Tuhan yang Menyesatkan dan Memberi Petunjuk?Deprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Dalam pelbagai ayat suci al-Qur’an sering kali kita jumpai
redaksi petunjuk dan kesesatan yang bersumber dari Tuhan. Yang ingin kami
tanyakan di sini adalah maksud dari petunjuk dan kesesatan dari Tuhan itu. Apakah
Tuhan memberikan petunjuk kepada seseorang tanpa adanya usaha dan ikhtiar dari
manusia demikian juga menyesatkan seseorang bukan karena ulah dan peran
manusia? Apapulah yang dimaksud dengan hidayah takwini dan hidayah tasyri’i
yang disebut dalam beberapa kitab Teologi. Terima kasih. Terima kasih atas pertanyaan Anda. Pertama-tama kita harus
memberikan definisi yang jelas terlebih dahulu ihwal petunjuk dalam masalah
ini. Hidâyah secara leksikal berarti petunjuk disertai dengan
perhatian.[1] Hidâyah ini terbagi kepada dua;
menunjukkan jalan dan menyampaikan sesuatu ke tujuannya secara langsung, atau
dengan ungkapan lain; hidâyah tasyrî’î dan hidâyah takwînî.[2] Tatkala seseorang menunjukkan jalan kepada orang yang sedang
mencari sebuah alamat, terkadang ia menunjukkan alamat tersebut dengan lengkap;
disertai dengan seluruh kriterianya. Akan tetapi, untuk menempuh jalan dan
menuju ke tempat tujuannya, ia serahkan kepada si pencari alamat tersebut.
Namun, terkadang ia mengambil tangannya, dan sambil menunjukkan jalan, ia juga
mengantarkannya hingga mencapai tempat tujuannya. Dengan kata lain, pada cara pertama, yang dijelaskan hanya
aturan (qânûn), syarat-syarat untuk menempuh jalan dan mencapai tujuan. Namun,
pada cara kedua, selain hal tersebut, segala sarana perjalanan juga
dipersiapkan; menyingkirkan segala rintangan, mencarikan solusi atas masalah-masalah
yang ada, dan membantu serta menjaga para pencari hingga mencapai tujuan. Tentu saja, lawan dari hidâyah adalah
kesesatan (dhalâlah).
Secara global, permasalahan ini akan menjadi jelas dengan
menilik ayat-ayat Al-Qur’an. Al-Qur’an menyatakan bahwa petunjuk dan kesesatan
adalah perbuatan Tuhan. Dan keduanya dinisbahkan kepada Tuhan. Dan sekiranya
kita ingin membahas seluruh ayat yang menyinggung perkara ini, tentu
memeprlukan waktu yang panjang. Kami kira sudah memadai jika kita renungkan dua
ayat berikut ini: “Allah memberikan petunjuk kepada siapa saja yang
dikehendaki. (QS. Al-Baqarah.” [2]: 213). … tetapi, “Allah memberikan petunjuk kepada siapa saja yang
dikehendaki dan menyesatkan siapa saja yang dikehendaki.” (QS. An-Nahl [16]:
93) Kita juga akan menjumpai ayat-ayat yang mengisyaratkan
petunjuk (hidâyah) dan kesesatan (dhalâlah) yang serupa dengan redaksi kedua
ayat di atas.[3] Dan selain itu, sebagian ayat Al-Qur’an dengan gamblang
menafikan hidayah dari sisi Nabi Saw dan menisbahkannya hanya kepada Allah Swt
semata. “Sesungguhnya engkau sekali-kali tidak dapat memberikan
petunjuk kepada orang yang engkau cintai, melainkan Allah memberikan petujuk
kepada siapa saja yang dikehendaki.” (QS. Al-Qashash [28]: 56) … Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk.
Akan tetapi, Allahlah yang memberikan petunjuk [memberi taufik] kepada siapa
yang dikehendaki …. (QS. Al-Baqarah [2]: 272) Menelaah hanya pada permukaan ayat-ayat ini dan tidak
menyentuh makna ayat tersebut telah menyebabkan sekelompok orang -dalam
menafsirkan ayat-ayat ini- terjerembab ke dalam kesesatan, dan menyimpang
dari jalan petunjuk serta terperosok dalam Determinisme (jabr). Bahkan, sebagian
mufassir terkenal tidak lepas dari petaka ini dan terjatuh ke dalam kesalahan
yang fatal. Ia meyakini bahwa urusan petunjuk dan kesesatan dengan segenap
tingkatannya merupakan bentuk Determinisme. Anehnya, lantaran kontradiksi kepercayaan ini dengan prinsip
Keadilan dan Hikmah Ilahi, mereka memberikan preferensi yang mengingkari
keadilan secara terang-terangan. Pada prinsipnya bahwa seandainya kita terima Determinisme,
maka makna taklif (tugas-tugas syar’i), tanggung-jawab, pengutusan para rasul
dan penurunan kitab-kitab samawi tidak lagi berarti. Akan tetapi, pendukung paham kebebasan penuh (ikhtiyâr)
percaya bahwa tidak satu pun akal sehat yang dapat menerima asumsi bahwa Allah
Swt. memaksa mereka untuk mengambil jalan kesesatan, dan setelah itu -karena
keterpaksaan ini- mereka harus menerima hukuman. Atau ada sekelompok manusia
yang telah diberi petunjuk dan setelah itu, tanpa alasan mereka diganjar
pahala, padahal keistimewaan yang mereka dapatkan ini bukan karena amalan yang
mereka lakukan. Atas dasar paham inilah memilih cara-cara lain dalam
menafsirkan ayat-ayat tersebut. Penafsiran yang akurat dan relevan dengan seluruh ayat-ayat
ihwal petunjuk dan kesesatan adalah penafsiran yang tidak sedikit pun
berselisih dengan makna lahiriah ayat-ayat berikut ini: Hidayâh tasyrî’î bermakna menunjukkan jalan secara umum
tanpa adanya syarat dan ikatan. Sebagaimana ayat yang berfirman, “Sesungguhnya
Kami telah menunjukkan kepada mereka jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan
ada pula yang kafir.” (QS. Ad-Dahr: 3) “… dan sesungguhnya engkau benar-benar
memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Asy-Syura [42]: 52) Sangat
jelas bahwa ajakan nabi ini adalah kepanjangan ajakan Tuhan, karena apa saja
yang dimiliki oleh Nabi berasal dari-Nya. Tentang kaum musyrikin dan sekelompok orang yang tersesat,
Allah Swt. berfirman, “… dan sesungguhnya telah datang petunjuk kepada mereka
dari Tuhan mereka.” (QS. An-Najm [53]: 23) Adapun hidâyah takwînî bermakna menyampaikan (îshâl) ke
tujuan dan menuntun tangan para hamba sehingga mereka dapat menempuh jalan yang
berliku, serta menjaga dan menolong mereka hingga sampai di ambang keselamatan. Hidâyah takwînî ini menjadi topik pembahasan dalam banyak
ayat yang lain tanpa adanya kait dan syarat. Hidayah ini khusus bagi
orang-orang yang ciri-ciri khas mereka telah dijelaskan di dalam Al-Qur’an. Dan
kesesatan yang berarti sebagai lawan dari hidayah, khusus bagi orang-orang yang
ciri-ciri khas mereka juga telah dijelaskan di dalam Al-Qur’an. Kendati sebagian ayat-ayat ini bersifat mutlak, namun banyak
pula ayat-ayat yang menjelaskan kait dan syaratnya secara teliti. Dan ketika
ayat-ayat yang berkait (muqayyad) dan mutlak ini bersanding satu dengan yang
lainnya, permasalahannya akan menjadi sangat jelas dan tidak tersisa lagi
sedikit pun keraguan dan ambiguitas. Ayat-ayat ini tidak hanya tidak
bertentangan dengan masalah kebebasan manusia, akan tetapi justru
menekankannya. Kini perhatikan baik-baik penjelasan di bawah ini! Allah Swt berfirman: “…dengan perumpamaan itu banyak orang
yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu [pula] banyak orang yang
diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada orang yang disesatkan Allah kecuali
orang-orang fasik.” (QS. Al-Baqarah [2]: 26) Ayat ini menyitir sumber kesesatan, kefasikan dan keluarnya
mereka dari ketaatan dan perintah Allah Swt. Pada kesempatan yang lain, Allah Swt. berfirman, “… dan
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim.” (QS. Al-Baqarah [2]:
258) Ayat ini menerangkan masalah kezaliman (tirani dan
despotisme) yang kemudian menjadi lahan tumbuhnya kesesatan. Pada kesempatan ketiga, kita membaca, “… dan Allah tidak
akan memberikan petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS. al-Baqarah [2]:
264) Di dalam ayat ini dijelaskan ihwal kekufuran (kufr) yang
menjadi ladang berseminya kesesatan. Di dalam ayat yang lain Allah berfirman: “… sesungguhnya
Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada orang-orang pendusta dan sangat
ingkar.” (QS. az-Zumar [39]: 3) Di dalam ayat ini juga berdusta dan kekafiran disebutkan
sebagai awal kesesatan. Dan di tempat lain disebutkan, “… sesungguhnya Allah tidak
akan memberikan petunjuk kepada orang-orang yang berlebih-lebihan lagi
pendusta.” (QS. al-Ghafir [40]: 28) Maksudnya adalah bahwa perbuatan
berlebih-lebihan (isrâf) dan berkata dusta menjadi penyebab kesesatan. Tentu saja, apa yang telah kami sebutkan di sini hanyalah
sebagian dari ayat-ayat Al-Qur’an yang bersangkutan dengan dengan pembahasan
ini. Sebagian lainnya dengan redaksi yang sama banyak disebutkan secara
berulang-ulang di dalam Al-Qur’an. Konklusinya, penegasan Al-Qur’an bahwa kesesatan hanya
berasal dari Allah Swt. semata, hanya khusus bagi orang-orang yang memiliki
kriteria kufur, tirani, fasik, dusta, berlebih-lebihan, dan enggan berterima
kasih. Apakah orang-orang yang memiliki kriteria-kriteria seperti
ini tidak pantas mendapatkan kesesatan? Dengan ungkapan lain, apakah terjeratnya seseorang di dalam
kriteria-kriteria ini tidak akan menjadi hijab dan kegelapan di dalam hatinya? Lebih jelas lagi, perbuatan dan kriteria yang dimiliki orang
itu mau atau tidak mau akan menjadi tirai yang menutupi mata, telinga dan
akalnya sehingga ia akan masuk ke dalam jurang kesesatan. Mengingat bahwa
seluruh benda dan efek seluruh sebab-sebab terjadi atas perintah Allah Swt.,
kesesatan dalam seluruh perkara ini dapat dinisbahkan kepada Allah Swt. Namun,
penisbahan ini bersemayam pada ikhtiyar dan kebebasan berkehendak manusia. Uraian di atas ini berkenaan dengan masalah kesesatan
(dhalâlah). Adapun mengenai masalah petunjuk (hidâyah), Al-Qur’an juga
menyebutkan sifat dan syarat-syaratnya. Hal ini menunjukkan bahwa petunjuk juga
bukan tanpa sebab, tidak pula bertentangan dengan hikmah Ilahi. Sebagian dari karakteristik yang menjadikan seseorang berhak
mendapatkan petunjuk dan merengkuh kasih sayang Ilahi telah disebutkan pada
ayat-ayat di bawah ini: |