Asyura dan Rekayasa SosialDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Oleh: Akmal Kamil
Thomas Carlyle memandang sejarah sebagai biografi dari
manusia-manusia besar. Dalam menegaskan ucapannya ini, ia berkata,
"Sejarah universal merupakan sejarah ap a yang telah dicapai oleh umat
manusia di dunia dan pada dasarnya adalah sejarah manusia besar yang sudah
bekerja di dunia." Ia, dalam Heroes and Hero Worshipers, berpandangan bahwa
manusia besar laksana halilintar yang membelah langit, dan manusia lainnya
hanya menunggu dia bak kayu bakar. Demikian teori great man dari Thomas
Carlyle. Dalam pandangannya manusia besar laksana percikan api yang membakar
kayu bakar kemudian meledak dan mengubah sejarah dalam waktu yang singkat.
Lebih jauh, Carlyle mengatakan bahwa manusia besar adalah jiwa dari seluruh sejarah
umat manusia. Dengan melihat meski selintasan dan sepintas sejarah pada
domain kehidupan sosial manusia dapat dikatakan bahwa setiap komunitas manusia
senantiasa bergerak dinamis dan progressif. Pergerakan yang meniscayakan
perubahan ini terjadi pada komunitas itu sendiri, pada tubuh, atmosfer dan
kondisi naturalnya. Ayatullah Misbah Yazdi menulis bahwa perubahan sosial itu
adalah perubahan yang terjadi pada sebuah komunitas dan hasil perubahan itu
adalah bercorak sosial, tidak terkhusus pada seseorang, kelompok atau strata
tertentu dalam masyarakat. Perubahan sosial ini bersifat dawam dan lestari.” [1] Menurut Guy Rocher, perubahan yang terjadi pada komunitas
manusia merupakan sebuah keharusan dan keniscayaan sejarah.[2] Tanpa adanya perubahan menunjukkan
statis dan pasifnya sebuah masyarakat bahkan lonceng kematian harus segera
ditabuh bagi masyarakat tersebut. Oleh itu, para sosiolog tidak terlalu takjub
pada setiap perubahan yang terjadi di masyarakat. Yang menarik perhatian mereka
adalah apa yang berubah dan peristiwa apa yang terjadi dalam sebuah komunitas?
Apakah perubahan ini terjadi pada struktur, budaya, teladan, nilai atau
ideologinya? Secara umum para sosiolog berupaya menyingkap tirai pemahaman
terkait dengan bagaimana sebuah perubahan terjadi sehingga faktor-faktor,
pelaku, motivator dan bahkan provokator pelbagai perubahan itu dapat dikenal
berikut orang-orang yang menentang perubahan tersebut. Sejarah mencatat banyak perubahan, pergolakan dan peristiwa
yang dialami umat manusia. Husain bin Ali As adalah termasuk dari orang
besar yang lahir dari rahim sejarah ini. Dengan revolusi Asyura
Imam Husain As berhasil mempersembahkan sebuah perubahan besar dalam sejarah
umat manusia. Perubahan besar dengan mengorbankan segalanya untuk tetap menjaga
Islam dari penyimpangan pasca wafatnya datuknya Rasulullah Saw. Lantaran kalau
bukan Asyura dan peran sentral Imam Husain, niscaya umat manusia tidak akan
mengenal Islam kecuali namanya saja. Mengingat laku-lacur penguasa Bani Umayyah
di masa Imam Husain As. Kalau Carlyle berkata bahwa great man laksana halilintar
yang siap membakar kayu bakar, maka perjuangan al-Husain, dalam lisan riwayat,
adalah "Panas yang membakar jiwa setiap orang beriman takkan pernah padam
selamanya."[3] Carlyle sendiri dalam mengomentari keprawiraan Imam Husain
di pentas Karbala berkata, “Sebaik-baik pelajaran yang dapat kita petik dari
tragedi Karbala adalah bahwa Husain dan para sahabatnya memiliki iman yang
kokoh kepada Tuhan. Mereka dengan aksinya menjelaskan bahwa tatkala hak dan
batil berhadap-hadapan minimnya jumlah bukan persoalan penting. Dan kemenangan
Husain dengan kuantitas kecil itu telah membuatku terkesima.” Mahatma Gandhi founding father dan arsitek pembebas bangsa
India dari cengkeraman penjajahan Inggris, tentang Imam Husain As berujar,
"Aku tidak membawa sesuatu yang baru untuk rakyat India, aku hanya membawa
hasil dari perenungan, telaah dan penelitianku terhadap sejarah kehidupan para
pahlawan Karbala untuk mengangkat harkat bangsa India. Jika kita ingin
menyelamatkan bangsa ini, maka kita wajib melakukan apa yang telah dilakukan
oleh Husain bin Ali bin Abi Thalib." Bukan tempatnya di sini untuk menukil kesan dan komentar
para sejarawan, sosiolog dan cendekiawan dunia dari reformasi yang dibawa oleh
Imam Husain As. Cukup bagi kita dua tokoh in untuk mengantar kita kepada
tema pembahasan kali ini ihwal perubahan dan tipologi sosial kisah epik asyura,
dan di atas semua itu, sabda Rasulullah Saw ihwal kedudukan Imam Husain As,
“Husain dariku dan Aku dari Husain.”[4] Kontekshadis Nabi Saw "Husain
dariku" adalah perlambang bahwa sebagaimana Nabi Saw datang untuk
mengangkat citra, harkat dan martabat manusia, maka demikian juga al-Husain. Sosiologi Asyura
Sejatinya, kisah asyura dapat dikaji dan ditelaah dari
pelbagai sudut pandang. Dari sudut pandang sosiologi, politik, budaya, irfan,
filsafat, sejarah, pendidikan, akhlak dan bahkan sastra. Dan secara khusus dari
sudut pandang agama artinya murni pemikiran agama. Kesemua ini dapat dijadikan
sebagai tinjauan terhadap kisah asyura. Dari sudut pandang sosiologi, tragedi ini dapat dipandang
dari dua sisi, pertama tragedi asyura dan peristiwa yang terjadi di tempat itu,
bagaimana berubah menjadi sebuah paragon unggul untuk kemanusiaan, kebebasan,
pengorbanan, keprawiraan, kemuliaan, kematangan, bagi kaum muslimin dan bahkan
untuk umat manusia sepanjang perjalanan sejarah. Khususnya pada domain
aksiologi dan pemikiran Syiah. Tragedi karbala menyisakan kesan yang mendalam
dan kokoh yang menginspirasi nyaris seluruh perjuangan melawan tirani, dominasi
dan koloni atas pribadi, masyarakat dan bangsa. Tragedi asyura merupakan teladan utama sejarah Syiah dalam
membela nilai-nilai kebebasan dan pembebasan, sikap altruisme, meraup
kemuliaan, kerelaan berkorban, keprawiraan, berjihad di jalan mempertahankan
akidah dan berkorban untuk mencapai tujuan mulia ini. Tragedi asyura dalam sejarah Syiah selama satu millenium
dalam menanamkan pemahaman mendalam pada pemikiran Syiah sangat memainkan peran
penting. Begitupun dalam membentuk sebuah komunitas mandiri Syiah;
artinya sebuah pemerintahan secara gradual terbentuk dengan mengambil pelajaran
utamanya dari kisah Asyura yang kini berbentuk sebuah pemerintahan Islam di
Iran. Sebuah Revolusi Islam yang diusung pemimpinnya, Imam Khomeini,
memproklamirkan bahwa segala yang diraihnya adalah bersumber dari pelajaran
Asyura. Dengan kata lain, pengaruh revolusi al-Husain sangat menginspirasi revolusi
Islam yang digelontorkan oleh Imam Khomeini. Dimana pengaruh Revolusi
Islam Iran ini sangat tampak kasat mata pada konstelasi peta perpolitikan
dunia, sehingga Theda Skocpol, dalam Social Revolutions in the Modern
World, mengategorikan Revolusi Islam Iran sebagai salah satu revolusi sosial
terbesar di samping Revolusi Prancis, Rusia dan Cina. Revolusi Islam Iran
kemudian banyak “menghasut” gerakan-gerakan pembebasan di pelbagai belahan
dunia, baik pada sisi pemikiran maupun tindakan. Agama yang tadinya
termarginalkan perannya lantaran badai Sekularisme, setelah Revolusi Islam Iran
menang, orang-orang tidak sungkan-sungkan lagi mengenakan atribut-atribut
keagamaan dalam aksi-aksi kultural dan sosial mereka. Semuanya ini merupakan
ilham dari pesan abadi Asyura. Yang juga dominan dapat dilihat dari pengaruh revolusi
al-Husain ini adalah pada gerakan resistensi Hizbullah di Libanon, geliat
kemunculan pergerakan anti dominasi, tirani, dan koloni atas sebuah bangsa,
masyarakat, tatanan dan agama. Atau resistensi intifadha di Palestina dan di
belahan dunia Islam lainnya. Slogan-slogan seperti “Pantang Hina!” semacam menjadi bahan
bakar yang tak habis-habisnya dan siap menggerakkan orang untuk berkorban dan
berjuang di jalan iman dan agama. Slogan “Sekiranya agama Muhamad tidak akan
tegak kecuali dengan kematianku, maka wahai pedang-pedang...ambillah jiwaku.”
Slogan-slogan membakar ini telah menjadi paradigma dalam kehidupan seorang
bebas-merdeka yang ingin berjuang untuk nilai-nilai yang dianut dan diyakini, ingin
meraih kehormatan insaniah sekaligus Ilahiah. Akhir-akhir ini, Ismail Haniyyah, Perdana Menteri terpilih
Palestina dari Hamas dalam petisinya terkait dengan serangan brutal Israel dan
keikutsertaan para penguasa Arab dalam membantai rakyat teraniaya Palestina,
“Sekiranya kalian membunuh ribuan dari anak-anak dan pejuang kami,
niscaya kalian tidak akan mampu membunuh semangat kemuliaan dan kehormatan
dalam diri kami.” Kita dapat berkata bahwa semangat izzah dan karamah ini
merupakan inspirasi dari semangat Asyura al-Husain As. Pengaruh Komunal dan Sosial Asyura
Kisah Asyura menjadi poros dan pusat gerakan sejarah Syiah.
Dengan mengenang tragedi ini, spirit orang-orang Syiah menjadi bergelora dan
boleh jadi tiada satu pun bangsa, komunitas, masyarakat yang terbentuk dari
sebuah budaya semacam ini. Sayid Hasan Nasrallah yang menjadi lokomotif
resistensi melawan para tirani dunia kiwari dalam sebuah ceramah “membakarnya”
bahwa makna “Labbaik Yaa Husain..” (Kusambut seruanmu Yaa Husain) adalah
berkorban anak, istri, ibu meski seorang diri, meski ditinggalkan oleh
orang, meski dituding. Tatkala seruan untuk menegakkan kemuliaan agama, sendiri
pun kusambut.. Yel-yel "Labbaik Yaa Husain" ini telah membuat
keberadaan Hizbullah sebagai simbol terdepan perlawanan hegemoni, dominasi dan
tirani Barat di dunia. Seruan "yang memberi kehidupan" ini
merupakan seruan terhadap penentangan dan perlawanan kapan saja dan dimana saja
tatkala agama yang menjadi taruhannya. Kisah asyura di samping ia berdimensi religius, ia juga
berdimensi sosial. Di antara masalah penting asyura adalah dimensi komunal dan
sosialnya. Dan asasnya adalah jihad dan pembebasan yang berpijak di atas
keyakinan, rasionalitas dan pemikiran. Ayatullah Jawadi Amuli acap kali menandaskan bahwa yel-yel
“Husain..Husain..slogan kami....Syahadah adalah kehormatan bagi kami,” telah
menjadi budaya para pejuang dalam mempertahankan Revolusi Islam. Budaya inilah
yang hingga saat ini yang mampu menjaga dan memelihara Revolusi ini.
Pemeliharaan terhadap tradisi lawas Asyura adalah salah satu cara memelihara
Revolusi Islam. Di samping budaya penantian (al-intizhâr), dan loyalitas
terhadap wilâyat al-faqih. Tradisi perayaan Asyura telah menjadi budaya tersendiri pada
masyrakat Syiah di seantero dunia. Bahkan lebih dari itu Asyura berkedudukan
sebagai sebuah institusi sosial di Iran khususnya di belahan bumi lainnya pada
komunitas pecinta al-Husain secara umum. Hal ini merupakan kenyataan yang dapat dilihat tatkala bulan
Muharram tiba. Hampir seluruh strata masyarakat terlibat dalam perayaan
Asyura ini. Menyumbang untuk kegiatan perayaan Asyura, sewa gedung, meramaikan
masjid atau husainiyyah, parade, menggubah puisi, berkidung lagu sendu, donor
darah, membantu fakir miskin, mengadakan festival Muharram, seminar dan banyak
lagi aksi sosial lainnya dalam memperingati acara Asyura. Terakhir, dengan semangat revolusi Imam Husain, Pemimpin
Revolusi Islam Imam Ali Khameini mengumumkan hari 1 Muharram sebagai hari
berkabung nasional atas tragedi Ghaza yang menimpa bangsa Palestina sebagai
wujud simpati paling minimal dalam konteks sosial dan negara. Dimana pengumuman
ini disambut elegan oleh Sayid Hasan Nasrallah untuk melakukan tabligh akbar di
Beirut sebagai tanda kepedulian sosial terhadap bangsa Palestina yang kini
dirundung duka. Kenyataan ini menandaskan bahwa sisi komunal dan sosial Asyura
sedemikian berpengaruh pada komunitas Syiah tanpa memandang bahwa yang didera
musibah ini Muslim atau tidak, Syiah atau tidak. Berbeda dengan para mufti
Saudi yang lantaran Hizbullah bermazhab Syiah kemudian mengharamkan bantuan
kemanusiaan kepada warga Libanon pada peperangan dengan Israel 2006.
Bahkan puncaknya, Imam Ali Khamenei mengeluarkan hukum historis (melebihi
fatwa) sebagai Wali Amr al-Muslimin (pemimpin kaum Muslimin) menegaskan bahwa
"Barangsiapa yang berjuang membela rakyat Ghaza kemudian mati di jalan ini
maka matinya adalah mati syahid." Selanjutnya saya ingin mengajak Anda untuk menemani para
sosiolog mengkaji faktor-faktor dan nilai-nilai yang memotivasi pemimpin
Revolusi Asyura untuk mengadakan perubahan, rekayasa sosial, dengan melihat
tipologi-tipologi gerakan kebangkitan Imam Husain ini. Menghidupkan nilai-nilai Islam dan
Kemanusiaan
Mengingat manusia merupakan makhluk yang misterius dan
manusia tidak memiliki pemahaman dan makrifat yang memadai tentang satu dengan
yang lain, jika tidak mendapat pancaran cahaya berupa panduan samawi dan melulu
bersandar semata pada metode bumi dengan menetapkan kaidah-kaidah keliru
memilih seorang pemimpin umat. Maka manusia dengan cara demikian sekali-kali
tidak akan pernah mendulang kesuksesan dalam menjalani hidupnya; lantaran
pemerintahan akan jatuh di tangan orang yang tidak patut menempati posisi
sebagai pemerintah. Dan nilai-nilai Ilahi dan nabawi akan mengalami distorsi.
Dan sebagai gantinya adalah nilai-nilai jahiliyah yang menjadi sandaran utama.
Ketika nilai-nilai jahiliyah yang menjadi poros, maka perilaku moral dan sosial
jahiliyyah juga akan mengikuti poros ini. Nilai dari sudut pandang sosiologi adalah keyakinan atau
ideologi yang mengakar dimana sekelompok masyarakat merujuk tatkala berhadapan
dengan masalah seperti segala kebaikan, keburukan, keutamaan dan kesempurnaan
ideal.[5] Namun yang dimaksud dengan nilai
dengan pendekatan sosiologis adalah nilai-nilai (positif) yang diterima
oleh kebanyakan masyarakat. Nilai-nilai ini dapat bercorak agama atau berwarna
sosial. Perbedaan dari keduanya dapat ditelusuri pada sumbernya. Jelas bahwa
nilai-nilai agama sumbernya adalah wahyu sementara nilai-niliai sosial adalah
bersumber pada penerimaan masyarakat umum. Kendati nilai-nilai sosial yang
memiliki akar wahyu dapat bewarna agama. Dengan memperhatikan definisi yang
diberikan di atas nilai-nilai merupakan pemandu segala perilaku yang
dipraktikan oleh sebuah masyarakat. Salah satu pengaruh penting dan asasi kebangkitan Imam
Husain As adalah menghidupkan nilai-nilai Islam dan kemanusiaan yang merupakan
kebutuhan kunci dan urgen seluruh komunitas manusia. Lantaran nilai-nilai
merupakan salah satu unsur utama dan berpengaruh pada domain kebudaayaan
masyarakat. Dimana kebudayaan laksana udara bagi masyarakat yang tanpanya
masyarakat tidak akan dapat bernafas. Unsur-unsur kebudayaan terpengaruh
langsung oleh nilai-nilai yang dianut pada masyarakat tersebut.[6] Nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat ini penting lantaran
tiadanya akan menyebabkan chaos dalam ucapan, tindak sosial dan tindak
moral. Menukil Durkheim, anomic akan muncul di tengah masyarakat. Karena
nilai-nilai merupakan lentera dan pelita petunjuk bagi ucapan dan tindakan
masyarakat dimana tanpanya komunitas tidak akan mampu membentuk dan
menyelaraskan dirinya. Salah satu nilai penting agamis dan insaniah yang dihidupkan
oleh Imam Husain dan para pengikutnya adalah gairah pada syahada (martrydom)
dan semangat altruisme (itsar). Menurut Syahid Muthahhari dalam Hamâse Husaini,
berkata bahwa setiap kematian suci (syahadah) memendarkan cahaya kepada
masyarakat.” [7]
Dengan pendaran cahaya syahadah ini masyarakat dapat melenggang menjalani
kehidupannya jauh dari kegelapan. Tatkala ingin mencapai sebuah tujuan mulia,
sekalipun harus ditebus dengan jiwa, maka tanpa tedeng aling-aling nyawa pun
dipertaruhkan. Sejarah kehidupan umat manusia secara tegas memberikan
kesaksian bahwa manusia semenjak penciptaannya hingga detik ini dengan pelbagai
cara berusaha supaya dirinya abadi dan lestari. Tuhan yang sangat mengetahui
kecendrungan esoterik manusia ini menunjukkan jalan keabadian kepada manusia
dan menganugerahkan syahadah kepadanya dan berfirman, “Kiranya manusia memilih
kematian merah (syahadah) untuk menuju jalan keabadian hingga ia merengkuh
“ahya”.”Jangan kalian mengira bahwa orang-orang yang dibunuh di jalan Allah
adalah mati, melainkan mereka hidup di sisi Tuhannya dan dianugerahi.” (Qs. Ali
Imran [2]:169) Nabi Saw melebarkan ayat ini dengan bersabda: “Barangsiapa
yang terbunuh dalam berjuang menghadapi kezaliman maka ia adalah syahid.”[8] Imam Husain As dalam mempersembahkan pengorbanan pada altar
sejarah kemanusiaan adalah mengikut para nabi yang diabadikan dalam al-Qur’an
seperti pada pengorbanan Ibrahim, Musa, Nuh, Luth, Hud, Shaleh, Syuaib dan
Muhammad Saw yang berteriak lantang dan bangkit melawan para penguasa para tiran,
penyembah berhala, kebodohan, puritanisme sempit, kerusakan sosial dan moral.
Bahkan kondisi yang hadir di hadapan Imam Husain melebihi kondisi para nabi
yang disebutkan di atas. Betapa tidak yang dihadapi oleh Imam Husain adalah
umat Islam sendiri. Umat yang mengklaim diri mereka sebagai pengikut datuknya,
Muhammad Saw. Itsar dalam menyelamatkan manusia dari kekaraman kerusakan
sosial dan membawa manusia dari kegelapan kepada cahaya adalah kiprah yang
diperankan dengan sempurna oleh Imam Husain As. Sebagaimana sabda Rasulullah
Saw, “Sesungguhnya al-Husain adalah bahtera keselamatan dan pelita hidayah.”[9] Imam Husain merupakan putra binaan wahyu. Ia adalah hasil
didikan Fatimah dan Ali yang berada pada garda terdepan dalam masalah
pengorbanan. Allah Swt mengabadikan keluarga nubuwwah ini atas pengorbanan
mereka dalam al-Qur'an, "dan mereka mengutamakan (Muhajirin) atas diri
mereka sendiri sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu),"
(Qs. Al-Hasyr [59]:9), "Dan mereka memberikan makanan yang disukainya
kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan.Mereka hanya berkata),
“Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan
keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dan tidak pula (ucapan) terima
kasih darimu.(Qs. Al-Insan [76]:8-9) Dalam konteks kemasyarakatan selalu diperlukan pengorbanan
tatakala kita dihadapkan dengan pilihan antara dunia dan akhirat, antara diri
dan umat, antara jabatan dan bangsa dimana amat disayangkan dewasa ini kita
lebih banyak memilih yang pertama ketimbang yang belakangan. Reformasi Umat
Salah satu nilai dan tipologi penting lainnya revolusi
al-Husain adalah masalah reformasi dan perbaikan yang dalam bahasa teknis
agamanya amar makruf dan nahi mungkar. Tipologi ini diproklamasikan secara
tegas oleh Imam Husain As dalam wasiatnya kepada Muhammad bin Hanafiyya, “Aku
ingin menunaikan tugas amar makruf dan nahi mungkar.[10] Makruf telah menjadi mungkar dan mungkar telah menjadi
makruf sebuah fenomena sosial yang kasat mata di masa Imam Husain As. Melihat
kondisi genting yang dapat berpotensi melenyapkan Islam secara keseluruhan ini
membuat Imam Husain terpanggil untuk melakukan reformasi pada umat datuknya
ini. Masalah reformasi (islah) dan perbaikan ini merupakan
masalah asasi dan tipikal dari tragedi asyura. Apa yang dapat dianalisa dan
diurai dari keinganan Imam Husain As ini adalah bahwa beliau sekali-kali tidak
ingin menafikan kemungkaran lahir dan partikulir, melainkan berada pada tataran
ingin mengeliminir akar kemungkaran. Dengan ungkapan lain, al-Husain menunaikan
kewajiban amar makruf dan nahi munkar bukan untuk satu kaum pada satu ruang dan
waktu tertentu. Tujuan utama Imam Husain As adalah menghidupkan segala yang
makruf di seantero alam. Kebaikan (makruf) yang tertinggi di alam semesta ini
adalah Imam Maksum itu sendiri. Sebagaimana Imam Shadiq As bersabda: “Kami adalah
poros segala kebaikan dan dari kami bercabang segala kebaikan.”[11] Dan kemungkaran yang paling unggul di
dunia ini adalah pembawa panji kekufuran yang nampak secara kasat mata dan
telanjang pada diri Yazid dan orang-orang sepertinya. Perlawanan Imam Husain
sejatinya juga merupakan perlawanan atas kaum munafik yang berkedok.
Orang-orang yang menempatkan Yazid yang menyebut diri mereka sebagai sahabat
Nabi Saw yang menghadap-hadapkan Imam Husain dengan seorang yang bahkan satu
keutamaan pun tidak dimilikinya. Embrio penempatan orang yang tidak layak ini harus dilacak
hingga Saqifah. Dimana dengan dalih kedekatan kepada Rasulullah Saw atau
keutamaannya karena memiliki track-record sebagai orang yang pertama masuk
Islam atau sebagai orang yang paling pertama hijrah, sebagaimana klaim khalifah
pertama, mereka meninggalkan Ali bin Abi Thalib, ayah Husain yang memilki
selangit keutamaan dan telah diproklamirkan secara resmi dan tegas sebagai
khalifah umat di Ghadir Khum. Yazid bahkan tidak menampakkan dirinya sebagai seorang
muslim walau secara lahir dan terang-terangan dalam syair-syairnya berkata,
“Bani Hasyim telah bermain dengan kerajaan....Tiada berita yang datang juga tiada
wahyu yang turun.”[12] Dalam kaca mata Yazid bahwa yang
dikejar oleh Bani Hasyim kekuasaan dan kerajaan. Dan masalah wahyu dan
al-Qur’an adalah masalah non-sense. Oleh karena itu, Imam Husain menyimpulkan
bahwa musuh-musuh Islam kini sedang berupaya mereposisi nilai-nilai dan segala
yang mungkar dijelmakan sebagai sesuatu yang makruf. Yazid dengan
pemerintahannya, yang merupakan warisan dari Muawiyah, berada pada tataran
merubah nilai-nilai, budaya kemanusian dan masyarakat. Tindakan merubah
segalanya yang telah dilakukan oleh para pendahulunnya meski dengan malu-malu
kucing. Sebagian orang memandang bahwa apa yang dituju oleh
Imam Husain pada peristiwa tragis Karbala adalah kekuasaan dan dunia. Apakah
hal ini memang demikian? Mari kita lihat ucapan Imam Husain yang dalam perjalanannya
menuju Karbala ketika berkhutbah ihwal kondisi yang berlaku bahwa dunia
mengalami perubahan. Dan kebaikan terabaikan dan hak tidak diamalkan. Dan
kebatilan tidak dijauhi. Kondisi ini menggairahkannya untuk bersua dengan
Tuhan. Kematian dengan kemuliaan dan hidup di samping para tiran merupakan
penyebab kesengsaraan. Kondisi semacam ini merupakan medan persiapan bagi Imam
Husain As untuk bangkit.[13]
Jadi pandangan salah-kaprah ini tentu saja tidak benar. Karena yang disasar
oleh Imam Husain adalah menghidupkan kembali ajaran datuknya Nabi Saw yang
telah dikubur oleh umat Islam sendiri dengan menunaikan kewajiban amar makruf
dan nahi munkar. Meminjam istilah para sosiolog, amar makruf dan nahi mungkar
ini adalah social control. Dalam definisi kontrol sosial ini disebutkan
sebagai media dan wahana untuk mengkondisikan anggota masyarakat untuk berbuat
yang patut dan layak serta mencegah anggota masyarakat untuk meninggalkan
perbuatan yang tidak senonoh..”[14] Dalam kebudayaan Islam dan logika
al-Qur'an, sebaik-baik umat dan komunitas adalah komunitas yang menganjurkan
yang baik (makruf) dan menolak yang buruk (mungkar). "Kamu adalah umat
yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf,
mencegah dari yang mungkar." (Qs. Ali Imran [3]:110) Penegak Keadilan
Nilai dan tipologi lainnya dari kebangkitan asyura adalah masalah
pencari dan penyebar keadilan. Apa yang semarak dan menyebar pada masa
pemerintahan Bani Umayyah adalah kezaliman dan tirani. Dan dalam berhadapan dengan pemerintahan tiran dan despot
tiada jalan lain kecuali harus bangkit dan mengusung perlawanan. Imam Husain
dalam khutbah-khutbahnya menyebutkan bahwa sesuai dengan titah Rasulullah Saw
dalam melawan pemerintahan dan penguasa zalim.[15] Dalam pandangan Imam Husain As orang yang memiliki hak untuk
berkuasa adalah orang yang memerintah berdasarkan al-Qur’an dan menegakkan
keadilan dan pemerintahan Bani Umayyah memiliki tipologi sebaliknya. Imam
Husain As memandang bahwa tugasnya adalah melawan pemerintahan zalim ini. Esensi
penegakan keadilan pada tragedi Asyura merupakan penegas dan penjelas
kebangkitan dengan motivasi menafikan kezaliman dan kejahatan Bani Umayya.
Jihad dan syahadah merupakan media yang mesti digunakan dalam perjuangan
melawan penguasa zalim. Usaha untuk menegakkan pemerintahan berkeadilan sosial
adalah gagasan-gagasan pemimpin revolusi Asyura; sebuah ide yang amat
dibutuhkan oleh masyarakat dewasa ini. Jihad dan syahadah dalam upaya menegakkan keadilan
sekali-kali tidak bermakna bahwa kita melihat secara radikal kisah Asyura. Dan
analisa sedemikian menegaskan bahwa Imam Husain dengan syahidnya, ia
menunjukkan jalan kepada para pecinta keadilan dan demi mengejar cita dan
asanya, harus siap menerima kekalahan secara lahir.[16] Tidak demikian. Gerakan penegakan
keadilan merupakan pelajaran besar bagi setiap manusia merdeka sepanjang
perjalanan sejarah. Lantaran Imam Husain As tatkala mempersembahkan pengorbanan
ini pada altar kemanusiaan tiada yang menandingi keagungan dan kebesarannya,
sebagaimana dalam ketercelaan dan kehinaan tiada yang melebihi Yazid dan
musuh-musuh al-Husain lainnya. Penentang Tirani
Setiap orang pada setiap komunitas senantiasa ingin mencari
pelbagai keteladanan sehingga dengannya ia dapat mendapatkan sebuah kehidupan
ideal nan bahagia. Atas alasan ini, setiap orang berusaha mencari yang terbaik
dari pelbagai keteladanan tersebut. Mengingat komunitas manusia sepanjang sejarah selalu menjadi
saksi atas berbagai pergolakan dan kejadian dalam hidupnya, oleh itu mereka
memerlukan keteladan guna berperilaku yang sesuai dan patut dalam menghadapi
pergolakan dan kejadian itu. Dan inilah peran-peran keteladanan yang disebut
oleh Cohen yang menulis “Orang-orang yang meniru perilaku teladan dari orang
yang patut ditiru atau para teladan yang perilakunya harus menjadi teladan.”[17] Apabila Imam Husain berkata bahwa padaku teladan bagi
kalian (falakum fiiy uswah) menyiratkan pada realitas ini dimana Imam
Husain As merupakan teladan dan terdepan dalam menentang kezaliman dan aniaya. Penentang penindasan ini merupakan salah satu nilai tipikal
kebangkitan Imam Husain. Penentangan terhadap kezaliman sepanjang perjalanan
sejarah merupakan sebuah keutamaan yang dilakoni para nabi. Imam Husain As
dalam awal-awal perjalanannya menuju ke Karbala menyebutkan tipologi gerakannya
ini, “Ayyuhannas! Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang melihat hakim
tiran yang menghalalkan segala yang diharamkan Tuhan, melanggar janji Ilahi,
menentang sunnah Rasulullah, dan berlaku aniaya terhadap para hamba Allah
[dengan semua ini] dan di hadapannya tiada satu pun tindakan yang diambil atau
ucapan yang menentang semua itu, maka Allah Swt akan menggolongkan dia
sederajat dengan hakim itu.” Ketahuilah bahwa Bani Umayyah lebih memilih
mengikuti Setan dan membangkang Tuhan, kemungkaran mereka tebarkan. Hukum-hukum
Ilahi mereka singkirkan, Baitulmal dijarah dan hanya dikhususkan untuk diri
mereka, apa yang diharamkan Tuhan mereka halalkan dan apa yang dihalalkan Tuhan
mereka haramkan, dan aku [melihat diriku] lebih patut untuk menentang semua
ini.[18] Imam Husain dengan pidatonya ini mengajak masyarakat untuk
bangkit melawan Yazid bin Mua’wiyah yang merupakan jelmaan utama penguasa
zalim. Dari pidato ini Imam Husain As juga menegaskan keharusan pemerintahan
hak dan kebenarannya yang berporos pada seorang Imam Maksum dan keharusan
pelucutan pemerintahan Bani Umayyah serta mengembalikan khilafah dan
pemerintahan ke rel aslinya. “Demi Tuhan! Tiada yang lebih patut menjadi seorang pemimpin
kecuali ia mengamalkan al-Qur’an, menegakkan keadilan dan menunaikan segala
ketentuan agama hak serta berkorban jiwa untuk mengamalkan semua ini.”[19] Pemenuhan hak-hak
masyarakat dalam kehidupan duniawinya dapat terlaksana apabila pemimpinnya
adalah orang yang adil dan menentang kezaliman. Bahkan lebih dari itu, Imam
Husain memiliki selangit kriteria untuk dapat membawa umat kepada terealisirnya
pemenuhan hak-hak masyarakat. Di samping nilai dan tipologi yang disebutkan di
atas sebagai kriteria seorang pemimpin, masih banyak nilai dan tipologi yang
dapat kita jumpai pada pribadi Imam Husain As.[20] Asyura dan Rekayasa
Sosial Kita ketahui bersama
bahwa fondasi setiap revolusi besar dan peradaban baru, bertaut dengan seluruh
kejadian-kejadian sosial yang terjadi pada sebuah komunitas. Sebagaima setelah
revolusi pertanian dan industri, setiap peradaban memiliki bentuk baru dari
sisi keluarga, kecintaan, model kerja, sistem perekonomian, dan politik.
Mengikut Toffler, peradaban baru pada seribu poin berhadapan dengan
nilai-nilai, pemahaman, legenda dan maknawiyat masyarakat lama. Seiring dengan
itu pemahaman tentang Tuhan, cinta, keadilan, kekuasaan, keindahan juga
mengalami redefinisi dan rekonstruksi ulang. Sebagai sebuah peristiwa
sosial dan sejarah maka Asyura juga mengalami redesain terhadap nilai-nilainya
dan pesannya. Setiap tahun nilai-nilai seperti kecintaan, sikap kerelaan
berkorban (altruisme), ghairah terhadap syahadah, amar makruf dan nahi mungkar,
penentangan terhadap tirani perlu mendapatkan penegasan ulang dan peninjauan
kembali yang dengannya kita dapat mencanangkan sebuah proyek rekayasa sosial di
masyarakat kita dimanapun kita berada. Nilai-nilai ini amat dibutuhkan
oleh masyarakat kita dewasa ini. Sebagai ganti dari nilai-nilai kebencian,
egoisme, mengorbankan segalanya untuk kepentingan diri, keluarga dan partai,
amar mungkar dan nahi makruf, sokongan terhadap tirani yang merupakan patologi
sosial yang harus enyah dari kehidupan masyarakat kita hari ini. Asyura sebagai sebuah
peristiwa sejarah, terkait dengan social engineering, dapat ditinjau dari dua
sisi. Pertama pada bentuk dan konstruksinya. Dan kedua pada historinya
sebagaimana ia. Kita harus menerima bahwa dalam budaya asyura pelan-pelan
tampak geliat masyarakat umum yang menjadikan kisah Asyura seolah-seolah sebuah
legenda. Dan secara perlahan menjauh dari kehidupan keseharian masyarakat.
Seakan-akan kisah asyura ini adalah sebuah mitos. Dari sudut pandang
konstruksi peristiwa asyura yang utama adalah pada makna dan kedalaman
konstruksi ini yang harus ditelusuri pada tujuan dan cita tragedi asyura. Oleh
karena itu, ia memerlukan sebuah upaya rekonstruksi pemikiran terhadap kisah
revolusioner ini untuk sebuah rekayasa sosial. Ia membutuhkan sebuah pemikiran
bebas dan kritis sehingga kita bisa melesak lebih tinggi melebihi sekedar
melulu kisah sejarah dan menggali hingga kedalaman sumbernya. Kepada
mata-airnya yang berasal dari sebuah sumber maknawi, Ilahi dan insani.
Rekonstruksi ini menurut saya perlu, karena ia memiliki dimensi global dan
universal. Lantaran ia akan berubah menjadi sebuah teori bernama teori syahada
bahwa bagaimana bisa seorang manusia berjuang tidak saja melalui jalan membunuh
tapi juga terbunuh, melalui jalan resistensi. Ia akan menjelma sebagai sebuah
teori amar makruf dan nahi mungkar (baca: social control) yang apabila tugas
ini diabaikan bahkan dilenyapkan maka kerusakan dan penyakit sosial segera akan
menggejala dan menjadi sebuah tradisi. Dan seterusnya. Rekonstruksi pemikiran
ini meniscayakan sebuah analisa dan telaah ulang. Banyak orang yang tidak
beriman dan tidak memiliki landasan akidah namun memandang penting tragedi ini.
Dan dari sudut pandang sosial, politik, sejarah kisah asyura ini patut
mendapatkan perenungan dan perhatian. Dari sisi orang yang beriman, ia harus
ditelaah dari perspektif sosial, politik, sejarah, filfasat, irfan, tarbiyah,
manajemen di bawah krisis. Mengikut Syariati bahwa kita harus beranjak lebih
jauh dari syahadah itu sendiri dan menyusuri sebab mengapa Imam Husain sangat
bergairah menjemput syahadah, mengapa Imam Husain sangat cinta menginginkan
hidupnya kembali nilai-nilai kemanusiaan dan Ilahiah, mengapa tugas amar makruf
dan nahi mungkar ini perlu, mengapa menentang tirani itu harus dan sebagainya.
Artinya selama ini kita hanya memandang kesemua ini sebagai sekedar sesuatu
yang kudus dan suci. Dan berhenti di poin ini. Menyambut ajakan Syariat, yang
harus kita jelajahi dari kisah asyura ini adalah tujuan mengapa Imam Husain
syahid? Hal ini dapat kita kaji dari sisi bahwa Imam Husain adalah penentang
tirani, pecinta kedamaian, penegak sebuah masyarakat madani, insan yang
berupaya mewujudkan nilai-nilai moral, sosial, kultural, dimana tipologi
karakter perjuangan Imam Husain ini dapat diringkas pada tujuan mengapa Islam
datang dan lantaran demi Islam Imam Husain mengorbankan jiwa dan raganya, serta
keluarganya. Imam Husain karena tujuan yang lebih menjulang ini mengorbankan
segalanya. Tujuan inilah yang ingin dicapai oleh Imam sehingga rela berkorban
jiwa dan raga, menyerahkan segalanya, anak, keluarga, sahabat dan para pengikut
setianya. Dengan semua ini, Imam Husain tetap memanjatkan puji syukur kepada
Allah Swt dan bermohon keridhaan Allah Swt. Hal ini tentu saja merupakan
kebanggaan dan kehormatan bagi Syiah karena memiliki imam pejuang dan pengusung
kebebasan seperti ini. Oleh karena itu, dari
tema syahadah, menghidupkan nilai-nilai insani dan Ilahi, amar makruf dan nahi
mungkar, penentang tirani dan penegak keadilan (ansich) kita menanjak lebih
tinggi lagi dan tujuan yang melalui media ini lebih dalam ditelusuri dan
dijelajahi. Dimana kebanyakan orang hanya bertumpu pada subjek ini dan berhenti
di halte ini. Dengan demikian, konstruksi pemikiran sejatinya kembali kepada
konstruksi pemikiran tauhid yang menjadi dalih Imam Husain siap menjemput maut. Apabila kita mampu
menerima rekonstruksi pemikiran asyura seperti ini dan beralih dari tingkatan
acara seremonial, pada tradisi, pensucian, pembacaan narasi maqtal, deklamasi
puisi, senandung sendu dalam kidung sedih dan menyayat hati kepada tataran
pemikiran untuk apa Imam Husain berkorban dan memilih untuk syahid, maka kita
mampu menangkap pesan Asyura tahun ini dan merekonstruksi nilai-nilai perenial
dan universal yang tertimbun di dalamnya. Dengan bercermin pada nilai-nilai
Asyura ini, saya kira proyek rekayasa sosial (reformasi bukan revolusi) dapat
kita canangkan dalam kehidupan keseharian kita. Sebuah proyek yang kini tetap
aktual dan sering menjadi komoditas politik dan sosial masyarakat hari ini.
Saya pikir tidak berlebihan jika kita menggali nilai-nilai sosial dan moral
Asyura untuk mengantarkan bangsa ini kepada kehidupan yang berwarna Ilahia
yang menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan.[] Wallahu
‘Alim. |