Manusia, Ruh dan Al-QuranDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Ruh Menurut Al-Quran
Sebuah pertanyaan yang sampai saat ini jawabannya belum
mampu memuaskan manusia adalah, apakah hakikat wujud manusia? Apakah wujud
manusia hanya sebongkah badan materiel, atau juga membawa hakikat selain
materi? Dengan kata lain, apakah al-Quran mengakui bahwa manusia adalah hakikat
selain materi yang disebut dengan ruh atau menolaknya? Bila mengakui demikian,
lalu bagaimana kitab suci ini menjelaskan hubungan ruh dengan badan? Apakah ruh
ada setelah kejadian badan atau sebelumnya? Apakah al-Quran mengakui bahwa
setelah kehancuran badan, ruh tetap ada atau tidak? Sebenarnya al-Quran telah menyebutkan adanya dimensi
selain materi pada manusia yang disebut dengan ruh. Sebagaimana yang
diisyaratkan oleh ayat berikut ini: Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan
ruh-Nya ke dalamnya dan Dia menjadikan untuk kalian pendengaran, penglihatan
dan hati tetapi sedikit sekali kalian bersyukur.[1] Kalimat “meniupkan ruh-Nya ke dalamnya”
dalam ayat di atas menunjukkan adanya dimensi yang bernama ruh pada manusia.
Setelah menjelaskan tentang ruh, ayat tersebut mengatakan bahwa Allah
menciptakan untuk kalian telinga, mata dan hati, menurut pandangan sebagian
para penafsir, meskipun membicarakan tentang anggota badan akan tetapi
maksudnya adalah penggunaan dari anggota tersebut yaitu mendengar dan
melihat. Mungkin bisa juga diambil kesimpulan secara detil dari
ayat di atas bahwa setelah menyebutkan tentang peniupan ruh kemudian
menyebutkan tentang telinga, mata dan hati sebabnya adalah karena sumber asli
perbuatan anggota tersebut adalah ruh. Yakni bila ruh tidak ada maka anggota
tersebut tidak ada gunanya karena anggota tersebut hanya berperan sebagai
perantara bagi ruh, tanpa ruh dengan sendirinya anggota tersebut tidak bisa
berbuat apa-apa. Dalam filsafat Islam telah terbukti bahwa badan
berperan sebagai perantara bagi aktivitas ruh. Aktivitas yang dilakukan oleh
anggota badan pada hakikatnya sumbernya adalah ruh. Yakni melihat, mendengar,
mencium dan berbicara semuanya terkait dengan ruh. Mata, telinga, hidung dan
lidah hanya sekedar perantara untuk mengetahui masalah-masalah ini. Misalnya
sebuah kacamata. Orang yang penglihatannya lemah, ia menggunakan kacamata,
lantas apakah kacamata itu sendiri yang melihat atau kacamata hanya sekedar
perantara bagi mata? Jelas kacamata dengan sendirinya tidak bisa melihat akan
tetapi ia harus diletakkan di depan mata sehingga mata yang kerjanya adalah
melihat dengan menggunakan kacamata ia bisa melihat sesuatu. Pada hakikatnya
mata dalam contoh tersebut sama seperti ruh, dan telinga, mata dan lidah
seperti kacamata sebagai perantara. Ruh dengan perantara anggota badan bisa
melakukan aktivitasnya. Ayat lain yang mengisyaratkan adanya ruh pada manusia adalah
ayat berikut ini: Dan apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan
meniupkan ruh-Ku ke dalamnya maka tunduklah kalian kepadanya dengan bersujud.[2] Dua poin penting yang ada dalam dua
ayat di atas adalah Allah mengatakan, “Aku meniupkan ruh-Ku”, apa maksud
dari kalimat tersebut? Apakah maksudnya adalah Allah meniupkan sebagian ruh-Nya
kepada manusia. Yakni sebagian ruh-Nya masuk ke dalam tubuh manusia atau ada maksud
yang lain lagi? Jelas Allah bukan ruh sehingga harus memasukkan
sebagian ruh-Nya ke dalam tubuh manusia, akan tetapi yang dimaksud oleh
al-Quran dengan penjelasan ini adalah kemuliaan dan ketinggian ruh itu sendiri.
Yakni ruh begitu bernilai sehingga Allah menghubungkannya dengan diri-Nya dan
mengatakan, “Aku meniupkan kepadanya ruh-Ku”. Bisa kita jelaskan dengan contoh
lain seperti masjid adalah rumah Allah. Kita tahu bahwa masjid bukan rumah
Allah, karena Dia bukan materi sehingga harus membutuhkan tempat tinggal, akan
tetapi maksudnya adalah nilai dan pentingnya masjid sehingga disebut dengan
rumah Allah. Contoh lain seperti majelis rakyat juga disebut sebagai rumah
rakyat. Ada ayat lain yang mengisyaratkan tentang wujudnya
ruh:Demi nafs (ruh, jiwa) dan penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan jalan
kefasikan dan jalan ketakwaannya.[3] Ayat di atas menceritakan tentang
realitas ruh yang memiliki pemahaman. Ayat di atas mengatakan bahwa Allah telah
mengilhamkan pemahaman baik dan buruk. Mengingat bahwa pada manusia tidak
terdapat anggota badan pun yang bisa memahami sesuatu, maka yang layak
memiliki pemahaman adalah kekuatan selain materi yang disebut oleh al-Quran dengan
ruh atau nafs. Di sini kita mengajukan dua argumentasi untuk
membuktikan keberadaan ruh yang nonmateri: 1. Salah satu pembuktian ruh ialah cara manusia
memperoleh konsep-konsep universal (intiza’-e mafahim-e kulli). Maksud dari
universal di sini ialah bahwa konsep-konsep itu bisa bisa diaplikasikan pada
banyak objek. Misalnya, manusia sebagai konsep universal. konsep manusia
ini bisa diaplikasikan pada semua objek individualnya seperti Ali, Husein,
Husein dan selain mereka. Kita juga tahu bahwa konsep-konsep universal ini
tidak ada secara konkret di luar, karena segala yang ada di luar memiliki
keadaan, kualitas dan kuantitas tertentu. Pertanyaannya, di manakah tempat
konsep-konsep universal ini? Jelasnya, tempat mereka nonmateri, karena materi
melazimkan bentuk tertentu, keadaan tertentu, batas ruang dan waktu tertentu,
sementara konsep-konsep universal tidak memiliki satupun dari ciri-ciri ini.
Dengan demikian, maka mesti ada suatu sisi selain materi dalam wujud manusia,
sehingga konsep-konsep universal -yang tidak memiliki ciri-ciri materiel
sedikit pun- itu bisa berada di dalamnya. 2. Salah satu dari ciri-ciri materi ialah adanya
hubungan khas antara tempat dan penempat (yang menempati). Yakni, penempat
tidak pernah lebih besar dari tempatnya; sesuatu yang lebih besar tidak bisa
menempati ruang yang kecil. Manusia banyak menyaksikan benda-benda besar dan ia
bisa menempatkan gambaran (konsep) benda-benda besar tersebut dalam pikirannya
sesuai dengan ukurannya. Misalnya, ia bisa membayangkan gedung bertingkat dua
puluh dalam pikirannya atau menggambarkan ratusan meter persegi gunung dalam
pikirannya. Pertanyaannya, kalau benar bahwa penggambaran gedung bertingkat dua
puluh ini bisa dilakukan oleh otak sebagai benda yang memiliki ukuran kecil,
lantas bagaimana benda yang besar itu bisa menempati tempat yang kecil ini?
Jelas, berdasarkan kaidah di atas (yakni hubungan khas antara tempat dan
penempatnya) pasti ada satu hakikat nonmateri dalam diri manusia, sehingga ia
bisa menempatkan sesuatu yang besar itu dalam dirinya sesuai dengan ukuran
sebenarnya. Dan hakikat tempat tersebut ialah ruh (nafs). Karena ruh bukan
materi, ia bisa ditempati oleh sesuatu yang besar. Hubungan Ruh dengan Badan
Dalam pembahasan ruh (nafs) ada pertanyaan, “apa hubungan
badan dengan ruh? Apa pendapat al-Quran dalam masalah ini? Apakah al-Quran
mengakui bahwa ruh dan badan adalah dua hakikat yang berpisah di mana antara
keduanya terdapat dualisme, atau al-Quran mengakui pendapat yang lainnya lagi?” Dalam sejarah filsafat, Descartes dan
pendukungnya memaparkan teorinya bahwa ruh dan badan adalah dua substansi
yang berbeda. Yakni jasmani adalah sesuatu dan ruh adalah sesuatu yang lain
lagi. Dan manusia adalah hakikat yang tersusun dari dua paduan yang berbeda.
Decart mengatakan bahwa sifat aslinya badan adalah perpanjangan, perluasan. Dan
sifat aslinya ruh adalah berpikir. Tentunya, Descartes mengakui bahwa antara
badan dan ruh, terdapat suatu hubungan, dan yang menghubungkan keduanya adalah
kelenjar (pineal gland) yang ada dalam otak. Teori lain mengatakan bahwa hakikat wujud manusia
adalah ruh itu sendiri. Wujud manusia bukan komposisi dari badan dan ruh.
Yakni, wujud manusia adalah ruhnya itu sendiri, bukan ruh sebagai satu bagian
dari wujud manusia. Oleh karenanya, berdasarkan teori ini, antara ruh dan badan
ada sejenis hubungan yang disebut dengan hubungan taktis (ertebat-e tadbiri),
yang di dalamnya badan sebagai alat dan ruh sebagai pengelola. Ayat di bawah ini menunjukkan bahwa al-Quran mengakui
bahwa wujud manusia sebagai ruh itu sendiri. Katakanlah, Malaikat maut
yang diserahi mencabut nyawamu akan mematikan kalian (yatawaffakum: mengambil
kalian secara keseluruhan) kemudian hanya kepada Tuhanmulah kamu akan
dikembalikan.[4] Kata “tawaffa” artinya adalah
mengambil, dan mengambil secara penuh. Ayat di atas mengatakan bahwa malaikat
pencabut nyawa akan mengambil dasar wujud manusia. Kalau memang ruh adalah satu
bagian dari wujud manusia, al-Quran tidak mengatakan: “yatawaffakum”, tetapi ia
akan mengatakan: “yatawaffa ba’dhakum”. Mengambil sebagian dari kalian berbeda
dengan mengambil kalian secara keseluruhan. Maka dari itu, mengingat bahwa malaikat maut akan
mengambil ruh manusia; bukan mengambil badannya. Dan ayat tersebut juga
mengatakan bahwa malaikat akan mengambil kalian secara keseluruhan. maka itu
jelas bahwa hakikat wujud manusia adalah ruh, bukan badan. Dengan melihat ayat
berikut ini, akan kita dapatkan bahwa wujud manusia adalah ruh, bukan badan.
Jika kamu melihat orang-orang yang zalim berada dalam tekanan-tekanan maut dan
para Malaikat merentangkan tangan-tangannya seraya berkata ‘keluarkanlah ruh
kalian!’ di hari ini kalian akan dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan
karena kalian selalu mengatakan terhadap Allah perkataan yang tidak benar dan
kalian selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.[5] Dua poin penting dalam ayat tersebut adalah kalimat
“keluarkanlah ruh kalian” dan kalimat “hari ini kalian akan dibalas”
(tujzauna), yang menunjukkan masa sekarang dan masa yang akan datang. Artinya,
dan pembalasan siksa itu berlanjut, maka yang disiksa adalah ruh, karena badan
manusia akan rusak dan binasa dengan kematian, ketika itu ia tidak menanggung
siksa di alam barzakh. Bagaimana Kejadian Ruh?
Terdapat banyak teori berkaitan dengan cara kejadian ruh.
Hanya saja, di sini kami akan membahas dua teori yang penting. 1. Teori Ruhaniyatul hudus ruhaniyatul baqa’.
Pendukung teori ini menyatakan bahwa hakikat ruh terkait dengan alam malakut
(metafisik). Yakni, sebelum kejadian badan, ruh berada di alam malakut. Setelah
kejadian badan, ruh menjadi tawanan badan dalam jangka waktu tertentu. Dan
setelah manusia mati, ruh kembali lagi ke asalnya, yaitu ke alam malakut. 2. Teori Jismaniyatul hudus ruhaniyatul baqa’.
Penggagas teori ini adalah Mulla Shadra. Ia mengatakan bahwa ruh bukan materi,
juga tidak turun dari alam malakut ke alam natural. Akan tetapi, ruh terjadi
dari evolusi substansial materi (takamul-e jauhari-ye madeh). Dengan penjelasan
lain, ruh manusia muncul dari gerak substansial yang disebut dengan nafs
natiqah (ruh yang berakal) dan ia abadi dan tidak musnah sepeninggal badan.
Oleh karenanya, ruh adalah hasil dari evolusi natural. Oleh karena itu,
kejadian ruh demikian ini disebut dengan jismaniyatul hudus. Di sini kita ingin mengetahui; mana dari dua teori ini
yang diterima oleh al-Quran? Apakah dalam masalah ini ayat-ayat al-Quran juga
memaparkan pendapatnya? Dengan mengkaji ayat di bawah ini, bisa dikatakan bahwa
al-Quran menerima teori ‘Jismaniyatul hudus ruhaniyatul baqa’. Dan
sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari saripati (berasal) dari tanah.
Kemudian kami jadikan saripati itu mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh
(rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah
itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang,
lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging.[6] Al-Quran melanjutkannya demikian: Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain.
Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.[7] Pada tahapan penciptaan dalam ayat di
atas digunakan lafazh ‘Fa’ dan ‘Tsumma’ yang artinya ‘kemudian’, di mana
jika kita teliti maka akan memahami maksudnya dengan baik. Penjelasannya adalah dua lafaz ini memiliki selisih
yang sangat dekat sekali. Artinya, jika selisih antara tahapan hanya dari segi
sifat atau selisih substansinya dekat sekali, seperti selisih antara tahapan
gumpalan darah dengan gumpalan daging, dan gumpalan daging dengan tulang
belulang maka yang digunakan adalah lafazd ‘Fa’. Sedangkan selisih antara saripati tanah sampai mani
dan mani sampai gumpalan darah maka selisih substansinya jauh. Kalau al-Quran mengatakan ‘Tsumma Ansya’nahu Khalkan
Akhar’, yaitu kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain, sebagai
penguat makna tersebut di mana selisih tahapan ini dengan tahapan sebelumnya
adalah jauh yaitu daging bercampur tulang belulang. Kata ‘Ansya’ dalam sastra Arab artinya adalah
menciptakan sesuatu yang belum terjadi sebelumnya. Dalam tahapan penciptaan manusia yakni dari tanah
sampai daging bercampur tulang belulang, al-Quran menggunakan kata ‘Khalaqa’
dan ‘Ja’ala’. Namun di akhir menggunakan kata ‘Ansya’ dan ‘Khalqan Akhar’ untuk
menunjukkan bahwa pada tahapan akhir muncul sesuatu yang baru bagi manusia.
Dengan kata lain setelah manusia menjalani tahapan materi ia sampai pada satu
tahapan di mana Allah mewujudkan untuknya ciptaan yang lain. Oleh karenanya, dengan melihat empat poin di bawah ini
maka penyimpulan teori ‘Jismaniyatul hudus-nya ruh bisa disandarkan pada
ayat-ayat di atas: 1. Sekaitan dengan lafazd ‘Tsumma’ dan ‘Fa’. Lafazd
Tsumma digunakan untuk tahapan penciptaan sebelum munculnya ruh. Sedangkan
lafazd ‘Fa’ (menunjukkan selisih antara tahapan wujud) digunakan pada tahapan
terakhir penciptaan manusia ketika ruh sudah bergabung dengan badan. 2. Penggunaan kata ‘Ansya’, menunjukkan penciptaan
sesuatu yang belum terjadi sebelumnya. 3. Dalam penciptaan ruh menggunakan istilah ‘Khalkan
Akhar’ artinya penciptaan lain. 4. Pada kata ‘Ansya’nahu’, zamir ‘Hu’ kembali kepada
makhluk yang melewati beberapa tahapan dari gumpalan darah sampai daging yang
menutupi tulang.[EMS] |