Apakah Filsafat Shalat itu?Deprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Ayat 45 surat Al-‘Ankabut membahas filsafat agung shalat.
Ayat itu berbunyi, “Sesungguhnya shalat itu mencegah [manusia] dari perbuatan
yang keji dan mungkar.” Pada dasarnya, hakikat shalat adalah mengajak manusia untuk
mengetahui faktor pencegah paling kuat (dalam diri manusia) yaitu keyakinan
terhadap wujud Allah (sumber permulaan) dan Hari kebangkitan (ma’âd) yang
berpengaruh kuat dalam mencegah manusia dari melakukan perbuatan yang keji dan
mungkar. Seseorang yang berdiri untuk melakukan shalat dan
mengucapkan takbir, mengakui bahwa Allah swt; Dzat yang Lebih Baik dan Lebih
Tinggi dari segala yang ada dan akan mengingat semua kenikmatan yang telah
diberikan oleh-Nya. Dengan mengucapkan pujian dan syukur, ia memohon curahan
kasih dan sayang-Nya, mengingat hari pembalasan, mengakui ketundukan, melakukan
penyembahan kepada-Nya, memohon pertolongan-Nya, meminta petunjuk dari-Nya
untuk mendapatkan jalan yang lurus dan memohon perlindungan sehingga tidak
termasuk ke dalam golongan orang-orang yang telah dimurkai oleh-Nya serta tidak
termasuk ke dalam golongan orang-orang yang tersesat. (Kandungan dari surat
Al-Fatihah). Tanpa syak lagi, manusia yang mempunyai kalbu demikian akan
memahami bahwa setiap langkah perjalanannya akan mengarah kepada sesuatu yang
hak dan benar, gerakannya akan menuju kepada kesucian dan kesempurnaan, dan
lompatannya akan melesat ke arah ketakwaan. Manusia semacam ini, ketika melakukan shalat dengan
membungkukkan badannya untuk ruku’, laksana seorang hamba dan meletakkan dahi
di atas permukaan tanah di haribaan suci-Nya untuk mengakui kebesaran dan
kemuliaan-Nya dan tenggelam dalam keagungan-Nya, serta menghapus segala ego dan
kesombongan yang ada pada dirinya. Lalu ia pun akan mengucapkan syahadat untuk memberikan
kesaksian atas keesaan-Nya dan risalah Rasul-Nya. Setelah itu, ia mengirimkan shalawat kepada utusan-Nya yang
mulia, Rasulallah saw dan menengadahkan kedua tangannya di bawah mihrab suci-Nya
untuk memohon belas kasih supaya dimasukkan ke dalam golongan hamba-hamba-Nya
yang salih. Semua faktor ini akan memunculkan semangat spiritual dalam
dirinya; sebuah gelombang besar yang mampu melebur dan meluluhlantakkan setiap
dosa yang menumpuk di hadapannya. Amal semacam ini terulang beberapa kali dalam sehari
semalam. Bahkan, ketika ia terbangun dari tidurnya di pagi hari yang masih
gulita pun, ia telah tenggelam dalam kenikmatan mengingat-Nya. Di pertengahan hari, ketika ia telah disibukkan oleh
kehidupan materi, tiba-tiba suara takbir muazin akan menghentakkan dan
menyadarkannya untuk menghentikan sejenak apa yang sedang dikerjakannya,
kemudian bergegas mempersiapkan diri menghadap ke pelukan Sang Kekasih. Bahkan
pada akhir hari dan permulaan malam sebelum menuju ke tempat istirahatnya pun,
ia masih menyempatkan diri untuk mencurahkan seluruh isi hatinya, mengadu,
menangis, meratap, berkeluh kesah kepada Sang Pemilik Hati dan menciptakan
hatinya sebagai pusat cahaya-Nya. Setelah itu dan untuk selanjutnya, pada saat menyambut
kedatangan shalat, terlebih dahulu ia akan memulainya dengan mencuci dan
menyucikan diri, menjauhi segala hal yang haram dan menghindarkan diri dari
kemarahan, kemudian bergegas mendatangi tempat Sang Kekasih yang penuh dengan
persahabatan. Demikianlah, seluruh faktor ini mempunyai efek dalam mencegah
diri ketika berhadapan dengan hal-hal yang keji dan mungkar. Hanya saja, efek shalat itu sesuai dengan terpenuhinya
syarat-syarat kesempurnaan dan ruh ibadah dalam mencegah diri dari perbuatan
keji dan mungkar, yang terkadang hal ini dapat membentuk sebuah sistem kontrol
pada segala kondisi, terkadang pula pada kondisi-kondisi tertentu dan terbatas. Adalah mustahil terjadi jika seseorang yang telah melakukan
shalat tidak mendapatkan sedikitpun efek dari apa yang telah ia lakukan,
betapapun shalat yang dilakukannya hanya bersifat formalitas saja dan betapapun
orang yang melakukan shalat adalah orang yang bergelimang dengan dosa. Tentu
saja pengaruh dari shalat yang dilakukan oleh orang-orang semacam ini tidak
akan pernah mendapatkan hasil yang maksimal. Namun, bila mereka meninggalkan
shalat, sudah pasti akan semakin hanyut dan bergelimang dalam
perbuatan-perbuatan dosa. Lebih jelas kami tekankan bahwa pencegahan shalat dari
perbuatan keji dan mungkar memiliki derajat dan tingkatan yang berbeda-beda.
Dan setiap shalat apabila diukur dengan perhatian terhadap syarat-syarat yang
dimilikinya, akan mampu menduduki sebagian dari derajat-derajat tersebut. Di dalam salah satu hadis, dinukil bahwa pada masa
Rasulullah saw, terdapat seorang pria muda dari kaum Anshar yang senantiasa
mengikuti shalat yang dilakukan oleh Rasul saw. Tetapi, pada sisi lain ia masih
senantiasa bergelimang dalam berbagai maksiat. Lalu, hal ini disampaikan kepada
Rasul saw. Setelah mendengar laporan ini beliau bersabda, “Suatu hari nanti
shalatnya dapat mencegahnya dari perbuatan-perbuatannya tersebut.” Sedemikian pentingnya pengaruh shalat, hingga pada sebagian
riwayat Islam disebutkan bahwa bias yang akan muncul dari pelaksanaan shalat
akan menjadi tolok ukur apakah shalat yang dilakukan oleh seseorang telah
diterima di sisi-Nya ataukah belum. Imam Ash-Shadiq as dalam salah satu hadis
berkata, “Seseorang yang ingin melihat apakah shalatnya telah diterima oleh
Allah swt atau belum, hendaklah ia melihat apakah shalat yang telah
dilakukannya ini dapat mencegahnya dari perbuatan yang keji dan mungkar atau
tidak? Sejauh mana ia telah tercegah dari hal-hal tersebut, sekadar itu pulalah
shalat yang dilakukannya telah dikabulkan di sisi-Nya”. Kelanjutan ayat di atas menegaskan,”Dan sesungguhnya
mengingat Allah itu adalah lebih besar [keutamaannya dari ibadah-ibadah yang
lain].” Dzahir ungkapan ini menjelaskan sisi lain dari filsafat
shalat. Bahkan, ia mempunyai kedudukan lebih tinggi dan lebih penting dari
mencegah perbuatan keji dan mungkar itu sendiri. Efek tersebut adalah, bahwa
dengan melakukan shalat, manusia dituntun untuk senantiasa mengingat Allah swt.
Hal ini merupakan akar dari segala kebaikan dan kebahagiaan. Bahkan, dapat
diakui bahwa unsur utama dari pencegah perbuatan keji dan mungkar adalah
mengingat Allah (dzikrullah). Keutamaan mengingat Allah dikarenakan dzikir
merupakan sebab dari pencegahan tersebut. Pada prinsipnya, mengingat Allah swt merupakan inti detak kehidupan
kalbu manusia dan puncak ketenangan hati. Tidak ada sesuatu pun selainnya yang
bisa mencapai tingkatan semacam ini. Di dalam surat Ar-Ra‘d [13], ayat 28 ditegaskan, “Ketahuilah
bahwa dengan mengingat Allah hati menjadi tentram.” Pada dasarnya, ruh seluruh ibadah —baik ibadah shalat maupun
selain shalat— adalah mengingat Allah swt. Berbagai bacaan, gerakan,
mukaddimah, ta’qîb, doa, dan selainnya yang dilakukan dalam shalat, sebenarnya
adalah untuk menghidupkan ruh zikir kepada Allah swt di dalam hati manusia. Perlu diperhatikan bahwa di dalam ayat 14 surat Thaha telah
diisyaratkan prinsip filsafat shalat. Allah swt berfirman kepada Nabi Musa as,
“Dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.” Dalam sebuah hadis diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal bahwa
Rasulullah saw bersabda, “Tidak ada sesuatu pun yang lebih baik dari amal
manusia yang bisa menyelamatkan mereka dari azab Ilahi selain mengingat-Nya.”
Lalu, Mu'adz bertanya kepada beliau, “Meskipun jihad di jalan Allah?” Beliau
menjawab, “Iya! Karena Allah swt berfirman, ‘Sesungguhnya mengingat Allah
adalah lebih besar [keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain].’” Efek Shalat dalam Mendidik Individu dan
Masyarakat
Meskipun filsafat shalat bukanlah rahasi bagi seseorang,
akan tetapi pemberian atensi yang besar terhadap teks ayat dan riwayat Islam
akan menuntun kita pada berbagai pekerjaan yang lebih mengakar dalam masalah
ini. a. Hakikat, prinsip, tujuan, pondasi, mukaddimah, hasil, dan
-pada akhirnya- filsafat shalat adalah mengingat Allah swt yang pada ayat di atas
ditegaskan, bahwa zikir memberikan hasil yang paling tinggi dibandingkan
ibadah-ibadah yang lain. Tentu saja yang dimaksud dengan zikir di sini adalah zikir
sebagai mukaddimah berpikir, dan berpikir yang dilandasi oleh keinginan untuk
mengaktualkannya. Imam Ash-Shadiq as dalam salah satu hadis ketika menafsirkan
ayat waladzikrullâh Akbar berkata, “(Zikir adalah mengingat Allah ketika hendak
melakukan pekerjaan halal dan haram.” (Yaitu, mengingat Allah awt. ketika
melakukan perbuatan yang halal dan menutup mata dari perbuatan yang haram). b. Shalat merupakan media menyucikan diri dari dosa-dosa dan
memohon pengampunan Ilahi, karena —mau tidak mau— shalat yang dilakukan oleh
manusia akan mengajaknya untuk mengoreksi diri, memperbaiki diri, dan bertaubat
atas apa yang telah dilakukan pada masa lalu. Oleh karena itu, dalam salah satu
hadis kita membaca, Rasulallah saw pernah bertanya kepada para sahabat,
“Apabila di hadapan pintu rumah Kamu terdapat sebuah sungai yang mengalir
dengan bening dan bersih, kamu mandi dan mencuci badannya lima kali dalam
sehari semalam di dalam sungai itu, Apakah masih tersisa daki dan kotoran di
badan Kamu?” Mereka menjawab, “Tidak ada, ya Rasulallah!” Lalu beliau
melanjutkan,“Shalat sebagaimana halnya air mengalir itu. Setiap saat seseorang
melakukan shalat, maka dosa-dosa yang dilakukannya di antara dua shalatnya akan
terhapus dan menjadi bersih karenanya.” Dan dengan shalat ini, luka, barutan, dan goresan dosa yang
ada di dalam ruh dan jiwa manusia akan sembuh karena kemanjuran obat yang
berbentuk shalat ini, dan karat-karat yang terdapat di dalam kalbunya pun akan
menjadi bersih kembali dengan melakukan shalat. c. Shalat merupakan tanggul penghalang dalam menghadapi
serangan dosa-dosa yang akan datang, karena sesungguhnya shalat akan menguatkan
iman di dalam kalbu manusia dan menumbuhkan tunas-tunas ketakwaan baru di dalam
hatinya. Kita mengetahui bahwa “iman” dan “takwa” merupakan tanggul yang paling
kuat untuk menahan goncangan dosa, dan ini merupakan maksud dalam ayat di atas
bahwa shalat adalah pencegah dari perbuatan keji dan mungkar, dan merupakan
maksud dari banyak hadis yang mengatakan bahwa terdapat sekelompok orang yang
senantiasa melakukan dosa, lalu kondisi mereka itu diceritakan kepada para imam
as. Mereka berkata, “Janganlah bersedih, karena shalat akan memperbaiki
mereka”, dan ternyata memang demikian. d. Shalat Menghancurkan Kelalaian
Musibah paling besar yang dialami oleh para pencari jalan
kebenaran adalah lalai terhadap tujuan penciptaan dan tenggelam dalam kehidupan
materi serta kelezatan-kelazatan duniawi yang hanya sekejap. Tetapi, dengan
adanya variasi hukum dalam setiap jaraknya dan pelaksanaannya secara kontinyu
yang dilakukan sebanyak lima kali dalam sehari semalam, shalat akan senantiasa
membunyikan lonceng peringatan kepada manusia dan akan membangun ingatannya
untuk senantiasa sadar terhadap tujuan penciptaan. Dengan shalat, kehadiran-Nya di alam ini akan senantiasa
diperdengarkan, dan merupakan suatu kenikmatan yang sangat besar bahwa manusia
mempunyai sarana dan fasilitas yang berada dalam ikhtiyarnya, sehingga dengan
alat yang dimilikinya ini ia selalu terjaga secara kuat beberapa kali dalam
sehari semalan. e. Shalat Menghilangkan Kesombongan dan
'Ujub
Dengan shalat, kesombongan dan rasa kagum terhadap diri
sendiri akan bisa terberangus dari diri manusia. Karena selama sehari semalam
manusia melakukan tujuh belas rekaat shalat, di mana dalam setiap rekaatnya, ia
meletakkan dahinya di atas tanah sebanyak dua kali dan merendahkan diri di
hadapan-Nya. Ia menganggap dirinya hanyalah butiran yang begitu kecil yang tak
berharga dibandingkan dengan keagungan-Nya, bahkan menganggap dirinya bukanlah
apa-apa ketika berada di hadapan Dzat Yang Tak Terbatas. Shalat akan menyibakkan tirai-tirai kesombongan dan egoisme
manusia, serta memporak-porandakan kesombongan dan rasa puas pada diri sendiri. Dengan dalil inilah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as
dalam sebuah hadis terkenal yang merefleksikan filsafat ritual Islam setelah
iman, dalam rangka menjelaskan ibadah shalat berkata, “Allah mewajibkan iman
untuk membersihkan manusia dari syirik dan mewajibkan shalat untuk membersihkan
diri dari kesombongan.” f. Shalat Sebagai Penyempurnaan Akhlak Shalat merupakan mediator kesempurnaan akhlak dan
spiritualitas manusia, karena shalat akan mengeluarkannya dari dunia materi
yang terbatas dan dari ruang lingkup empat sisi dinding alam natural, lalu
mengajaknya melesat terbang ke langit malakut dan menyatukannya dengan barisan
para malaikat. Setelah itu, ia akan melihat dirinya berada di hadapan -Nya
tanpa membutuhkan sedikitpun mediator, dan ia pun akan melihat betapa dirinya
telah mampu melakukan perjumpaan dengan Nya. Pengulangan amal ini dalam sehari semalam yang dilakukan
dengan menyandar pada sifat-sifat Allah yang Pengasih, Penyayang dan keagungan
yang dimiliki-Nya, khususnya dengan bertawassul kepada surat-surat yang
bervariasi dalam Al-Qur’an setelah selesai membaca Al-Fatihah, merupakan
penggerak ke arah kebaikan dan kesucian yang paling utama. Dan hal ini
mempunyai pengaruh yang tidak sia-sia dalam pembinaan keutamaan akhlak di dalam
wujud manusia. Oleh karena itu, dalam salah satu hadis mengenai filsafat
shalat, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as berkata, “Shalat merupakan
perantara untuk bertaqarrub dan mendekatkan diri kepada Allah bagi setiap orang
yang bertakwa.” g. Shalat Mengisi Nilai pada Seluruh
Amal
Shalat memberikan nilai dan ruh pada keseluruhan amal yang
dilakukan oleh manusia. Karena shalat akan menghidupkan hakikat keikhlasan,
dimana shalat merupakan kumpulan dari niat yang murni dan perkataan yang suci,
serta amal-amal yang dilaksanakan dengan penuh keikhlasan. Pengulangan amal-amal
tersebut secara keseluruhan dalam sehari semalam akan menyebarkan bibit-bibit
amal yang terpuji di dalam jiwa manusia dan akan menguatkan keikhlasan yang ada
di dalam wujudnya. Oleh karena itu, dalam salah satu hadis terkenalnya, Amirul
Mukminin Ali bi Abi Thalib as ketika berwasiat setelah terluka oleh hujaman
pedang Ibnu Muljam (la’natullah ‘alaih) berkata, “Jagalah shalat! Karena
sesungguhnya shalat merupakan tiang dari agamamu.” Kita mengetahui bahwa apabila tiang yang dipergunakan untuk
mendirikan kemah patah atau roboh, maka betapapun kuatnya tali dan paku-paku
yang tertancap di sekitarnya tidak akan membawa pengaruh sedikitpun untuk
tegaknya kembali kemah tersebut. Demikian juga halnya ketika tidak ada lagi
komunikasi antara hamba dengan Tuhannya yang dimanifestasikan dalam bentuk
shalat, maka amal yang lainnya pun akan menjadi kehilangan pengaruh. Dalam sebuah hadis, Imam Ash-Shadiq as berkata, “Masalah
pertama yang akan dihisab oleh Allah dari hambaNya pada Hari Kiamat adalah
shalat. Apabila shalatnya terkabul, akan terkabul pula seluruh amalnya yang
lain dan apabila shalat ini tidak diterima, maka akan gagal pulalah seluruh
amal-amal yang lain.” Mungkin dalil ucapan beliau ini adalah, bahwa shalat
merupakan rumus dan rahasia komunikasi antara makhluk dengan Khaliqnya. Apabila
hal ini dilakukan dengan cara yang benar, maka niat taqarrub dan keikhlasan
yang merupakan syarat terkabulnya keseluruhan amal akan bisa hidup dalam
dirinya, dan apabila tidak, maka amal-amal yang lainnya akan menjadi kotor dan terpolusi
sehingga akan menyebabkannya keluar dari derajat yang disyaratkan. h. Shalat Membawa Kesucian Hidup
Meskipun tanpa memperhatikan kandungan yang ada di dalam
shalat, yaitu dengan memperhatikan validitasnya, pada hakikatnya ia mengajak
manusia untuk hidup dalam kesucian. Hal ini dapat kita ketahui dari syarat
tempat yang dipergunakan untuk melakukannya, pakaian yang dikenakan, alas dan
air yang dituangkan untuk berwudhu serta mandi. Dan juga tempat yang
dipergunakan oleh seseorang untuk mandi dan berwudhu harus merupakan tempat
yang betul-betul tidak terkotori oleh ghasab dan tidak diperoleh dengan cara
zalim dan melanggar hak-hak orang lain. Seseorang yang terkotori dengan
kezaliman, ternodai oleh sifat-sifat kelewatan, riba, ghasab, mengurangi timbangan
dalam transaksi, korupsi dan usaha-usaha yang dilakukan dengan menggunakan
kekayaan yang haram, bagaimana ia bisa menyiapkan mukadimah shalat? Oleh karena
itu, pengulangan shalat sebanyak lima kali dalam sehari semalam merupakan
sebuah ajakan untuk menghormati hak-hak yang dimiliki oleh orang lain. i. Shalat Sebagai Pelindungan Diri dari
Maksiat Shalat selain harus mempunyai syarat keabsahan dan syarat
keterkabulan, atau dengan kata lain, harus mempunyai syarat-syarat yang
sempurna dalam dua hal tersebut, juga merupakan sebuah elemen yang efektif
untuk meninggalkan begitu banyak perbuatan dosa. Dalam kitab-kitab fiqih dan sumber hadis disebutkan begitu
banyak faktor lain yang bisa menjadi referensi dari terkabulnya seatu shalat.
Di antaranya, tentang meminum khamar (minuman keras) yang dalam sebuah riwayat
ditegaskan, “Selama empat puluh hari, tidak akan diterima shalat seseorang yang
meminum minuman keras, kecuali apabila ia bertaubat.” Dalam banyak riwayat kita membaca, “Salah satu dari golongan
yang shalatnya tidak akan dikabulkan oleh Allah adalah shalat yang dilakukan
oleh kaum zalim dan penganiaya.” Dalam sebagian riwayat lain telah ditegaskan bahwa shalat
yang dilakukan oleh seseorang yang tidak membayar zakat tidak akan pernah
terkabul. Demikian juga riwayat yang lain mengatakan bahwa memakan makanan
haram, mengagumi diri sendiri, sombong, dan takabur merupakan salah satu
penghalang bagi terkabulnya shalat. Dari sini bisa dipahami, sejauh manakah
pengaruh konstruktif yang akan didapatkan seseorang dengan terpenuhinya
syarat-syarat keterkabulan tersebut. j. Shalat Penguat Semangat Disiplin
Shalat akan menguatkan semangat disiplin dalam diri manusia,
karena bagaimanapun juga, shalat harus benar-benar dilakukan pada waktu yang
telah ditentukan. Pelaksanaan shalat yang dilakukan dengan mengakhirkan atau
mempercepat dari waktu yang seharusnya akan menyebabkan batalnya shalat yang
dilakukan oleh seseorang. Demikian juga dengan aturan dan hukum-hukum lain
dalam masalah niat, berdiri, ruku’, dan sujud. Memperhatikan semua ini akan
menumbuhkan kedisiplinan dalam kehidupan sehari-hari menjadi betul-betul mudah
dan lancar. Semua poin di atas merupakan manfaat yang terdapat di dalam
shalat dengan tanpa memperhatikan masalah shalat berjamaah. Namun bila
keistimewaan shalat berjamaah ini kita tambahkan dalam diskursus di atas, di
mana sebenarnya ruh dan hakikat shalat terletak pada shalat berjamaah, kita
akan menemukan berkah yang tak terhitung banyaknya. Tetapi, pembahasan
tentang shalat berjamaah bukan tempatnya untuk kami diskusikan di sini. Selain
itu, sedikit banyak kita pun telah mengetahuinya. Kami menutup pembahasan tentang filsafat dan rahasia shalat
dengan sebuah hadis yang telah dinukil dari Imam Ali bin Musa Ar-Ridha as.
Dalam menjawab surat yang menanyakan filsafat shalat, beliau berkata, “Tujuan
disyariatkannya shalat adalah atensi dan pengakuan terhadap ketuhanan Allah
swt, melawan syirik dan penyembahan berhala, berdiri di hadapan haribaan-Nya
dalam puncak kekhusyukan dan kerendahan diri, mengakui dosa-dosa serta memohon
pengampunan-Nya terhadap dosa-dosa yang telah dilakukannya, dan meletakkan dahi
di seluruh hari untuk berkhidmat kepada-Nya. Demikan juga, tujuan disyariatkannya shalat adalah supaya
manusia senantiasa terjaga dan berpikir sehingga tidak ada lagi debu-debu
kelalaian yang akan singgah di dalam hatinya, supaya manusia tidak sombong dan
mabuk dengan dirinya, supaya manusia menjadi orang-orang yang khusyu’ dan
tawadhu’, serta mencari dan mencintai bertambahnya pemberian segala sesuatu
dalam agama dan dunianya. Selain konsistensi zikir kepada Allah sepanjang hari dan
malam yang dihasilkan dari sinar shalat, shalat akan membuat manusia
tidak melupakan Pengatur dan Penciptanya, hingga jiwa liar dan tak terkendali
tidak akan mampu mengalahkannya. Dengan perhatiannya terhadap Allah swt dan berdiri di
haribaan suci-Nya, ia akan mencegah manusia dari perbuatan-perbuatan dosa dan
akan menghindarkannya dari segala kerusakan.” |