MENCARI KESELARASAN SAINS MODERN DAN SUFISME1Deprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Ditulis Oleh Kautsar Azhari Noer
Dalam pengertiannya yang universal sufisme adalah dimensi
mistis seluruh agama. Dalam konteks Islam, sufisme adalah dimensi mistis Islam.
Robert Frager, Syekh Sufi dan Profesor Psikologi pada Institute of
Transpersonal Psychology, California, mengatakan bahwa sufisme tidak berbeda
dengan mistisisme dari semua agama. Laksana sungai yang mengalir melewati
banyak negara dan yang diakui sebagai milik masing-masing negara itu, sufisme
sebenarnya hanya berujung pada satu muara. Seluruh mistisisme memiliki tujuan
yang sama, yakni pengalaman ketuhanan langsung.[2] Dilihat dari pengertian ini sufisme identik dengan Islam
atau agama Islam, tetapi dilihat dari pengertian lain sufisme tidak identik
dengan Islam atau agama Islam dalam pandangan orang-orang Muslim yang menolak
sufisme. Tidak semua orang Muslim menerima sufisme, apalagi sufisme teosofis
yang mengajarkan doktrin wahhdatul-wujud. Banyak di antara orang-orang Muslim
yang mengecam sufisme. Mereka memandang bahwa sufisme adalah aliran dan gerakan
yang ditambahkan kepada Islam setelah periode Nabi Muhammad saw. Menurut
mereka, sufisme bukan asli Islam, tidak pernah diajarkan dan dipraktikkan oleh
Nabi Muhammad saw. Di mata mereka, sufisme adalah aliran sesat, atau, paling
tidak, merugikan umat Islam. Sebaliknya, para pendukung sufisme memandang bahwa
sufisme adalah intisari Islam, yang justru mengemban pesan Islam hakiki.
Sufisme bersumber dari al-Quran dan sunah. Sufisme sebagai jalan dan sikap
hidup telah diajarkan dan dipraktikkan oleh Nabi Muhammad saw. Di mata para
pendukung sufisme, Nabi Muhammad saw adalah Manusia Sempurna (Insan Kamil) yang
paling sempurna. Sufisme dan Islam hakiki adalah satu dan sama, itu-itu juga. Jika sufisme berbeda dengan agama, pertanyaan,
"Mungkinkah sains dan sufisme selaras?" tidak sama dengan pertanyaan,
"Mungkinkah sains dan agama selaras?" Dua pertanyaan ini adalah sama
jika yang dimaksud dengan agama di sini adalah agama mistis, atau agama sufi,
yang dapat dibedakan dengan agama profetik atau agama non-mistis. Agama mistis
menekankan imanensi Tuhan sedangkan agama profetik menekankan transendensi-Nya.
Agama-agama mistis tumbuh subur di India dan Cina, sedangkan agama-agama
profetik hidup dengan kuat di Timur Tengah dan di Barat. Perspektif
Pada kesempatan ini, perkenankanlah saya menceritakan
kecaman seorang Muslim terhadap teori sains dasar yang dianggapnya telah
dimasukkan ke dalam doktrin wahdatul-wujud, doktrin bahwa satu-satunya wujud
hakiki adalah Tuhan, sedangkan alam adalah tempat penampakan diri Tuhan. Orang
yang mengecam teori sains dasar itu adalah Javid Ansari, seorang pemikir Muslim
revivalis asal Pakistan. Ia mengecam penelitian sains dasar yang dilakukan oleh
Profesor Abdussalam, Pemenang Hadiah Nobel 1979 dalam bidang fisika. Javid Ansari
mengatakan bahwa setelah suatu masa penelitian Profesor Abdussalam
mendemonstrasikan bahwa tenaga-tenaga elektromagnetik dan nuklir lemah –dua
dari empat tenaga "fundamental" yang dianggap ada dalam alam ini–
pada dasarnya adalah identik. Percobaan berikutnya dilakukan untuk menunjukkan
bahwa tenaga nuktlir kuat adalah identik dengan tenaga elektromagnetik.
Profesor Abdussalam telah membuktikan bahwa "fakta yang menunjukkan bahwa
kita telah mencari satu kesatuan di antara tenaga-tenaga alam yang kelihatannya
terpisah adalah bagian dari iman kita sebagai fisikawan…diberi hak istimewa
untuk memahami bagian disain Tuhan adalah rahmat dan hak istimewa." Di mata Javid Ansari, tidak ada yang Islami secara esensial
tentang teori Profesor Abdussalam, yang bisa ditemukan dalam karya-karya kaum
materialis Yunani Kuno dan yang juga ditemukan dalam karya-karya kaum
materialis modern. Konsep kesatuan wujud telah dimasukkan ke dalam doktrin
wahdatul-wujud oleh banyak kelompok heterodoks yang menghadirkan Islam sebagai
sebuah kombinasi sinkretik dari tema-tema metafisis Arya dan Semitik dan
menolak keunikannya. Demikianlah bagian tulisan Javid Ansari sebagai kecaman
terhadap Profesor Abdussalam dalam suatu perdebatan ilmu pengetahuan di Dunia
Islam 20 tahun lalu. Perdebatan itu dimuat dalam Arabia pada 1982 dan 1983.3
Kita dapat mengambil dua kesimpulan dari kecaman Javid Ansari ini. Pertama,
dalam pandangan Javid Ansari, teori sains dasar yang dianut oleh Pofesor
Abdussalam sejalan dengan doktrin wahdatul-wujud, doktrin yang dianut oleh para
sufi mazhab Ibnu Arabi. Kedua, dalam pandangan Javid Ansari, baik teori sains
dasar itu maupun doktrin wahdatul-wujud tidak sesuai dengan Islam, alias sesat. Sikap menentang teori sains dasar tadi dan doktrin Sufi
tentang wahdatul-wujud yang mempengaruhi teori itu adalah suatu perspektif.
Sikap mendukung teori sains dasar itu dan doktrin wahdatul-wujud adalah suatu
persepektif. Sains adalah suatu perpspektif. Sufisme adalah suatu perspektif.
Filsafat adalah suatu perspektif. Teologi adalah suatu perspektif. Fikih adalah
suatu perspektif. Perspektif adalah cara memandang atau cara melihat tentang
realitas, dunia, alam, atau sesuatu. Perspektif, dengan demikian, berbeda
dengan realitas, dunia, alam, atau sesuatu itu. Niels Bohr betul ketika mengatakan bahwa "Physics is
not about how the world is, it is about what we can say about the world"4
(Fisika bukanlah tentang bagaimana alam sebagaimana adanya, ia adalah tentang
apa yang bisa kita katakan tentang alam). Misalnya, fisika Newton berbeda
dengan fisika Einstein. Karena itu, dunia atau alam dalam fisika Newton berbeda
dengan dunia atau alam dalam fisika Einstein meskipun dunia atau alam yang
dilihat melalui dua perspektif itu adalah satu dan sama. Dunia dalam
penglihatan suatu teori fisika tidak lagi objektif. Yang menjadi persoalan
sebenarnya bukanlah realitas, dunia, alam, atau sesuatu, tetapi adalah
bagaimana perspektif kita dalam melihat, memandang, atau bersikap terhadap
realitas, dunia, alam, atau sesuatu itu. Dua Cara Berpikir
Warna atau bentuk suatu perspektif ditentukan oleh cara
berpikir. Secara garis besar, cara berpikir dapat diklasifikasikan ke dalam dua
macam: Berpikir rasional (rational thinking) dan berpikir imaginal (imaginal
thinking).5 Berpikir rasional, yang sering juga disebut berpikir diskursif,
bertumpu pada penggunaan akal. Berpikir rasional menekankan kemajemukan,
diversitas, perbedaan, dan keterpisahan. Ini adalah cara berpikir "entah
ini atau itu." Cara berpkir ini dalam sejarah Islam digunakan oleh para
fakih, mutakallim (teolog), dan filosof Peripatetik. Javid Ansari, yang menolak
teori sains dasar yang dianut oleh Profesor Abdussalam dan menolak doktrin
wahdatul-wujud, seperti disebut di atas, termasuk pemikir yang menggunakan cara
berpikir rasional. Berpikir imaginal, yang sering juga disebut berpikir
intuitif, menekankan penggunaan hati. Berpikir imaginal cenderung menekankan
keesaan, keidentikan, dan pemaduan. Ini adalah cara berpikir "baik ini
maupun itu," atau "kedua-duanya." Cara berikir ini menggunakan
prinsip coincidentia oppositorum atau prinsip hubungan yin-yang. Cara berpikir
ini dalam sejarah Islam digunakan oleh para sufi, filosof yang sufi atau
filosof Iluminasionis (Isyraqi). Tentang hubungan antara Tuhan dan alam, misalnya, para
teolog dan filosof menekankan perbedaan dan keterpisahan antara Tuhan dan alam,
transendensi Tuhan atas alam. Sedangkan para mistikus atau sufi menekankan
kesatuan dan keidentikan Tuhan dan alam, dan pemaduan imanensi dan transendensi
Tuhan. Pertanyaan, "Mungkinkah sains dan sufisme
selaras?" tidak dapat dijawab dengan sederhana karena dua alasan. Pertama,
yang dimaksud sains tidak hanya sains-sains kealaman, tetapi juga sains-sains
sosial. Sains-sains kealaman memiliki ciri-ciri yang bebeda dengan ciri-ciri
yang dimiliki oleh sains-sains sosial. Apakah keselarasan yang dipertanyakan
adalah keselarasan antara sains-sains kealaman dan sufisme, atau keselarasan
antara sains-sains sosial dan sufisme, atau keselarasan antara sains-sains
(baik kealaman maupun sosial) dan sufisme. Kedua, ada persoalan-persoalan
tertentu dalam sains yang menimbulkan perbedaan pendapat bukan hanya antara
para ilmuwan dan para pemikir agama, tetapi juga antara sesama para pemikir
agama. Teori evolusi, misalnya, didukung oleh banyak ilmuwan, filosof dan mistikus,
tetapi juga ditolak oleh beberapa ilmuwan, filosof, dan mistikus. Karya Fritjof Capra The Tao of Physics sering dijadikan
rujukan dan sekaligus contoh yang sangat bagus oleh para sarjana dan pemikir
untuk menunjukkan kesamamaan-kesamaan antara sains dan mistisisme Timur.6 Karya
ini memperlihatkan kesamaan-kesamaan antara fisika modern dan mistisisme Timur
yang diwakili oleh Hinduisme, Buddhisme, dan Taoisme. Karya ini dapat mendorong
dan membantu pemikir-pemikir Muslim untuk mencari kesamaan-kesamaan antara
fisika modern dan sufisme karena kesamaan-kesamaan antara sufisme dan
mistisisme Timur. Karya Toshihiko Izutsu Sufism and Taoisme7 adalah contoh yang
sangat bagus dari suatu kajian perbandingan yang menunjukkan kesamaan-kesamaan
antara konsep-konsep filosofis kunci dalam sufisme yang diwakili oleh Ibnu
Arabi, pada satu pihak, dan konsep-konsep filosofis kunci dalam Taoisme yang
diwakili oleh Lao Tzu dan Chuang Tzu, pada pihak lain. Jika benar Sufisme dan
Taoisme memiliki kesamaan-kesamaan dalam konsep-konsep filosofis kunci, sufisme
dan fisika modern juga memiliki kesamaan-kesamaan sebagaimana kesamaan-kesamaan
yang dimiliki bersama oleh fisika modern dan Taoisme. Untuk mencari kesejajaran-kesejajaran antara fisika modern
dan mistisisme Timur, Fritjof Capra berangkat dari kesejajaran epistemologis.
Menurut Capra, ada dua jenis pengetahuan atau kesadaran manusia: pengetahuan
rasional dan pengetahuan intuitif. (Pengetahuan rasional, seperti telah
dsebutkan di atas, diperoleh melalui berpikir rasional, sedangkan pengetahuan
intuitif diperoleh melalui berpikir imaginal). Meskipun fisika menekankan
pengertahuan rasional dan mistisism Timur menekankan pengetahuan intuitif,
kedua tipe pengetahuan ini terdapat dalam kedua bidang ini sekaligus. Ini
berarti bahwa dalam fisika pengetahuan intuitif pun digunakan dan dalam
mistisisme pengetahuan rasional pun ditemukan. Unsur rasional dari riset
sebenarnya tidak akan berguna bila tidak dilengkapi oleh intuisi yang memberi
para ilmuwan pemahaman-pemahaman baru dan membuat mereka kreatif.
Pemahaman-pemahaman intuitif, bagaimana pun, tidak akan berguna bagi fisika
kecuali bila pemahaman-pemahaman itu dapat dirumuskan dalam kerangka matematis
yang konsisten, yang dilengkapi oleh suatu interpretasi dengan bahasa yang jelas.8 Fritjof Capra mengatakan bahwa para mistikus Timur
mengungkapkan pengetahuan mereka dengan kata-kata dengan bantuan mitos-mitos,
simbol-simbol, gambaran-gambaran puitis atau pernyataan-pernyataan
paradoksikal, sedangkan para fisikawan modern mengungkapkan pengetahuan mereka
dengan model-model dan teori-teori verbal. Model-model dan teori-teori verbal
mestilah tidak akurat. Model-model dan teori-teori itu adalah imbangan
mitos-mitos, simbol-simbol, gambaran-gambaran puitis Timur. Baik para mistikus
Timur maupun para fisikawan modern menyadari benar keterbatasan bahasa dan
berpikir "linear."9 Pikiran mempunyai peranan yang amat penting dalam
mengonstruksi realitas. Capra mengatakan bahwa teori kuantum menunjukkan bahwa
"struktur-struktur dan fenomena-fenomena yang kita amati di alam tidak
lain daripada ciptaan pikiran kita yang mengukur dan mengategorisasi."10
Teori kuantum menjelaskan bahwa fenomena-fenomena hanya dapat dipahami sebagai
hubungan-hubungan dalam suatu rantai proses, yang berujung pada kesadaran
pengamat. Capra mengutip kata-kata Eugene Wigner, "Tidaklah mungkin
merumuskan hukum-hukum [teori kuantum] dalam suatu cara yang sepenuhnya
konsisten tanpa merujuk pada kesadaran."11 Karakteristk epistemologis fisika modern dan mistisisme
Timur ini memiliki kesamaan dengan karakteristik epistemologis sufisme bahwa
apa yang diketahui diwarnai oleh siapa yang mengetahui. Dengan mengutip
kata-kata Junaid, seorang sufi besar dari Bagdad, Ibnu Arabi berkata,
"Warna air adalah warna bejana yang ditempatinya" (Lawn al-ma’ lawn
ina’ihi).12 Bagi Ibnu Arabi, karakteristik ini berlaku tidak hanya bagi
pengetahuan tentang alam, tetapi juga, bahkan terutama, bagi pengetahuan
tentang Tuhan sehingga pengetahuan tentang Tuhan lebih merupakan sangkaan
(zhann) daripada pengetahuan. Itulah sebabnya mengapa Tuhan melalui sebuah
hadis Qudsi berkata, "Aku adalah dalam sangkaan hamba-Ku tentang Aku"
(Ana ‘inda zhanni ‘abdi bi).13 Tuhan disangka, bukan diketahui. Dengan kata
lain, Tuhan hanya dalam sangkaan manusia, bukan dalam pengetahuannya. Tuhan
tidak diketahui dan tidak dapat diketahui. Menarik untuk memerhatikan lanjutan
firman Tuhan dalam hadis Qudsi tadi, yaitu, "Maka hendaklah ia [sang
hamba] bersangka baik tentang Aku" (Fal-yazhunn bi khayran). Tuhan menyuruh
agar kita bersangka baik tentang Dia dalam setiap keadaan dan melarang kita
bersangka buruk tentang Dia. Kesatuan segala Sesuatu
Menurut Capra, karakteristik terpenting pandangan Dunia
Timur adalah kesadaran tentang kesatuan dan interrelasi timbal-balik segala sesuatu
dan peristiwa, pengalaman akan semua fenomena di dunia sebagai
manifestasi-manifestasi dari suatu kesatuan dasar. Segala sesuatu dilihat
sebagai bagian-bagian keseluruhan kosmik yang saling tergantung dan tidak dapat
dipisahkan; sebagai manifestasi-manifestasi dari realitas terakhir yang sama.
Realitas terakhir ini, yang menampakkan dirinya dalam segala sesuatu, disebut
Brahman dalam Hinduisme, Dharmakaya dalam Buddhisme, dan Tao dalam Taoisme.14
Capra memandang bahwa kesatuan dasar alam semesta bukan hanya karakteristik
sentral pengalaman mistis, tetapi juga adalah salah satu penyingkapan (rahasia)
terpenting fisika modern. Kesatuan dasar itu menjadi jelas pada tingkat atomik
dan semakin memanifestasikan dirinya ketika seseorang semakin masuk lebih dalam
ke dalam materi, turun ke dalam wilayah partikel-partikel subatomik. Berbagai
model fisika subatomik mengungkapkan pengetahuan yang sama: bahwa unsur-unsur
pokok materi dan fenomena-fenomena dasar yang meliputi unsur-unsur pokok itu
semuanya saling terkait, saling terhubung, dan saling tergantung; bahwa
semuanya tidak bisa dipahami sebagai entitas-entitas yang terpisah, tetapi
sebagai bagian-bagian keseluruhan yang terintegrasi.15 Konsep kesatuan dasar segala sesuatu dalam mistisisme Timur,
pada intinya, sama dengan konsep kesatuan wujud (wahdatul-wujud) dalam sufisme
Ibnu Arabi dan mazhabnya.16 Sebagaimana mistisisme Timur, sufisme mengajarkan
bahwa tidak ada sesuatu pun dalam wujud kecuali Tuhan; hanya ada Satu Wujud
Hakiki, yaitu Tuhan. Segala sesuatu selain Tuhan tidak ada pada dirinya
sendiri; segala sesuatu itu hanya ada sejauh memanifestasikan wujud Tuhan. Alam
adalah lokus penampakan diri Tuhan. Kesamaan kesatuan dasar segala sesuatu
dalam mistisisme Timur dan wahdatul-wujud dalam sufisme dengan mudah dapat
mendorong para pengkaji untuk mengambil kesimpulan bahwa wahdatul-wujud
memiliki kesamaan dengan kesatuan alam semesta sebagai penyingkapan fisika
modern Capra kelihatan terlalu menekankan kesejajaran antara
kesatuan segala sesuatu sebagai pengalaman mistis dan kesatuan segala sesuatu
sebagai penyingkapan fisika modern sehingga mengabaikan perbedaan antara dua
tipe kesatuan itu. Kesatuan segala sesuatu sebagai pengalaman mistis berawal
dari realitas tertinggi, atau lebih tepat Realitas Terakhir (dengan huruf
besar), yaitu Tuhan, yang menampakkan diri-Nya dalam segala sesuatu di alam
semesta ini, sedangkan kesatuan segala sesuatu sebagai penyingkapan fisika tidak
menyinggung Realis Terakhir, tetapi terbatas pada partikel-partikel subatomik.
Capra lupa melihat perbedaan antara wilayah pengalaman mistis dan wilayah
fisika modern. Wilayah pengalaman mistis adalah wilayah spiritual, sedangkan
wilayah fisika adalah wilayah material empiris. Jika fisika melompat ke wilayah
spiritual-metafisis, ia telah berubah menjadi pengalaman mistis. Boleh jadi,
bagi Capra, memang tidak ada lagi batas yang tegas antara wilayah pengalaman
mistis dan wilayah fisika. Menarik memperhatikan cara berpikir ‘Aynul-Qudhat Hamadani,
seorang sufi-filosof Persia, yang dicirikan oleh prinsip fundamental yang
membedakan antara dua wilayah: "wilayah akal" (thawr al-‘aql) dan
"wilayah di luar akal" (thawr wara’ al-‘aql). Masing-masing dari
kedua wilayah ini harus dipahami sebagai suatu keadaan subjektif kesadaran dan
suatu keadaan objektif realitas sekaligus, meskipun sebenarnya tidak ada
perbedaan antara suatu keadaan subjektif kesadaran dan suatu keadaan objektif
realitas. ‘Aynul-Qudhat menggambarkan "wilayah akal" dan
"wilayah di luar akal" sebagai dua wilayah yang berdampingan, yang
keduanya saling bertalian. Ia mengatakan bahwa "batas-batas terakhir
wilayah akal berhubungan dengan batas-batas pertama wilayah di luar akal."17
Ini berarti bahwa tingkat terakhir "wilayah akal" adalah tingkat
pertama "wilayah di luar akal," sehingga orang-orang yang telah
mencapai batas terjauh "wilayah akal" dengan berusaha habis-habisan
menggunakan segala daya sajalah yang mampu melangkah ke dalam wilayah daya transrasional
jiwa. Wilayah terakhir ini menyingkapkan dirinya kepada manusia ketika, pada
ujung kekuatan rasionalnya, seberkas cahaya yang menyinari secara penuh muncul
tiba-tiba di dalam batinnya.18 Munculnya "cahaya dalam batin" (an-nur
fi al-bathin) mengubah visi tentang dunia kepada sesuatu yang tidak dipikirkan
oleh manusia. "Wilayah akal" sebagai keadaan batini subjek
berarti fungsi rasional dan analisis dari akal yang dilakukan atas basis
bahan-bahan yang dilengkapi dengan pengalaman indera. Secara objektif,
"wilayah akal" berarti dunia empiris, dimensi fenomenal realitas,
yang di dalamnya akal memenuhi peranan alamiahnya. "Wilayah di luar
akal," jika dilihat sebagai suatu keadaan subjektif kesadaran, berarti
lapisan terdalam kesadaran, yang di dalamnya jiwa manusia yang kehilangan sifat
manusiawinya sendiri mulai mengadakan kontak langsung dengan tatanan
"Ilahi" segala sesuatu. "Wilayah di luar akal," jika
dilihat sebagai suatu keadaan objektif realitas, berarti tatanan "Ilahi"
segala sesuatu, yaitu dimensi transrasional dan suprainderawi dari realitas,
yang akan menampakkan dirinya hanya kepada kesadaran seorang sufi dalam
kontemplasi yang dalam.19 Wilayah fisika modern tidak sama dengan wilayah sufisme.
Wilayah fisika adalah wilayah rasional, wilayah empiris, wilayah fenomenal,
sedangkan wilayah sufisme adalah wilayah transrasional, wilayah supraindrawi,
wilayah spiritual, wilayah Ilahi. Ini tidak berarti bahwa fisika modern tidak
berguna bagi sufisme. Fisika modern dapat menjadi pintu gerbang kepada sufisme
dan sekaligus cara untuk meningkatkan kualitas pengalaman mistis. Tarian Kosmik
Capra mengatakan bahwa eksplorasi dunia subatomik pada abad
ke-10 telah menyingkapkan natur dinamis materi. Eksplorasi itu telah
menunjukkan bahwa unsur-unsur pokok dari atom-atom, partikel-partikel
subatomik, adalah pola-pola dinamis yang tidak ada sebagai entitas-entitas yang
terisolasi, tetapi sebagai bagian-bagian integral dari jaringan
interaksi-interaksi yang tidak dapat dipisahkan. Interaksi-interaksi ini
meliputi suatu aliran terus-menerus dari energi yang memanifestasikan dirinya
sebagai pertukaran partikel-partikel; suatu keadaan saling mempengaruhi yang
dinamis yang di dalamnya partikel-partikel diciptakan dan dihancurkan tanpa
akhir dan suatu variasi berkelanjutan dari pola-pola energi.
Interaksi-interaksi partikel menimbulkan struktur-struktur yang stabil yang
membangun dunia material, yang tidak lagi tetap statis, tetapi berputar dalam
gerakan-gerakan ritmis. Keseluruhan alam semesta terikat dalam gerak dan aktivitas
yang tidak pernah berhenti; dalam sebuah tarian kosmik energi yang
terus-menerus.20 Para mistikus Timur memiliki suatu pandangan dinamis tentang
alam semesta yang serupa dengan pandangan fisika modern, dan akibatnya tidak
mengejutkan bahwa mereka juga menggunakan gambaran tarian untuk memberitahukan
intuisi mereka tentang alam.21 Tarian kosmik ini disimbolkan dengan sangat
indah dalam Hinduisme dengan tarian Shiva. "Menurut kepercayaan Hindu,
semua kehidupan adalah bagian dari suatu proses ritmis besar dari penciptaan
dan penghancuran, dari kematian dan kelahiran kembali, dan tarian Shiva
menyimbolkan ritme kehidupan-kematian abadi ini yang berlangsung dalam siklus
yang tidak pernah berakhir."22 Fisika modern telah menunjukkan bahwa ritme penciptaan dan
penghancuran bukan hanya manifestasi dalam perputaran musim-musim dan dalam
kematian dan kelahiran seluruh makhluk hidup, tetapi juga adalah esensi materi
inorganik. Menurut teori medan kuantum, semua interaksi antara unsur-unsur
pokok materi berlangsung melalui pemancaran dan penyerapan partikel-partikel
yang sesungguhnya. Lebih dari itu, tarian penciptaan dan penghancuran adalah
dasar eksistensi materi itu sendiri, karena semua partikel material
"menginteraksikan-diri" dengan memancarakan dan menyerap partikel-partikel
yang sesungguhnya. Fisika modern telah menyingkapkan bahwa setiap partikel
subatomik tidak hanya melakukan suatu tarian energi, tetapi juga adalah suatu
tarian energi; suatu proses yang bergetar dari penciptaan dan penghancuran.23 Bagi fisikawan modern, tarian Shiva adalah tarian materi
subatomik. Seperti dalam mitologi Hindu, tarian itu adalah tarian terus-menerus
penciptaan dan penghancuran yang meliputi keseluruhan kosmos; dasar keseluruhan
eksistensi dan keseluruhan fenomena alamiah.24 Teori para mistikus Timur dan para fisikawan modern bahwa
alam bergerak dan berubah terus-menerus, menjadi dan hancur berulang-ulang
tanpa berhenti, serupa dengan teori para sufi bahwa alam sebagai penampakan
diri (tajalli) Tuhan diciptakan terus-menerus. Penciptaan alam, atau proses
penciptaan alam, identik dengan tajalli. Karena tajalli terjadi secara
terus-menerus tanpa awal dan tanpa akhir, "Yang selama-lamanya ada dan
akan selalu ada,"25 maka penciptaan alam juga terjadi terus-menerus. Tuhan
ber-tajalli dalam bentuk-bentuk yang tidak terbatas jumlahnya. Bentuk-bentuk
itu tidak ada yang sama dan tidak pernah dan tidak akan terulang secara persis
sama. Semuanya terjadi dalam perubahan terus-menerus tanpa berhenti. Ibnu Arabi
mengatakan bahwa apa yang terdapat dalam alam berubah dari suatu keadaan kepada
keadaan lain. Alam temporal berubah setiap kejap. Alam nafas berubah pada
setiap nafas dan alam tajalli berubah pada setiap tajalli. Allah Swt berfirman,
"Setiap waktu Dia dalam kesibukan" (Q 55:29). Ibnu Arabi mengutip
kata-kata Abu Thalib dan Rijalullah, "Sesungguhnya Allah Swt
selama-lamanya tidak melakukan tajalli dalam satu bentuk bagi dua individu atau
pribadi, dan tidak pula dalam satu bentuk dua kali."26 Teori penciptaan yang tak pernah berhenti ini disebut
"penciptaan baru" (khalq jadid). "Penciptaan baru"
mengandung arti bahwa setiap ciptaan Tuhan adalah baru setiap saat karena alam,
seperti dalam konsep tarian kosmik, menjadi dan hancur, datang dan hilang,
setiap saat secara terus-menerus tanpa berhenti. Ibnu Arabi menagatakan bahwa
"setiap tajalli memberikan ciptaan baru dan melenyapkan ciptaan [lain yang
mendahuluinya]. Kelenyapan identik dengan kemusnahan (ketiadaan) pada tajalli
[baru] dan kelanjutan [bagi ciptaan lain] yang diberikan oleh tajalli lain
berikutnya."27 Ibnu Arabi melukiskan hubungan antara Tuhan dan alam
seperti hubungan matahari dan cahayanya. Cahaya matahari adalah seperti nyala
lilin yang seolah-olah tetap ada ketika menyala. Mata kita melihat api tetap
ada. Tetapi sebenarnya mata kita tertipu. Sebenarnya nyala api muncul dan
lenyap. Setiapkali muncul nyala api baru, yang kemudian menghilang, disusul
oleh nyala api yang lain, yang kemudian juga menghilang, dan kemudian disusul
oleh nyala api yang lain pula, dan begitu seterusnya. Memang ada kesejajaran antara teori para sufi bahwa alam
bergerak dan berubah, menjadi dan hancur, diciptakan terus-menerus tanpa
berhenti, dan teori para fisikawan dan para mistikus Timur bahwa alam mengalami
gerak dan perubahan, penciptaan dan penghancuran terus-menerus tanpa berhenti.
Tetapi Capra, karena menekankan persamaan-persamaan, tidak melihat perbedaan
antara teori para fisikawan dan teori para mistikus Timur tentang sumber gerak
tarian kosmik itu. Dengan kata lain, Capra tidak melihat perbedaan antara kedua
teori itu tentang "penari" kosmik itu. Dalam tradisi Hindu, hubungan
antara Tuhan dan alam sering diumpamakan dengan hubungan antara penari dan
tarian. Penari dan tarian bukan dua karena tidak ada tarian tanpa penari dan
tidak ada penari tanpa tarian; keduanya tidak dapat dipisahkan. Tetapi penari
dan tarian bukan pula satu karena penari berbeda dengan tarian. Teori fisika
modern tidak menjelaskan bahwa "penari" itu adalah Tuhan. Teori
fisika modern membatasi perhatiannya pada alam empiris karena wilyahnya memang
itu. Perumpamaan hubungan antara Tuhan dan alam dengan hubungan
antara penari dan tarian serupa dengan perumpamaan yang dipakai oleh Hazrat
Inayat Khan (1882-1927), seorang guru sufi asal India, untuk melukiskan
hubungan antara Tuhan dan alam. Bagi Inayat Khan, alam adalah musik atau alat
musik. Bagai musik, alam alam adalah harmoni dan keteraturan. Pepohonan
melambaikan cabangnya dengan gembira mengikuti irama angin; bunyi lautan, desis
angin, terpaan angin pada batu, bukit dan gunung, kilat dan gemuruh guntur,
harmoni matahari dan bulan, gerakan bintang dan planet, bunga bermekaran,
gugurnya dedaunan, pergantian yang teratur pagi, sore, siang dan malam – bagi
orang bijak semua itu adalah musik alam. Satun-satunya pemusiknya adalah Pemusik
Gaib, yaitu Tuhan.28 Bagaimanapun, sumbangan Capra untuk menunjukkan
kesejajaran-kesejajaran antara fisika modern dan mistisisme Timur patut
dihargai karena ia telah berhasil menunjukkan pada suatu tingkat tertentu
kesejajaran-kesejajaran antara kedua bidang itu. Paling tidak, jarak antara
fisika dan mistisisme makin dekat, bahkan berdempetan. Fisika modern telah
memberikan bantuan yang luar biasa bagi pencari Tuhan untuk menajamkan dan
meningkatkan kepekaannya terhadap kehadiran Sang Penari. Catatan Akhir
Sampai batas tertentu, fisika modern dan sufisme, seperti
mistisisme Timur, mempunyai kesejajaran-kesejarajan yang tidak bisa diingkari.
Fisika modern dan sufisme sama-sama mengakui kesatuan alam semesta, dan gerak
dan perubahan harmonis semesta, yang manjadi dan hancur, terus-menerus tanpa
berhenti. Wilayah yang menjadi tempat kesejajaran-kesejajaran ini adalah
"wilayah akal," wilayah rasional, wilayah fenomenal. Berbeda dengan
fisika yang membatasi perhatiannya pada wilayah ini, sufisme melanjutkan perjalanannya
kepada "wilayah di luar akal," wilayah transrasional, wilayah
suprainderawi, wilayah spiritual, wilayah Ilahi. Sufisme melanjutkan tugas yang
tidak dapat dijalankan oleh fisika. Ketika melihat harmoni alam semesta, memerhatikan ombak yang
bergulung-gulung, dan merasakan irama nafas, Capra sadar bahwa segenap
lingkungannya terikat dengan tarian kosmik raksasa. Sebagai seorang fisikawan,
Capra mengetahui bahwa semua yang ada dan semua yang terjadi di alam ini sesuai
dengan teori fisika modern yang dianutnya. Lebih dari itu, ia merasakan
kehadiran Sang Penari Hakiki. Para sufi pun selalu "melihat" Sang
Penari Hakiki, atau Sang Pemusik Agung, ketika melihat tarian-Nya, atau
musik-Nya, kapan saja dan di mana saja. Fisika modern dapat mengingatkan manusia
pada tarian kosmik atau musik kosmik yang menunjukkan kehadiran Penarinya, atau
Pemusiknya. Fisika modern dapat meningkatkan kepekaan kesadaran akan kehadiran
Tuhan. Fisika modern dapat membantu meningkatkan kualitas spiritual. Wallahu a‘lam bish-shawab.
CATATAN KAKI: 1 Berasal dari makalah yang disampaikan pada Diskusi
"Membedah Fritjof Capra: Menggali Kemungkinan Integrasi Sains, Filsafat,
dan Agama," yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah bekerjasama dengan PT Bogasari, pada Selasa, 13 April 2004, di
Aula Madya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, di Ciputat. 2 Robert Frager, Heart, Self & Soul: The Sufi Psychology
of Growth, Balance, and Harmony (Wheaton, Illinois: Theosophical Publishing
House, 1999), hal.1. 3 Javid Ansari, "This is All a formula for Islamic
Scientific Impotence," Arabia: The Islamic World Review, no.20 (April
1983), hal.55. 4 Paul Davis dan John Gribbin, melalui karya mereka The
Matter Myth (New York: Simon & Schuster, 1992), dengan mengutip Niels Bohr. 5 Uraian ringkas tentang dua cara berpikir ini dapat dibaca
dalam Toshihiko Izutsu, "Ishraqiyah," The Encyclopedia of Religion,
diedit oleh Mircea Eliade, 16 volume. (New York: Macmillan, 1987), 7:296-298;
William C. Chittick, "Sufi Thought and Practice," The Oxford
Encyclopedia of the Modern IslamicWorld, diedit oleh John L. Esposito, 4
volume. (New York & Oxford: Oxford University Press, 1998), 4:105-106;
Daniel J Adams, Cross Cultural Theology: Western Reflections in Asia (New York:
John Knox Press, 1987). 6 William Johnston, Mystical Theology: The Science of Love
(London: Harper Collins Religious, 1995); Jusuf Sutanto, Bhinneka Tunggal Ika
dalam Cahaya Falsafah Ying-Yang," dalam Daoed Joesoef dan Jusuf Sutanto,
Dua Renungan tentang Manusia, Masyarakat dan Alam Semesta (Jakarta: CSIS,
1990), h. 74-107; Bede Griffiths, A New Vision of Reality: Western Science,
Eastern Mysticisme and Christian Faith (Springdfield, Illinois: Templegate
Publishers, 1989). 7 Toshihiko Izutsu, Sufism and Taoism: A Comaparative Study
of Key Philosophical Concepts (Los Angeles: University of California Press,
1983). 8 Fritjof Capra, The Tao of Physics (Boston: New Science
Library, 1995), hal.31. 9 Ibid., hal.44. 10 Ibid., hal.277. 11 Ibid., hal.300. 12 Ibnu Arabi, Fushush al-Hikam, diedit oleh Abul-Ala Afifi,
2 bagian (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1980), 1:225-226. 13 Ibnu Arabi, al-Futuhat al-Makkiyyah, 4 volume. (Beirut:
Dar al-Fikr, tanpa tahun), jil.4, hal.446. 14 Capra, The Tao of Physics, hal.130-131. 15 Ibid., hal.131. 16 Uraian tentang doktrin wahdatul-wujud-nya Ibnu Arabi
dapat dibaca dalam William C. Chittick, "Ebno’i-‘Arabi’s Doctrine of the
Oneness of Being," Sufi, Issue 4 (Winter 189-1990): 6-14; Kausar Azhari
Noer, Ibnu Arabi: Wahdatul-Wujud dalam Perdebatan (Jakarta: Paramadina, 1995). 17 ‘Aynul-Qudhat Hamadani, Zubdat al-Haqaiq, ed. Afif
Usayran (Tehran: University of Teheran, 1962), hal.35. 18 Toshihiko Izutsu, "Creation and Timeless Order of
Things: A Study in the Mystical Philosophy of ‘Aynul-Qudhat," The
Philosophical Forum, IV, 1 (1972): 126. 19 Izutsu, "Creation and Timeless Order of
Things," hal.127. 20 Capra, The Tao of Physics, hal.225. 21 Ibid., hal.241. 22 Ibid., hal.242. 23 Ibid., hal.244. 24 Ibid., hal.245. 25 Ibnu Arabi, Fushush al-Hikam, jil.1, hal.49. 26 Ibid., jil.1, hal.266. 27 Ibid., jil.1, hal.126. 28 Hazrat Inayat Khan, The Mysticism of Sound and Music
(Boston & London, 1996). [Sumber: www.icc-jakarta.com] |