Mizan Keadilan Tuhan [6]Deprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Takdir dan Nasib Manusia
Mari kita perhatikan sebuah jam tangan. Beberapa bagian dari
jam tangan terbuat dari emas, yang lainnya dari baja; yang lainnya dari kaca
atau yakut. Pada jam tangan terdapat sebuah lempengan yang datar; seperti
panah; pegas; poros; dan beragam jentera yang kesemuanya ini berbeda ukurannya.
Muka arloji berwarna putih, angkanya berwarna hitam, jarum pendeknya berwarna
merah dan jarum panjangnya berwarna hitam. Angka-angka yang terdapat pada jam
mulai dari angka satu hingga angka dua belas. Pendeknya, terdapat beragam
jenis, warna, bentuk untuk membuat sebuah jam tangan bekerja. Dapatkah jam tangan ini bekerja jika seluruh komponennya
bentuk, ukuran dan desainnya sama dan satu? Dapatkah jarum pendeknya mengeluh
untuk mencari pembenaran mengapa ia diwarnai hitam sementara jarum panjang
dicoraki merah? Dapatkah angka 1 mengeluh mengapa ia tidak diberi angka 12? Dan
jika seluruh angka-angka tersebut diletakkan pada satu tempat dan posisi yang
sama, dapatkah orang-orang mengetahui waktu dari jam tersebut? Jika sebuah jam tangan kecil tidak dapat bekerja tanpa
adanya ragam jenis bagian, apakah ada alasan yang rasional untuk meyakini bahwa
umat manusia dapat melangsungkan hidupnya tanpa adanya perbedaan jenis orang-orang
dari sisi warna kulit, pandangan, kapasitas dan kemampuan? Hak-hak Prerogatif Tuhan
Telah disinggung pada bagian sebelumnya bahwa terdapat
beberapa aspek dalam kehidupan kita yang berada di luar kekuasaan dan kehendak
kita. Sebuah contoh proses perawatan dan penyembuhan dari sakit; dan
ditunjukkan bahwa ketika kita menjalani proses perawatan, proses perwatan
tersebut berada dalam kekuasaan kita, namun untuk mendapat kesembuhan hal itu
tidak berada dalam wilayah perbuatan kita. Semenjak lahir hingga wafat, terdapat ratusan kondisi yang
berada di luar kekuatan kita, yang berada di bawah kendali mutlak Allah Swt.
Seorang manusia lahir dengan sehat dan dalam lingkungan keluarga yang terdidik;
yang lain dalam keluarga badui yang berperadaban primitif. Secara natural,
manusia yang pertama lebih memiliki kesempatan untuk menikmati kesejahteraan
dan perkembangan intelektual ketimbang manusia yang kedua. Seorang manusia yang
sehat dan kuat; yang lainnya sakit secara kronis. Seseorang lahir dengan buta,
yang lainnya dengan mata yang sehat. Secara natural, seseorang dapat lebih
banyak bekerja ketimbang yang lain. Seorang manusia yang hidup hingga delapan
puluh tahun, manusia lainnya meninggal selagi berusia muda. Yang pertama
memiliki waktu yang cukup untuk memenuhi rencana-rencananya, sementara yang
kedua tidak diberikan waktu bahkan untuk merumuskan segala rencana. Contoh-contoh ini dan banyak lagi contoh lainnya dari
kehidupan kita adalah berada di luar kendali dan kontrol manusia. Masalah ini
sepenuhnya berpulang pada “takdir Ilahi” yang disebut sebagai qada’ (nasib) dan
qadar (ketentuan Ilahi). Mengapa Allah memilih sebuah kondisi kehidupan tertentu bagi
seorang manusia? Hal ini merupakan teka-teki yang tak terjawab. Banyak orang
yang mencoba untuk menemukan jawaban atas teka-teki ini. Namun semuanya tanpa
hasil. Tiada satu pun teori yang mampu memecahkan masalah ini walau sebagian.
Ketika segalanya telah disebutkan dan dilakukan, satu-satunya jawab yang
tersedia yang terdapat dalam al-Qur’an: “Dia tidak layak dipertanyakan tentang
apa yang diperbuat-Nya (lantaran seluruh perbuatan-Nya sejalan dengan hikmah),
dan perbuatan merekalah yang layak dipertanyakan.” (Qs. Al-Anbiya [21]:23).
Mungkin atas alasan ini Amirul Mukminin ‘Ali bin Abi Thalib As berkata tentang
qadar Tuhan “Ia sedalam samudera; janganlah engkau menyelam di dalamnya.” (as‑Saduq,
Tauhid, bag. 7, hal. 59 dan al‑Majlisi, Biharu’l‑Anwar, jil. 5, hal.110) Namun, kita dapat yakin bahwa apa saja yang ditentukan
adalah karena beberapa alasan yang baik. Apa yang menjadi dasar penegasan ini?
Mari kita lihat pada hal-hal yang kita mengerti, seperti sistem yang berlaku di
jagad raya, koordinasi di antara pelbagai kekuatan tabiat, sistem biologis kita
dan pengaturan yang telah dibuat di muka bumi ini sehingga kita dapat hidup
aman sentosa. Kesemua hal ini meyakinkan kita bahwa Sang Pencipta tidak
melakukan sesuatu tanpa alasan yang baik. Setelah manifestasi hikmah dan
pengetahuan-Nya ini, jika kita menjumpai beberapa aspek dalam hidup kita yang
tidak mampu kita pahami, tidak begitu pelik untuk menduga bahwa hal-hal seperti
ini juga mesti memiliki alasan-alasan yang benar. Sebelum melangkah lebih jauh, kiranya baik untuk menyegarkan
ingatan kita melalui artikel sebelumnya ihwal Tuhan Tidak Melakukan Perbuatan
Tanpa Tujuan. Di sini kita tidak berada pada posisi untuk mengetahui setiap
alasan atau tujuan dari segala sesuatu di muka bumi ini; bahwa Allah melakukan
apa saja yang paling bermanfaat untuk kemaslahatan umat manusia; bahwa jika
kita diberitahu tujuan-tujuan atau alasan-alasan atas aspek-aspek ini dalam
kehidupan kita, kita akan mengakui bahwa aspek-aspek tersebut sangatlah patut
dan tepat untuk diadakan. Ukuran Takdir
Allah Swt berfirman dalam al-Qur’an: “Sesungguhnya Kami
telah menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (Qs. Al-Qamar [54]: 49) Jadi,
sesuai dengan ukuran dan rencan-Nya sendiri Allah menciptakan segala
sesuati. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, kita dibenarkan untuk
meyakini bahwa ada alasan yang baik untuk setiap aspek dari kehidupan invidual
seseorany yang direncanakan oleh Allah, meski orang tersebut boleh jadi tidak
memahaminya sendiri. Mari kita perhatikan sebuah jam tangan. Beberapa bagian dari
jam tangan terbuat dari emas, yang lainnya dari baja; yang lainnya dari kaca
atau yakut. Pada jam tangan terdapat sebuah lempengan yang datar; seperti
panah; pegas; poros; dan beragam jentera yang kesemuanya ini berbeda ukurannya.
Muka arloji berwarna putih, angkanya berwarna hitam, jarum pendeknya berwarna
merah dan jarum panjangnya berwarna hitam. Angka-angka yang terdapat pada jam
mulai dari angka satu hingga angka dua belas. Pendeknya, terdapat beragam
jenis, warna, bentuk untuk membuat sebuah jam tangan bekerja. Dapatkah jam tangan ini bekerja jika seluruh komponennya
bentuk, ukuran dan desainnya sama dan satu? Dapatkah jarum pendeknya mengeluh
untuk mencari pembenaran mengapa ia diwarnai hitam sementara jarum panjang
dicoraki merah? Dapatkah angka 1 mengeluh mengapa ia tidak diberi angka 12? Dan
jika seluruh angka-angka tersebut diletakkan pada satu tempat dan posisi yang
sama, dapatkah orang-orang mengetahui waktu dari jam tersebut? Jika sebuah jam tangan kecil tidak dapat bekerja tanpa
adanya ragam jenis bagian, apakah ada alasan yang rasional untuk meyakini bahwa
umat manusia dapat melangsungkan hidupnya tanpa adanya perbedaan jenis
orang-orang dari sisi warna kulit, pandangan, kapasitas dan kemampuan? Dan mari kita lihat kondisi yang menuntut bahwa tidak
seharusnya ada penyakit, kecacatan, kesenjangan financial di antara manusia; orang-orang
harus setara memiliki kekuatan, intelegensi dan kekayaan. Kini mari kita lihat apa yang dapat diprediksikan di masa
datang dari kondisi semacam ini. Kondisi dimana tiada seorang pun yang
bergantung kepada orang lain. Tiada seorang pun yang akan melakukan pekerjaan,
karena mereka telah beranggapan bahwa setiap orang akan mendapatkan uang yang
banyak sebagaimana yang lainnya. Lalu mengapa orang harus bekerja ketika
kesehatan, usia-hidup, kekayaan dan status sosial telah dijamin? Dunia akan
tetap pada kondisi ketikan Adam datang ke muka bumi ini untuk pertama kalinya.
Tidak akan ada perbaikan, kemajuan dan bahkan pakian yang terbuat dari kayu
sekalipun untuk menutupi tubuh manusia! Dunia akan seperti menyuap anak kecil
yang tidak melakukan apa pun untuk memenuhi kebutuhannya. Harus diingat bukan
atas tujuan ini kita diciptakan. Kita diciptakan untuk sebuah tujuan yang
sangat tinggi, bukan sekedar makan, minum dan melahirkan keturunan. Jika harus ada ujian, ia akan terbatas pada beberapa
kesulitan saja. Dan kesulitan itu berbeda dari orang ke orang. Ujian yang
dihadapi oleh setiap orang berbeda satu dengan yang lain. Dan karena keragaman
ujian inilah kita jumpai ragam problem dan masalah dalam kehidupan kita. Lalu dimana Kesetaraan dan
Keadilan?
Pertanyaan: Jika apa yang Anda katakan ada benarnya, maka
hal itu berarti bahwa tidak terdapat kesetaraan antara satu orang dengan yang
lainnya. Dimana kesetaraan yang dibangga-banggakan Islam itu? Jawaban: Apa yang kami maksud dengan “kesetaraan” tidak bermakna
bahwa seluruh manusia setara dari sudut pandang kesehatan dan kekuatan; juga
tidak berarti bahwa mereka semua setara dan seukuranya tingkat intelegensinya;
juga tidak bermakna bahwa antara pria dan wanita secara fisik dan fungsi
biologis setara. Apa yang kami maksud dengan “kesetaraan” adalah kesetaraan di
hadapan hukum. Kaya dan miskin, kuat dan lemah, seluruhnya setara di hadapan
agama; seluruh strata dan lapisan masyarakat harus mengikuti aturan yang sama
dan seluruhnya ditata dengan kode etik, hukum sipil dan criminal yang sama.
Tiada yang tinggi juga tiada yang rendah, tiada yang diunggulkan atau
direndahkan di hadapan hukum. Dengan kata lain bahwa setiap orang dalam Islam
dapat menerima penghormatan dan kedudukan yang tinggi tanpa perbedaan asal-usul,
warna kulit atau suku. Kriteria penghormata dalam Islam bukan kekayaan juga
bukan kekuatan, bukan kelahiran juga bukan warna kulit. Satu-satunya kriteria
adalah “karakter.” Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya yang paling mulia di
antara kalian adalah yang paling bertakwa.” (Qs. Al-Hujurat 49:13) Pertanyaan: Tapi dimana keadilan Tuhan ketika Dia
menganugerahkan seseorang mata yang sehat dan pada saat yang sama menjadikan
seseorang tuna netra? Jawab: Anda telah diberitahu sebelumnya bahwa kita di dunia
ini untuk menjalankan ujian. Sang penguji adalah Allah Swt. Merupakan hak
prerogatifnya untuk memutuskan orang yang mana yang harus diuji. Keadilan
sebenarnya terletak pada bahwa sang penguji tidak membebankan seseorang sebuah
ujian yang berada di luar kemampuannya sendiri. Allah Swt tidak memberikan
sayap kepada kita untuk dapat terbang; dan dengan demikian, tidak meminta kita
untuk terbang di udara seperti unggas yang dapat terbang. Di sinilah keadilan.
Jika Dia meminta kita untuk terbang seperti burung (tanpa memberikan kita
saya), maka permintaan ini tentu merupakan permintaan yang tidak adil. Namun
dapatkah kita mengklaim bahwa lantaran Dia tidak memberikan saya kepada kita
(sementara burung memilikiknya) Tuhan telah berbuat salah kepada kita? Tidak.
Hal ini merupakan hak prerogatif Tuhan untuk memutuskan siapa yang harus diuji.
Dan merupakan keadilan dan rahmat-Nya sehingga Dia tidak menuntut dari
seseorang lebih dari kemampuannya. Jika Dia menciptakan manusia tanpa tangan,
Dia pada saat yang sama mengecualikan orang tersebut dari jihad, wudu dan
tayammum. Jika orang seperti ini diminta untuk angkat senjata pergi ke medan
tempur tanpa tangan, maka kita memiliki hak untuk komplain dan protes. Tapi
sepanjang yang berkaitan dengan tanggung jawab seorang manusia disesuaikan
dengan kemampuannya, tiada yang dapat berkata bahwa Tuhan telah berlaku tidak
adil. Kita dapat menyimpulkan topik dengan beberapa poin
berikut ini: 1. Dunia ini tidak akan dapat bekerja jika
seluruh manusia memiliki kekuatan, kemampuan dan usia hidup yang sama. 2. Dunia yang dapat bekerja menuntu
orang-orang dengan kemampuan, kekuatan dan kecakapan yang berbeda. 3. Seluruh manusia sama di hadapan agama dan
hukum-hukum agama. 4. Setiap orang bertanggung jawab sesuai
dengan kemampuannya masing-masing. Dan inilah yang satu-satunya dituntut oleh
keadilan. Imam Ja’far Shadiq As ditanya tentang qada dan qadar. Beliau
bersabda: “Tatkala Allah Swt mengumpulkan para hamba-Nya pada hari Kiamat, Dia
akan bertanya kepada mereka ihwal yang diamanahkan kepada mereka ketaatan kita
terhadap syariah yang berada dalam kekuasaan kita; namun Dia tidak akan
menanyakan tentang hal yang telah ditakdirkan bagi mereka, yaitu
kondisi-kondisi yang berada di luar kendali dan kekuasaan kita. (as‑Saduq,
Tauhid., bag. 7, hal. 59.) Tadbir dan Takdir
Telah disebutkan pada bagian kedua bahwa kendati kekuasaan
dan kesempatan untuk melakukan perbuatan diberikan oleh Allah Swt, tanggung
jawab seutuhnya terletak di pundak kita karena bebas memilih untuk melakukan
atau tidak melakukan perbuatan tersebut dengan kebebasan dan ikhtiar yang
kita miliki. Dengan demikian, meski alat dan media perbuatan kita disediakan
oleh Allah Swt, pilihan terakhir berada di tangan kita. Menarik untuk diperhatikan bahwa pada tataran tertentu dalam
masalah ukuran takdir, kebalikannya adalah benar. Artinya selagi
pendahuluan-pendahuluan disiapkan oleh manusia, keputusan final berada di
tangan Allah Swt. (perhatikan redaksi “pada bilangan tertentu”). Redaksi ini
digunakan karena keputusan Allah tidak selamanya bergantung kepada
perbuatan-perbuatan kita. Dalam konteks ini, perbuatan dan perencanaan kita
dikenal sebagai tadbir, dan keputusan Allah Swt dikenal sebagai takdir. Di sini kami akan berikan satu contoh sederhana, jika kita
ingin menuai hasil tanaman, kita harus membajak tanah, menebar benih dan
menyalurkan air ke tanaman-tanaman, menyiang rerumputan dan tetap mengawasi
tanaman tersebut. Masih, setelah melakukan seluruh pekerjaan penting tersebut,
kita tidak dapat yakin bahwa kita dapat menunai tanaman. Badai, kebakaran atau
sengatan kilat dapat menggagalkan proses produksi tanaman tersebut; kelompok
geng bersenjata boleh jadi datang menyerang dan menjarah; keadaan-keadaan yang
boleh jadi memaksa kita untuk menjual kebun itu sebelum masa panen tiba,
demikian seterusnya. |