Hermeneutik Irfani; Menembus Batas Eksoterik TeksDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Bahasa Irfan adalah bahasa penyingkapan (kasyf) dan syuhud
(penyaksian). Penyingkapan-penyingkapan irfani memberikan ungkapan dan
pandangan khusus kepada lisan dan mata seorang arif tentang keberadaan dan
kosmos eksistensi. Ungkapan dan pandangan ini merupakan hasil dari pengalaman
esoterik dan temuan-temuan irfani. Dan ketika terkait dalam batasan teori dan
penalaran (reasoning) ia berada dalam ruang-lingkup irfan teoritis, dua hal
yang harus tuntas dalam pembahasan epistemologi irfani. Dalam disiplin ilmu
Irfan Islami, teoritis atau praktis, muksyafah (disclosure) merupakan masalah
yang paling utama. Masalah ini telah dan tetap menjadi perhatian sepanjang
masa. Dalam Irfan praktis, amal dan olah-batin merupakan
starting-point dan jalan thariqat menuju hakikat. Dengan meniti jalan sair
suluk di penghujung seorang salik akan hinggap pada mukasyafah atas nama-nama
atau dzati. Dengan demikian, kasyf (penyingkapan) dan syuhud (penyaksian) merupakan
ujung jalan bagi seorang salik. Atas dasar ini, mukasyafah merupakan
titik-henti (ending point) irfan praktis dan titik-mula (starting point) irfan
teoritis. Kasyf dan syuhud adalah media untuk mengakses alam meta-natural
atau umumnya disebut sebagai meta-fisika. Dalam mengakses alam meta-fisika, para urafa menjadikan
Qur'an dan Hadis sebagai nara-sumber hayati. Qur'an bagi para urafa tidak
dipandang sebagai sekedar sebuah kitab biasa, namun ditilik sebagai firman
Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Pamungkas Saw melalui Jibril. Qur'an bagi
mereka adalah kehidupan itu sendiri dan mata-air cerlang cinta Ilahi yang
tumpah-ruah dalam kehidupan para urafa. Boleh jadi, rahasia dinamik dan
berpengaruhnya para urafa bagi umat manusia dan rahasia keabadian mereka adalah
hubungan intens mereka dengan kalam Ilahi dan pemahaman terhadapnya. Dalam
memahami kalam Ilahi, dalam kamus urafa, tidak terbatas pada kaidah linguistik,
bentuk lahir dari ayat-ayat dan susunan gramatika saja. Mereka menembus
batas-batas lahir menyelam samudera makrifat Ilahiah dengan menjelajah
makna-makna batin dari firman Tuhan. Proses jelajah dan eksplorasi yang
tertimbun dari makna lahir ini yang dalam ilmu tafsir disebut sebagai takwil.
Sebuah pendekatan yamg menanjak (su'udi) mengambil emanasi dari tanzil
(ayat-ayat Ilahi) yang bercorak menukik (nuzuli). Dalam pandangan Mulla Shadra, baik al-Qur'an dan manusia
masing-masing memiliki tingkatan lahir dan batin, eksoterik dan esoterik. Batin
al-Qur'an dicerap manusia dengan ruhnya, tidak melalui indra dan persepsi
lahiriyahnya. Tentu setelah melintasi tingkatan lahir dan derajat lafaz, dengan
memperhatikan bentuk-bentuk lahirnya, manusia pada giliran selanjutnya,
menembus tingkatan batin dan derajat makna. Pada lintasan ini, manusia
(penakwil) mengeksplorasi makna tersebut dengan syuhud dan mukasyafah. Sejalan dengan itu, hadis yang dinukil dari Rasulullah Saw
yang menyatakan bahwa al-Qur'an mengandung ayat-ayat lahir dan ayat-ayat batin,
dan ayat-ayat batin itu mengandung 70 batin yang lain menjadi dalih bagi para
penafsir untuk melakukan praktik tafsir irfani atau umumnya disebut sebagai
takwil atau hermeneutik irfani. Latar Sejarah Hermeneutik
Istilah hermeneutik (hermeneutic) populer disebut sebagai
seni takwil. Kata ini merupakan derivasi dari kata verba Yunani (hermeneuien)
yang bermakna “menakwilkan”. Hermenia berarti takwil dan galibnya istilah ini
digunakan pada hal yang bertautan dengan takwil teks-teks suci. Plato menyebut
para pujangga dan penyair sebagai interpreter dan penafsir (hermenes) para
dewa. Hermeneutik merupakan sebuah disiplin ilmu yang sangat kuno.
Hermeneutik atau seni takwil memiliki akar pada keyakinan pada kesucian teks.
Dengan mengikuti bahasa Ibrani, redaksi "ahli kitab" pada kebanyakan
bahasa bermakna "ahli iman" dan kesucian teks ini merupakan warisan
dari para nabi, pembesar agama, filosof, pengajar akhlak yang memuat
makna-makna tertimbun dan terpendam. Tanpa menggunakan metode takwil,
maka-makna yang terpendam dan tertimbun ini tidak akan pernah terungkap dan
tersingkap. Namun dalam menyingkap batin dan kedalaman teks dan ucapan ini
terkadang dilakukan melalui jalan berimaginasi pada ilmu perbintangan klasik,
yaitu dengan jalan menyesuaikan teks-teks dan ucapan tersebut dengan
bentuk-bentuk bintang. Terkadang penyingkapan ini dilakukan dengan jalan
filsafat dan teologi. Dan terkadang juga dengan metode hermes yaitu melalui
jalan takwil dimana jalan ini memiliki akar pada pemikiran hermenia dan
hermeneutik. Redaksi hermenia atau ilmu hermenuetik bersumber dari Nabi Hermes.
Konon, Socrates dalam dialognya dengan Cratlyus menyebut Plato sebagai
penyambung lidah, ucapan dan seorang penakwil.[2] Hermes yang disebut dalam literatur Islam disebut Idris, di
samping Plato dan Zarasustra adalah orang-orang yang dipandang oleh Syaikh
Syihabuddin Suhrawardi sebagai para pembesar maktab Iluminasi (Isyraq).[3]
Tulisan kebanyakan dari astronom dan ahli kemistri yang menaruh perhatian pada
hukum-hukum perbintangan menjadikan Hermes ini sebagai nara-sumber.[4] Tradisi
literatur Hermes ini berkembang di dunia Islam pada abad kedua Hijriah dan pada
masa pemikir-pemikir seperti Ibnu Sina (Avicenna), Suhrawardi, Ghazali, Ibnu
Thufail, Ibnu Arabi, pemikiran Hermes kurang-lebih telah bersemi di persada
dunia Islam.[5] Poin asasi dalam kisah Hermes dan seni takwil pada umumnya
dan boleh jadi seluruh karya terkait dengan Hermes, bersumber dari hermenuetik
atau takwil dari pesan-pesan samawi dan malaikat-malaikat Ilahi. Sebagaimana
Ibnu Arabi (1165-1240) yang mengambil emanasi dari ayat al-Qur'an, "Dan
Yusuf berkata, “Hai ayahku, inilah takbir mimpiku yang dahulu itu; sesungguhnya
Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan." (Qs. Yusuf [12]:100) dan
berkata bahwa proses adopsi ilmu takwil atau hermeneutik ini adalah bersumber
dari langit.[6] Dalam sebuah tulisan disebutkan persuaan Hermes dan akal.
Tatkala Hermes sedang tertidur nyenyak Nous (akal) muncul dan menyebut namanya:
"Apa yang engkau harapkan dari yang engkau dengarkan, lihat, pelajari dan
pikirkan? Hermes berkata: "Siapa gerangan dirimu?" Nous
berkata: "Aku adalah Poimandres, akal bangsawan." Dalam kondisi
tersebut, segala sesuatu di hadapanku berubah dan pada saat itu juga bertebaran
dan mataku menerawang jauh tanpa mengenal tapal batas. Segala sesuatu tenggelam
dalam cahaya. Dan ketika aku terbangun, aku berpikir bahwa cahaya itu merupakan
rangkapan antara kekuasaan nir-batas dan dunia telah menjadi wilayah tanpa
tapal batas.[7] Redaksi tulisan ini menandaskan bahwa ilmu hermeneutik
merupakan ilmu yang kudus dan becorak divine (samawi) dimana para filosof dalam
ranah pengetahuan ini memandang bahwa Hermes sebagai nara-sumber ilmu
hermeneutik. Malaikat yang disaksikan Hermes dalam persuaan batin ini adalah
malaikat yang hadir pada kondisi ekstasi yang dialami Suhrawardi (1154-1191 M).
Para pemerhati Suhrawardi menyebut malaikat tersebut sebagai akal aktif.
Suhrawardi sendiri yang berkata tentang arbab anwa' (tuan-tuan segala spesis),
sembari menyinggung Hermes, ia menyebut akal aktif tersebut sebagai dzat
ruhani.[8] Ilmu hermeneutik telah melalui proses sejarah yang panjang
di dunia Barat, pandangan dan gagasan yang muncul tentangnya bermacam-macam dan
terkadang saling bertolak belakang. Di Barat, hermeneutik berproses dalam tiga
jenjang historis, yaitu: hermeneutik pra-klasik, hermeneutik klasik, dan
hermeneutik kontemporer. Pada jenjang pertamanya terhitung sejak hadirnya
gerakan reformasi agama hingga abad kesembilanbelas Masehi dan munculnya
pemikir Friedrich D. E. Schleiermacher. Masa kedua dari Schleiermacher hingga
Martin Heidegger, dan zaman ketiga adalah pasca Heidegger yang dikenal dengan
nama hermeneutik filosofis. Hingga pada zaman Schleiermacher, hermeneutik hanya
difungsikan sebagai media untuk interpretasi teks-teks Kitab Suci agama.
Ia kemudian meluaskan subjeknya dan merumuskan kaidah-kaidah untuk menafsirkan
teks-teks selain agama seperti kesusastraan dan hukum. Setelahnya, di tangan
Wilhelm Dilthey, ranah hermeneutik semakin melebar mengkaji segala teks dan
pemahaman terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan humaniora (human
sciences). Pada akhirnya dengan perantaraan Heidegger, domain hermeneutik
menjadi sangat universal yang membahas teks dan non-teks, fenomena-fenomena
yang berkaitan dengan perilaku manusia, alam materi, dan metafisika. Selayang Pandang Takwil Irfani Setelah meninjau latar sejarah secara selintasan hermeneutik
atau seni takwil, saya mengajak Anda untuk melihat geliat laju perkembangan
tradisi hermeneutik ini dari sudut pandang irfan, khususnya Irfan Islam yang
menjadi fokus pembahasan artikel ini meski secara selintasan. Tradisi tafsir irfani sejatinya tidak terbatas hanya pada
kalangan Muslimin atau urafa saja, lantaran Philo Alexandria (40 M) untuk
pertama kalinya menggunakan metode penafsiran ini untuk kitab suci Taurat. Ia
meyakini bahwa kitab suci memiliki sisi lahir dan dimensi batin. Dimana
tingkatan batinnya lebih unggul dan transendental daripada derajat lahirnya.
Pelanjut filsafat Alexandria, Origen Alexandria (185-254 M), seorang
pembesar Katolik, berpandangan tentang adanya keragaman makna dari teks-teks
suci dan perlu adanya penafsiran alegoris dan simbolik atasnya. Nelson,
sejarawan kawakan Filsafat berkata ihwal Origen, Pandangan penting Origen
tentang tafsir dan kitab suci tentang adanya ayat-ayat muhkam dan hakiki.
Misalnya ayat yang mengatakan bahwa Tuhan memiliki tangan. Menurut Origen, ayat
seperti ini harus ditakwil. [9] Dalam tradisi kaum Muslimin, yang paling menonjol pada
penghujung abad keempat dan permulaan abad kelima Hijriah, dimana Abu
Abdurrahman Sullami (412 H) mengumpulkan tafsir-tafsir dari Imam Shadiq As (148
H), Abul Husain Nuri, Hallaj (309 H) dan Ibnu 'Atha (309 H), dan menjadikannya
dalam sebuah kitab mandiri Haqâiq al-Tafsir. Dan setelahnya, pada abad
kelima karya 'Abdul Karim bin Hawazan Qusyairi (465 H) menyusun sebuah
kitab tafsir irfani yang lengkap dengan nama Lathâif al-Isyârah.[10] Demikian
juga pada abad ini filosof seperti Ibnu Sina (908-1037 M) dengan karya Asrâr
al-Âyat pada namath 10 kitab al-Isyârah wa al-Tanbihât menunjukkan kegemarannya
terhadap tafsir irfani ini. Demikian seterusnya hingga abad ketujuh kita berhadapan
dengan pemikiran hermeneutis (takwil) Ibnu Arabi (638 H) hingga abad-abad
setelahnya, tetap berpengaruh pada dunia Islam dan di kalangan urafa Muslimin.
Pemikiran hermeneutis ini dapat disaksikan pada karya magnum opus Ibnu Arabi
Futuhat dan Fushus al-Hikam yang terangkum dengan nama Rahmat min al-Rahman fii
Tafsir wa Isyârat al-Qur'ân pada catatan pinggir kitab Tafsir I'Jaz al-Bayân fi
Tarjamat al-Qur'ân karya Shadruddin Qunawi.[11] Meski kita tahu bahwa Ibnu
Arabi memiliki kitab yang lain dengan nama Tafsir al-Qur'an al-Karîm yang
sejatinya adalah karya Abdurrazaq Kasyani, pengulas (syârih) ternama kitab
Fushûs al-Hikam.[12] Starting-poin pembahasan esoteric dan eksoterik al-Qur'an dan
ikutannya yaitu munculnya pelbagai penafsiran lahir dan batin, metode pemahaman
adalah riwayat yang dinukil dari Nabi Saw, "Sesungguhnya setiap ayat
al-Qur'an memiliki sisi lahir dan sisi batin. Dan dari setiap batin ini memuat
70 batin yang lain."[13] Dalam riwayat yang lain, disebutkan hingga
mengandung 700, bahkan 7000 batin yang lain.[14] Sepintas tampak bahwa hadis ini juga masih memerlukan takwil
dari apa yang dimaksud lahir dan batin ini. Oleh itu, Imam Baqir As dalam
menafsirkan nukilan ini bersabda: "Lahir al-Qur'an adalah tanzilnya. Dan
batinnya adalah takwil. Sebagian dari takwil ayat tersebut disebutkan dalam
riwayat dan sebagian lainnya tidak disebutkan. Takwil ayat-ayat tersebut
laksana proses pancaran mentari atas purnama." (Nikunam: 2003) Hermeneutik, Takwil dan Tafsir Paul Ricoeur ketika mendefinisikan hermeneutik menyebutkan: "Teori
aktivitas pemahaman yang berhubungan dengan interpretasi (takwil)
teks."[15] Antony Kerbooy, hermeneutik adalah ilmu atau teori
penakwilan.[16] Andrew Bovy memandang hermeneutik sebagai keahlian
interpretasi.[17] Takwil secara leksikal bermakna memulangkan atau
mengembalikan lafaz dari makna lahiriyah (eksoterik) kepada makna yang
dimungkinkan dengan syarat makna yang dimungkinkan tersebut selaras dan sejalan
dengan al-Qur'an dan Hadis.[18] Dzhabi dalam al-tafsir wa al-Mufassirun menulis bahwa takwil
merupakan ambilan dari awal dan bermakna ruju'. Âla asy-Syai, Ya'ulu Awlan wa
Maalan; ruju' wa awwala asy-syai: rajja'ahu.[19] Alusi dalam Ruhul Ma'âni berkata bahwa takwil adalah isyarah
qudsi dan makrifat-makrifat ketuhanan dimana para salik berusaha menggali
endapan redaksi dan melepaskan dahaga jiwa para arif dari awan-awan ghaib yang
menyelimuti.[20] Henry Corbin, mengawali bukunya, Philosophy of Islamic
History, dengan pembahasan tafsir batin yaitu takwil. Ia, sembari menyinggung
sejarah kemunculan takwil dan penyebarannya di kalangan Syiah, berusaha
menetapkan dan membuktikan bahwa takwil merupakan sesuatu yang bersifat
esoterik dan terbenam makna lahir al-Qur'an. Corbin menegaskan bahwa takwil
adalah mengembalikan sesuatu pada asalnya. Orang yang mempraktikkan takwil
adalah orang yang mengembalikan sebuah penjelasan pada makna lahirnya dan
hinggap pada pemahaman hakikinya. Takwil adalah tafsir batin dan tafsir
simbolik.[21] Mulla Shadra berpandangan bahwa takwil merupakan sebuah
keniscayaan dalam penafsiran. Karena di balik (beyond) makna leksikal dan lahir
al-Qur'an yang memiliki hubungan dengan dunia eksistensi, terkandung selaksa
rahasia, makna simbolik, dan makna-makna yang menjuntai dimana dengan metode
tafsir redaksional, ayat-ayat al-Qur'an tidak dapat dipahami. Ia menegaskan
bahwa makna-makna eksoterik al-Qur'an tidak kuasa mengemban tugas untuk
menyingkap realitas-realitas dan rahasia-rahasia tertimbun di balik makna
lahirnya.[22] Abu Ubaidah dan sekelompok orang berkata: "at-Tafsir wa
at-Ta'wil bema'nan wâhid."[23] Allamah Thaba-thabai menyebutkan bahwa pendapat adanya
kesamaan antara takwil dan tafsir merupakan sesuatu yang masyhur.[24] Namun sebagian ulama lainnya berpendapat adanya perbedaan
makna (tabâyun) antara tafsir dan takwil sebagaimana ada yang berpandangan
adanya kesamaan (taraduf) makna antara tafsir dan takwil. Raghib berkata bahwa tafsir coraknya lebih umum ketimbang
takwil. Tafsir kebanyakan bertautan dengan lafaz sementara takwil berurusan
dengan makna. (Raghib al-Isfahani, Mufrâdat Al-Fâzul Qur'ân, redaksi tafsir)
Redaksi takwil disebutkan pada 7 surah dan 15 ayat.[25]
Dimana ayat yang paling benderang menyinggung tentang takwil adalah pada surah
al-Imran, ayat 7. Sementara tafsir hanya sekali disebutkan, "Tidaklah
orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sebuah perumpamaan, melainkan
Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik
penjelasannya." (Qs. Furqan [25]:33) Tsa'labi yang merupakan gelar bagi Abu Ishaq Naisyaburi
pengarang "al-Kasyf wal Bayân 'an Tafsiril Qur'ân dalam menjelaskan
perbedaan antara tafsir dan takwil berkata bahwa tafsir adalah penjelasan atas
penetapan lafaz, baik ia bersifat hakikat (real) atau majazi (figuratif), namun
takwil merupakan tafsir esoterik lafaz.[26] Henri Corbin memandang bahwa tafsir merupakan langkah awal
sementara takwil sebagai langkah kedua. Corbin memandang takwil idem ditto
dengan hermeneutik. Ibnu Arabi tatkala menuliskan ihwal takwil mimpi Yusuf
menuturkan: "Dan Yusuf berkata, “Hai ayahku, inilah takbir mimpiku yang
dahulu itu; sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan."
(Qs. Yusuf [12]:100) pada dunia persespi pasca dunia khayal (fantasi),
sementara Rasulullah memandang dunia persepsi ini sebagai jenis dari tidur dan
bersabda, "Manusia dalam keadaan tidur setelah mati mereka akan
bangun." Ibnu Arabi menambahkan, ucapan Yusuf "sesungguhnya Tuhanku
telah menjadikannya suatu kenyataan," sekedudukan orang yang melihat
dirinya terjaga dalam tidurnya, melihatnya kemudian menakwilnya, dan ia tidak
mengetahui dirinya sedang tertidur. Apa manfaatnya, ketika ia bangun dan
berkata: "Aku melihat demikian, dan melihat seolah-olah aku terjaga dan
menakwilnya demikian, ini seperti itu, lalu kalian perhatikan antara pencerapan
Muhammad Saw dan pencerapan Yusuf As (ini) ketika berkata: "inilah takbir
mimpiku yang dahulu itu; sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu
kenyataan," adalah bermakna dunia persepsi.[27] Yusuf melihat apa yang
dilihatnya pada alam fantasi kini ia saksikan pada dunia persepsi. Lalu Ibnu Arabi mengajak kita melakukan komparasi antara
pencerapan Muhammad Saw dan Yusuf As berkata, "Lalu perhatikanlah alangkah
sublimnya ilmu yang diwarisi Muhamamad Saw, yaitu ilmu awliya yang sempurna
yang memiliki akses terhadap rahasia-rahasia ini. Izutsu, tatkala mengomentari
tuturan ini, menulis bahwa menurut Ibnu Arabi pencerapan Muhammad Saw yang
bersabda "Manusia dalam keadaan tidur setelah mati mereka akan
bangun," lebih dalam dari pencerapan Yusuf As.[28] Lebih jauh Izutsu menulis, "Yusuf bentuk luaran dunia
persepi ia pandang sebagai kebenaran sementara bentuk dalam dunia fantasi
tersebut tidak lain terletak pada dunia persepsi. Lantaran fantasi tidak akan
tampak kecuali dalam alam persepsi. Namun Muhammad memandang bentuk luaran
dunia persepsi ini sebagai fantasi dalam fantasi. Karena ia memandang kondisi
manusia dalam kehidupan duniawi berada dalam keadaan tidur. Dan Tuhan
ber-tajalli (memanifestasi) dalam realitas dan identitasnya di dunia pasca
kematian, artinya pada bentuk persepsi setelah bangun dan terjaga dari
kehidupan dunia ini.[29] Dari definisi yang dijelaskan di atas dan tuturan Syaikh
Akbar ini menegaskan bahwa takwil tidak berurusan dengan kaidah lingusitik dan
bentuk eksoterik al-Qur'an, namun bertautan dengan isu-isu yang menjelajah
kedalaman lafaz dan batin ayat-ayat al-Qur'an. Dengan demikian dapat kita katakan adanya kedekatan atau
kesamaan ilmu hermeneutik dan takwil dengan eksplorasi logis dan bersandar pada
metodologi dasar penelitian. Atas alasan ini, Henry Corbin berulangkali
menyebutkan kemiripan hermeneutik Qur'ani dan hermeneutik irfani Kristen.
Menyitir, Ricoeur (1913-2005), tirai setiap simbol dan analogi tidak akan
terkuak kecuali dengan praktik takwil dan hermeneutik.[30] Irfan dan Hermeneutik Tafsir irfani terkadang digunakan sebagai metode penafsiran
simbolik dan bahkan isyarah di samping tafsir filosofis. Kedua pendekatan ini
merupakan upaya yang dilakukan oleh para penafsir Islam dalam memahami
teks-teks revelasional yang coraknya berbeda dengan kebanyakan penafsiran
secara resmi dan umum. Kedua model penafsiran ini tidak mengurangi nilai
penafsiran, melainkan sebuah pendekatan yang berbeda ketika berhadapan dengan
al-Qur'an. Dalam sebuah ungkapan para urafa dan filosof merupakan para
pendahulu yang melakukan pendekatan esoterik atau penafsiran non-official
terhadap al-Qur'an. Irfan dan hermeneutik adalah dua hal yang berkembang
dan melaju secara progressif dalam pemikiran Islam. Berbicara tentang irfan dan hermeneutik maka kita akan
banyak membincangkan Ibnu Arabi tokoh kaliber dalam dunia ini. Tokoh yang
acap-kali dituding kafir karena praktik takwil yang dilakukannya. Terkait dengan masalah takwil, Ibnu Arabi pada awal-awal
kitab tafsirnya (yang konon dinisbahkan kepadanya) menulis: "Barang siapa
yang menafsirkan berdasarkan pendapatnya (tafsir birra'y) maka ia telah kafir.
Adapun takwil, ia tidak (dapat) ditinggalkan lantaran takwil berbeda dan
beragam sesuai dengan kondisi pendengar dan masanya yang ia habiskan untuk
suluk dan berbeda derajatnya. Setiap saat ia menanjak (menyempurna) dari
tingkatannya maka akan dibukakan baginya pemahaman baru dan dikabarkan
kepadanya sublimitas makna baru.[31] Dari poin ini kita dapat melihat makna takwil dalam
pandangan Ibnu Arabi. Ia menggunakan redaksi bahwa "kapan saja ia menanjak
(menyempurna) dari tingkatannya maka akan dibukakan baginya pemahaman baru,
sublimitas baru atas makna. Posisi takwil optimistik dalam lisan Ibnu Arabi
merupakan ilham dari hadis tujuh tingkatan batin firman Ilahi yang disebutkan. Pandangan Ibnu 'Arabi ihwal ayat-ayat dan khususnya
kisah-kisah para nabi berpijak pada simbol oleh karena itu melalui media takwil
simbol-simbol tersebut dapat diurai. Ia meyakini bahwa kisah-kisah para nabi di
samping bentuk lahir dan pengertian lafaz eksoteriknya, terpendam pengertian
simbolik dan maknawi. Ibnu 'Arabi dalam Fushusul Hikam berupaya menakwilkan secara
irfani (gnostically) kisah-kisah para nabi sebagiamana yang ia lakukan pada
kisah penciptaan Hawa dari Adam bukan dari sisi bentuk penciptaannya, melainkan
takwil ruhani atas wahdatul wujud (kemanunggalan wujud). "Dan darinya (nafs Adam) Allah menciptakan istrinya
(Hawa)." Adam tidak menikah kecuali dengan dirinya. Kemudian darinya
(Adam) istri dan anak, dan perkara (penciptaan) ini merupakan perkara yang satu
dalam bilangan. Lalu siapakah tabiat itu? Dan siapakah yang tampak darinya? Dan
kami tidak melihatnya mengurangi dari apa yang tampak darinya, dan tidak
menambah ketiadaan dari apa yang tampak." Qaishari dalam memberikan ulasan dari penuturan Syaikh Akbar
ini, berkata: "Artinya, sekiranya perkara merupakan perkara yang satu lalu
siapakah yang disebut thabiat selain wujud Tuhan, dan siapakah yang tampak dari
tabiat kecuali individu-individu dari entitas-entitas (a'yyân), dan tidak
terkurangi darinya dengan penampakan (zhuhur) dan tidak bertambah dengan
tiadanya penampakan ('adam zhuhur) seperti insaniyyah; lantaran kekurangan dan
penambahan merupakan tipologi benda-benda. Syaikh Akbar dalam frase terakhir menegaskan supaya mereka
yang mengetahui apa yang kami katakan tidak terperanjat kaget atas pengetahuan
ini bahwa realitas tunggallah yang nampak (lahir) dalam bentuk-bentuk yang
banyak dan jelmaan-jelmaan beragam.[32] Menurut Ibnu Khaldun, sejarawan dan sosiolog besar abad 8
Hijriah, "Untaian kata-kata tidak mampu menunaikan keinginan para arif
dalam menjelaskan tujuan-tujuan irfani, lantaran kata-kata ditetapkan hanya
untuk makna-makna konvensional dan keseharian yang banyak bertautan dengan
urusan-urusan persepsi dan indrawi."[33] Dalil pertama yang dapat ditunjuk sebagai motivasi para
urafa menggunakan bahasa simbolik adalah bahwa penetapan (wadh'e) pertama
pelbagai lafaz digunakan untuk perkara-perkara empirik. Dan lantaran tatkala
mereka, dalam memahami lapisan-lapisan esoteric al-Qur'an, menjejakkan kaki
pada dunia meta-empirik, mau-tak-mau menggunakan penetapan sekunder lafaz
tersebut. Attar dinukil berkata demikian, "Redaksi (ibârat)
merupakan bahasa ilmu dan alegori (isyarah) adalah bahasa makrifat."[34] Para urafa tidak mampu menumpahkan luapan kondisi batinnya
kepada orang lain, mereka hanya dapat menjelaskan pesan-pesan mereka dalam
bentuk simbolik dan isyarat itu pun hanya dapat dipahami oleh mereka yang
mengalami perasaan yang sama, demikian paparan Rey Nicholson. (Nicholson:1987) Syaikh Mahmud Syabistari berkata: Ma'âni hargez andar harf nayâyad Ke Bahr Qulzum andar zharf nayâyad[35] Makna-makna sekali-kali tidak termuat dalam gugusan kata Sebagaimana laut merah tidak termuat dalam wadah Dalam bahasa Syabistari untaian kata laksana gemuruh laut
merah yang tidak termuat dalam wadah, para urafa tidak mampu menuangkan
realitas-realitas batin dan rahasia ghaib dalam gugusan dan untaian kata-kata.
Oleh karena itu, dalam bentuk yang baru dengan bahasa-bahasa simbolik dan sarat
dengan muatan alegoris, mereka tetap menggunakan lafaz-lafaz. Transformasi Lafaz kepada Makna, takwil dan redaksi isyarah Proses transformasi lafaz-lafaz yang digunakan para arif
kepada makna-makna dan hakikat-hakikat yang menjadi keinginan mereka secara
sekilas akan kita bahas di sini. Tanazzul dan tanzil terkait dengan lafaz; akan
tetapi dengan media takwil kita ingin merangsek memasuki wilayah makna. Artinya
kita ingin memahami makna melalui perantara lafaz. Takwil berbeda dengan
tanzil. Takwil bercorak su'udi (menanjak) sementara tanzil berwarna nuzuli
(menukik). Tanzil adalah proses penurunan makna-makna dari Tuhan kepada
makhluk. Takwil merupakan proses kenaikan dan penanjakan manusia dari makhluk
kepada Khaliq dan perjalanan dari domain eksoterik kepada ranah esoterik. Dasar dari proses kenaikan ini adalah kaun jâmi' manusia.
Manusia dengan mendengar lafaz-lafaz yang bersilewaran dan umum digunakan dalam
disiplin ilmu irfan mendasarkan dirinya pada transendental dan universalitas
wujudnya. Dengan dasar ini, ia dapat menemukan pelbagai makna yang beragam di
balik lafaz secara vertikal, top-down. Sebagaimana pada penerimaan makna-makna dan hakikat-hakikat
bersandar pada tingkatan wujud manusia, pemahaman terhadap redaksi dan isyarah
makna-makna ini berpulang pada derajat eksistensi manusia. Secara umum
kepelikan dan kesulitan dalam pemahaman bahasa para urafa merupakan hasil dari
beberapa faktor seperti tingkatan wujud, perbedaan kondisi dan suasana batin
serta banyaknya kesesuaian dalam penggunaan bahasa isyarah dan simbol.[36] Takwil Ibnu Arabi Henri Corbin meyakini bahwa pemikiran takwil Ibnu Arabi
hanya dapat dijumpai pada kedalaman hikmat esoterik agama-agama Ibrahim dan di
antara tiga cabang hikmah agama Ibrahim, takwil Syaikh Akbar tumbuh bersemi
dalam hikmat batin Islam.[37] Ibnu Arabi seorang arif besar dalam karya monumentalnya yang
terkenal, Fushûs al-Hikam, dalam mencari derivat bahasa, sedemikian ia
melakukan takwil sehingga apabila seseorang lalai dari sisi takwil-takwil yang
disebutkan, boleh jadi ia dituding telah melakukan kesalahan dan kekeliriuan
dalam melakukan praktik derivasi! Padahal Ibnu Arabi adalah seorang sastrawan dan
orang yang berbahasa Arab. Di antara takwil-takwil iluminatif yang dapat disebutkan
dari Ibnu Arabi adalah nisaa’ (wanita-wanita), nisaa (terlambat) dan nasaa
(terlupakan) yang ia ambil dari satu klausul. Atau “mal” (kepemilikan)
dipandang sebagai berasal dari derivat yang sama dengan “meil” (selera) atau
‘asha (tongkat kayu) dan ‘asha (membangkang) ia perkenalkan sebagai berhubungan
satu dengan yang lain.[38] Ibnu Arabi, sesuai dengan kaidah yang ia gunakan dan dengan
menakwil ayat-ayat al-Qur'an selaras dengan metodenya, menyimpulkan bahwa
Fir'aun adalah seorang mukmin dan dengan iman yang diterima oleh Allah Swt
meninggalkan dunia ini. "Tuhan mengambil jiwa Fir'aun sementara ia suci
dari segala noda dan nista lantaran ia beriman tatkala jiwanya dicabut dan
tidak ternoda dengan perbuatan dosa, dan Islâm yajubbu ma Qablahu (Islam
menganulir apa yang dianut sebelumnya). Dan Tuhan menempatkan ayat atas
inayahnya terhadap siapa pun sehingga tiada orang yang berputus asa dari rahmat
Ilahi, lantaran "Sesungguhnya tiada yang berputus asa dari rahmat Tuhan
kecuali orang-orang kafir." (Qs. Yusuf [12]:87) Sekiranya Fir'aun termasuk
dari orang-orang yang berputus asa maka ia tidak akan bergegas memilih
iman."[39] Demikian takwil Syaikh Akbar ini yang tidak kurang menuai
pro-kontra atas praktiknya berhermeneutik ini. Ihwal kisah penyembelihan Ismail, lagi Ibnu Arabi melakukan
praktik takwil dimana dalam fash Idris kita membaca "(Ismail) berkata,
"Wahai Ayahku! Kerjakan yang diperintahkan kepadamu." Dan anak adalah
ayah itu sendiri (hubungan kesatuan yang terajut di antara keduanya). Lantaran
hubungan antara seorang salik dan syaikh mukammil adalah sebanding dengan
hubungan anak kepada ayahnya. Syaikh Akbar menukil hikayat Ibrahim dan Ismail.
Dan ucapan murid kepada syaikhnya, "Kerjakan yang diperintahkan
kepadamu," adalah bentuk kepasrahan murid dihadapan gurunya. Dan isyarah
atas perbuatan guru bukan dari dirinya sendiri; melainkan perintah Ilahi dan ia
merupakan sebuah media antara salik dan Hadrat Haq. Dan anak merupakan
ayah itu sendiri berdasarkan hukum ittihad dan emanasinya merupakan sekumpulan
bagian keberadaan sang ayah. Oleh itu, ia tidak melihat selain penyembelihan
nafsunya yang merupakan bentuk kefanaan dan penyembelihan ananiyahnya.[40] Karya magnum opus Ibnu 'Arabi, Futuhât dan Fushûs al-Hikam
merupakan karya yang sarat dengan takwil atas ayat-ayat Ilahi dan hadis-hadis
nabawi dimana pada kesempatan ini kami hanya menyebutkan beberapa contoh yang
tersebut di atas. Meski dengan segala eksplorasi hermeneutik terhadap
al-Qur'an, toh Syaikh Akbar tetap low-profile dengan berkata bahwa kelak akan
ketahuan di hari Kiamat bahwa al-Qur'an ini ternyata masih perawan. Tafsir irfani al-Qur'an, menurut Mulla Shadra, menjadi
mungkin tatkala seorang mufassir (penafsir) telah melintasi tingkatan
pencerapan indrawi menuju tingkatan yang lebih tinggi. Artinya dari tingkatan
indrawi dan lahir al-Qur'an menuju tingkatan kedua mitsali dan aqli untuk
mencapai hakikat. Mulla Shadra berpandangan bahwa dalam menafsirkan al-Qur'an
terdapat dua tingkatan; tingkatan pertama yaitu tafsir lafzi dan kedua tafsir
batin. Takwil lafzi berkutat dengan gramatika, sintaktis, mungkin mirip
dengan tafsir gramatikal dan sintaksisnya Schleirmacher. Tafsir lahir ini memberi
stressing pada sisi elokuensi (balâghah) dan bentuk sastranya. Adapun
takwil yang disebut belakangan adalah takwil atau tafsir batin bermakna
melintasi demarkasi lahir lafaz merangsek memasuki domain batin dan ranah
makna. Fenomena ini laksana melintasi alam persepsi indrawi menuju batin dan
ruh semesta. Memahami firman Ilahi tidak akan sempurna hanya dengan berkutat
dengan lafaz-lafaz dan lahiriyah saja, manusia dengan tingkatan wujudnya untuk
mencapai hakikat harus beranjak menuju alam makna dan batin dari firman
tersebut. Sebagaimana hal ini disinggung dalam hadis bahwa al-Qur'an memiliki
sisi lahir dan batin. Dan batinnya memiliki tujuh gerbang batin yang lain.[41] Menurut Mulla Shadra dan para urafa masing-masing orang
memiliki hak untuk memaknai Qur'an terpisah dari yang lain. Lantaran tingkatan
wujud manusia tidak sama, dan masing-masing sesuai dengan wadah dan
kemampuannya ia temukan sesuatu dari al-Qur'an. Takwil Qur'an tidak
berseberangan dengan bentuk lahirnya melainkan berfungsi sebagai pelengkap dan
penyempurna.[42] Mulla Shadra meyakini bahwa ayat "Qul unzhâru mâ dza
fii as-samâwat wal ardh" dipandang sebagai sebuah titah dan amaran.
Sebagai sebuah titah ia adalah taklif. Oleh itu, mengenal semesta, mengenal
segala realitas telanjang dan terpendam di alam semesta ini merupakan sebuah
kewajiban syar'i. Sesuai dengan takwilnya, Mulla Shadra menyeru setiap orang
untuk berusaha menyingkap realitas-realitas semesta dan masalah ruh manusia. Dalam mengkonstruksi burhan Shiddiqien, Mulla Shadra bersandar
pada ayat "Allah bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain
Dia" (Qs. Ali Imran [3]:18) yang menegaskan bahwa sesungguhnya burhan yang
paling agung, paling kokoh, paling benderang adalah penalaran (isitdlal) atas
Dzat-Nya dengan Dzat-Nya (istidlal 'ala dzatih bidzatihi).[43] "Ketahuilah, sesungguhnya jalan menuju Tuhan itu
banyak. lantaran Dia memiliki segala keutamaan dan kesempurnaan. Dan
masing-masing kelompok memiliki kiblat yang ditentukan oleh Tuhan baginya.
Namun terdapat sebagian jalan yang lebih kokoh, lebih baik dan lebih bercahaya
dari yang lain. Argumen (burhan) yang paling kokoh dan paling baik adalah
argumen yang premis tengahnya (middle term) tidak lain adalah wajibul wujud.
Dalam keadaan seperti ini, jalan dan tujuan akan menjadi satu.
Jalan itu adalah jalan para shiddiqin, dimana mereka menyaksikan Tuhan,
kemudian dzat-Nya, kemudian sifat atas perbuatan-Nya.[44] Imbuh Mulla Shadra. Dalam burhan ini, Mulla Shadra menyingkap tirai wujub
melalui hakikat wujud dimana hal tersebut memerlukan beberapa premis
pendahuluan: Kehakikian wujud dan abstraksi mentalnya kuiditas. Setelah kita
menerima bahwa terdapat realitas luaran dan kita mengabstraksikan dua pahaman
masing-masing dari realitas ini; yang pertama adalah wujud dan selainnya adalah
kuiditas (mahiyyah); telah dibuktikan bahwa realitas luaran merupakan mishdâq
(obyek luar) wujud. Dan kuiditas merupakan abstraksi mental (i'tibari) yang diabstraksikan
dari batasan realitas eksternal. Tasykik al-wujud: Mulla Shadra memiliki
keyakinan bahwa wujud-wujud eksternal, baik ia kuat atau lemah, sebab atau
akibat, semuanya merupakan sistematika dari sebuah hakikat dan yang menjadi
keragamannya adalah keseragamannya dan keseragamannya adalah keragamannya (ma
bihi al-isytirak 'ain ma bihi al-iftirak wa ma bihi al-iftirak 'ain ma bih
al-isytirak) bersumber dari satu genus yang disebut sebagai tasykik al-wujud
(gradasi wujud). Sebagai misal -untuk memudahkan pemahaman- intensitas cahaya
matahari dibandingkan dengan cahaya bulan, cahaya bintang dan cahaya lampu
adalah lebih kuat dan yang belakangan adalah lebih lemah. Tetapi dengan
keragaman cahaya yang ada, dari sisi intensitas, ia seragam dalam sebutan sebagai
cahaya. Dari tasykik al-wujud inilah muncul apa yang disebut sebagai derajat
wujud atau gradasi wujud. Lantaran ketika keragaman wujud-wujud kembali kepada
keseragamannya, yaitu wujud itu sendiri, maka sudah tentu keragaman bersumber
dari tingkatan wujud itu sendiri, tidak kepada kuiditas (mahiyyah). Besathat
al-Wujud (simpelitas wujud); wujud merupakan sebuah realitas simpel. Ia tidak
memiliki bagian dan bukan merupakan bagian dari sesuatu. Karena kita tidak
memiliki sesuatu selain wujud. Teraju perlunya akibat kepada sebab;
Standar perlunya akibat kepada sebab adalah terelasikannya wujud relasi
terhadap wujud. Dengan kata lain, kelemahan tingkatan "wujud akibat"
hingga yang paling lemah sekalipun dalam keberadaannya secara niscaya memerlukan
sebuah wujud yang lebih tinggi dan lebih kuat. Berdasarkan empat premis di
atas, burhân shiddiqîn dapat disimpulkan sebagai berikut: "Tingkatan wujud
-kecuali yang paling pamungkas yang memiliki kesempurnaan nir-batas (unlimited)
dan tidak berhajat kepada apapun dan siapapun dan memiliki wujud yang mandiri
secara mutlak- adalah berhajat dan bergantung. Dan apabila tidak ada wujud yang
paling pamungkas, maka tingkatan-tingkatan wujud yang lain tidak akan pernah
ada; karena asumsi ini meniscayakan bahwa hadirnya tingkatan-tingkatan
wujud yang lain tanpa hadirnya tingkatan yang paling tinggi dari jajaran wujud,
adalah tingkatan-tingkatan wujud, mandiri dan tidak berhajat kepadanya.
Sementara dimensi wujudnya adalah bergantung dan fakir serta berhajat kepada
wujud yang paling tinggi tingkatannya.[45] Dengan kata lain, apabila seluruh tingkatan wujud yang
bergantung itu tidak berujung kepada wujud mandiri dan tidak bergantung, maka
niscaya wujud-wujud yang lain tidak akan pernah ada. Namun wujud-wujud memiliki
kebergantungan kepada sesuatu, maka wujudnya mestilah mandiri dan tidak
bergantung. Demikianlah takwil Mulla Shadra dalam menetapkan wujud Tuhan dengan
burhan Shiddiqien yang terinspirasi dari ayat Ali Imran (2): 18 di atas. Mulla Shadra, mengikuti maktab Isyraq, memandang cahaya
(nur) sebagai realitas meta-fisika. Cahaya dalam pandangan Mulla Shadra adalah
wujud.[46] Cahaya dan wujud merupakan hal yang satu pada arsy instanta luaran
(mishdâq) dan perbedaannya pada komprehensinya (mafhum). Dan lantaran al-Qur'an
adalah cahaya maka Kitab Suci ini merupakan penampakan (mazhar) dan tempat
manifestasi kosmos wujud. Pendeknya al-Qur'an adalah keberadaan. Sejalan dengan Ibnu Arabi yang berpandangan bahwa kata wujud
satu rumpun dengan kata "wujdan", Mulla Shadra juga berpandangan
bahwa makrifat dan pengenalan al-Qur'an merupakan jembatan kepada dunia
realitas. Ia meyakini bahwa setiap eksisten seukuran wujudnya memiliki
makrifat dan setiap makrifat akan menambah kuiditas dan kualitas
manusia.(Risalatul Hasyr) Praktik hermenetik dalam syair-syair irfani Rumi membentuk
tipologi-tipologi psikologis, struktur, bahasa isyarah yang dieksplorasi Rumi
yang menjadikan karyanya sebagai karya abadi. Bahasa irfani Rumi, khususnya ghazal-ghazal yang ia gubah
merupakan bahasa yang sarat dengan rahasia dan takwil. Bahasa-bahasa
pujangga-arif seperti Hafiz, Sa'di dan Baba Thahir juga kurang lebih sama
banyak mewariskan karya-karya kontemplatif yang sarat dengan takwil-takwil
terhadap ayat dan hadis. Bahasa Rumi merupakan bahasa ahli thariqat yang merupakan
media untuk menyingkap hakikat. Aplikasi anasir rahasia dan hermenetik irfani
Rumi dan pujangga-pujangga yang bercorak gnostik pada peringkat pertama
bersumber dari keharusan penjelasan makna-makna dan keinginan irfaninya. Oleh karena itu aplikasi bahasa yang dapat ditakwil dan
sarat rahasia irfani pada syair Rumi lantaran bahasa rahasia dan hermenetik
untuk menjelaskan pelbagai keadaan dan keyakinan irfani, menjadi jelas dan
benderang, penuh inisiatif merupakan tipologi esensial para urafa. Sejatinya,
Rumi dan pujangga-pujangga arif, media yang lebih mujarab, kuat dan kokoh dalam
menjelaskan keinginan dan kondisinya, tidak menemukannya selain pada bahasa
rahasia dan simbol yang dapat ditakwil. Rahasia multi makna dan tiadanya
penentuan makna dalam ghazal-ghazal Rumi mencapai puncaknya. Teks yang sarat
dengan rahasia, dari satu sisi, dengan makna teks. Dan dari sisi lain dengan
pemahaman dan penerimaan pembaca dari teks tersebut terjalin erat. Dengan memperhatikan paradigma linguistik teks-teks yang
diketengahkan pada beragam negara dengan aneka bahasa dan budaya, kita
menjumpai takwil yang beraneka macam; pada bahasa Persia dapat kita jumpai
perbedaan yang dapat diambil sebagai contoh: Dimana tiada yang melebihi Rumi di
antara para pendahulu dalam masalah takwil. Sedemikian banyak pandangan,
redaksi-redaksi baru dan segar yang ia gunakan sehingga dapat dikatakan bahwa:
“Rumi dengan takwil-takwilnya, ia memberikan ketinggian pada makna-makna, dari
tingkat sedimenter melesak hingga tingkat trasendental.” Sebagai contoh di sini praktik takwil terhadap ayat-ayat
al-Qur'an seperti berikut ini: Ashab Kahf adalah wali-wali Tuhan wahai Pebenci Pada tidur, setiap perubahan dan berdiri Mereka tergiring tanpa taklif dalam perbuatan Pada perbuatan tanpa kabar ihwal Dzatal Yamin, Dzatal Syimal Apa gerangan Dzatal Yamin? segala perbuatan baik Apa gerangan Dzatal Syimal? segala aktivitas raga Keduanya dialami oleh Awliya Tanpa berita ihwal keduanya bak suara Jika suaramu memperdengarkan kebaikan dan keburukan Dzatnya tiada kabar dari keduanya[47] Tanpa syak bait-bait syair tersebut merupakan ungkapan
sastra atas ayat 18 surah al-Kahf. "Dan kamu mengira mereka itu bangun padahal mereka
tidur; dan Kami membalik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri (supaya badan
mereka tetap terpelihara)." Rumi dengan ayat ini melakukan praktik hermeneutik pada
redaksi "dzatal Yamin" dan "dzatal Syimal." Bentuk praktik
itu tampak pada "dzatal Yamin" yang ditakwil sebagai
perbuatan-perbuatan yang tak-dikehendaki (ghairu iradi) Ashabul Kahf secara
khusus dan para wali Tuhan secara umum. Dan dzatal Syimal ditakwil sebagai
perbuatan-perbuatan yang dikehendaki (iradi). Dengan kata lain, pelbagai
kondisi ruhani dan perbuatan non-ruhani para wali. Rumi dengan memperhatikan bahwa para wali Tuhan sedemikian
tersedot perhatian mereka kepada dzat Ilahi sehingga perhatian mereka tidak
tercurah kepada maujud yang lain dan melupakan eksistensinya sendiri, oleh
karena itu seluruh perbuatan wali-wali Tuhan, baik sesuai dengan iradah atau
tidak, adalah bersumber dari Tuhan. Terkadang manusia melalui media takwil, di samping menebar
rahasia juga membuka tabir rahasia; artinya ia menciptakan simbol-simbol lalu
memberikan penjelasan atas simbol-simbol tersebut. Contoh dari hadis yang
menjadi obyek takwil Rumi yang dapat disebutkan di sini adalah riwayat yang ia
pandang bersumber dari Nabi Saw: "Hendaklah kalian memandang penting musim
semi, karena [musim semi] akan memperlakukan badanmu sebagaimana ia
memperlakukan pepohonan. Dan hindarilah musim gugur lantaran ia merontokkan
badanmu sebagaimana ia merontokkan pepohonan) Sang Nabi bersabda tentang angin musim semi Jangan engkau tutupi ragamu sehingga menerpa badanmu angin
musim semi Karena sebagaimana angin musim semi membuat pepohonan
bersemi Demikian juga ia akan membuat badanmu bersemi Namun menghindarlah dari hembusan angin musim gugur Karena sebagaimana angin musim gugur merontokkan dedaunan ia
juga akan merontokkan badanmu Para perawi menafsirkan hadis ini secara lahir Dan merasa puas dengan tafsir ini secara lahir Tiada pengetahuan tentang batin hadis Melihat lahiriyah gunung tidak melihat kedalaman gunung Musim gugur di sisi Tuhan adalah hawa nafsu Akal dan jiwa itu adalah musim semi dan lestari Padaku dan padamu terpendam akal sebulir Temukan akal sempurna di alam semesta Akal sebulirmu gabungkan dengan akal universal Akal universal melebur pada jiwa Takwil hadis ini adalah untuk jiwa-jiwa suci Karena jiwa-jiwa suci itu adalah musim semi dan kehidupan Ucapan-ucapan wali Tuhan lembut dan semilir Jangan engkau tutupi badanmu dari ucapan-ucapan para wali
Tuhan Rengkuhlah ucapan mereka panas dan dingin Karena panas dan dinginnya mengokohkan dan menerbangkan Panas dan dinginnya adalah musim semi bagi kehidupan Penyebab kebenaran, keyakinan dan penghambaan[48] Sebagaimana yang terlihat pada syair di atas, Rumi
menyebutkan bahwa Nabi Saw bersabda bahwa hendaklah kalian memandang penting
angin musim semi, sedemikian ia takwil sehingga Anda diminta untuk menemukan
mursyid dan syaikh. Kemungkinan besar yang dimaksud Nabi Saw dari sabda yang
dialamatkan kepada orang-orang Arab ini, adalah makna lahir dan redaksionalnya;
akan tetapi Rumi tidak memperhatikan niat pembicara. Menurutnya, takwil
merupakan tabiat makna-makna transendental yang harus digunakakan pada
perbuatan dan ucapan para ahli Tuhan dan orang-orang suci. Ucapan dan perbuatan
para pembesar agama, menurutnya, secara sempurna merupakan pesan dan hikmah
yang tidak dapat dijelaskan kecuali lewat takwil. Dari tulisan yang ringan ini penulis hanya menyuguhkan tiga
tokoh sentral yang dapat dijadikan sebagai pemantik (trigger) untuk kajian yang
lebih jeluk. Oleh itu, tertambat asa pada kesempatan mendatang semoga kita
tetap memperoleh taufik untuk dapat mengeksplorasi karya-karya monumental para
pemikir Islam yang lebih luas dan menjuntai. Bahkan tidak terhenti pada
eksplorasi ilmiah-lahiriyah saja, tapi memulai pelancongan amal-esoterik yang
akan melesakkan kita ke jenjang makrifat yang lebih menjulang dengan menjadikan
al-Qur'an sebagai cahaya untuk memendari kehidupan kita. Menyitir Mulla
Shadra, semakin cahaya itu benderang dalam kehidupan kita, semakin tinggi
kuiditas dan kualitas hidup kita. Wallahu 'Âlim… [1] [2] Plato, The Dialogues of Plato, tr. B. Jowett, hal.
157 [3] Henry Corbin, Rawâbeth Hikmat-e Isyrâq wa Falsafe-ye
Irân-e Bâstân, hal. 49-51 [4] Syed Hussein Nasr, Hermes wa Newsytehâi Hermesi dar
Jahân-e Islâm, Majalleh Danesh Kade Adabiyat, hal. 156 [5] Dr. A.E Afifi, The Influence of Hermetic Literature on
Moslem Thought, hal. 844. [6] Daud Qaishari, Syarh Fushusil Hikam, Fash Hikmat
Nûriyyah fii Kalimatin Yusufiyya. [9] Dr. Muhammad Ridhai, Ân Suye Aine, hal. 17-18 [10] Sayid Muh. 'Ali Iyazi, Syenâkht Nâme Tafâsir, hal. 237 [11] Muhsin Qasim Pur, Barrasi-e Tahlili wa Naqd Rawesy
Tafsir Irfâni, disertasi doktoral, hal. 84 [12] Lory Pierre, Les Commentoires Du Coran, terjemahan
Persia, Ta'wilat al-Qur'an az Didgah-e Abdurrazaq Kasyani, tr. Zainab Pudine
Aqai, hal 65. [13] Faidh Kasyani, Tafsir Shâfi, mukkadimah kedelapan [14] Sayid Haidar Amuli, Jâmi al-Asrâr wa Manba al-Anwâr,
hal. 610 [15] 'Ilm Hermeneutik, hal. 52 [16] Dar Amadi Bar Hermeneutik, dar Kitab Hermeneutik
Modern, hal. 9 [17] Idem, hal, 18 [18] Sayid Syarif Jurjani, al-Ta'rifat, hal. 43 [19] Muh. Husain Dzhabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, jil. 1,
hal. 3 [20] Idem, Op. cit, hal. 21 [21] Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, hal.
22-23. [22] Shadru al-Mutallihin, Tafsir Âyatul Kursi, hal. 176 [23] Muh. Husain Dzahabi, Op.cit, hal. 19. [24] Muhammad Husain Thaba-thabai, al-Mizân fii Tafsiril
Qur'an, jil. 3, hal. 44 [25] Qs. Ali Imran (3): 7. Qs. An-Nisa (4): 59. Qs. Al-'Araf
(7): 53. Qs. Yunus (10): 39. Qs. Yusuf (12): 6, 21, 36, 37, 44, 45, 100, 101.
Qs. Isra (17): 35. Qs. Al-Kahf (18): 78 dan 82. [26] Idem, hal. 20 [27] Daud Qaishari, Syarh Fushûsil Hikam, Fash Hikmat
Quddûssiya fii Kalimatin 'Idrîsiyyah, Tahqiq Allamah Hasan Zadeh Amuli, hal.
503-505 [28] Toshihiko Izutsu, Sufism & Taoism, hal. 31 [29] Idem, [30] Paul Ricoeur, The Symbol Gives Message rise to Thought,
editor Giles B. Gum hal. 213. [31] Ibnu 'Arabi, Tafsir al-Qur'an al-Karim, jil. 1, hal. 5
[32] Daud Qaishari, Op. cit, Fash Hikmat Quddûssiya fii
Kalimatin 'Idrîsiyyah, hal. 503-505. [33] Ibnu Khaldun, Al-'Ibar, jil. 2, hal. 990 [34] Attar, Tadzkiratul Awliyâ, editor Dr. Isti'lami, hal.
632 [35] Gulsyan-e Râz, Mahmud Syabistari, hal. 36 [36] Lebih jeluk silahkan baca, Dr. Syd. Yahya
Yatsribi, Pazuhesy dar Nisbat-e Din wa 'Irfân, hal. 259-262 [37] Henry Corbin, History of Islamic Philosophy, hal.
414-415. [38] A. Kamil, Hermeneutik; Menyingkap Tirai Tekstual,
skripsi S1 Fiqih dan Maarif Islami, Jamiatul Mustafa, Qom [39] Daud Qaishari, Op.cit , Fash Hikmat 'Ilwiyya fii
Kalimatin Mûsawiyyah, hal. 1271. [40] Idem, Fash Hikmat Quddûssiya fii Kalimatin
'Idrîsiyyah, hal. 502. [41] Shadru al-Mutallihin, Mafatih al-Ghaib, miftah awwal [42] Shadru al-Mutallihin, Tafsir Ayatul Kursi, hal. 176 [43] Shadru al-Mutallihin, Asrar al-Ayat, hal. 39. [44] Shadru al-Mutallihin, Asfar, jil. 6, hal. 17
[45] Idem, Op. cit, hal. 6-14. [46] Shadru al-Mutallihin, Asrâr al-Âyat, hal. 25 [47] Awliya ashâb Kahf and ai anud Dar Qiyam wa dar taqallub ham ruqud Mikisyadsyan bi Takalluf dar Fa'al Dar fa'âl bi khabar dzatal yamin, dzatal Syimal Cist an Dzatal Yamin, fi'il Hasan, Cist an dzatal Syimal? Asygal Tan Mirawad in har du kâr az awliyâ, Bi khabar ze in har du Isyân cun Shedâ Gar Shedâyat Besynawad Khair wa Syar Dzât ke ze Har du bi Khabar (Maulana Jalaluddin Rumi, Daftar-e Awwal Matsnawi, bait-bait
3178-3191) Tan Mapusyânid Yaran zen Bahar Zânke ba Jan-e Syuma Mikunad Kan Baharan ba Dirakhtan Mikunad Lik Begurizid az Sard Khuzân Kan Kunad Ku Kard ba Bag-e va Razân Raviyan inra be Zhahir Burdeand Bar an Shurat Qenaat Kardeand Bikhabar Budand az Jân-e An Geruh Kuh ra Did Nadideh Kan be Kuh An Khazan Nazd Khuda nafs wa Hawast ‘Aql wa Jan Aini Baharastu Baqast Mar Tura ‘Aqlist Juzwei dar Nahan Kamilul Aqli Beju Andar Jahan Juzwei Tu az Kulliye Uw Kulli Syawad Kull bar Nafs Cun Ghali Syawad Pas be Ta’wil in bud Kaanfas-e Pak Cun Baharastu Hayatu Bargu Tak Gufteha-ye Awliya Narmu Durusyt Mapusyan Zank Dinat Rast Pusyt Garm Guyad Sard Guyad Khusy Begir Zan ze Garmu Sard Bajhi waz Sa’ir Garmu Sardasy Nu Bahar Zendeghist Mâye Shidqu Yaqinu Bandeghist (Daftar-e Awwal Matsnawi, bait-bait 2046-2047) [Sumber: Wisdoms4all.com] |