Dua Tradisi Muharam di IndonesiaDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Tradisi Muharam di Indonesia diselenggarakan di beberapa
kota: Pariaman, Bengkulu, Pidie, Aceh, Gresik, dan Banyuwangi. Selain itu, ia
terdapat di beberapa kota lainnya di Jawa Tengah. Pada zaman dahulu, masyarakat
Sumatera Barat, tepatnya di Padang Panjang dan Solok, juga suka
menyelenggarakan tradisi Tabut. Tradisi Tabut di wilayah-wilayah pesisir
Pariaman, Sumatera Barat, berasal dari mazhab Syiah. Tradisi ini dilaksanakan
untuk mengenang cucu Rasulullah saw yang terbunuh di padang Karbala. Masyarakat
Sumatera mengatakan, “Setelah Imam Husain syahid, pasukan Yazid memotong kepala
beliau as lalu meletakkannya di ujung tombak, dan mengarak-araknya ke
jalan-jalan dan pasar-pasar. Dalam keadaan itu, tiba-tiba muncul seekor burung
yang bernama “Buraq.” Burung itu mencabut kepala Imam Husain as dari ujung
tombak tesebut lalu membawanya ke langit.” Para tentara, melalui keluarga tentara itu, memperkenalkan
tradisi Asyura ke Irak, India, Madagaskar (Afrika), dan Indonesia. Masyarakat
Pariaman, setiap tanggal 10 Muharam, memperingati acara ini. Kendati kuda Imam Ali as terkenal dengan nama “Deldel” dan
kuda Imam Husain dengan nama “Zul Janah,” di Tanah Melayu (secara khusus di
Minangkabau) kuda Imam Husain dikenal dengan nama “Buraq.” Mereka meyakini
bahwa Deldel dan Zuljanah tidak mampu terbang sedangkan Buraq bisa. Buraq
inilah yang telah mengantarkan Rasulullah saw ke sisi Allah Swt. Kemudian,
Buraq ini pulalah, setelah syahidnya Imam Husain as, yang membawa ruh dan
kepala suci Imam Husain ke singgasana Allah Swt. Oleh karena itu, mereka
mengatakan bahwa Buraq adalah kuda Imam Husain as. Masyarakat Indonesia yakin, setelah syahidnya Imam Husain
dan Imam Hasan as, Buraq membawa ruh kedua Imam itu ke sisi Allah Swt. Secara
khusus, masyarakat Minangkabau, yakin bahwa ruh Imam Hasan as dan Imam Husain
as akan saling bertemu dan, pada zaman Imam Mahdi as, akan kembali ke dunia
ini. Tradisi Tabut, secara khusus di Pariaman, selalu ditujukan
untuk memperingati syahidnya Imam Husain as. Hal itu adalah contoh dari
pengaruh budaya Iran terhadap kebudayaan Minangkabau. Di kalangan umat Islam Sumatera, berdasarkan atas tradisi
kuno, tradisi aza bagi Imam Husain as dikenal dengan nama “Tabut.” Bulan
Muharam mereka sebut dengan “Syura.” Masyarakat, pada malam pertama Muharam,
pergi ke salah satu sungai. Di sana, mereka mengambil tanah dengan anggapan
bahwa itu adalah tanah jasad Imam Husain as. Lalu, mereka meletakkannya di
salah satu padang yang mereka pagari sekelilingnya dengan kayu. Mereka
membiarkan tanah itu di sana hingga hari kesembilan Muharam. Ketika hari itu
tiba, mereka kembali ke sana. Di hari kesembilan Muharam, semua masyarakat pergi keluar
rumah dengan membawa gendang dan gong. Mereka mengambil beberapa lembar daun
pisang lalu meletakkannya di atas tanah yang pernah disimpan itu. Tradisi ini seolah-olah ingin kembali mengingatkan
masyarakat akan musibah yang pernah menimpa Imam Husain as. Jari-jari Imam
Husain as mereka buat dari kayu lalu ditutupi dengan sehelai kain atau daun dan
diletakkan di atasnya sekuntum bunga. Kemudian pada malam harinya, mereka
keluar sambil membawanya. Dengan cara ini, mereka membawakan permisalan tentang
jari-jari Imam Husain as yang dipotong oleh musuh-musuhnya di Karbala setelah
kematian sang Imam. Pada malam itu, senandung-senandung duka Karbala
dinyanyikan. Pada malam kedua, bersama jari-jari itu, mereka membuat ‘amamah,
yang mereka sebut “sorban Imam Husain as.” Pada malam ke-12 Muharam, mereka mengambil tabut-tabut dan
gendang-gendang. Setelah itu, mereka mengambil sedekah dari masyarakat kota.
Pada malam harinya, semua penduduk kampung membawa tabut-tabut mereka ke sungai
dan di sana mereka membacakan beberapa syair. Pada waktu Magrib, mereka
menghanyutkan tabut-tabut mereka ke sungai atau laut. Di sana saat tabut-tabut
itu mulai tenggelam, mereka menjerit histeris mengenang Imam Husain as lalu
akhirnya kembali ke rumah masing-masing. Muharam dalam bahasa Jawa disebut dengan “Suro.” Sementara
di Aceh, Muharam disebut dengan “Bulan Hasan dan Husain.” Peringatan Muharam
dilaksanakan di berbagai tempat di Indonesia, secara khusus di Pariaman dan
Bengkulu. Setiap tahun, acara ini juga diselenggarakan di Kutaraja, Aceh, oleh
para pendatang dari Padang. Di Pidie, sebelah timur laut Aceh, masyarakat
Keling (Muslim India) menyelenggarakan tradisi ini dengan cara yang khas. Tradisi keagamaan kebanyakan masyarakat Indonesia tidak
berbeda dengan masyarakat Iran. Keduanya selalu memasak makanan untuk menyatakan
rasa syukur kepada Allah Swt. Di Indonesia, ini disebut dengan kenduri. Di
India, makanan semacam ini disebut kahacri (semacam sup yang terbuat dari beras
dan kacang-kacangan). Di Kairo, Mesir, makanan ini disebut hubbub, yang terbuat
dari berbagai macam biji-bijian. Masyarakat Jawa menyebut makanan ini dengan
“bubur Suro,” yang terbuat dari berbagai biji-bijian, seperti jagung, kacang
tanah, kelapa, dan beras. Makanan ini dibuat untuk arwah para orang suci,
seperti Rasulullah saw dan yang lainnya. Kemudian setelah itu, mereka
membagikannya kepada masyarakat. Adapun di Aceh, makanan campuran ini dinamakan
“kanji Asyura,” yang terbuat dari beras, susu, kelapa, gula, buah-buahan,
kacang tanah, pepaya, delima, pisang, dan akar-akaran. Di Aceh, tidak setiap rumah memasak makanan ini tetapi di
satu kota mereka memasaknya di satu tempat kemudian membawanya ke mesjid atau
ke perempatan jalan. Setelah memanjatkan doa, makanan itu dibagikan kepada
masyarakat. Demikian juga di Jawa, masyarakat memakan “bubur Suro.” Masyarakat Aceh menganggap Muharam sebagai “bulan api,”
yakni bulan musibah dan kesedihan. Di sebagian tempat, masyarakatnya suka
melakukan maktam sambil mengelilingi api. Masyarakat Indonesia yakin bahwa Imam Hasan as dibunuh Bani
Umayah dengan cara diracun sementara Imam Husain as dibunuh pasukan Yazid di
padang Karbala pada Jumat, 10 Muharam. Mereka mengatakan, “Kedua orang
bersaudara ini adalah orang yang teraniaya.” Karena itu, masyarakat
memperingati syahidnya Imam Hasan as dan Imam Husain as. Masyarakat Minangkabau
menamakan Muharam dengan “bulan Tabuik.” Di wilayah Ternate, tradisi takziah
ini disebut dengan “Badabus.” Sementara itu, masyarakat Betawi menyebut sepuluh
Muharam sebagai “hari anak yatim.” Di berbagai wilayah di Indonesia,
masyarakat, pada hari kesepuluh Muharam, memasak sejenis makanan yang mereka
sebut dengan “bubur merah-putih.” Merah adalah lambang darah Imam Husain as
sedangkan putih adalah lambang ruh suci Imam Husain as. Makanan ini terbuat
dari beras, gula, dan beberapa bahan lainnya. Masyarakat Melayu memperingati hari anak yatim untuk
mengenang Imam Husain as dan Imam Ali Zainal Abidin as, sebagai yatim pertama
dari keluarga Rasulullah saw. Hal itu karena, dalam peristiwa Karbala, hanya
Imam Ali Zainal Abidin yang masih hidup. Pada hari-hari Asyura, masyarakat
Melayu mengenang para syuhada Karbala juga dengan cara melakukan kegiatan amal
saleh. Raffles (periode pemerintahan: 1811-1816 M), komandan
pasukan dan utusan kerajaan Inggris, membawa sejumlah pasukan dari India ke
Bengkulu. Setelah Pasukan Inggris yang berasal dari India dan Irak, yang
didatangkan ke Bengkulu, kebanyakannya menetap di Bengkulu. Setelah itu, ada
pula yang menetap di Pariaman. Mereka semuanya adalah penganut ajaran Syiah dan
meneruskan tradisi acara aza dan arak-arakan Tabut di Bengkulu dan Pariaman. Begitu berakarnya tradisi tersebut sehingga orang-orang
Pariaman, yang telah tinggal di luar Pariaman, tiap tahunnya menyempatkan diri
untuk pulang ke kampung halaman mereka untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan
acara arak-arakan Tabut tersebut. Telah terjadi perbedaan pendapat mengenai kelanjutan
penyelenggaraan acara Tabut ini. Dikatakan bahwa tarekat Syatariah mempunyai
andil cukup besar dalam perkembangan tradisi Tabut ini. Syeikh Abdullah Syattar
adalah pengikut Imam Ali as. Ia mendirikan tarekat Syatariah di Bagdad, yang
sangat memuliakan mazhab Syafi’i, dan mazhab ini menekankan kecintaan kepada
Ahlulbait as, khususnya kelima orang suci, yaitu Muhammad saw, Fathimah as, Ali
as, Hasan as, dan Husain as. Tarekat ini dikembangkan di Minangkabau oleh
Syeikh Burhanuddin Ulakan. Ia pun terkenal sebagai orang pertama yang
menyebarkan Islam di Minangkabau. Di Irak sendiri, orang-orang Syiah pengikut tarekat
Syatariah selalu menyelenggarakan peringatan Asyura, yang juga diikuti para
pengikut tarekat ini yang bermazhab Ahlusunah. Kemudian acara peringatan ini
pun berkembang pula di Iran. Dari Iran, tradisi ini terus berkembang di India.
Lalu dari India, ia berkembang di Bengkulu dan Pariaman, yang dibawa
orang-orang Syiah India, yang pernah menjadi tentara Inggris di tanah Bengkulu. Dalam bahasa Minangkabau, acara arak-arakan Tabut ini
disebut dengan “Batabuik” atau “Hoyak Tabuik.” Dikatakan bahwa di Minangkabau,
acara ini banyak diselenggarakan di Padang Pariaman, yaitu seluruh wilayah
pesisir laut Sumatera Barat, khususnya Pariaman. Selain Pariaman, seandainya sewaktu-waktu terjadi lonjakan
jumlah masyarakat Pariaman yang ada di kota-kota lainnya, maka mereka pun
menyelenggarakannya di kota-kota tersebut. Contohnya adalah masyarakat Pariaman
yang tinggal di Palembang, Sumatera Selatan. Karena banyaknya jumlah mereka di
sana, acara itu pun diselenggarakan di sana. Penyelenggaraan acara Muharam
sangat penting bagi masyarakat Minangkabau. Pada masa lalu, masyarakat perantau
Minangkabau tidak pulang ke kampung halaman mereka untuk merayakan Idul Fitri
tetapi untuk mengikuti acara Asyura dan bertemu dengan sanak famili mereka. Bentuk Tabut Tabut adalah semacam menara yang berbentuk kuda bersayap. Ia
diyakini sebagai Buraq Imam Husain as. Tabut terbuat dari bambu dan rotan.
Mereka pun mengikatkan sebuah boneka di bagian kepalanya, dan juga menghiasinya
dengan menempelkan kertas-kertas yang berwarna-warni. Masyarakat Pariaman juga membuat Tabut khusus untuk
bernazar. Maksudnya, apabila seseorang memiliki penyakit yang tak kunjung
sembuh, mereka pun bernazar bahwa apabila penyakitnya disembuhkan, ia akan
membuat sebuah Tabut. Tabut sepintas terlihat seperti sebuah kamar berukuran
besar, yang di dalamnya terdapat Buraq sebesar kuda yang sedang berdiri. Sewaktu Tabut dibawa berkeliling ke gang-gang dan ke
pasar-pasar, mereka biasa memukul-mukul genderang dari kuningan atau kuali dari
tembaga hingga mengeluarkan suara ramai dan berteriak, “Ya Husain...Ya Husain!”
Tepat pada hari kesepuluh Muharam, ribuan orang membanjiri Pariaman, yang dalam
situasi seperti itu sangat jelas terlihat berbagai macam tipe orang dari sisi
status dan derajat sosialnya. Ribuan manusia menyertai rombongan aza. Di
Pariaman, umumnya dibuat dua buah Tabut, yang pertama dibuat di daerah pasar,
dan karena itu mereka namakan “Tabut Pasar.” Sementara itu, yang satunya lagi
bernama “Tabut Kampung Jawa” yang dibuat di daerah Kotamadya Kelima. Secara historis, dikatakan bahwa tradisi Tabut di Pariaman
berasal dari Aceh tetapi sebagian lainnya berpendapat bahwa tradisi Tabut di
Pariaman berasal dari Bengkulu, yang dibawa oleh tentara Inggris berkebangsaan
India. Yang lainnya justru berkeyakinan bahwa hubungan perdagangan dan
keagamaan antara Bengkulu dan Sumatera Barat-lah yang menyebabkan tradisi Tabut
berkembang di Pariaman. Sebagian lainnya lagi berkeyakinan, berbeda dari yang telah
disebutkan sebelumnya, bahwa tradisi Tabut bermula dari Aceh, yang pada abad
ke-16 M mulai masuk ke Pariaman dan Bengkulu dan dibawa para mubalig serta
pedagang Muslim yang menyebarkan Islam di sana. Proses Terpenting Tabut di Pariaman
Pengambilan Tanah
Masyarakat pada malam satu Asyura datang ke sungai untuk
mengambil tanah. Pada acara ini, seluruh masyarakat kota berkumpul di sana.
Kemudian, tanah tersebut mereka masukkan ke dalam sebuah belanga yang suka
digunakan untuk memasak nasi, yang mereka sebut dengan payuk. Makna mengambil tanah dari sungai adalah simbol yang
menjelaskan kelahiran sekaligus kesyahidan Imam Husain as. Sementara itu,
melibatkan kain putih di atas belanga dan di sekeliling daraga adalah simbol
kesucian, kebesaran, dan kesyahidan Imam Husain as di jalan Allah Swt.
Sekeliling daraga pun dikuatkan dengan batu-batu bersih dan suci, yang
melambangkan kekuatan masyarakat Minangkabau di hadapan para penjajah. Mengambil Ikatan Pisang Pada hari kelima Muharam, di malam harinya, masyarakat pergi
ke mana saja untuk memutuskan ikatan pisang dengan sabetan pedang lalu mereka
membawanya. Ikatan pisang itu harus mereka putuskan dengan hanya sekali sabetan
pedang saja. Hal itu diyakini sebagai lambang keberanian Qasim, putra Imam
Hasan as, yang tak tertandingi, yang berperang melawan rezim Yazid di padang
Karbala. Pelaksanaan Maktam dengan Lima Jari Pada hari ketujuh Muharam, tepat pukul 12.00 Zuhur,
dilaksanakanlah acara aza khusus, yang bernama “maktam lima jari.” Itu adalah
simbol lima jari Imam Husain as yang dipotong pasukan Yazid. Mereka
mengingatkan bahwa inilah tangan Imam Husain as, yang telah berhasil membunuh
sejumlah besar orang kafir yang berbaju Muslim. Dalam acara ini, jari-jari dan
daraga sebagai simbol makam Imam Husain as dengan penuh penghormatan khusus
diarak-arak ke gang-gang dan pasar-pasar sementara mereka terus menangis. Pada hari dan pada malam kedelapan Muharam, mereka mengarak
lambang lima jari Imam Husain as itu ke setiap gang dalam kota. Dengannya,
mereka ingin menjelaskan bahwa betapa besarnya kezaliman yang telah dilakukan
Yazid terhadap Imam Husain as. Arak-arakan Sorban Imam Husain as Pada hari kesembilan Muharam, sorban kepala Imam Husain as,
sebagai simbol kebesaran dan ketinggian Imam Husain as, diarak ke setiap gang
dan pasar di dalam kota. Arak-arakan Tabut atau Pengambilan Nakhl Pada waktu Subuh hari kesepuluh Muharam, tepatnya pukul 4
Subuh, mereka segera menyiapkan segala keperluan acara aza. Kira-kira pukul 8
pagi, mereka membawa Tabut bersama Buraq, bendera, dan lambang lima jari ke
gang dan pasar untuk menyiapkan acara tersebut. Di belakang, berjalan sekelompok pemain debus. Orang-orang
ini melakukan suatu permainan khusus, dengan cara menghujamkan pedang besi ke
dalam perut mereka, dan menempelkan ke tubuh mereka pisau dan rantai yang telah
dipanaskan dan batok-batok kelapa yang sedang membara karena dibakar. Pesan
dari atraksi tersebut adalah kenapa bukan kami saja yang mati menggantikan
Husain as. Di belakang kelompok debus itu, terdapat sejumlah orang yang
terbagi ke dalam dua kelompok. Yang pertama dengan kekuatan penuh memukul-mukul
genderang dan yang lainnya memainkan kecapi. Pada malam kesepuluh Muharam,
mereka membacakan kisah syahidnya Imam Hasan dan Imam Husain as dengan iringan
rebana. Menghanyutkan Tabut ke Laut Pada hari kesepuluh Muharam, acara aza tersebut mencapai
puncaknya. Pada malam kesepuluh Muharam, tabut-tabut tersebut dihanyutkan ke laut.
Sebelum tabut-tabut dihanyutkan ke laut, terlebih dahulu mereka mengambil
segala sesuatu yang penting dari dalamnya, seperti lambang lima jari yang
terbuat dari emas, kain-kain yang mahal harganya dan kertas warna-warni, untuk
digunakan pada pembuatan Tabut di tahun berikutnya. Ketika kembali ke rumah melalui jalan pantai, mereka
menganggap bahwa ruh Imam Husain as tengah terbang dengan Buraq ke langit untuk
menjumpai Imam Ali as dan mereka pun menangis histeris sambil mengucapkan
dengan suara tinggi, “Ya Ali Madad....Ya Ali Madad Ya Husain....Ya Husain!” Arak-arakan Tabut di Bengkulu dan Pariaman tidak jauh
berbeda tetapi, dari sisi bentuk, Tabut Bengkulu berbeda dari Tabut Pariaman.
Di sini (Bengkulu), Tabut dibuat dengan sedikit lebih besar, berwarna, dan
berukuran tinggi. Tinggi Tabut Bengkulu dapat mencapai 6-16 meter. Dikatakan
bahwa pasukan India (Banggali) datang ke sini lalu memgenalkan Tabut ini. Orang
pertama yang mengenalkan Tabut di sini adalah Syekh Burhanuddin, yang dijuluki
dengan “Imam Senggolo.” Tahapan-tahapan Acara Aza di Bengkulu Mengumpulkan Tanah dari Sungai Mereka melaksanakan acara ini pada malam pertama Muharam.
Untuk acara Tabut tertua yang dikenal dengan “Tabut Berkas,” mereka mengambil
tanah dari satu tempat di sungai dan untuk acara Tabut lainnya yang dikenal
dengan “Tabut Bangsal,” dari tempat lainnya lagi di sungai. Saat tiba pukul 10 malam, acara ini diakhiri dengan
pembacaan doa untuk kebaikan dan keberkahan seluruh umat Islam, dan dilanjutkan
dengan meletakkan tanah di satu tempat yang bernama “gerga,” yang di
sekelilingnya dililitkan kain sutra berwarna putih. Gerga tersebut mereka
anggap sebagai benteng pertahanan Imam Husain as. Dari hari pertama hingga hari keempat Muharam, setiap hari
dari Asar hingga Magrib, mereka menabuh gendang dan gong dengan suara keras di
dekat gerga itu. Mereka juga memainkan tiga macam musik khas dalam peperangan
dan kesedihan, yang menunjukkan persiapan Imam Husain as untuk perang. Dalam
bahasa setempat, tradisi ini disebut “beruji” (persiapan). Pada hari kelima Muharam, dari pukul 3 sore hingga tiba azan
Magrib di dekat gerga, gendang dan gong ditabuh dengan suara keras. Dalam acara
ini, lambang lima jari Imam Husain as, yang sudah mereka buat beberapa tahun
sebelumnya dari campuran emas dan sejumlah logam lainnya, mereka cuci dengan
air wangi yang dicampur dengan bunga mawar dan minyak wangi. Masyarakat
menempatkan air tersebut ke dalam wadah-wadah, lalu mereka membawanya ke rumah
masing-masing untuk keberkahan dan penyembuhan orang sakit. Dalam acara ini, mereka bernazar dengan membuat “bubur palu
kuning,” tujuh ember air minuman, buah-buahan kering, pisang kuning, gula batu,
kopi pahit, minuman, dan susu sapi. Kemudian mereka membagi-bagikan semua itu
kepada masyarakat setelah pembacaan doa. Tradisi Menjara (Jeruji) Tradisi ini menggambarkan peristiwa yang terjadi pada hari
kelima hingga ketujuh Muharam antara Imam Husain as dan pasukan Yazid. Pada
hari keenam Muharam, kelompok “Tabut Berkas” menyerang kelompok “Tabut
Bangsal.” Pada hari ketujuh Muharam, giliran kelompok “Tabut Bangsal” yang
menyerang kelompok “Tabut Berkas.” Acara ini dilakukan di alun-alun kota dan
disaksikan ribuan orang. Kedua kelompok tersebut menggambarkan pasukan Imam
Husain as yang gagah berani. Dalam acara ini, setiap kelompok membawa gendang,
gong, bendera, senjata-senjata perang, dan pedang Zulfikar, pedang Imam Ali as,
yang lalu diberikan kepada putra beliau as, Muhammad Hanafiah. Tradisi Arak-arakan Jari-jari dan Sorban Acara ini banyak diikuti kalangan anak muda Bengkulu. Acara
ini dilaksanakan pada hari ketujuh dan kedelapan Muharam dengan mengeluarkan
lambang jari-jari Imam Husain as yang terbungkus kain sutra putih dari gerga.
Setelah itu, mereka meletakkannya ke dalam sebuah Tabut kecil yang bernama cuki
(empat sudut). Sebelum membawa cuki, terlebih dahulu mereka melaksanakan acara
nazar dan niyaz. Misalnya, untuk jari-jari Imam Husain nazarnya adalah kopi
pahit atau tanpa gula dan minuman sedangkan untuk sorban Imam Husain as adalah
bubur palu kuning, telor ayam yang telah matang, bubur dari tujuh jenis
sayuran. Mereka bernazar setelah berdoa dan memakannya. Setelah itu, mereka
mengarak-arakan Tabut Cuki tersebut ke gang-gang dan pasar-pasar. Malam kedelapan dan kesembilan Muharam adalah saatnya
arak-arakan sorban Imam Husain as tetapi Tabut Cuki pun turut mereka bawa.
Dalam acara ini, gendang dan gong terus ditabuh. Sewaktu kelompok “Tabut Berkas”
berhadap-hadapan dengan kelompok “Tabut Bangsal,” mereka saling bertukar Tabut
Cuki sebagai hadiah dan saling memberikan salam dan menghormati lalu akhirnya
berpisah kembali ke tempat masing-masing. Tradisi Tabut Gadang Dari pukul 6 Subuh hingga 12 Zuhur, pada hari kesembilan
Muharam, sama sekali tidak ada kegiatan yang dilakukan. Saat-saat tersebut
mereka namakan dengan “suasana tenang,” atau secara khusus mereka katakan
sebagai “saat kesedihan.” Pada hari kesembilan Muharam, pukul 7 malam, setelah menunaikan
salat Isya, mereka memulai acara arak-arakan Tabut dengan penuh antusias. Tahapan-tahapan pelaksanaan tradisi aza di Bengkulu ini
mereka sebut dengan “Tabot Naik Pangkek.” Sebelum pelaksanaan arak-arakan
tabut-tabut ke gang-gang dan pasar-pasar, “bapak-bapaknya” Tabut beserta
masyarakat bernazar dan melakukan beberapa kebaikan. Mereka menyediakan
makanan, kopi, minuman, dan teh manis bagi para peserta dan para pembawa Tabut
serta membacakan doa kebaikan untuk semua. Mereka mengarak tabut-tabut besar dan sejumlah besar Tabut
Nazar yang dibuat masyarakat, yang bernazar supaya diberi kesembuhan, kebaikan,
dan keberkahan. Dalam arak-arakan ini, sekelompok peserta membawa gendang besar
dan gong sambil memperlihatkan kemahirannya yang sempurna dalam memainkannya.
Suara gendang dan gongnya terdengar hingga ke seluruh kota. Tabut-tabut besar
yang telah dihias dan diwarnai melewati semua pelosok kota Bengkulu. Di
sekeliling tabut-tabut tersebut, dipasang lilin-lilin dan lampu-lampu minyak
yang menerangi tabut-tabut itu, sehingga keindahannya semakin bertambah. Dalam acara ini, “bapak-bapaknya” Tabut beserta keluarga
masing-masing dan masyarakat kota ikut berpartisipasi. Setelah diarak ke
gang-gang dan pasar-pasar tertentu, seluruh kelompok peserta arak-arakan ini
tiba di sebuah alun-alun kota, yang terletak di tengah-tengah Bengkulu.
Pekerjaan ini mereka sebut dengan “Tabot Bersandang” (Tabot Beristirahat). Para
juri menilai tabut-tabut tersebut dari berbagai sisi, seperti bentuknya, warna,
hiasan, tingginya Tabut, dan juga suara gendang dan gong. Lalu, mereka memilih
yang terbaik dari semuanya. Acara ini kira-kira selesai pada pukul 3 Subuh. Menghanyutkan Tabut ke Laut Tahapan terakhir dari keseluruhan acara arak-arakan Tabut
adalah menghanyutkannya ke laut pada hari kesepuluh Muharam. Mereka akan
memperingati hari kesedihan secara khusus apabila 10 Muharam jatuh pada hari
Jumat. Maka, acara menghanyutkan Tabut ke laut akan dilaksanakan sehari
setelahnya, yakni tanggal 11 Muharam. Berdasarkan tradisi, sejak Subuh hari kesepuluh Muharam,
tabut-tabut dikumpulkan di alun-alun Kota Bengkulu. “Bapak-bapaknya” Tabut,
masyarakat kota, dan ribuan peziarah berkumpul di alun-alun dan gang-gang untuk
melihat Tabut dan untuk mengikuti iringan arak-arakan Tabut menuju padang
Karbala Kota Bengkulu, yang terletak di wilayah Padang Jati. Di wilayah itu,
juga berada makam Syekh Burhanuddin yang dijuluki “Imam Senggolo.”
Keberadaannya menambah hangatnya suasana untuk aza. Sebelum meneruskan acara aza dan arak-arakan semua Tabut, mereka
menyiapkan hidangan bagi para pengarak Tabut, yang akan mereka makan setelah
tiba di padang Karbala. Tabut-tabut diberangkatkan kira-kira setelah lewat
pukul 12 siang. “Tabut Bangsal” berada di barisan terdepan sementara “Tabut
Berkas” berada di belakangnya lalu yang lain-lainnya bergerak mengikutinya. Seluruh Tabut pertamakali akan tiba di sebuah pasar yang
bernama “Pasar Minggu.” Lalu, di sana mereka beristirahat sejenak. Dari sini
hingga padang Karbala, “Tabut Berkas” berada di barisan terdepan. Sewaktu tiba
di padang Karbala, “Tabut Berkas” dimasukkan ke makam Syekh Burhanuddin
sementara tabut-tabut yang lain langsung mereka bawa ke laut. Hingga di sini, rangkaian acara aza pun berakhir.
Demikianlah “hidangan malam bagi orang-orang yang terasing” tersembunyi di
balik kegelapan malam. Seluruh pelaku aza kembali ke rumah mereka masing-masing
dalam keadaan menangis. Karbala Kota Bengkulu pun kembali tidur dalam kesunyian
malam hingga tiba tahun depan. Kesimpulan Setelah menyaksikan acara takziah dan arak-arakan Tabut dan
nakhl di Tehran dan Yazd (Iran), serta di Pariaman dan Bengkulu (Indonesia),
penelitian atasnya sampai pada satu kesimpulan bahwa peringatan Muharam di
kedua negeri ini banyak kesamaannya, baik pada pembagian tahapan-tahapannya,
arak-arakan Tabut, maupun musik Tabut yang menggunakan gendang dan gong. Baik
di Yazd maupun di Pariaman serta Bengkulu semua itu sangat mirip.[Disarikan
dari Muhammad Zafar Iqbal, Kafilah Budaya, Jakarta: Penerbit Citra, 2006] [Sumber: www.icc-jakarta.com, Ditulis Oleh Administrator] |