980an. Pelopornya
ialah para sastrawan, seniman, sarjana ilmu agama, dan cendekiawan. Pendek kata
kaum terpelajar yang tidak sedikit dari mereka adalah dokter, pengusaha,
manager, sarjana ekonomi, ilmu politik, falsafah, dan scientis. Tentang bagaimana kegairahan komunitas Muslim terpelajar
pada masa yang silam terhadap tasawuf, banyak dipaparkan oleh sumber-sumber
sejarah local seperti Hikayat Aceh, Sejarah Melayu, Hikayat Maulana Hasanuddin,
Babad Tanah Jawa, Suluk Wujil, Hikayat Sultan Maulana, Hikayat Banjar, dan
lain-lain. Beritanya juga ditemui dalam catatan pengembara dan sejarawan asing
dari Turki, Cina, Arab, Persia, India dan Portugis. Misalnya dalam laporan
Zainuddin al-Ma`bari, sejarawan Muslim dari Iran pada abad ke-15 yang tinggal
di Malabar, India. Dalam bukunya Minhaj al-Mujahidin, Zainuddin al-Ma`bari
mencatat bahwa para sufi giat berdakwah di India dan Indonesia menggunakan
sarana budaya lokal dan juga melalui pembacaan Qasidah Burdah. Dalam Suma
Oriental, petualang Portugis abad ke-16 M Tome Pires malah mencatat bahwa para
sufi itu tidak hanya aktif mendirikan madrasah dan mengajar tasawuf kepada
penduduk, tetapi juga giat mengajarkan ketrampilan termasuk seni kriya atau
kerajinan tangan seperti membatik, mengukir, membuat kapal dan perabot rumah
tangga. Ada beberapa fenomena pada akhir 1970an dan awal 1980an yang
menandakan bangkitnya kembali gairah dan minat terhadap tasawuf. Pertama, mulai
penerbitan buku tentang tasawuf dan relevansinya. Buku-buku ini sebagian besar
merupakan terjemahan karangan para sarjana modern seperti Sayed Hossein Nasr,
A. J. Arberry, Reynold Nicholson, Frithjof Schuon, Martin Lings, Sayed M.
Naquib al-Attas, Roger Garaudy, Annemarie Schimmel, Idries Shah dan lain-lain.
Sebagian lagi terjemahan karya sufi klasik seperti Imam al-Ghazali, Ibn `Arabi,
Fariduddin al-`Attar, Jalaluddin Rumi, Ali Utsman al-Hujwiri, Muhammad Iqbal,
dan lain-lain. Penerbit-penerbit awal yang berjasa ialah Pustaka Salman dan
Mizan di Bandung, Pustaka Firdaus, Panji Masyarakat dan Bulan Bintang di
Jakarta. Penerjemahnya adalah sarjana-sarjana yang baru kembali dari Amerika.
Kita tahu pada awal 1970an minat mempelajari bentuk-bentuk spiritualisme Timur
sangat marak di Barat. Ledakan penerbitan buku-buku kearifan Timur termasuk
tasawuf menyertai bangkitnya gairah tersebut. Survey yang dibuat IKAPI (Ikatan
Penerbit Indonesia) kalau tak salah pada tahun 1989 menyebutkan bahwa di antara
buku yang paling laris ketika itu ialah buku-buku tasawuf. Buku Sastra Sufi:
Sebuah Antologi yang saya karang dan diterbitkan pada tahun 1985 mengalami
cetak ulang sampai 7 kali. Kedua, maraknya kegiatan pembacaan puisi sufi oleh para
sastrawan di Taman Ismail Marzuki dan tempat-tempat lain. Sebelumnya, pada awal
1970an, telah bangkit gerakan sufistik dalam penulisan sastra yang dipelopori
oleh pengarang dan penyair seperti Danarto, Kuntowijoyo, Fudoli Zaini, Taufiq
Ismail, Abdul Hadi W. M., Sutardji Calzoum Bachri, dan lain-lain. Di antara
acara penting yang diselenggarakan dalam lingkait ini ialah pembacaan puisi
yang disebut Malam Rumi (1982), Malam Hamzah Fansuri (1984, Malam Iqbal (1987)
dan lain-lain. Sajak-sajak sufi dibacakan dalam acara pembacaan puisi yang
tidak dikhususkan memperkenalkan sastra sufi seperti Malam Palestina (1982),
Malam Afghanistan (1984), dan lain-lain. Mengikuti fenomena ini perbincangan tentang tasawuf dan
sastra sufistik semakin ramai pada tahun 1980an. Puncaknya ialah pada waktu
Festival Istiqlal diselenggrakan pada tahun 1991 dan 1995. Dalam festival
kebudayaan Islam terbesar yang pernah diselenggarakan di Indonesia ini,
berbagai bentuk ekspresi seni yang lahir dari tradisi tasawuf dipergelarkan,
termasuk pameran akbar seni rupa. Di antara ekspresi seni daerah yang berasal
dari kreativitas para sufi ialah Tari Saman dan Seudati dari Aceh, Rebana Biang
dan Rafa`i dari Banten, Tari Zapin Melayu, Pantil dan Sintung dari Madura, dan
lain sebagainya. Lembaran-lembaran budaya atau sastra di surat kabar ibu kota
seperti Harian Berita Buana dan Pelita berada di garis depan dalam upaya mereka
memperkenalkan relevasi tasawuf dan kesusastraan sufi. Nomor-nomor awal majalah
dan jurnal kebudayaan Islam terkemuka seperti Ulumul Qur’an juga menampilkan
perbincangan tentang tasawuf dan relevansinya. Pada akhir tahun 1980an,
pengajian-pengajian tasawuf mulai marak dilakukan di kota besar seperti
Jakarta. Misalnya seperti yang diselenggarakan oleh Yayasan Wakaf Paramadina.
Ini tidak mengherankan oleh karena orang-orang yang berperan dalam pengajian tersebut
sebagiannya adalah para redaktur atau editor Ulumul Qur’an. Kelompok-kelompok uzlah mahasiswa juga memainkan peranan
penting dalam memperkenalkan relevansi tasawuf. Terutama kelompok uzlah yang
muncul di masjid-masjid kampus seperti Salman ITB, Salahuddin UGM, dan Giffari
IPB (Institut Pertanian Bogor). Training-training organisasi mahasiswa pada
akhir 1980an juga tidak jarang diisi dengan bahan yang berkaitan dengan ajaran
sufi. Di luar itu juga marak pengajian-pengajian seperti Pengajian Taqwa yang diselenggarakan
di sudut-sudut pinggiran ibu kota. Tariqat-tariqat sufi seperti Naqsabandiyah,
Qadiriyah, Tijaniyah, dan lain-lain yang dahulunya tersembunyi di
kawasan-kawasan pinggiran kemudian merengsek keluar dan menampakkan kegiatannya
di pusat kota. Untuk memahami fenomena ini kita harus kembali melihat
situasi tahun 1980an. Sejauh mengenai gerakan uzlah di kalangan mahasiswa tidak
sukar dijawab. Sebagai dampak dari demo-demo anti pemerintah yang gencar
dilakukan mahasiswa, pemerintah ketika itu melarang kampus dijadikan ajang
kegiatan politik. Organisasi ekstra universiter seperti HMI, PMKRI, GMNI, IMM,
PMII dan lain-lain dihalau keluar dari kampus-kampus besar. Kebijakan
depolitisasi ini dijawab oleh mahasiswa-mahasiswa Islam di beberapa kampus terkemuka
seperti ITB, IPB, UGM, dan UI dengan menyelenggarakan kegiatan pengajian dan
pembelajaran secara sembunyi-sembunyi dalam bentuk kelompok-kelompok kecil.
Tujuannya ialah menyusun strategi baru perjuangan dan sekaligus memperdalam
penghayatan agama. Namun secara umum bangkitnya kembali gairah terhadap tasawuf
di kalangan terpelajar pada tahun 1980an sangat terkait dengan kehampaan
spiritual yang mulai dirasakan di tengah pesatnya pembangunan ekonomi.
Masyarakat kota , yang sebagian besar adalah orang-orang yang hijrah dari
daerah, mulai merasakan dirinya berada di tengah budaya baru yang asing,
terutama sistem nilai, pola hidup dan pergaulannya. Di tengah pesatnya
peradaban materialistik tumbuh di sekitarnya, mereka merasakan hilangnya
dimensi kerohanian yang teramat penting dalam memelihara hidupnya. Saya ingat kepada Danarto. Ketika dalam sebuah wawancaranya
pada akhir tahun 1970an ditanya mengapa ia memilih tasawuf sebagai titik tolak
penciptaan karyanya, dia hanya menjawab lebih kurang seperti berikut: “Selama
lebih 50 tahun dunia kita ini dilanda banyak peperangan besar dan kecil yang
menghancurkan kemanusiaan dan membuat kita semakin jauh dari kearifan dan
kebenaran. Semua ini merupakan dampak langsung dari kemajua teknologi, ilmu
pengetahuan, dan ekonomi kapitalis. Oleh karena itu yang kita butuhkan sekarang
hanya Tuhan. Dan cara terbaik dalam berhubungan langsung dengan-Nya agar supaya
kita memperoleh pencerahan.” Ketika saya ditanya apakah bangkitnya kembali gairah
terhadap tasawuf merupakan upaya eskapisme, saya sendiri hanya menjawab: “Mau
lari ke mana? Dunia ini tidak terelakkan. Ia adalah rumah kita dan sekaligus
kuburan kita. Persoalannya bagaimana kita harus memilih cara terbaik untuk
hidup dan menyongsong kematian. Yang duniawi dan yang spiritual adalah dua sisi
dari mata uang yang sama.” Dalam hubungan ini saya ingin mengutip apa yang
dikatakan oleh seorang cendekiawan sufi Melayu abad ke-16 M dari Aceh, Bukhari
al-Jauhari. Dalam kitabnya Taj al-Salatin (Mahkota Raja-raja, 1603) dia
lebih kurang mengatakan bahwa hidup manusia merupakan perjalanan dari Yang
Abadi menuju Yang Abadi. Enam tempat perhentian harus dilalui dalam
perjalanannya itu sebelum kembali ke tempat yang kekal. Pertama, sulbi , yaitu
ketika manusia masih berupa benih dalam angan-angan orang tuanya dan roh belum
ditiupkan oleh Sang Khaliq ke dalam tubuh jasmaninya. Kedua, rahim ibu. Di sini
ia tinggal selama lebih kurang sembilan bulan sebagai calon jabang bayi.
Ketiga, alam dunia tempat manusia berikhtiar dan berbakti untuk agama, nusa dan
bangsa. Keempat, alam kubur. Kelima, hari kiamat, tempat amal baik dan buruknya
ditimbang. Keenam, sorga atau neraka jahanam tempatnya yang kekal. Alam dunia merupakan perhentian yang penting. Oleh karena
itu manusia wajib mengenal dirinya dan dunia tempatnya tinggal itu. “Jalan di
hadapan kita sebelum tiba saatnya menempati alam kubur itu teramat jauh dan
sukar. Bekal untuk dibawa pulang ke tempat yang abadi tidak dapat dicari di
tempat lain kecuali di dunia ini. Kendaraan umurnya tidak dapat dihemat sebab
akan berlalu dan manusia tidak mengetahui betapa seatu hembusan nafasnya
seperti tapak kaki di jalan dan sehari seperti sebuah padang gurun yang luas…
dan satu hembusan nafas yang dihela dari hidupnya seperti sebuah batu yang
dibongkar dari rumah kehidupan dan setiap nafas pastilah membinasakan rumah
umurnya…” Oleh karena kehidupan di dunia harus dipelihara sebaik-baiknya. Orang
yang ingin selamat di dunia dan akhirat harus dapat membebaskan diri dari hidup
serba kebendaan. Melalui hikmahnya itu Bukhari al-Jauhari ingin mengatakan
bahwa tasawuf bukan eskapisme, melainkan upaya untuk menjadikan kehidupan
memiliki nilai dan tujuan spiritual. Syair Hamzah Fansuri yang dikutip pada
awal tulisan ini telah mengatakan kepada kita tujuan tasawuf yang sebenarnya
yaitu Tauhid, kesaksian bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan tempat kita
memohon pertolongan. 19 Januari 2009
· Tulisan ini dibacakan dalam acara Pekan Tasawuf Kota
(Urban Sufism Days) yang diselenggarakan pada 21-22 Januari 2009 di Universitas
Paramadina Jakarta. |