Kado Maulid -Kritik atas Ulil Absar ihwal Kemaksuman Nabi sawDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Saya sering tidak habis pikir -atau malah sama sekali habis
pikir- dengan pola sebagian orang mengambil kesimpulan. Terkadang saya sampai
mencoba menelisik sisi-sisi perbedaan latarbelakang keluarga, pendidikan,
literatur bacaan, ideologi, sikap hidup, pengalaman, pekerjaan dan sejenisnya.
Tapi, saya tetap juga tidak bisa menemukan faktor yang membuat kita begitu
berbeda dalam mengambil kesimpulan. Tentu tidak mungkin saya mengklaim telah mencapai tingkat
tertentu dari kesempurnaan, sementara orang-orang yang berbeda itu berada dalam
kebodohan dan sejenisnya. Ini jelas klaim yang tidak manusiawi atau tidak
ilmiah. Lantas, apakah faktor utama itu? Setelah memutar otak dan
membaca sejumlah referensi, pokok masalahnya ternyata lebih sederhana ketimbang
yang saya duga, yaitu: perbedaan sudut-pandang. Lain sudut pandang, lain pula
cara orang mengambil kesimpulan. Masalah lain yang patut kita ajukan adalah mengapa seseorang
mengambil sudut pandang yang berbeda dengan orang lain? Ini pertanyaan yang
tentu lebih rumit, lantaran menyangkut matra “jeroan alias motif” yang perlu
penyelidikan lebih panjang dan berlarut-larut. Sebaiknya kita tinggalkan dulu
pertanyaan itu di laboratorium psikologi atau disiplin sejenisnya. Demi menyederhanakan masalah panjang yang berlarut-larut
itu, saya kira ada baiknya kita langsung saja membuktikan dengan cara-cara
ilmiah bahwa sudut-pandang yang berbeda dengan kita sesungguhnya lebih lemah,
sempit dan terbatas. Dalam kenyataannya, banyak orang yang memang tidak mampu
mencari sudut-pandang yang lebih luas dan mendalam. Mereka umumnya tertahan di
tahap-tahap awal pendakian intelektual dan malas menjelajah lebih jauh, lebih
dalam dan lebih tinggi. Tidak jarang juga mereka tidak punya daya abstraksi
intelektual, sehingga pikirannya melulu terbentur dinding materi yang serba
sempit ini. Orang seperti ini ujung-ujungnya bakal gagal menemukan
sudut-pandang yang lebih sempurna sesuai dengan kapasitas intelektual dan
mental manusia yang tidak terbatas itu. Jadi, dengan mengabaikan dimensi motif psikologis,
pertanyaan ihwal faktor munculnya perbedaan pola mengambil kesimpulan menjadi
lebih mudah dipecahkan dan pembuktian berkenaan dengan sudut-pandang manakah
yang lebih tepat akan mendarat di dataran ilmiah yang lebih kukuh. Sebagai ilustrasi tentang pentingnya sudut-pandang, coba
kita perhatikan bagaimana bedanya saat kita melihat kerbau dari atas dan dari
bawah. Selain sempit, pengap dan bau, “sudut-pandang bawah” bisa berujung
dengan kesimpulan yang salah. Sebaliknya, “sudut-pandang atas” memberi
keluasaan dan ketepatan. Anda bisa langsung mencobanya sendiri setiap saat
bertemu dengan kerbau di mana pun ia berada. Meski saya tetap tidak menyarankan
Anda melihat kerbau dari bawah, lantaran akibatnya tidak baik bagi indra
penciuman manusia normal. Bagian 2 Bahasan tentang sudut-pandang di bagian sebelumnya saya
pakai sebagai pengantar sederhana untuk membahas masalah inti yang
saya potong dalam dua bagian. Sekitar awal bulan kemarin, saya membaca
tulisan Sdr. Ulil di situs Jaringan Islam Liberal (07/01/0 yang berjudul
“Doktrin-doktrin yang Kurang Perlu dalam Islam”. Dalam esai itu, Sdr. Ulil
mencampur-adukkan dua sudut-pandang yang menurut saya agak ribet: sudut-pandang
terhadap orang beragama (Muslim) dan sudut-pandang terhadap konsep agama
(Islam). Akibatnya, ajakan moral pada kaum beragama (Muslim) untuk
rendah hati itu bisa dianggap sebagai kritik ambisius atas konsep agama
(Islam). Malah, rasanya tidak berlebihan jika ada orang yang beranggapan bahwa
kalimat pembuka di awal paragraf yang mengajak orang beragama (Muslim) untuk
merendahkan hati itu sekadar pemanis mulut, lantaran sasaran kritik Sdr. Ulil
sebenarnya adalah Islam itu sendiri. Marilah kita periksa paragraf pertama tulisan Sdr. Ulil
tersebut. Di awal paragraf, dia menulis begini, “Saya hanya ingin menganjurkan
suatu corak keberagamaan yang rendah hati, yang tidak arogan dengan
mengemukakan kleim-kleim yang berlebihan tentang agama. Jika Islam menganjurkan
etika “tawadlu’”, atau rendah hati, maka etika itu pertama-tama harus
diterapkan pada Islam sendiri. Mengaku bahwa agama yang paling benar adalah
Islam jelas menyalahi etika tawadlu’ itu.” Dalam paragraf awal ini, Sdr. Ulil telah memunculkan dua
ajakan yang berangkat dari dua sudut-pandang yang berbeda. Bila tidak menyadari
bahwa Sdr. Ulil telah mengubah sudut-pandang, tentu kita bisa pusing tujuh
sampai beberapa belas keliling. Pertama, dia ingin “menganjurkan suatu corak
keberagamaan yang rendah hati” dan ingin kerendah-hatian itu diberlakukan pada
“kleim-kleim yang berlebihan tentang agama”. Kedua, bertolak dari ajakan moral
yang dapat dengan mudah kita terima itu, dia berjibaku dengan mengambil
sudut-pandang lain, “Jika Islam menganjurkan etika “tawadlu’”, atau rendah
hati, maka etika itu pertama-tama harus diterapkan pada Islam sendiri.” Di sini, menurut saya, telah terjadi perubahan sudut-pandang
yang terlalu melompat. Mengapa? Karena, corak keberagamaan yang rendah hati
menyangkut pola seseorang dalam beragama, demikian pula dengan “kleim-kleim
yang berlebihan tentang agama”. Meskipun dalam dua kalimat itu saja kita sudah
merasakan pergeseran sudut-pandang secara halus, tapi kedua ajakan rendah hati
itu samar-samar masih menyasar pada pribadi orang yang beragama. Sayangnya, dalam kalimat lanjutan yang dirames seolah-olah
sebagai lanjutan dari ajakan moral rendah hati yang dengan mudah bisa diterima
semua orang itu, Sdr. Ulil mengajak kita untuk menerapkan etika rendah hati itu
pada Islam sendiri. Melalui kalimat terakhir ini, Sdr. Ulil rupanya inign
mengajak kita merendahkan “hati” Islam. Sasaran ajakan rendah hati Sdr. Ulil
kini sudah bukan lagi terkait dengan pribadi orang beragama yang memang
memiliki hati, tapi dia melempar lembing kritiknya pada Islam itu sendiri.
Sebagai rangkaian konsep abstrak, rasanya agak berlebihan bila Islam kita minta
untuk rendah hati. Lebih dari sekadar berlebihan, ajakan ini sebenarnya
mengandung sejumlah kesesatan logika. Antara lain, cum hoc ergo propter hoc,
yaitu karena orang beragama banyak yang tidak rendah hati, berarti agama itu
sendiri tidak rendah hati. Atau, meminjam istilah Pak Alfred North Whitehead,
terdapat kesalahan berpikir yang umum berlaku dalam diskusi-diskusi filsafat
dan teologi yang disebut dengan misplaced concreteness (konsep agama
ditempatkan setara dengan pola orang beragama). Bila kita mau melangkah lebih jauh dengan kesalahan berpikir
ini, mungkin kita harus lebih “berani” lagi dengan mengajak rendah hati untuk
lebih merendahkan hati—semata-mata dengan argumen “Jika rendah hati itu
menganjurkan etika rendah hati, maka rendah hati itu pertama-tama harus
diterapkan pada konsep rendah hati sendiri.” Nah, kalau sudah begini, apa kata
dunia coba? Cara berpikir ini akan membawa kita pada daur yang tidak berujung:
siapakah yang seharusnya merendahkan hati terlebih dahulu dalam usaha
menciptakan rendah hati kolosal ini? Jadi, di paragraf pertama ini saja, Sdr. Ulil telah
menggonta-ganti sudut-pandang argumennya dari ajakan rendah hati pada orang
yang beragama (Islam) menjadi ajakan merendahkan “hati” agama (Islam) itu
sendiri. Bahkan, jika kita anggap ajakan untuk merendahkan hati Islam itu sahih
secara logika, cara berargumen dari sesuatu yang umum diterima (musallam)
berupa sikap rendah hati menuju ajakan “merendahkan hati” Islam itu mengandung
sophistry yang mencolok. Sebenarnya, saat pertama kali membaca paragraf awal itu,
saya tak ingin buru-buru menyimpulkan perubahan sudut-pandang Sdr. Ulil yang
sangat dramatis ini. Tapi, apa mau dikata, saya dikejutkan oleh penegasan
perubahan itu pada paragraf-paragraf selanjutnya. Misalnya, Sdr.Ulil seterusnya
menulis begini, “Banyak hal dalam agama yang jika dibuang sebetulnya tidak
mengganggu sedikitpun watak dasar agama itu. Oleh para pemeluk agama, banyak
ditambahkan hal baru terhadap esensi agama itu, sekedar untuk menjaga aura
agama itu agar tampak “angker” dan menakutkan di mata pemeluknya. Saya akan
mengambil contoh Islam.” Nah, pada paragraf kedua ini, Sdr. Ulil kembali menegaskan
bahwa ajakannya untuk rendah hati itu bukan ditujukan pada pribadi orang yang
beragama atau katakanlah konsep keberagamaan belaka, tapi pada Islam sebagai
konsep keagamaan itu sendiri. Penggantian sudut-pandang semacam ini jelas
merugikan halusnya tutur bahasa Sdr. Ulil di awal paragraf yang ingin mengubah
cara beragama umat menjadi kritik irelevan atas Islam sebagai konsep agama itu
sendiri. Pada bagian 3 rangkaian tulisan ini, saya akan mengambil
satu saja dari doktrin yang menurut Sdr. Ulil perlu diubah demi mewujudkan
Islam yang “rendah hati”– whatever that means! Doktrin itu tak lain ihwal
kemaksuman Nabi. (Bagian Terakhir) Dalam tulisan yang berjudul “Doktrin-doktrin yang Kurang
Perlu dalam Islam”, Sdr. Ulil Absar berpendapat begini, “Menurut saya, doktrin
ini sama sekali tak berkaitan dengan inti dan esensi agama Islam, dan karena
itu kurang perlu. Jika doktrin ini dihilangkan, Islam tidak menjadi kurang
nilainya sebagai sebuah agama. Mengatakan bahwa manusia, apapun namanya (entah
Nabi, Rasul, Imam [dalam Syiah], Paus [dalam Katolik]) sebagai “infallible“,
tidak bisa berbuat salah, jelas tak masuk akal.” Gugatan Sdr. Ulil terhadap doktrin kemaksuman ini ternyata
sama sekali tidak didukung oleh bukti apapun. Padahal, penggugat seharusnya
mengajukan bukti untuk setiap gugatannya. Saya sendiri hanya akan menunjukkan
12 kelemahan gugatan ini, tanpa perlu mengajukan dalil baru sesuai prinsip
necessitas probandi incumbit ei qui agit (keharusan mengajukan bukti berada
pada pihak penggugat). (1) Gugatan ini sebenarnya menunjukkan pesimisme—untuk tidak
menyebut agnotisme—terhadap batas akhir kesempurnaan manusia. Seluruh fakta
ilmiah yang menunjukkan ketidakterbatasan potensi manusia seketika runtuh
dihantam palu godam “manusia pasti bersalah”. Kita tahu bahwa konsekuensi
pernyataan “manusia pasti bersalah” adalah “manusia tak mungkin sempurna”.
Padahal, secara prima facie, ilmu terus mengguyur bukti potensi kesempurnaan
manusia yang tidak terbatas. (2) Segenap fakta ilmiah di atas tidak bisa kita buang
begitu saja lantaran kita tidak pernah menemukan orang sempurna. Siapa kita
gitu lho? Apa kita sudah bertemu seluruh manusia yang pernah hidup di masa lalu
hingga akhir masa? Atau jangan-jangan induksi kita amat sangat terbatas? Atau
mungkin kita tidak punya gambaran tentang kesempurnaan (manusia) yang
definitif? Atau, dan ini lebih gawat, kita sudah terlalu negative thinking
terhadap kemanusiaan hingga tak mampu lagi memberi peluang adanya manusia sempurna
yang tidak bersalah itu? (3) Sampai di sini, secara res ipsa loquitur, gugatan itu
sepertinya justru menunjukkan kelemahan penggugat dalam mengabstraksi konsep
kesempurnaan. Misalnya, begitu ada orang yang menyebut Nabi Muhammad sebagai
manusia sempurna yang tak bersalah, maka daya abstraksinya langsung lumpuh dan
berubah menjadi negatif. Dia puncaknya memproyeksikan kekurangan-kekurangan
dirinya pada Sang Nabi tersebut. (4) Selanjutnya, salah satu alasan yang sering diajukan
penggugat konsep kemaksuman ialah asumsi keliru bahwa ketakbersalahan merupakan
sifat khusus Allah. Tapi, benarkah demikian? Sama sekali tidak! Kesalahan itu
adalah konsep dalam pikiran manusia, lantaran “salah” itu bergantung pada
sesuatu yang lain. Misalnya, saat kita berbicara tentang arah, barulah kita
bisa berbicara tentang “arah yang benar” dan “arah yang salah”. Padahal, di
sisi lain, sifat-sifat Allah jelas tidak bergantung dan mutlak. (5) Nah, dalam konteks manusia, ungkapan “salah” itu bisa
memiliki banyak makna, yang semuanya bergantung pada sesuatu yang lain.
Misalnya, “salah” dalam hubungannya dengan akal, kita sebut “sesat”; “salah”
dalam hubungannya denga moralitas, kita sebut “buruk”; “salah” dalam
hubungannya dengan tubuh, kita sebut “sakit” atau “cacat”; dan demikian
seterusnya. Jadi, “salah” itu adalah istilah yang mesti memiliki relasi dengan
objek lain: salah pikir; salah paham; salah duga; salah kerja; salah tulis;
salah omong; salah obat; salah makan dan sebagainya. (6)Sekarang, coba kita ambil pernyataan “manusia pasti
bersalah” secara apa adanya, lalu kita lihat implikasinya. Jika pernyataan yang
mengandung kepastian itu benar, maka hasil akhirnya adalah seperti ini:
pernyataan itu pasti salah karena manusia yang menyatakannya juga pasti
bersalah! Eh, kok jadi begini ya? (7)Berhadapan dengan dilema di atas, sebenarnya kita punya
alternatif yang melegakan: sebagian manusia pasti tidak bersalah, lantaran
pernyataan “semua manusia pasti bersalah” adalah mutlak salah. Masalahnya
kemudian adalah siapa mereka? Bagaimana kita tahu bahwa mereka tidak mungkin
bersalah? Kedua pertanyaan ini tidak akan saya jawab, mengingat sudah
jelas yang kita maksud di sini adalah para nabi, terutama Nabi Muhammad
dan semua manusia suci lain yang secara ketat berproses mendaki ambang akhir
kesempurnaan. (8) Pertanyaan selanjutnya: Apakah alam ini adalah sistem
yang sempurna? Kalau iya, kita bertanya lagi: Apakah manusia termasuk dalam
sistem yang sempurna itu? Rasanya tidak sulit untuk membuktikan bahwa manusia
adalah sempurna—sesempurna atau lebih sempurna dari ciptaan lain. Bahkan,
secara prima facie, manusia memiliki potensi kesempurnaan yang tak
terbatas. Orang yang menolak fakta ini harus mengajukan bukti,
sementara yang menerimanya hanya cukup duduk santai menunggu. (9)Di sini saya ingin mengambil ilustrasi dari desain sebuah
pesawat. Jika ada pesawat yang bisa terbang sejauh 60.000 kaki di atas
permukaan laut, maka tentu secara logis kita mesti menerima fakta bahwa pesawat
itu minimal bisa terbang. Anggapan bahwa pesawat itu pasti jatuh (error)
sebelum terbang serta merta gugur saat pesawat itu telah kita postulatkan mampu
terbang di atas 60.000 kaki. (10) Dalam konteks manusia, anggapan bahwa “manusia pasti
bersalah” bertentangan dengan seluruh temuan saintifik menyangkut ketakterbatasan
potensi manusia. Jadi, pertanyaan yang benar ialah sebagai berikut: Siapakah
manusia-manusia yang tidak bersalah dan terus melejit mendaki puncak-puncak
kesempurnaan itu? (11) Orang-orang beragama percaya, tentu berdasarkan
bukti-bukti logis-filosofis-teologis, bahwa para nabi dan imam tidak mungkin
bersalah lantaran “tidak bersalah” itu adalah syarat minimal bagi mereka untuk
menjadi nabi dan berhubungan dengan wilayah transenden Ilahi. Tanpa syarat
minimal itu, mereka tidak akan menjadi nabi atau imam. Fungsi kenabian dan
keimaman itu pun gugur. Lebih dari itu, para nabi dan imam adalah model
kesempurnaan manusia. Jika model itu saja sudah pasti error, maka tentu Tuhan
Pencipta manusia ini jauh di bawah kemampuan seorang insinyur atau desainer
yang setidak-tidaknya mampu memproduksi model yang bebas-cacat atau bebas-galat
(error-proof). (12) Terakhir, ini adalah salah satu argumen teologis paling
sederhana: sebagai utusan, nabi sudah sewajarnya mendapat perlindungan khusus
dari Allah. Jika Anda bekerja untuk badan keamanan nasional, maka negara akan
menjamin dengan segenap kekuatannya untuk menjaga dan menyukseskan tugas
Anda. Apapun bentuknya. Nah, bukankah para nabi (dan imam menurut mazhab Syiah)
lebih patut secara logis mendapat perlindungan dari Allah dari segala sesuatu
yang dapat menghalangi pelaksanaan tugas-tugasnya, terutama lantaran
tugas-tugasnya memiliki cakupan yang universal? [musakazhim.wordpress.com] |