Syiar Asyura...Syiar kepada CahayaDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Oleh: A. Kamil
Alangkah agungnya Revolusi yang engkau ciptakan wahai
Husain, Menerangi pemikiran dan hati, wahai Husain; Melaluinya, umat manusia dibebaskan; Melaluinya, bersemi kasih dan cinta; Melaluinya, dunia bermandikan cahaya; Dalam sebuah hadis dinukil sebuah riwayat yang menegaskan
bahwa Muhammad Saw dan Ali As berasal dari cahaya yang satu. Cahaya Muhammad
dan Ali merupakan turunan dari cahaya Tuhan. Mereka disimbolkan sebagai cahaya,
dalam hadis tersebut, sebagaimana Tuhan yang menurut kitab suci adalah Cahaya
langit dan bumi. Cahaya Tuhan, cahaya Muhammad dan Ali merupakan cahaya yang
satu bergradasi. Titik konvergensi mereka adalah cahaya sebagaimana titik
divergensinya. Dalam kamus Mulla Shadra, Tuhan dicitrakan sebagai Wujud. Wujud
itu berderajat dan bergradasi. Dan Tuhan merupakan Wajibul Wujud, Wujud Segala
wujud. Atau meminjam bahasa Syaikh Isyraq yang menyebut, Tuhan sebagai Cahaya
segala cahaya, Nur al-Anwar. Cahaya Tuhan, yang juga bergradasi dan berderajat,
kemudian setelah itu Cahaya Muhammadi (yang termasuk di dalam cahaya itu adalah
Ali dan 11 keturunannya yang suci). Lantaran mereka adalah cahaya yang
satu. Hakikat cahaya adalah secara esensial bercahaya, benderang
dan pada saat yang sama memberikan cahaya dan terang. Atau ibarat air di
samping ia suci secara dzati ia juga mensucikan. Para Imam Ahlulbait memiliki
karakteristik sedemikian. Mereka adalah cahaya, benderang dan memberikan
terang. Suci dan mensucikan. Seluruh Imam Ahlulbait adalah tajalli cahaya Tuhan.
Mereka bukan saja tajalli cahaya Tuhan, bahkan mereka merupakan tajalli atam
(terlengkap) dan akmal (terparipurna) cahaya Tuhan. Dalam konteks Imam Husain As, yang hari-hari ini kita
peringati kiprah dan perjuangannya dalam membela dan mempertahankan Islam tetap
pada relnya juga merupakan manifestasi cahaya. Hadis nabawi ihwal Imam Husain
menyebutkan bahwa Nabi Saw bersabda, Husain dariku dan Aku dari Husain, juga
dapat digunakan untuk menegaskan entri poin di atas. Dalam altar sejarah, manusia mengenal Imam Husain sebagai
tokoh pembebasan. Dengan sifat dzati yang dicirikan kepadanya sebagai cahaya,
ia benderang dan memberikan terang di zamannya. Ia adalah imam yang
bangkit mengajak manusia kepada kebebasan hakiki. Ia bebas dan membebaskan. Ia
merdeka dan memerdekakan. Seruan "merdeka" al-Husain adalah seruan
universal. Seruan yang membahana dan membakar setiap insan yang cinta
kemerdekaan. Ia mengajarkan kepada umat manusia bagaimana menjadi manusia
merdeka. Ia menyerahkan kepalanya, dan keluarganya, namun tidak menyerahkan
tangannya untuk baiat kepada manusia bengis, Yazid bin Muawiyah. Tragedi Asyura
hanya berlangsung beberapa saat, namun tragedi ini kemudian dikenang sepanjang
masa. Mahatma Gandhi pernah ditanya tentang Imam Husain, ia berkata: "Perjuanganku
banyak terilhami dari perjuangan Imam Husain." Iya, bagi setiap pejuang,
al-Husain adalah teladan. Ia adalah insan yang merdeka sekaligus memerdekakan. Demikianlah slogan yang patut kita tanamkan dalam konteks
Imam Husain yang tahun ini bertepatan dengan awal tahun 2009. Dengan
membuka lembaran sejarah Imam Husain, mari kita buka lembaran baru sejarah
dengan merayakan tahun baru Miladi 2009 dan 1430 Qamari ini dengan semangat
Husaini. Stereotipikal perayaan tahun baru, seperti meniup trompet, berbagi
hadiah, berlibur ke tempat-tempat wisata, kita berikan nuansa baru dengan
membaca sejarah kehidupan al-Husain, Sang Pembebas, bahkan lebih dari sekedar
membaca tapi juga menghidupkan ajaran-ajaran moral dan sosial Asyura Imam
Husain As. Peristiwa tragis Asyura ini kurang-lebih 14 abad telah
berlalu, mengapa kita harus memperingatinya? Bukankah peristiwa itu merupakan
sebuah peristiwa sejarah yang telah berlalu; manis-getirnya sudah usai. Mengapa
kita harus mengadakan majelis-majelis Asyura untuk mengenang peristiwa ini? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini boleh jadi terlintas pada
benak setiap orang terkait dengan Asyura. Dalam menjawab pertanyaan ini kita
berkata bahwa pelbagai peristiwa yang terjadi di masa lalu pada setiap
masyarakat dapat berperan konstruktif dalam menentukan pendulum sejarah masa
depan dan nasib suatu komunitas. Kendati peristiwa sejarah tidak akan terulang
apa-adanya sebagaimana ia, namun pada ranah sosiologi telah terbukti bahwa
terdapat sisi-sisi common dan nilai-nilai universal di antara peristiwa
sejarah; oleh karena itu, pada setiap peristiwa sejarah terdapat pelajaran yang
dapat diambil untuk dijadikan sebagai sangu menghadapi masa depan dan
mencetaknya dengan gemilang. Memperingati Asyura tahun ini menemukan relevansinya tatkala
kita berhadapan dengan kenyataan ril kehidupan yang serba permissif, gaya hidup
hedonis, mekanisme machiavellian, dominasi suatu bangsa atas bangsa lain,
tirani atas nama kebebasan dan kemanusiaan, pencitraan teroris bagi mereka yang
berjuang membela kehormatan, bangsa dan agama, budaya hipokrit, dan sebagainya. Dalam menghadapi hidup yang sedemikian kompleks, tentu kita
memerlukan sebuah lentera dan living compass yang dapat memandu kita menuju
dermaga keselamatan dan cinta. Dengan berpedoman dari tragedi Asyura, tentu kita banyak
dapat menggali pelajaran dan meraup energi ekstra untuk sukses menghadapi
kompleksitas persoalan ini. Hidup yang bercorak insania sekaligus Ilahiah,
taat-azas, penghormatan terhadap hak-hak asasi, pengorbanan, keprawiraan, kecintaan,
adalah energi ekstra dan segar yang ditawarkan Asyura di setiap tahun dan di
setiap tempat. Penggalian dan upaya memahami nilai universal Asyura inilah yang
menjadi dalih bagi kita untuk memperingati Asyura setiap tahunnya. Sejatinya syiar Asyura adalah syiar kepada cahaya. Syiar
cahaya al-Husain yang benderang menerangi semesta dengan pesan-pesan Ilahi dan
insani yang disampaikan pada hari Asyura. Cahaya yang memancar dari
wujud suci al-Husain sebagai jelmaan cahaya murni Tuhan adalah energi yang kita
ingin "sedot" pada setiap acara Asyura. Memperingati Asyura adalah sesuatu yang disebut dalam
al-Qur'an sebagai jelmaan ketakwaan. "Dan barang siapa mengagungkan
syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya tindakan ini adalah sebagian dari tanda
ketakwaan hati." (Qs. Al-Hajj [22]:32) Asyura dan pesan-pesan Imam Husain
di hari ini merupakan misdaq paling jelas dari syiar-syiar Allah ini.
Lantaran tiada yang tersisa dari Islam sekiranya bukan pengorbanan yang
dipersembahkan oleh al-Husain di hari Asyura. Khawaja Mu'inuddin Chisti berkata, Imam Husain memberikan
kepalanya, tapi tidak menyerahkan tangannya kepada Yazid. Sesungguhnya, Imam
Husain adalah landasan kalimat tauhid, laa ilaha illa Allah. Husain adalah tuan
dan tuan dari para tuan. Husain sendiri adalah Islam itu sendiri dan pelindung
Islam. Meskipun dia menyerahkan kepalanya (untuk Islam) namun dia tidak pernah
rela memberikan bai'at kepada Yazid. Sesungguhnya Imam Husain merupakan penegak
panji "Laa ilaha illa Allah". Sir Muhammad Iqbal dalam mengomentari kiprah Imam Husain
dalam memberantas akar-akar kezaliman berkata, Imam Husain mencabut akar-akar
tirani dan despotisme selamanya hingga hari kiamat. Dia telah menyirami taman
kebebasan yang kering dengan darahnya, dan sesungguhnya dia telah membangunkan
umat yang sedang tidur. Jika Imam Husain memiliki maksud untuk mendapatkan
kekuasaan dunia, dia tidak akan mengadakan perjalanan (dari Madinah ke
Karbala). Husain lebur dalam darah dan debu demi untuk menegakkan kebenaran dan
mengokohkan pijakan tauhid kaum Muslimin. Peringatan Asyura tahun ini tentu lebih memiliki nuansa
tersendiri karena di awal-awal bulan Muharram ini disematkan sebagai hari
berkabung nasional oleh Pemimpin Revolusi Islam Imam Khamenei sebagai buah
simpati dan kesetiakawanan sosial atas tragedi kemanusiaan yang terjadi di
Ghaza. Ghaza bersimbah darah lantaran masyarakatnya tidak mau
tunduk kepada kehinaan, sebuah dosa besar yang tidak dapat diampuni oleh
aggresor dan penjajah Israel, bahkan oleh sesama so-called muslim sendiri dari
orang-orang dan raja-raja Arab. Sebuah ironi keberagamaan bagi kaum Muslimin
dan ironi kemanusiaan bagi masyarakat dunia. Betapa tidak, para misionaris hak-hak asasi terkait tragedi
kemanusiaan Ghaza ini bungkam seribu basa. Para penyokong demokrasi bersembunyi
di balik meja perundingan untuk tidak terlalu malu karena tidak dapat berbuat
apa-apa atas nama demokrasi di Ghaza. Para pemburu teroris bertekuk lutut di
hadapan terrorist state Israel yang memborbardir dengan rudal-rudal canggihnya
bak bermain play station ke atas rakyat tak berdosa Ghaza. Betapa tidak, para mufti penguasa tiran kehabisan tinta
untuk menuliskan fatwa kewajiban membantu rakyat Ghaza dan melawan penguasa
yang menghalangi dibukanya pintu demarkasi Rafah tanpa alasan yang jelas. Para
raja-raja Muslim Arab yang rela menghabiskan milayaran Dolar untuk memasok
bahan bakar jet-jet Israel untuk menyerang Hamas karena Hamas dipandang
mempropagandakan budaya perlawanan (resistensi) dan istiqamah (persistensi). Banyak teman yang berkata bahwa tragedi Asyura kini
berulang…Karbala kini hadir di Ghaza. Di tempat itu, kezaliman berjajal dengan
upaya penegakan keadilan, kehinaan bertarung dengan kemuliaan, penjajahan
berduel dengan kebebasan, angkara-murka beradu dengan cinta-kasih, nilai-nilai
Yazidi berperang melawan nilai-nilai Husaini. Anda dan saya memilih yang
belakangan. Anda dan saya, mari bersama rakyat Ghaza memekikkan…Haiat minna
adz-Dzilla…Pantang Hina!!!! Mari… Sumber:
www.telagahikmah.org |