Menjawab Beberapa Keraguan ihwal KenabianOleh: Ayatullah Misbah
Yazdi
Dari berbagai argumentasi yang telah disampaikan atas
keniscayaan diutusnya para nabi, muncul beberapa keraguan yang akan kita
paparkan di sini berikut jawaban-jawabannya. Keraguan pertama adalah bahwa jika Hikmah Ilahiyah itu
menuntut pengutusan para nabi untuk menyampaikan petunjuk kepada seluruh umat
manusia, mengapa seluruh nabi itu diutus di kawasan tertentu, yaitu di Timur
Tengah? Sedangkan belahan bumi lainnya tidak mendapatkan anugerah
pengutusan tersebut, terutama kalau kita perhatikan dengan seksama keterbatasan
sarana transportasi dan komunikasi serta pertukaran infor-masi yang lamban pada
masa-masa itu. Barangkali ada bangsa-bangsa zaman dulu yang tidak mengetahui
pengu-tusan para nabi sama sekali. Dan yang kedua bahwa apabila para nabi itu diutus untuk
melengkapi syarat-syarat yang harus dipenuhi demi kesempurnaan umat manusia,
mengapa masih saja ditemukan kerusakan dan kemunduran di muka bumi ini?
Mengapa mayoritas manusia di sepanjang sejarah kehidupan berada di bawah
kemaksiatan dan kemungkaran, bahkan para pengikut agama langit itu pun
senantiasa memerangi pengikut agama lain dan menyalakan api peperangan,
kerusakan dan penghancuran? Apakah Hikmah Ilahiyah itu tidak menuntut
sebab-sebab lain yang dapat mencegah munculnya berbagai kerusakan di muka bumi
ini, sehingga –paling tidak– para pengikut nabi tidak saling berperang? Keraguan Pertama
Jika Hikmah Ilahiyah itu menuntut pengutusan para nabi untuk
menyampaikan petunjuk kepada seluruh umat manusia, mengapa seluruh nabi itu
diutus di kawasan tertentu, yaitu di Timur Tengah? Sedangkan belahan bumi
lainnya tidak mendapatkan anugerah pengutusan tersebut, terutama kalau
kita perhatikan dengan seksama keterbatasan sarana transportasi dan komunikasi
serta pertukaran infor-masi yang lamban pada masa-masa itu. Barangkali ada
bangsa-bangsa zaman dulu yang tidak mengetahui pengu-tusan para nabi sama
sekali. Jawab: pertama, para nabi itu diutus tidak khusus pada kawasan
tertentu saja. Coba perhatikan ayat-ayat Al-Qur’an yang menunjukkan kehadiran
seorang nabi di tengah setiap bangsa. Allah swt berfirman: “Dan tidak satu umat pun yang kosong dari
seorang penyeru.” (Qs. Fathir: 24). “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus kepada
setiap umat itu seorang rasul supaya ia menyuruh mereka ber-ibadah hanya kepada
Allah dan menjauhkandiri dari taghut (selain Allah). (Qs. An-Nahl: 36). Kalau Al-Qur’an hanya menyebutkan sebagian nama-nama nabi,
ini tidak berarti jumlah mereka terbatas pada jumlah tersebut. Bahkan Al-Qur’an
menjelaskan banyaknya nabi sedangkan nama-nama mereka tidak tersebut di
dalam-nya. Seperti yang tertera dalam firman-Nya: “Dan para rasul yang kami tidak kisahkan tentang
mereka kepadamu.” (Qs. An-Nisa 164). Kedua, argumentasi di atas menuntut adanya perangkat
pengetahuan selain akal dan indra untuk digunakan dalam membimbing umat
manusia. Namun, hidayah Ilahi pada se-tiap individu bergantung kepada dua
syarat: a. Adanya kehendak bebas dan usaha sendiri untuk
me-manfaatkan hidayah tersebut. b. Tidak ada orang lain yang menciptakan kendala di
hada-pannya untuk mendapatkan hidayah. Dapat kita perhatikan bahwa kebanyakan umat manusia tidak
mendapatkan anugerah hidayah dari para nabi karena buruknya kehendak dan usaha
mereka, atau karena adanya kendala yang diusahakan oleh sebagian manusia
sehingga menghambat gerak-laju risalah para nabi dan penyebarannya. Kita
mengetahui bahwa para nabi itu telah mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk
mengatasi rintangan-rintangan tersebut dan berjuang untuk memberantas
musuh-musuh Allah swt., terutamamustakbirin dan taghut (pemerintahan zalim). Bahkan
banyak di antara para nabi itu mengorbankan jiwa dan raga mereka demi
menyampaikan risalah dan hidayah Ilahi kepada umat manusia. Tatkala mendapatkan
pengikut, mereka melancarkan perlawanan dan peperangan terhadap para taghut dan penguasa yang zalim. Sebab,
keberadaan yang belakangan ini merupakan kendala yang paling besar dalam usaha
menyebarkan agama Ilahi. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa karak-teristik
ikhtiar manusia dalam menempuh jalan kesempurnaan itu memerlukan adanya lahan
bagi pihak hak dan batil untuk dapat memilih jalan mereka. Namun ketika para
penguasa zalim sedemikian kuatnya sehingga mereka menutup jalan hidayah dan
memadamkan cahaya petunjuk bagi masyarakat, Allah akan turun tangan dan
menolong hamba-hamba-Nya melalui jalan gaib. Kesimpulan yang bisa kita ambil adalah bahwa apabila tidak
ada rintangan dalam dakwah para nabi, maka dakwah mereka pasti akan sampai
kepada semua telinga manusia di muka bumi ini, dan mereka akan mendapatkan
anugerah dari nikmat hidayah Ilahi tersebut melalui jalan wahyu dan kenabian.
Dengan demikian, tercegahnya mayoritas manusia dari hidayah Ilahi itu lantaran
berdirinya pemerintahan zalim dan kendala-kendala yang menghambat tersebarnya
risalah para nabi. Keraguan Kedua Apabila para nabi itu diutus untuk melengkapi syarat-syarat
yang harus dipenuhi demi kesempurnaan umat manusia, mengapa masih saja
ditemukan kerusakan dan kemunduran di muka bumi ini? Mengapa mayoritas
manusia di sepanjang sejarah kehidupan berada di bawah kemaksiatan dan
kemungkaran, bahkan para pengikut agama langit itu pun senantiasa memerangi
pengikut agama lain dan menyalakan api peperangan, kerusakan dan penghancuran? Apakah
Hikmah Ilahiyah itu tidak menuntut sebab-sebab lain yang dapat mencegah
munculnya berbagai kerusakan di muka bumi ini, sehingga –paling tidak– para
pengikut nabi tidak saling berperang? Jawab: Bila kita merenungkan karakteristik kesempurnaan manusia
yang berasaskan pada ikhtiar dan kebebasannya, kita akan menemukan
jawaban keraguan di atas. Sebelumnya telah kami sebutkan bahwa Hikmah Ilahiyah
menuntut pengadaan syarat-syarat kesempurnaan bagi manusia yang bersifat
ikhtiari (bukan paksaan) supaya orang-orang yang ingin mendapatkan kebenaran
mampu mengenal jalan mereka dan menempuhnya hingga sampai kepada kesempurnaan.
Namun tersedianya faktor-faktor kesempurnaan tersebut tidak berarti bahwa semua
manusia memanfaatkannya dengan benar dan mereka semua pasti akan sampai kepada
kesempurnaan. Menurut Al-Qur’an, Allah menciptakan manusia dengan tujuan
untuk menguji siapa yang amalnya lebih baik.[1] Al-Qur’an sendiri berkali-kali
menekankan bahwa apabila Allah berkehendak, Dia mampu membimbing semua manusia
menuju kebenaran dan mencegah mereka dari kebatilan.[2] Tapi dalam kondisi ini, tidak ada
tempat yang tersisa untuk kehendak dan usaha bebas manusia, dan semua
tindakannya tidak akan memiliki nilai. Selain itu, tujuan Allah untuk menguji
manusia yang bebas ini tidak akan terwujud. Walhasil, kita bisa mengambil kesimpulan dari penjelasan di
atas bahwa perjalanan manusia menuju kerusakan, kesesatan, kekufuran dan
kemaksiatan, bersumber dari buruknya usaha bebas manusia itu sendiri. Kemampuan
manusia untuk melakukan tindakan semacam ini telah dipertimbangkan oleh Allah
dalam menciptakannya. Meski-pun secara prinsipal dan langsung, kehendak Allah
berkaitan dengan kesempurnaan manusia, tapi karena kehendak-Nya itu bergantung
pada kehendak dan usaha bebas manusia, maka Dia tidak menutup kemungkinan
ketergelinciran manusia lantaran usahanya yang buruk. Hikmah Ilahi tidak
memastikan manusia untuk selalu menempuh jalan yang benar, meski hal itu
bertentangan dengan kehendak-Nya. Keraguan Ketiga
Dinyatakan bahwa Hikmah Ilahi menuntut agar manusia dapat
mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan yang hakiki dan abadi dengan cara yang
lebih baik. Bila benar demikian, tidakkah lebih baik jika Allah swt. menyingkap
tabir rahasia alam semesta ini kepada manusia melalui jalan wahyu agar mereka
lebih cepat mencapai kesempurnaan? Seperti yang kita perhatikan, penemuan
berbagai macam potensi alam dalam beberapa abad terakhir dan penciptaan
berbagai fasilitas kehidupan sangat berperan dalam kemajuan peradaban manusia
yang mencakup lebih terjaminnya kesehatan manusia dan perkembangan pertukaran
informasi. Jelas apabila para nabi membantu manusia dengan cara mengajarkan
berbagai teknologi dan menyediakan fasilitas hidup, niscaya pengaruh mereka di
tengah kehidupan manusia akan semakin ber-tambah dan dakwah mereka semakin
berhasil. Jawab: kebutuhan utama kepada wahyu dan kenabian itu ialah untuk
menyelesaikan masalah-masalah yang tidak dapat dijelaskan oleh perangkat
pengetahuan biasa manusia. Ketika masalah-masalah itu tidak jelas, mereka tidak
mampu menen-tukan jalan kesempurnaan mereka, apalagi berjalan di atasnya. Dengan kata lain, para nabi diutus untuk membantu umat
manusia agar dapat mengetahui jalan hidup mereka menuju kesempurnaan, sehingga
mereka akan dapat lebih mudah mengenal tugas-tugas mereka dalam berbagai
kondisi serta menggunakan kekuatan dan potensi mereka untuk meng-usahakan
tujuan mereka, baik yang tinggal di pedesaan, pegunungan dan di kemah-kemah,
ataupun yang tinggal di kota-kota dengan budaya dan teknologi yang sudah maju.
Dengan itu, mereka juga dapat mengenal nilai-nilai hakiki kemanusiaan,
tugas-tugas dan tanggung jawab mereka dalam beribadah kepada Allah swt. di
dalam kehidupan pribadi dan sosial mereka, sehingga dengan mempraktikkan dan
menga-malkan tugas-tugas ini, mereka akan sampai pada kesem-purnaan dan
kebahagiaan yang hakiki dan abadi. Adapun perbedaan potensi, kemampuan dan sarana industri dan
alami, baik pada satu zaman ataupun pada masa yang berbeda, adalah akibat dari
beberapa faktor tertentu. Hal ini bukanlah pengaruh utama dalam perjalanan
mereka menuju kesempurnaan hakiki dan perjalanan mereka yang abadi. Sebagaimana
yang bisa kita perhatikan pada masa sekarang, bahwa kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang dapat memperluas dan mengembangkan hal-hal materi dan
duniawi itu sama sekali tidak memberikan pengaruh dalam kesempurnaan spiritual
manusia, bahkan dapat dikatakan bahwa kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan
itu meninggalkan dampak yang sebaliknya. Kesimpulannya, bahwa Hikmah Ilahiyah menuntut agar umat
manusia -dengan menggunakan nikmat-nikmat materi- dapat melangsungkan
kehidupan mereka di dunia ini dan melestarikannya. Dan dengan menggunakan akal
dan wahyu, mereka dapat mengetahui dan menentukan jalan hidup mereka menuju
kesempurnaan yang hakiki dan kebahagiaan yang abadi. Adapun adanya perbedaan
potensi fisikal dan spiritual, perbedaan kondisi alam dan sosial, atau
perbedaan dalam memanfaatkan berbagai macam ilmu pengetahuan dan industri,
semua itu tunduk pada faktor-faktor alami tertentu yang sesuai dengan Hukum
Kausalitas. Perbedaan-perbedaan tersebut tidak berpengaruh penting
terhadap perjalanan umat manusia kepada tujuan mereka yang abadi. Barangkali
ada individu atau kelompok yang hidup dengan cara sederhana dan tidak menikmati
sarana teknologi serta tidak berbekal materi melimpah, akan tetapi mereka dapat
mencapai derajat kesempurnaan yang tinggi. Sebaliknya, berapa banyak individu
dan kelompok yang mampu menggunakan berbagai fasilitas hidup mewah, industri
yang maju dan ilmu pengetahuan yang canggih, akan tetapi mereka terpuruk ke
dalam lembah kesengsaraan akibat kekufuran mereka terhadap nikmat Allah swt.
dan kecong-kakkan mereka. Tentunya, di samping melaksanakan tugas utama dalam
membimbing umat manusia menuju kesempurnaan dan kebahagiaan abadi, para nabi
juga telah membantu manusia untuk hidup lebih baik dalam dunia ini. Dalam
beberapa kondisi -apabila Hikmah Ilahiyah menuntut hal itu- para nabi
menyingkapkan rahasia-rahasia alam dan membangun pera-daban manusia. Kita dapat
melihat bukti khidmat para nabi kepada manusia dalam kehidupan Nabi Dawud, Nabi
Sulaiman dan Dzul Qarnain a.s.[3] Dalam hal pengaturan negara pun, para
nabi telah berkhidmat kepada umat manusia, seperti yang dilakukan oleh
Nabi Yusuf a.s. di Mesir (lihat Qs. Yusuf: 55). Namun semua ini hanyalah
khidmat sampingan para nabi, bukan khidmat utama mereka. Adapun pertanyaan mengapa para nabi tidak menggu-nakan
kekuatan teknologi, ekonomi dan militer untuk me-ngangkat risalah mereka, jelas
bahwa -seperti yang telah kami sebutkan berulang-ulang- tujuan para nabi
a.s. adalah untuk menciptakan kondisi yang sesuai dengan usaha, kehendak dan
kebebasan manusia. Apabila dakwah mereka menggu-nakan kekuatan selain kekuatan
biasa, maka kedewasaan spiritual dan kesempurnaan umat manusia tidak akan
ter-wujud, bahkan mereka akan mengikuti nabi karena adanya tekanan dan
kekuasaannya, bukan karena kehendak dan ke-bebasan mereka sendiri. Sehubungan dengan masalah ini, Imam Ali As pernah bersabda: “Jika
Allah swt berkehendak untuk membekali para nabi di saat mereka diutus dengan
gudang-gudang emas permata, kebun-kebun penuh buah dan menjadikan burung-burung
di udara dan hewan-hewan di daratan tunduk kepada mereka, maka Dia pasti
mampu melakukannya. Akan tetapi jika hal itu Dia lakukan, maka gugurlah bala’
dan batallah balasan… Apabila para nabi itu memi-liki kekuatan yang tidak bisa
dikalahkan, kemulian yang tidak ada bandingannya, kekuasaan yang melingkari
leher-leher setiap orang sehingga mereka semua menuju kepadanya, maka -jika
demikian halnya- mereka tidak lagi memiliki nilai di mata manusia dan bahkan
membuat mereka semakin jauh. Bahkan mereka (manusia) akan beriman karena rasa takut
dan terpaksa atau karena ketamaan harta. Niat, tujuan dan nilai-nilai menjadi
sama. Akan tetapi Allah swt berkehendak agar manusia mentaati rasul-Nya,
membenarkan buku-Nya, menghadap kepada-Nya, melakukan perintah-Nya dan berserah
diri karena mentaati-Nya dengan motivasi Ilahi yang murni. Setiap kali cobaan
dan ujian semakin sulit, maka pahala dan ganjarannya pun akan semakin besar.”[4] Ketika umat manusia memilih dan mengikuti ajaran agama yang
hak atas dasar kehendak dan usaha bebas mereka dan menegakkan tatanan
masyarakat Ilahi berdasarkan ridha Allah swt., ketika itu para nabi layak
menggunakan kekuatan untuk mewujudkan tujuan ilahi, khususnya untuk memberantas
orang-orang yang zalim dan membela hak-hak orang-orang yang beriman.
Contoh hal ini dapat kita saksikan dalam pemerintahan Nabi Sulaiman As.[5] [AM, www.wisdoms4all.com] [1] Al-Hud: 7, Al-Kahfi: 7, Al-Mulk: 2,
Al-Maidah: 48, Al-An`am: 165 [2] Al-An`am: 35,107,112,137,127, Yunus: 99,
Hud:118, Al-Nahl: 9,93, Al-Syura: 8, Al-Syu’ara: 4, Al-Baqarah: 253 [3] Al-Anbiya 78-82, Al-Kahfi: 83-97, Al-Saba: 10-13. Perlu diperhatikan
bahwa menurut sebagian riwayat, Dzul Qarnain bukan seorang nabi, tapi seorang
wali Allah. [4] Nahjul Balaghah khotbah Al-Qoshiah, Al-Furqon 7-10,
Al-Zukhruf: 31-35. [5] Surat Al-Anbiya 81-82, surat an-Nahl 15-44. |