Kebutuhan Manusia terhadap Ideologi dan Pandangan DuniaDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Oleh: Ayatullah Misbah
Yazdi
Objek pembahasan kita pada kesempatan kali ini adalah
menjelaskan ideologi Islam dan memaparkan posisinya vis a’ vis ideologi
Marksisme beserta konsepnya yang ada. Penjelasan kedudukan ideologi Islam dalam
berhadapan dengan ideologi Marksis dapat ditelurkan dalam sebuah bentuk
pertanyaan, apakah ideologi ini memiliki konsep yang valid atau tidak?
Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa pemahaman terhadap sesuatu didapatkan
melalui media dan perantara bahasa atau lughah, oleh karena itu sebelum
memulai setiap pembahasan, makna setiap terminologi dan bahasa yang akan
dibahas haruslah jelas, sehingga ia dapat dipahami secara benar, khususnya
-kata- yang mempunyai makna dan peristilahan yang berbeda-beda, supaya
terhindar dari pemaknaan yang melenceng atau relatif. Apa itu Ideologi?
Terminologi pertama yang kita hadapi dalam pembahasan ini
adalah “ideologi”, sebuah istilah impor yang berasal dari Barat. Ada
baiknya kita gunakan istilah tersebut, supaya kita memiliki terminologi yang
sama dengan yang digunakan oleh mitra dialog, dan terminologi ini juga telah
banyak digunakan oleh para pemikir Barat. Ideologi secara leksikal terdiri dari kata “ide” dan
“logos“, yang berarti ilmu tentang akidah, atau kepercayaan. Tetapi
terkadang ideologi berarti Akidah itu sendiri atau jalan pemikiran. Ideologi secara teknis mempunyai dua makna, yang salah
satunya mempunyai makna lebih umum dari yang lain, makna pertama yang lebih
umum yaitu sistem pemikiran dan akidah secara mutlak, yang meliputi pemikiran
teoritis (nazhari )[1]; yaitu
pemikiran sebagai penjelas dari realitas luaran yang tidak berhubungan
langsung dengan perbuatan dan perilaku manusia. Ia juga meliputi
pemikiran praktis (’amali) yaitu pemikiran yang berhubungan langsung dengan
perbuatan manusia, yang berkaitan dengan “seharusnya” (bвyad, must) dan “tidak
seharusnya” (nabвyad, must not). Makna yang kedua adalah makna yang lebih
khusus. Makna ini terkhusus pada sistem pemikiran yang menentukan bentuk
prilaku manusia, atau dalam kata lain kata Ideologi digunakan sebagai bandingan
dari terma “Pandangan Dunia”, makna inilah yang dimaksud dengan makna yang
khusus, sebab “Pandangan Dunia”[2] adalah pandangan universal
terhadap segala eksistensi yang ada. Pandangan dunia hanya membentuk pemikiran teoritis
(nazhari). Berbeda dengan ideologi yang membentuk satu mata-rantai pemikiran
praktis (amali), yang menata dan mendesain seluruh perilaku manusia. Oleh
karena itu percaya kepada wujud Tuhan merupakan bagian dari pandangan dunia,
karena secara langsung tidak mempunyai pengaruh dalam perilaku dan aksi dalam
kehidupan manusia, dan pemahaman tersebut tidak berkaitan dengan “seharusnya”
dan “ tidak seharusnya”, kecuali jika ideologi dalam makna yang lebih umum kita
gunakan, maka hal itu akan meniscayakan tautan “seharusnya dan “tidak
seharusnya”. Oleh karena itu, kepercayaan bahwa “Tuhan harus disembah” tidak
termasuk bagian dari pandangan dunia, tapi bagian dari ideologi, karena
pemahaman tersebut berkaitan dengan “seharusnya” dan “tidak-seharusnya”, atau
dalam kata lain berkaitan dengan perilaku, aksi dan perbuatan manusia. Kebutuhan Ideologi Dan Pandangan Dunia
Kehidupan manusia -dapat dikatakan- memiliki karekteristik
insaniyah jika bersandar pada ideologi dan pandangan dunia yang benar, untuk
membuktikan hal ini, kita harus mampu membedakan secara mendasar antara
kehidupan manusia dan hewan-hewan yang lain. Sepanjang pengetahuan manusia,
bahwa kehidupan seluruh hewan diatur oleh insting, misalnya, burung burung -
atas dorongan insting mereka- memiliki keinginan untuk membuat sarang,
berpasangan dan bertelur, dan setelah itu mereka mengerami telurnya
hingga menetas, kemudian ia memberikan makanan pada anak-anaknya, hingga
anak-anak mereka siap untuk terbang, dan termasuk mengajarkan anak-anaknya
untuk dapat terbang tinggi. Burung-burung petelur tak akan pernah berkeinginan
untuk melahirkan, atau berpikir membuat sarang di bawah tanah atau dalam
lautan. Begitu juga setiap dari binatang menyusui, binatang melata dan
hewan-hewan laut mempunyai insting tertentu yang menentukan bentuk khusus
kehidupan mereka. Berbeda dengan manusia, walaupun ia mempunyai insting
seperti makan, bertahan untuk hidup (struggle for life) dan seksual, namun
kehidupannya bukan hanya diatur oleh faktor-faktor insting tersebut, akan
tetapi diatur oleh faktor utama yang disebut sebagai akal. Bahkan insting
manusia pun dikontrol oleh akal. Begitu pula dengan iradah manusia, melalui
pertolongan petunjuk-petunjuk akal ia mendapatkan perwujudannya. Oleh karena
itu, kehendak manusia memerlukan motivasi akal. Namun, dengan potensi ikhtiar manusia, mungkin saja ia
menolak apa yang dikehendaki oleh akal, dan kemudian mengikuti keinginan
instingnya, tapi jika hal ini terjadi, maka kehidupan yang ia jalani tidak lagi
bercorak insani, tapi hewani. Dengan demikian, agar kehidupan kita secara
hakiki benar-benar ingin disebut sebagai kehidupan insani, kita harus
memahami, apa yang sedang kita kerjakan? Dan untuk apa? Dan apakah perbuatan
ini-itu harus kita kerjakan atau tidak? Kemudian, jika kita telah mengambil
keputusan bahwa perbuatan tersebut “harus” kita lakukan, maka dengan metode
apakah perbuatan tersebut “harus” kita lakukan yang “seharusnya” kita lakukan
dan dengan metode apa kita tunaikan “keharusan” tersebut. Logika “Seharusnya”
dan “tidak seharusnya”, mungkin saja berhubungan dengan taktik atau rencana
strategis, namun pada akhirnya akan bersandar pada satu “keharusan-keharusan”
yang lebih universal dan lebih prinsip, yang akan membentuk bingkai dasar
perilaku kita, atau dalam bahasa lain, akan membentuk ideologi kita. Atas dasar
inilah terbukti bahwa kita harus memiliki ideologi yang benar. Hukum-hukum akal praktis (‘amali), bergantung pada
hukum-hukum akal nazhari (akan dijelaskan pada pembahasan Epistemologi). Misal
yang dapat disebutkan untuk hukum akal praktis (‘amali) adalah bahwa “Tuhan
harus disembah” ia bersandar pada hukum nazari, yaitu bahwa “Tuhanlah pencipta
alam manusia dan seluruh wujud-wujud mumkin, selama hal ini belum terbukti,
maka tak ada tempat untuk menetapkan hukum praktis (‘amali), sebab itu, prioritas
pertama adalah keharusan memiliki pandangan dunia yang benar, hingga kita
dapat membangun ideologi yang benar berdasarkan pandangan dunia tersebut. Hubungan Ideologi dan Pandangan Dunia
Pertanyaan yang mengemuka dalam pembahasan ini adalah apakah
Ideologi dan pandangan dunia mempunyai hubungan atau tidak? Dan jika ada,
bagaimanakah bentuk hubungannya? Jawaban teknis dan terperinci atas
pertanyaan-pertanyaan ini membutuhkan beberapa pendahuluan, lantaran penguraian
pendahuluan tersebut akan memakan waktu yang panjang, ruang dan waktu dalam
pembahasan ini membatasi kita untuk membicarakannya di sini. Namun kami akan
berusaha untuk menjawabnya dalam bentuk yang ringkas dan sederhana. Dalam masalah ini, terdapat beberapa pandangan. Pertama,
sebuah pandangan yang meyakini bahwa pandangan dunia dengan sendirinya akan
memunculkan ideologi tertentu, dan perbedaan Ideologi-ideologi yang ada
disebabkan karena perbedaan pandangan dunia (world view, weltanschauung).
Kedua, sebuah pandangan yang meyakini bahwa ideologi tidak mempunyai hubungan
dengan pandangan dunia sama sekali, sebuah pandangan dunia bisa menerima
ideologi yang berbeda-beda, persis seperti perbedaan keinginan masyarakat dalam
memilih baju yang sama sekali tidak kaitannya dengan pandangan dunia yang
mereka anut. Menurut hemat kami, tak satupun dari dua pandangan di atas
yang benar. Kami meyakini bahwa antara ideologi dan pandangan dunia, keduanya
mempunyai hubungan, namun hubungannya tidak seperti hubungan antara “sebab
sempurna (illat tammah)” dan akibatnya, dan antara syarat sempurna (syarth)
dengan yang disyaratkan (masyruth), akan tetapi mempunyai hubungan seperti
hubungan antara “sebab tidak sempurna” (illat naqish) dan akibatnya, dan
hubungan syarat wajib (lazim) dengan yang disyaratkan, artinya bahwa sebuah
ideologi butuh pada pandangan dunia, akan tetapi pandangan dunia saja tidak
cukup, yang dengan sendirinya akan membentuk sebuah ideologi, akan tetapi harus
ada pendahuluan yang lain yang bergabung dengannya, yang kemudian akan
memunculkan ideologi tertentu. Oleh karena itu, jika pandangan dunianya benar, kemudian
pendahuluan yang akan kita gabungkan dengannya juga benar, dan menyusun antara
pendahuluan dan kesimpulan juga benar, kemudian tidak terjadi fallacy di
antaranya, maka kita pun akan mendapatkan ideologi yang benar. Misalnya premis
“Tuhan itu ada”, dengan premis ini tidak bisa ditarik konklusi bahwa “Tuhan
harus disembah”, namun tanpa premis pertama, premis kedua pun tak dapat
dibuktikan. Dari sini, ada satu hal yang kami ingatkan bahwa pembicaraan
mengenai hubungan antara ideologi dan pandangan dunia, bahwa ideologi bermakna
sebuah pemikiran praktis (‘amali) yang memiliki keserasian dan keharmonisan
internal, dan demikian juga dengan pandangan dunia yang bermakna suatu sistem
pemikiran teoritis yang memiliki keserasian dan keharmonisan internal. Oleh sebab itu, ideologi-Ideologi dan pandangan-pandangan
dunia yang tidak mempunyai keserasian internal di dalamnya, sulit untuk kita
terima, dikarenakan tidak adanya hubungan yang logis antara ideologi dan
pandangan dunianya. Ideologi dan Pandangan Dunia dalam
al-Qur’an
Banyak ayat dalam al-quran yang membuktikan betapa
pentingnya ideologi dan pandangan dunia, bahkan Kitab Suci menegaskan bahwa
mereka yang tidak mempunyai ideologi dan pandangan dunia yang benar adalah
orang yang tersesat bahkan mempunyai derajat yang lebih rendah dari binatang,
seperti pada ayat 55 surah al-Anfal “Innв syarruddawwabi ‘indalLвhi alladzina
kafaru fahum la yu’minun”, yaitu seburuk- buruknya hewan melata di sisi Tuhan
adalah mereka yang kafir dan tidak beriman, dan dalam ayat 22 juga dalam surah
yang sama “Innв syarruddawwabi ‘indallahi shummmulbukmu allazina la ya’qilun”,
yaitu seburuk-buruknya buruknya hewan melata di sisi Tuhan adalah mereka yang
bisu dan tuli ( telinga mereka tuli dari mendengarkan hak, mulut mereka bisu
dari perkataan hak) dan mereka tidak menggunakan akal mereka, hinga mereka tak
dapat memahami hak, dan pada ayat 179 dari surat al-A’raf “ walaqad
zara’na lijahannama katsiran minal jinni wal insi lahum qulubun la la yafqahuna
biha walahum ‘ayunun la yubshiruna biha wa lahum adzanun la yasma’una biha
ulaika kalan’am balhum adhallun ulaika humul ghafilun”, mereka yang memiliki akal,
mata, dan telinga, tidak menggunakannya dalam jalan mengenal hak,mereka seperti
binatang bahkan lebih rendah, mereka lalai (tidak punya kesadaran “sebagaimana
harusnya”), dalam sebuah hadis juga diisyaratkan masalah ini: rahimallahu
imraan ‘arafa nafsahu,wa ‘alima min aina wa fi aina wa ila aina, (Rahmat Tuhan
ke atas mereka yang mengetahui dirinya, dari mana ia berasal dan dimana, dan
akan menuju ke mana). Jika orang menginginkan benar-benar dirinya sebagia mausia
hakiki, maka ia harus berpikir dari mana ia bermula (mabda), dan sekarang ia
berada dimana, dan akan kemana tujuannya dan tahu apa yang harus ia lakukan,
hingga mendapatkan kebahagiaan, hal ini menyiratkan bahwa manusia harus
mempunyai pandangan dunia dan ideologi yang benar. Oleh karena itu, nilai manusia dalam pandangan Qur’an
bergantung pada ideologi dan pandangan dunianya, maksud bahwa mereka yang
dengan menggunakan pemikiran dengan pengaplikasian kekuatan-kekuatan
persepsinya (idrak), dan kemudian memperoleh pandangan dunia dan ideologi yang
benar, serta menjadikannya sebagai dasar kebebasannya, maka tiba gilirannya
untuk ia dapat disebut sebagai Mukmin. Artinya ia telah memberi makna positif
dalam kehidupannya. Dan mereka yang memiliki pandangan yang pendek atau
kekuatan persepsinya tak mampu menemukan ideologi yang benar, dalam kondisi
seperti ini, ia tidak dapat disebut sebagai Mukmin, ia hanya bisa disebut
sebagai mustadhaf (orang yang lemah). Namun bagi mereka yang mencegah dirinya untuk berpikir
dan menjauhi kekuatan-kekuatan idrak-nya dalam usaha mencari ideologi dan
pandangan dunia yang benar, atau dalam kondisi fanatisme dan motivasi-motivasi
yang lain, maka dalam posisi seperti ini, ia disebut sebagai kafir,
artinya ia telah memberi makna negatif dalam kehidupannya. Masalah-Masalah Fundamental Pandangan
Dunia
Terdapat beberapa perbedaan dan persoalan dalam membahas
pandangan dunia, baik dalam sisi nilai, maupun dalam menjelaskan sisi
manakah yang lebih dahulu di antara keduanya, termasuk menjelaskan dasar
konsepnya. Tentunya, masalah-masalah fundamental adalah masalah yang
mendapat prioritas khusus untuk dibahas. Juga karena pembahasan ini “memiliki
nilai yang luar biasa”. Oleh sebab itu, ada tiga persoalan yang
paling mendasar yang akan kami bahas : Ontologi - Antropologi - Teleologi Dalam pembahasan ontologi, kami akan mencoba membahasnya
hinga kita mendapatkan sebuah pandangan universal tentang alam, dan
menjelaskan apakah existensi sama dengan materi termasuk berbagai
phenomenanya. Ataukah alam materi hanya bagian dari keberadaan alam? Jika ia,
apakah alam materi dengan alam methafisik mempunyai hubungan atau tidak?, jika
terdapat hubungan, bagaimana hubungan di antaranya? pemecahan masalah ini
berkaitan dengan pembahasan theologi (tauhid). Dalam pembahasan Anthropologi, akan di jelaskan masalah
hakikat manusia , apakah manusia hanya terdiri dari badan yang kita indrai ini,
atau juga memiliki ruh yang non-materi yang tidak dapat di indrai, jika
memiliki ruh, apakah setelah mati dimana badan menjadi hancur, ruh masih
tetap ada atau tidak? Dan apakah mungkin manusia hidup lagi atau tidak? Dan
apakah akhir kehidupan manusia terbatas ataukah abadi?dan apakah antara dua
kehidupannya, punya hubungan atau tidak? semua masalah ini berkaitan dalam
pembahasan “hari akhir” (ma’вd ). Dan akhirnya pada bagian ketiga, hal yang akan di
perbincangkan dalam masalah ini bahwa awal dan akhir manusia memiliki
keterikatan, dan menjelaskan bahwa Tuhan mengarahkan manusia pada kebahagiaan
yang abadi, dalam menyelesaikan pemecahan masalah ini, kami menyimpulkan bahwa
untuk mengetahui rencana yang benar kehidupan individu dan sosial, terdapat
jalan yang telah terjamin, dan bagi para pengikutnya bukan hanya
kebahagiaan duniawi, terbatas serta sementara yang ia peroleh. bahkan
kebahagiaan abadi dan kekalpun ia peroleh, dan jalan yang dimaksudkan adalah
“wahyu”, dari sisi Tuhan yang diberikan pada Nabi, dan melaluinya dapat di
peroleh khabar yang telah lalu. Sebagaimana dalam pembahasan tentang “awal” dan “akhir”,
“manusia”,”tauhid” dan “ma’ad” satu sama lain saling memiliki keterikatan,
begitupun dengan masalah ideologi dan pandangan dunia, terdapat rangkain
masalah yang saling berhubungan, artinya bahwa dalam naungan masalah
inilah (masalah nubuwwah) kita dapat menyelesaiakan masalah ideology tersebut secara
terjamin, dan kita dapat mengetahui program hidup yang benar itu sendiri,
sebuah program kehidupan yang menyiapkan kebahagian kita, baik dunia maupun di
hari akhir. Dengan demikian jelaslah, mengapa masalah ini
(tauhid,nubuwwah dan ma’ad) dikenal sebagai “ushuluddin” yaitu sebagai dasar
Ideologi Islam, termasuk hubungan logis di antara keduanya. Kami ingin
mengingatkan bahwa “keadilan” cabang dari masalah tauhid, dan Imamah cabang
dari masalah nubuwwah, dan untuk membedakan Akidah Syi’ah dengan mazhab kalam
yang lain, kita menyebutnya sebagai “ushul mazhab” . Dengan penjelasan
ini, telah jelas pulalah bahwa masalah ini merupakan fondasi yang paling dasar,
karenanya inilah apa yang kita maksud dengan “memiliki nilai yang luar biasa”,
disebabkan karena masalah ini menjamin kehidupan yang tak terbatas bagi
manusia,dari hal ini, tak satupun ilmu yang dapat dibandingkan dengannya dari
sisi nilai. Mungkin dikatakan, masalah - masalah ini akan mempunyai
nilai buat kita, jika dari “awal” ( tauhid ) kita meyakininya, hinga kita
sampai pada kesimpulan positif. Akan tetapi, bagi mereka yang tak mempunyai
keyakinan dalam memecahkannya, mungkin lebih memilih untuk pergi mencari ilmu,
dimana kesimpulan kesimpulannya mempunyai keyakinan yang lebih pasti, sehingga
umur kita tidak dihabiskan dalam menyelidiki masalah. Akan tetapi, harus
diketahui bahwa nilai probabiliti, tidak hanya mengikuti “persen”nya, tapi juga
bergantung pada faktor faktor yang lain, dan factor tersebut adalah kuantitas
sesuatu yang dimugkinkan dan hasil perkalian probability persen dalam
jumlah yang dimungkinkan, yang mana turut menentukan nilai probability. Misalnya, jika kita membuat pemisalan, bahwa probabilitas
laba dalam sebuah produksi 20 % dan dalam produksi yang lain 10 %, akan tetapi
kita tahu, bahwa produksi yang kedua memberikan laba dimana labanya 10 kali
lipat dari produksi yang pertama, dalam pemisalan seperti ini tidak cukup kita
mengambil pertimbangan, hanya dalam persen kemungkinannya hingga kita katakan
bahwa nilai probabilitas dalam produksi pertama lebih banyak, dan prosentase
kemungkinan yang pertama dua kali lipat dengan yang kedua, tapi kita harus
melihat prosentase probabilitasnya dalam quantitas laba yang di mungkinkan,
hasilnya kita akan melihat, nilai probabilitas laba dalam produksi yang ke dua
lima kali lipat dengan produkdi yang pertama yaitu 10 x 10% lima kali lipat
dari hasil 1 kali 20 %. Dari pemisalan yang kita buat diatas, kita juga dapat
menilai masalah-masalah pondasi pandangan dunia, artinya kita harus
mengalikan persen probabilitas sampainya pada kesimpulan yang pasti dalam
kuantitas probabilitinya, dan karena kuantitas probabilitasnya tak terhinga,
maka sekecil apapun jumlah persen probabilitinya (1/n) hasilnya pun akan
menjadi tak terhingga. ~ x 1/n = ~ Kesimpulannya, walaupun sejak awal kita meyakini bahwa
kemungkinan sampai pada “kesimpulan yang pasti” sangat lemah, tetap tidak akan
pernah mengurangi nilainya. Sebab walaupun nilainya adalah probabilitasnya yang
sangat kecil itu sendiri, namun dari nilai pribabilitas persen dalam seluruh
masalah lebih banyak. karena probabilitas kuantitasnya tak terhingga, seperti
kebahagiaan abadi manusia, yang mana hasil dari perkalian yang tak
terhingga, sekecil apapun yang kita asumsikan, tetap akan memberikan nilai yang
tak terhingga. [Sumber: wisdoms4all.com] |