Sekilas tentang Filsafat Politik IslamDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Muhammad Taqi Misbah Yazdi
JIKA kita hendak membuat perbandingan yang seimbang antara
pandangan Islam dengan pandangan-pandangan lain dalam bidang politik dan bentuk
pemerintahan, kita harus mempertimbangkan isu-isu penting dalam filsafat
politik, dan setiap isu yang ditemukan dalam Islam, sambil membandingkannya
dengan isu-isu yang lain. Kita harus melakukan pengamatan yang seksama tentang
perbedaan-perbedaan mendasar di antara isu-isu tersebut. Dengan sangat singkat,
pada kesempatan ini kita akan menyebutkan beberapa isu dan menjelaskan
pandangan-pandangan Islam sambil merujuk pada isu-isu tersebut agar kita bisa
membuat suatu perbandingan. Isu yang pertama adalah pentingnya kehidupan sosial. Islam,
sebagaimana mazhab pemikiran yang lain, menekankan pentingnya kehidupan sosial.
Namun lebih daripada itu, Islam menganggap perhatian pada permasalahan sosial
dan perjuangan bagi kepentingan semua umat manusia sebagai suatu kewajiban.
Tidak peduli pada permasalahan semacam itu, dalam Islam dianggap sebagai dosa
besar. Perhatian ini begitu pentingnya sehingga kadang-kadang kita harus
mengorbankan semua harta bahkan mempertaruhkan nyawa sendiri demi menyelamatkan
orang lain dari berbagai ancaman dan gangguan yang bersifat lahiriah atau
batiniah, dari kesesatan dan kerusakan spiritual, dan dari kemalangan di
akhirat. Nampaknya sejauh ini tidak ada mazhab pemikiran lain selain Islam yang
telah mengajukan pemikiran ini. Tentu saja, kita percaya bahwa tidak ada agama
samawi yang saling bertentangan dalam hal prinsip-prinsip dan
peraturan-peraturan yang mendasar. Lazimnya, semuanya memiliki pandangan yang
sama dengan Islam. Isu yang kedua adalah diperlukannya hukum dalam kehidupan
sosial, karena tak ada masyarakat yang bisa bertahan hidup tanpa adanya
peraturan dan ketentuan sosial. Jika tidak, masyarakat akan terjatuh dalam
kekacauan, keburukan, dan kerusakan. Pandangan Islam tentang masalah ini juga
jelas, dan tidak mengundang pertanyaan untuk penjelasan lebih lanjut. Namun
demikian, kita perlu menyebutkan dua hal pokok. Yang pertama adalah bahwa dari
perspektif Islam, tujuan hukum bukan hanya untuk menciptakan peraturan dan
disiplin sosial, namun lebih dari itu adalah untuk menjaga keadilan sosial;
karena, pertama, tanpa keadilan peraturan tersebut tidak akan bertahan dan pada
umumnya, manusia selamanya tidak akan bisa menerima ketidakadilan dan
penindasan; dan yang kedua, dalam masyarakat yang tidak diperintah dengan
keadilan, kebanyakan orang tidak akan memperoleh kesempatan untuk menikmati
kemajuan dan pembangunan yang diinginkan, dan karenanya tujuan penciptaan
manusia tidak akan terwujud. Hal pokok yang lainnya adalah bahwa dari sudut pandang
Islam, hukum-hukum sosial harus bisa mempersiapkan landasan dan kondisi yang
mendukung perkembangan spiritual dan kebahagiaan abadi bagi manusia. Paling
tidak, hukum-hukum sosial tidak boleh bertentangan dengan perkembangan
spiritual, karena dalam pandangan Islam, kehidupan di dunia ini tak lain adalah
suatu tahap persinggahan dalam keseluruhan rangkaian kehidupan manusia, yang
singkat masanya namun memiliki peran yang fundamental bagi nasib manusia.
Artinya, dalam masa inilah manusia dengan perilaku sadarnya harus mempersiapkan
dirinya untuk memperoleh kebahagiaan atau siksa abadi. Bahkan jika suatu hukum
bisa menegakkan suatu tatanan sosial namun menyebabkan kemalangan abadi bagi
manusia, dari sudut pandang Islam hukum ini tidak bisa diterima, bahkan jika
hukum tersebut diterima oleh mayoritas. Isu yang ketiga adalah bagaimana dan oleh siapa hukum
tersebut harus disahkan. Teori yang berlaku di kebanyakan masyarakat dewasa ini
adalah bahwa hukum harus disahkan dan disepakati oleh masyarakat itu sendiri,
atau wakil-wakil mereka. Karena konsensus dari semua anggota masyarakat maupun
dari semua wakil-wakil mereka itu praktis mustahil terjadi, maka pendapat
mayoritas (bahkan jika hanya setengah plus satu) merupakan kriteria validitas
hukum tersebut Pertama-tama, teori ini didasarkan pada pemikiran bahwa
tujuan dari hukum adalah untuk memuaskan kebutuhan masyarakat, bukan untuk
memberikan sesuatu yang benar-benar akan menguntungkan mereka. Kedua, karena
mustahil diperoleh kesepakatan yang bulat, kita harus cukup puas dengan
pendapat mayoritas. Namun demikian, tujuan hukum untuk memuaskan kebutuhan masyarakat
ini tidak diterima oleh Islam, karena banyak orang yang ingin memuaskan instink
kebinatangannya dan nafsu sesaat tanpa memikirkan konsekuensinya yang begitu
mengerikan. Biasanya jumlah orang-orang seperti itu paling tidak
setengah plus satu, sehingga hukum-hukum sosial didikte oleh hasrat orang-orang
seperti itu. Jelas bahwa mazhab-mazhab yang percaya pada tujuan-tujuan di
luar nafsu binatang dan hasrat yang hina tersebut tidak akan bisa menerima
pemikiran ini. Berkenaan dengan pemikiran yang kedua, yaitu keabsahan
pengambilan suara mayoritas pada saat tidak tercapai kesepakatan yang bulat,
harus dikatakan bahwa hanya pada saat tidak adanya ketetapan ketuhanan dan
kriteria ilmiah sajalah suara mayoritas bisa dijadikan kriteria untuk
menetapkan suatu keputusan. Namun demikian, dalam sistem Islam, kriteria
ketuhanan dan ilmiah semacam itu ada. Selain itu, biasanya kalangan minoritas
yang memiliki kekuasaan, dengan menggunakan berbagai fasilitas untuk menebar
propaganda, mempunyai peranan yang penting dalam menghubungkan berbagai
pemikiran dan keyakinan orang lain, dan memang pada kenyataannya apa yang
ditetapkan hanyalah kehendak dari minoritas yang terbatas namun berkuasa, bukanlah
kehendak yang sesungguhnya dari semua orang atau mayoritas. Lebih jauh lagi,
jika kriterianya adalah bahwa pilihan masyarakat tersebut akan sesuai untuk
mereka sendiri, mengapa kita tidak juga menerima bahwa pilihan suatu kelompok
minoritas juga sesuai untuk dirinya sendiri, walaupun hal tersebut akan
menyebabkan munculnya sejenis otonomi? Dalam hal ini, apa yang menjadi
justifikasi logis bagi pemerintah-pemerintah dalam menentang keinginan beberapa
kelompok sosial yang mereka kuasai dengan paksa!? Berkaitan deengan permasalahan ini, dari sudut pandang
Islam, hukum-hukum harus disahkan sedemikian rupa sehingga bisa memberikan
manfaat bagi anggota masyarakat, khususnya bagi mereka yang ingin meningkatkan
diri dan ingin memperoleh kebahagiaan abadi. Jelas bahwa hukum semacam itu
harus disahkan oleh seseorang yang memiliki pengetahuan yang memadai tentang
manfaat yang sejati dan sesungguhnya bagi manusia, dan yang kedua, yang tidak
mengorbankan manfaat bagi orang lain demi kepentingannya pribadi dan nafsu yang
sia-sia. Jelas bahwa tak ada yang lebih bijaksana daripada Tuhan Yang
Mahakuasa, yang tidak memiliki kepentingan atas hamba-hamba-Nya atau apa yang
mereka lakukan, dan yang telah menetapkan ketentuan ketuhanan hanya demi
memberikan manfaat bagi hamba-hamba-Nya itu. Tentu saja, hukum-hukum sosial
yang digambarkan dalam kitab-kitab yang diturunkan dari langit itu tidak secara
eksplisit menyatakan semua ketentuan sosial yang berlaku di semua tempat dan
waktu. Namun demikian, hukum agama memberikan kerangka umum yang bisa menjadi
sumber penetapan peraturan yang diperlukan, berkaitan dengan perbedaan waktu
dan tempat. Jadi, paling tidak dengan mencermati batasan-batasan yang
ditetapkan oleh kerangka umum ini, mungkin keterjatuhan ke jurang kebinasaan
abadi bisa dihindari. Isu yang keempat adalah siapa yang harus memberlakukan hukum
sosial. Islam, sebagaimana kebanyakan mazhab politik yang lain,
membutuhkan keberadaan suatu negara sebagai kekuatan yang bisa mencegah
penyimpangan hukum, dan kelemahan suatu negara akan berarti terhambatnya
penerapan hukum, keadaan chaos, dan pelanggaran hak-hak kaum yang lemah. Jelas bahwa ada dua kualifikasi fundamental bagi mereka yang
bertugas menerapkan hukum, terutama bagi yang berada di puncak piramida
kekuasaan: pertama, pengetahuan yang memadai dari hukum tersebut untuk
menghindari penyimpangan yang disebabkan oleh ketidaktahuan; dan yang kedua,
kontrol pribadi atas kehendaknya untuk mencegah keinginan yang disengaja untuk
menerapkan hukum secara salah. Kualifikasi yang lain, seperti kepandaian
administratif, keberanian, dan sebagainya, bisa dianggap sebagai syarat
pendukung. Lazimnya, yang ideal adalah bahwa orang yang menjalankan hukum
tersebut harus secara umum tanpa ketidaktahuan, keegoisan, dan yang sejenisnya,
dan ia adalah orang yang dalam termonologi religius disebut sebagai maksum
(terlepas dari dosa). Semua umat Islam percaya pada kemaksuman Nabi Muhammad
saw dan penganut Syi'ah juga percaya pada kemaksuman para Imam as. Pada saat
orang yang maksum tidak ada, dalam memilih pemimpin dan posisi di bawahnya
dalam hirarki pemerintahan secara proporsional, kriteria semacam ini harus
ditepati sejauh mungkin. Pada dasarnya, landasan dari konsep Wilayat-e Faqih (lit.,
penjagaan jurisprudensi yang memenuhi semua persyaratan yang diperlukan) adalah
suatu proposisi bahwa seseorang yang mendekati derajat kemaksuman harus
menempati posisi orang yang maksum, yaitu pada posisi puncak piramida
kekuasaan, sehingga posisi ini bisa ditempati oleh orang yang paling memiliki
pengetahuan tentang hukum dan peraturan dan dasar-dasar fundamentalnya, orang
yang paling memiliki ketakwaan dan kontrol diri. Dengan kedua syarat dasar ini
(jurisprudensi dan ketakwaan) nampaknya paling tidak ia tidak akan secara
sengaja atau tidak sengaja, melanggar hukum Islam. Hal lain yang bisa dibahas di sini adalah bahwa dari sudut
pandang Islam tidak ada manusia yang memiliki hak secara intrinsik untuk
mengatur orang lain, bahkan jika ia mengeluarkan ketetapan-ketetapan yang benar
dan adil, karena semua orang, sebagaimana makhluk-makhluk lain, adalah
diciptakan dan merupakan kepunyaan Allah Yang Mahakuasa, dan tak seorang pun
yang boleh turut campur dengan kepunyaan orang lain tanpa izin pemiliknya.
Seorang manusia tidak memiliki hak, bahkan untuk menggunakan anggota tubuhnya
sendiri dengan cara yang bertentangan dengan kehendak Tuhan, dan sebagai
konsekuensinya, ia tidak bisa membiarkan orang lain melakukannya juga.
Karenanya, satu-satunya yang memiliki hak mutlak untuk memerintah dan menolak
siapa pun dan apa pun hanyalahTuhan Yang Mahaesa. Semua otoritas dan wilayah
harus berasal dari Dia atau paling tidak dengan hukum-hukum-Nya. Jelas bahwa
Tuhan Yang Mahakuasa tidak akan pernah mengizinkan siapa pun untuk menjalankan
hukum tanpa memiliki pengetahuan yang memadai tentang hukum-hukum-Nya, atau
tanpa jaminan kebenaran dari tindakannya dan kepatuhannya pada hukum-hukum
ketuhanan, atau tanpa ketakwaan, dan kualifikasi moral yang memadai. Di sisi lain, kita mengetahui bahwa kecuali bagi para Nabi
dan penerus mereka yang terpilih (Imam maksum; ed.), tidak ada orang lain yang
secara khusus ditunjuk oleh Tuhan untuk menjalankan hukum dan untuk memerintah.
Jadi, manusia harus berusaha untuk menemukan orang-orang yang sebisa mungkin
menyerupai para nabi dan para Ma'shumin (orang-orang yang maksum). Nampaknya
cara yang terbaik adalah dengan menyeleksi para ahli agama yang terpercaya
(para ahli hukum yang takwa), lalu meminta mereka untuk memilih yang terbaik di
antara mereka sendiri, karena para ahli bisa memilih orang yang terbaik dengan
lebih tepat. Cara penyelesaian seperti itu akan lebih aman dari
terpilihnya orang yang lemah, baik secara disengaja atau tidak disengaja. Juga jadi jelas bahwa bentuk politik Islam diturunkan dari
elemen-elemen dasar pandangan dunia Islam dan pandangannya terhadap manusia.
Artinya, penekanan pada sifat adil suatu hukum dan keselarasannya dengan
peningkatan spiritual manusia berasal dari pandangan bahwa Tuhan Yang Mahakuasa
menciptakan semua umat manusia agar manusia itu bisa mengikuti jalan
peningkatan diri menuju kedekatan dengan Tuhan dan kebahagiaan abadi melalui
keutamaan budi pekerti dalam kehidupan. Hak manusia untuk memperoleh
kebahagiaan dan untuk menikmati anugerah yang ada di dunia ini adalah agar
semuanya bisa menapaki jalan peningkatan diri dengan cara yang lebih baik dan
lebih cepat. Penerapan hukum-hukum ketuhanan dan prinsip-prinsip agama, baik
jika diterapkan untuk individu atau untuk masyarakat adalah untuk menentukan
landasan utama bagi jalan ini. Keahlian dalam bidang hukum dan ketakwaan selain
kualifikasi administratif yang lainnya adalah untuk menjamin tercapainya
kemajuan masyarakat secara umum, untuk mencapai kebahagiaan abadi, dan untuk
mencegah penyimpangan yang disengaja atau yang tidak disengaja dari jalan jalan
yang benar dalam kehidupan masyarakat. Kita berharap bahwa Tuhan Yang Mahakuasa akan
menganugerahkan kepada kita semua kesempatan untuk bersyukur kepada-Nya atas
karunia berupa hukum-Nya dan petunjuk untuk menuju kehidupan yang penuh
kebahagiaan yang kita cari.[] Diterjemahkan oleh Anna Farida Anvari dari A Glimpse
at the Political Philosophy of Islam dalam
http://home.swipnet.se/islam/articles/ Sumber:
www.icc-jakarta.com |