Hermeneutika? Santai ajalah…Deprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Banyak cara untuk menyampaikan pesan dan terdapat aneka
ragam bahassa berkomunikasi, bahkan berdiam seribu bahasa sering lebih efektif
untuk mengungkapkan sikap Siti Maryam, ibu Nabi Kita dapat bertanya pada diri kita masing-masing kapan
terakhir kita menangis dan mengapa kita menangis. Mencucurkan air mata bukan
semata monopoli anak kecil atau kaum wanita. Manusia-manusia agung pun
mencucurkan airmata. Dalam sirah (biografi Nabi Muhammad SAW) diriwayatkan
bahwa beliau mencucurkan air mata saat mencium putranya Ibrahim, ketika
menghembuskan nafas yang terakhir. Melihat air mata nabi yang tak terbendung,
Abdurrahman ibn Auf tercengang dan berkata, ”Engkau menangis wahai Rasul”. Nabi
menjawab, ”Ini adalah rahmat Tuhan”, lalu beliau bersabda: "Airmata
berlinang, hati terkoyak-koyak kesedihan, namun kami tidak akan berkata kecuali
yang diredhai Allah. Wahai anakku Ibrahim, sungguh kami sedih atas perpisahan
ini". Nabi Isa as pun menangis. Menurut riwayat Perjanjian Baru
(St. John), Mary dan Martha meminta kedatangan Jesus untuk mengobati saudara
mereka Lazarus yang telah meninggal. Menurut St. John, perasaan Jesus sangat
terganggu dan sedih sambil mencucurkan airmata. Pertama-tama kita harus sadari bahwa menangis adalah
kenyataan biologis, ia berfungsi sebagai sistem pembersih kornea mata. Oleh
karenanya jika air mata mengendap dibalik mata, alat penglihatan akan
terganggu. Binatang pun menangis, tapi mungkin hanya manusia yang mengaitkan airmata
dengan responsi emosial. Ahli-ahli ilmu Jiwa mendeteksi bahwa mereka yang
sering menangis, terutama anak-anak kecil, lebih sempurna keinginannya
ketimbang yang jarang menangis. Manusia adalah makhluk yang peka dan acap
menangis, ia menangisi jika disakiti, ketika ia takut, ia sedih ingin
dikasihani, bahkan apabila bahagia. Masih dalam lingkup menangis, manusia terkadang mengeluarkan
airmata buaya jika hendak mengelabuhi atau menipu. Oleh karenanya kita perlu
memahami bahasa airmata. Bahasa ini terkadang lebih jelas dari bahasa
kata-kata, ia memiliki aturan tertentu yang menghubungkan pemikiran dan emosi
melalui sarana yang sangat canggih. Menangis bersumber spiritual manusia. Namun
sayangnya manusia pada umumnya menggunakan standar ganda dalam menghadapi
budaya tangis. Hanya kaum Hawa yang dinilai wajar menangis, bahkan dalam
kebudayaan tertentu wanita akan diberi tempat layak apabila ia mengucurkan
airmata pada situasi tertentu. Sebaliknya anak lelaki atau pria, rasa hormat
akan diberikan ketika mereka dapat menahan airmata. Bahkan atribut ketegaran
sering diberikan kepada seorang wanita, dikala ia menahan linangan airmata. Kalau saja kita dapat memahami bahasa tangis, pandangan
sepihak atau standar ganda yang selama ini membentuk persepsi kita akan lambat
laun kita tanggalkan. Salah satu cara untuk mengoreksi kekeliruan tersebut
adalah upaya untuk membedakan tipe-tipe tangis yang sangat bervariasi. Variasi Tangis
Airmata dapat melaju karena faktor fisiologis. Mata terkena
debu, aroma bawang atau gas yang mengandung bahan kimia. Airmata juga dapat
keluar saat tingkat hormon tidak seimbang. Adapula airmata yang didorong oleh
kenangan yang mengesankan, yang indah atau yang buruk. Kita hidupkan
kenangan-kenangan tersebut melalui linangan airmata. Lain lagi airmata yang
memberikan rasa lega, yang berfungsi sebagai terapi untuk mengatasi rasa cemas
yang berkepanjangan. Kita pun menangis akibat tangisan orang banyak, misalnya
tangisan saat tangisan saat perkawinan, wisuda atau memasuki masa purnabhakti.
Airmata ini pertanda keakraban hubungan. Airmata juga melambangkan ekspresi rasa kehilangan, terutama
bila yang hilang sangat berarti bagi seseorang. Jangankan manusia, meninggalnya
anjing kesayangan mantan Presiden Amerika, George Bush, sangat membesar pada
hati keluarga Bush, demikian menurut berita CNN. Kematian tanpa cucuran airmata
dianggap anomali. Dalam kebudayaan Yunani, Cina dan Timur Tengah, wanita
bayaran untuk meratapi jenazah masih berlaku sampai sekarang. Pada saat-saat
perpisahan, airmata mengekspresikan rasa penghargaan dan mengundang refleksi,
depresi, frustasi dan putus-asa juga membangkitkan laju airmata yang deras.
Airmata yang keluar saat itu sebagai akibat ketidakberdayaan, sangat menyayat
hati. Ketika itu kita benci melihat tetesan airmata. Dilain pihak, kita sering menangis karena tidak dapat
membendung kebahagiaan. Ungkapan kata sangat terbatas untuk menampung rasa
bahagia yang begitu dahsyat. Kelahiran anak pertama, keberhasilan yang
didambakan. Airmata simpati akibat kesedihan yang ditimpa orang lain sering
juga kita alami. Bahkan terkadang kita sengaja mengeluarkan uang untuk
mengundang air mata tersebut melalui pertunjukan film. Imaginasi kita dapat
membangkitkan rasa haru yang disusul dengan tangisan tersedu-sedu. Ada pula
tangisan yang bersifat manipulatif dengan cara mengundang simpati orang lain,
menunjukkan penyesalan guna meringankan vonis/hukuman. Yang paling pandai
menggunakan tangisan ini adalah anak-anak dan mungkin juga wanita, demikian
Joseph Kottle dalam bukunya The Language of Tears. Agama dan Tangis
Air mata yang tercurah akibat penyesalan atau dosa,
ketakutan akan siksaan Tuhan atau kekhawatiran akan nasib di hati kemudian,
disamping kebahagiaan atas penemuan dan kehampiran kepada Tuhan, kesemuannya
mendapat tempat terpuji dalam perbendaharaan bahasa kitab suci. Dalam literatur
tasawuf, sebelum kata "Sufi" (yang menunjuk kepada kelompok yang
menekankan aspek spritual dalam kehidupannya), populer digunakan, kelompok ini
diberi atribut Al-Bakkauun yang berarti "Penangis atau yang suka
menangis". Kelompok ini yang dipelopori oleh Al-Hasan Al-Bashri, tiap kali
merenungkan ayat-ayat Al-Quran mereka menangis tersedu-sedut. Ketika surga
disebut, mereka mengucurkan airmata sambil berharap dapat memasukinya, dan
ketika siksaan neraka digambarkan mereka pun menangis karena takut terjerumus
kepadanya. Pengalaman spiritual seseorang khususnya di tempat-tempat
suci membangkitkan rasa syahdu, khusyuk sehingga airmata laju tak terbendung.
Umat Yahudi bahkan memiliki Wailing Wall (Dinding Ratap), dimana mereka meratap
sambil memohon ampunan. Demikian halnya umat Kristen ketike melawat ke
Jerusalem, sambil mengenang kehidupan serta perjalanan spiritual Yesus, airmata
yang membasahi pipi terlihat dimana-mana. Tidak ubahnya dengan umat Islam yang
berdiri di Multazam (sisi kanan Hajar Aswad di Ka'bah), dimana mereka meratap
sambil mengenang kehidupan serta perjalanan spiritual Jesus, airmata yang
membasahi pipi terlihat dimana-mana. Tidak ubahnya dengan umat Islam yang
dibarengi cucuran airmata dan tangisan merupakan hal biasa. Belum lagi saat beraudiensi di makam Rasulullah di Madinah
sambil mengucapkan salam dan penghargaan kepada Beliau, suara tangis terdengar
walau dari kejauhan. Hal yang sama dapat dijumpai dihadapan maqam Imam Husein
di Karbala atau Cairo, pengunjung bertangisan mengenang perjuangan beliau
meletakkan keadilan walau harus mengorbankan jiwanya. Sungguh, bahasa airmata secara jelas menyampaikan pesannya,
"Ya Tuhan, aku datang memohon ampunan dan mengharapkan rahmat. Ya Tuhan,
berilah aku kekuatan untuk mengikuti jejak RasulMu". Dalam Al-Qur'an kita jumpai kata-kata menangis, atau cucuran
airmata disebut beberapa kali. Terkadang menggambarkan kesedihan atas kematian
(44:29), atau kekhawatiran atas ancaman Tuhan (53:60). Terekam pula airmata
saudara-saudara Nabi Yusuf AS. saat mengelabuhi ayahnya, Nabi Ya'qub AS.
(12:16). Tangis sedu lagi khusyu' sebagai manifestasi iman dan kehampiran
kepada Allah SWT (17:107 dan 19:58). Disamping itu Al-Qur'an menggambarkan
betapa sebagian umat Kristen mengucurkan airmata saat mendengarkan apa yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Curahan airmata dibarengi dengan kesaksian
terhadap kebenaran wahyu ilahi (5:83). Tergambar pula tangisan suatu kelompok
yang bersedih hati karena harus tertinggal dari suatu peperangan dijalan Allah
(9:92). Mari kita merenung bersama, apa yang menjadikan airmata kita
melaju. Apakah hanya terbatas ketika sedih karena kehilangan, depresi karena
frustasi, atau ketidakberdayaan karena jalan buntu? Masih tertinggalkah tetesan
airmata saat mendengar peringatan Tuhan, atau mengenang perjuangan rasul-rasul
Nya? Semoga demikian. [undzurilaina.blogspot.com] Penulis adalah Professor pada Hartford Seminary,
Connecticut, USA Hermeneutika?
Santai ajalah…
Seperti Anda ketahui, ada makhluk asal Yunani yang sering
kita dengar namanya: Hermeneutika. Hermeneutika konon berasal dari nama Hermes,
dewa dalam mitologi Yunani yang bertugas mengantar dan menafsirkan pesan-pesan
para dewa untuk manusia. Belakangan ini, turunan dewa Hermes itu suka bergentayangan
di lingkungan studi Islam. Dari seminar ke seminar, si Hermeneutika berhasil
menimbulkan kegairahan pada sebagian, dan kegelisahan pada sebagian lain. Saya pun ikut penasaran dibuatnya. Melalui beberapa
literatur yang ada, saya menemukan bahwa si Hermeneutika itu ternyata tidak
sebinal yang dibayangkan oleh sebagian, tapi juga tidak sebahenol yang
digambarkan sebagian lain. Ia ternyata hanyalah sejenis ilmu untuk menafsirkan teks. Dan
yang lebih melegakan lagi, makhluk ini ternyata tidak harus selalu bersanding
dengan teks suci dan hal-hal suci lainnya. Ia juga bisa melayani keingintahuan
manusia pada level yang jauh lebih rendah. Misalnya, saat kita mendengar atau membaca seseorang menyatakan
bahwa “Nabi Muhammad belajar dari kalangan akademis Kristen dan Yahudi”, maka
turunan dewa Hermes ini bisa membantu kita menafsirkan maksud di balik teks
tersebut. Setidaknya empat cara untuk menafsirkan teks seperti ini.
Pertama, menafsirkan kata demi kata mengikuti kaidah-kaidah tatabahasa, lantas
merujukkannya dengan keseluruhan dan sebaliknya sehingga kita menemukan
“lingkaran hermeneutik”. Kedua, melihat individualitas pembicara (speaker) atau
pengarang (author) teks. Ketiga, melihat medium penyampaian teks itu sendiri
(bersandar pada the medium is the message). Dan keempat, situasi dan zaman
penyampaiannya (zeitgeist). Kombinasi keempat cara ini akan memudahkan kita memahami
maksud si pembicara atau pengarang. Karena itu, si Hermeneutika kerap disebut
sebagai dewa penyelamat kesalahpahaman. Banyak di antara kita yang dipengaruhi oleh emosi saat
menafsirkan teks, apalagi saat kita menafsirkan teks yang membincangkan
hal-ihwal yang kita junjung tinggi. Kecuali orang yang sama sekali tak punya penghargaan
terhadap Nabi dan al-Qur’an, kita jelas tidak suka dengan penggunaan kata-kata
tertentu yang dapat merendahkan derajat tinggi keduanya. Nah, seorang pengarang
juga tidak bisa keluar dari pengaruh yang sama saat dia mengarang dan
memproduksi teks. Maksudnya, menurut saya, pengarang mana pun pasti menyadari
adanya sensivitas menyangkut hal-hal yang disucikan. Pada titik ini, sebenarnya ada kesalingpahaman yang
menghubungkan pengarang biasa dengan penafsir (pembaca) biasa. Ada bahasa
terbakukan yang lazim mereka pakai untuk bertukar pesan. Karena itu, saat
pengarang bermaksud menghina, maka dia akan memilih tanda baca, diksi, asumsi,
referensi, medium dan waktu tertentu yang dapat mempertegas maksud
penghinaannya. Dan pada gilirannya, penafsir akan dengan mudah menangkap pesan
yang hendak disampaikan oleh pengarang itu. Memang, boleh jadi pengarang kurang cerdas dalam memproduksi
teks, sehingga dia mengesankan apa yang sebenarnya tidak dia maksudkan.
Demikian pula sebaliknya: penafsir juga bisa gegabah menangkap maksud yang
tidak pernah disampaikan oleh si pengarang. Di sinilah perlu ada pembacaan
ulang, baik oleh si pembaca maupun –terutama- oleh si pengarang. Bagaimanapun, si Hermeneutika tak harus melulu dipakai dalam
soal teks-teks suci. Dia adalah turunan Hermes yang siap membantu Aladin mana
saja untuk membedah teks milik siapa saja. Dan sebaiknya memang Hermeneutika
bermain-main sama kita di sini saja, daripada melanglang buana ke tempat-tempat
nun tinggi di atas sana. Nyok kita Hermeneutika-kan orang-orang yang
meng-Hermeneutika-kan teks-teks suci. Selamat ber-Hermeneutika kembali, di gelombang dan waktu
yang sama. [musakazhim.wordpress.com] |