Teologi Transendental Mulla SadraDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Oleh: Mohammad Adlany
Dalam sejarah peradaban Yunani, tercatat bahwa pengkajian
dan kontemplasi tentang eksistensi Tuhan menempati tempat yang khusus dalam
bidang pemikiran filsafat. Contoh yang paling nyata dari usaha kajian filosofis
tentang eksistensi Tuhan dapat dilihat bagaimana filosof Aristoteles
menggunakan gerak-gerak yang nampak di alam dalam membuktikan adanya
penggerak yang tak terlihat (baca: Tuhan). Tradisi argumentasi filosofis tentang eksistensi Tuhan, sifat
dan perbuatan-Nya ini kemudian secara berangsur-angsur masuk dan berpengaruh ke
dalam dunia keimanan Islam. Tapi tradisi ini, mewujudkan semangat baru di bawah
pengaruh doktrin-doktrin suci Islam dan kemudian secara spektakuler melahirkan
filosof-filosof seperti Al Farabi dan Ibnu Sina, dan secara riil, tradisi ini
juga mempengaruhi warna pemikiran teologi dan tasawuf (irfan) dalam penafsiran
Islam. Perkara tentang Tuhan secara mendasar merupakan subyek
permasalahan filsafat. Ketika kita membahas tentang hakikat alam maka
sesungguhnya kita pun membahas tentang eksistensi Tuhan. Secara hakiki, wujud
Tuhan tak terpisahkan dari eksistensi alam, begitu pula sebaliknya, wujud alam
mustahil terpisah dari keberadaan Tuhan. Filsafat tidak mengkaji suatu realitas
yang dibatasi oleh ruang dan waktu atau salah satu faktor dari ribuan faktor
yang berpengaruh atas alam. Pencarian kita tentang Tuhan dalam koridor filsafat
bukan seperti penelitian terhadap satu fenomena khusus yang dipengaruhi oleh
faktor tertentu. Menempatkan Tuhan sejajar dengan salah satu sebab dan faktor
alami sama dengan memposisikan Dia setara dengan komunitas wujud-wujud di alam
atau makhluk-Nya; ini berarti bahwa Dia itu bukan Tuhan, bahkan sebagai salah
satu makhluk dari makhluk-makhluk-Nya. Ungkapan lain yang senada dengan ini
adalah memandang alam ini adalah realitas terbatas yang dibatasi oleh ruang dan
waktu dan kemudian menempatkan Tuhan di awal atau di akhir ruang yang membatasi
alam ini atau memposisikan-Nya di awal waktu terwujudnya alam. Semuanya ini,
merupakan gambaran yang sangat awam tentang Tuhan. Persepsi yang keliru ini
menyebabkan perkara-perkara tentang ketuhanan terpaparkan jauh dari hakikat
kebenaran dan untuk selamanya kita tak sanggup mencari jalan
keluarnya. Tuhan yang hakiki adalah Tuhan yang disampaikan oleh para
Nabi dan Rasul serta yang dicerap secara benar oleh filosof-filosof Ilahi;
Tuhan hakiki itu bukan di langit dan di bumi, bukan di atas langit, bukan di
alam, tetapi Dia meliputi semua tempat dan segala realitas wujud. Perspektif Teologis Mulla Sadra
Mulla Sadra, dalam tulisan-tulisan filsafatnya, merumuskan
berbagai argumen-argumen yang berbeda dalam menegaskan wujud Tuhan. Argumennya
yang terkenal adalah burhan shiddiqin, inti argumen ini adalah menempatkan
semua realitas wujud (baca: makhluk) secara mutlak bergantung kepada Tuhan,
semua realitas di alam sebagai hubungan dan kebergantungan kepada-Nya itu
sendiri dan sama sekali tak memiliki wujud yang mandiri dan bebas. Dalam hal
ini, berbeda dengan wujud Tuhan yang mandiri dan tak bergantung kepada wujud
lain. Burhan shiddiqin yang dibangun oleh Mulla Sadra berpijak
pada prinsip-prinsip metafisika yang sangat dalam. Sebenarnya apa yang
dibuktikan oleh Mulla Sadra dalam argumen tersebut bukan menegaskan bahwa Tuhan
itu berwujud, tetapi menegaskan persepsi yang benar bahwa secara hakiki Tuhan
sebagai satu-satunya wujud yang mengadakan segala makhluk dan menghadirkan
semua maujud, Dia meliputi segala sesuatu, Tuhanlah satu-satunya wujud yang
hakiki dan setiap realitas selain-Nya merupakan manifestasi dan tajalli
wujud-Nya. Gambaran Mulla Sadra tentang Tuhan yang sangat dalam ini
beserta argumen shiddiqinnya merupakan hasil dari perjalanan panjang peradaban
makrifat Ilahi manusia dan evolusi pemikiran filosofis dalam dunia Islam.
Puncak kulminasi pemikiran filsafat ini, secara sempurna mempertemukan tiga
unsur, yakni wahyu sebagai teks suci Tuhan, pemikiran filsafat, dan teologi
(ilmu kalam). Dalam mazhab pemikiran Mulla Sadra, wujud makhluk, jika
dibandingkan dengan wujud Tuhan bukanlah wujud yang hakiki. Makhluk disebut
sebagai bayangan, citra dan manifestasi. Makhluk ini secara hakiki tak
menampakkan dirinya sendiri tapi menampakkan Tuhan. Makhluk adalah citra Tuhan,
bayangan Tuhan dan manifestasi Tuhan. Makhluk bukanlah sesuatu wujud
mandiri dimana dengan perantaraannya Tuhan tercitrai dan
terbayangkan, tetapi dia adalah citra dan tajalli Tuhan itu sendiri. Dalam aliran filsafat, secara umum dikatakan bahwa wujud
terbagi atas dua yaitu wujud Tuhan dan wujud makhluk, dengan perbedaan bahwa
wujud Tuhan meniscaya dengan sendirinya (swa-wujud), tak terbatas, azali dan
abadi, dan sementara wujud makhluk bergantung kepada-Nya, terbatas dan baru
tercipta (hadits). Cara penjabaran seperti ini, juga digunakan oleh Mulla Sadra
di awal pembahasannya tentang wujud, tapi secara perlahan-lahan dan sistimatis
- setelah kajiannya tentang prinsip kausalitas, wujud hubungan, kebergantungan
hakiki wujud kuiditas dan kehakikian wujud – dia kemudian mewarnai
kajian-kajian filosofisnya dengan warna yang berbeda dari filsafat umum dan
mengubah pandangannya secara ekstrim tentang hubungan Tuhan dan selain-Nya. Konstruksi argumen Mulla Sadra tentang Tuhan berbeda dengan
konstruksi yang dibangun oleh Ibnu Sina Dan Al-Farabi. Dalam pemikiran
Al-Farabi, wujud "awal" dan "esa" adalah Wâjib al-Wujud.
Oleh karena itu, Dia tak membutuhkan yang lain dalam perwujudan dan keabadian-Nya.
Dia adalah Sebab Pertama untuk semua realitas wujud, Dia sempurna, tak
bergantung, abadi, bukan materi dan tak mengalami perubahan. Tuhan juga secara
esensial memiliki ilmu dan mengetahui segala realitas yang terjadi di alam. Tak
satupun yang menyamai dan menyerupai-Nya. Al-Farabi untuk pertama kalinya dalam sejarah filsafat,
membagi secara rasional wujud-wujud kontingen ke dalam dua bagian yaitu wujud
dan kuiditas, dan kuiditas itu dibagi lagi menjadi sepuluh kategori dari
substansi dan aksiden. Pembagian ini, berefek pada terpecahkannya banyak
masalah yang prinsipil dalam filsafat Islam, dan karya ini kita tidak saksikan
dalam filsafat Yunani. Pengaruh universal dari pemikiran Al-Farabi tersebut
adalah munculnya pengertian baru dalam konsep hakikat dan hubungan sebab-akibat.
Sebagaimana Al-Farabi berkata, "hakikat adalah Tuhan", dan makna lain
tentang wujud dalam tulisan-tulisannya berpijak pada makna tersebut. Ketika dia
menyatakan bahwa "hakikat" itu adalah kesesuaian ilmu dengan "
realitas sesuatu", maka pandangannya adalah bahwa segala realitas yang
berwujud di alam secara hakiki hadir dalam ilmu Tuhan dan apa yang ada di sisi
Tuhan termanifestasikan dalam batasan-batasannya.Tuhan yang diyakini Al-Farabi
sebagai seorang muslim sama dengan Tuhan digambarankannya sebagai seorang
filosof, Tuhan sebagai "Sebab Tertinggi" untuk semua realitas
eksistensi, "Sebab" seperti itu sama dengan konsep
"Tunggal"nya Plato atau "Akal Ilahi"nya Aristoteles. Selain
itu, dia juga menganggap Tuhan sebagai Pencipta alam dan Sebab Pengada segala
realitas. Dalam hal ini, pandangan dia tak sama dengan Plato dan Aristoteles,
karena Plato berpendapat bahwa Tuhan menciptakan segala sesuatu berdasarkan
"alam ide" ('âlam mutsul)(1), dan berlainan pula dengan Aristoteles
yang memperkenalkan Tuhan sebagai "Tujuan Akhir" alam dan segala
realitas wujud. Dalam pandangan Plato, Tuhan tidak mewujudkan makhluk dari
"alam ketiadaan". Aristoteles beranggapan bahwa Tuhan bukan Pencipta
alam dan Sebab Pengada segala realitas. Kaum muslimin secara umum mempersepsikan Tuhan sebagai:
"Sesuatu yang mencipta alam ini", mereka memperkenalkan Tuhan sebagai
Pencipta dan terkadang juga sebagai Pengatur dan Yang disembah. Filosof Islam,
dengan memperhatikan fenomena lahirnya persepsi tentang Tuhan yang bersumber
dari perbuatan-Nya dan realitas prilaku makhluk-Nya yang terjadi di tengah
masyarakat teisme, berusaha mengaplikasikan satu istilah yang terbias langsung
dari wujud suci Tuhan dan mewakili persepsi secara universal tentang-Nya,
istilah ini tanpa mesti berasal dari perbuatan-perbuatan Tuhan dan makhluk-Nya,
istilah yang digunakan para filosof tersebut adalah Wâjib al-Wujud (baca:
Tuhan) yang berarti bahwa sesuatu yang niscaya berwujud dan mustahil tiada.
Dari sini, menjadi jelaslah bahwa Tuhan Yang Maha Pencipta adalah Tuhan para
Nabi dan Rasul secara aktual, tetapi Tuhan mereka bukanlah Tuhan yang hanya
sebagai Pencipta, Tuhan mereka adalah Tuhan yang jika berkehendak Dia bisa
mencipta, Tuhan dengan kriteria seperti ini meniscayakan Maha Kaya, sempurna,
tak terbatas dan tak bergantung kepada yang lain. Al-Farabi dan Ibnu Sina yang merumuskan perbedaan metafisik
antara kuiditas dan wujud ke dalam filsafat Islam, menjadikan filsafat ini
berbeda secara mendasar dengan kontruksi filsafat Aristoteles. Al-Farabi menegaskan
bahwa "keberwujudan" merupakan keniscayaan dari hakikat wujud dan
kuiditas sebagai sesuatu yang "tercipta" tak memiliki wujud hakiki
dan hanya sebagai bayangan wujud. Persepsi kuiditas - yang bersifat universal
itu dan bisa terterapkan pada individu-individu yang berbeda – mustahil
terwujud dan mengaktual secara hakiki. Oleh karena itu, tolok ukur "keberwujudan"
mustahil didapatkan dari kuiditas-kuiditas yang digandengkan bersama, bahkan
kuiditas yang nampak di alam luar tersebut secara esensial mustahil terterapkan
pada individu yang lain, satu kuiditas secara esensial hanya terterapkan bagi
dirinya sendiri. Maka dari itu, hanya wujud yang secara esensial terwujud
(tercipta) dan setiap kuiditas partikular yang tercipta itu karena
"berpijak" kepada wujud. Tanpa "keberpijakan" ini kuiditas
mustahil tercipta. Gagasan besar Al-Farabi ini tercatat dalam sejarah filsafat
karena secara prinsipil mengubah substansi kajian-kajian filsafat dan cara
pandang kaum filosof. Sebelum lahirnya gagasan ini, kajian filsafat dalam
mengenal hakikat realitas wujud didasarkan pada pengenalan kuiditas, kuiditas
sebagai tema sentral dan penting dalam observasi filsafat. Sekarang ini, para
filosof menjadikan wujud sebagai prinsip dasar dalam menggali dan mengenal
hakikat realitas. Semua pengkajian filsafat diawali pembahasan wujud dan
ontologi. Berdasarkan gagasan tersebut, jelaslah bahwa terdapat
perbedaan yang substansial antara filsafat Aristoteles dengan filsafat Islam,
karena alam dalam pemikiran Aristoteles bersifat abadi dan azali, Tuhan tidak
menciptakan alam kita ini. Alam dalam ide-nya adalah suatu alam yang berwujud
secara aktual dan mustahil menjadi tiada. Argumentasi Al-Farabi dalam menegaskan wujud Tuhan dikatakan
argumen imkan dan wujud, burhan ini berpijak pada perbedaan antara Wajibul
Wujud dan wujud kontingen (mumkinul wujud, makhluk). Dalam argumen tersebut,
secara mendasar dan hakiki mengakui adanya realitas wujud-wujud kontingen dan
kemudian, berdasarkan watak kebergantungan wujud-wujud kontingen secara esensial,
maka terbuktilah "Wajibul Wujud" atau Wâjib al-Wujud. Lebih lanjut
dia berkata bahwa segala sesuatu yang berpisah antara wujud dan kuiditasnya,
maka dia mustahil menjadi wujud yang mandiri, karenanya dia pasti memperoleh
wujudnya dari yang lain, mata rantai "pemberi wujud" ini harus
berujung pada "Pemberi Wujud" yang hakiki dimana wujud-Nya menyatu
dengan "kuiditas" dan tak ada lagi pemisahan antara keduanya.
Kuiditas adalah wujud-Nya sendiri. Argumentasi Al-Farabi tentang penegasan
eksistensi Tuhan, disamping menegaskan keniscayaan dan keaktualitasan murni
wujud Tuhan juga membuktikan bahwa Tuhan sebagai Sebab Hakiki perwujudan semua
makhluk dari "alam ketiadaan" atau hadits(2) (lawan dari qadim,
azali). Kesimpulan lain yang dapat ditarik dari argumentasi
Al-Farabi di atas adalah alam, dalam semua realitas wujudnya, secara esensial
bergantung kepada Tuhan dan jika Tuhan sedetik saja tak "memancarkan"
wujud kepadanya maka alam niscaya tiada. Jadi, wujud kontingen
"sebelum" dan "sesudah" penciptaan secara mutlak butuh
kepada Tuhan. Alam ini dalam huduts dan "keabadian" wujudnya
bergantung kepada Tuhan. Ibnu Sina menyebut salah satu argumennya dengan nama burhan
shiddiqin, ini secara terperinci dimuat dalam kitabnya yang bernama al-Isyarat
wa al- Tanbihat(3). Penamaan argumen ini dengan nama shiddiqin karena berlatar
pada keagungan dan kekuatannya dalam penegasan dan pembuktian wujud Tuhan. Ibnu
Sina, dalam argumentasinya, berusaha memaparkan secara rasional penegasan wujud
Tuhan tanpa menggunakan perantaraan wujud kontingen dan makhluk. Oleh karena
itu, dia mengagungkan burhan ini atas argumen lainnya. Bentuk penguraian
filosofis yang dilakukannya itu, tak dilakukan oleh para filosof sebelumnya.
Dia pantas bangga dan terharu atas anugrah Tuhan padanya. Burhan ini, diterima
oleh banyak filosof dan teolog setelahnya, dan mereka bahkan menjabarkan burhan
tersebut dalam tulisan-tulisan mereka dan terkadang hanya mencukupkan argumen
itu dalam pembuktian wujud-Nya. Ini juga merupakan bukti nyata keagungan dan
kekuatan burhan tersebut. Setelah Ibnu Sina, burhan tersebut muncul dalam bentuk yang
beraneka ragam dan dalam mazhab filsafat Mulla Sadra, dengan perantaraan
filosof Mulla Hadi Sabzewari hingga Allamah Thabathabai, burhan ini
termanifestasikan dalam suatu konstruksi yang semakin efektif dan efisien dalam
penegasan eksistensi Tuhan. Tak ada keraguan bahwa burhan shiddiqin ini bukan merupakan
warisan dari filsafat Yunani, dia sebagai karya otentik filosof muslim dan
sekaligus kebanggaan bersejarah dari evolusi rasionalitas filsafat Islam. Tak
bisa dibayangkan, kalau filosof seperti Plato dan Aristoteles memiliki gagasan
bahwa Tuhan adalah wujud itu sendiri lantas mengkonstruksi bentuk burhan
seperti itu. Berbeda dengan filosof agung Ibnu Sina yang menggagas bahwa Tuhan
adalah wujud itu sendiri dan mustahil realitas selain-Nya memiliki esensi
tersebut. Burhan ini secara langsung, tanpa perantara realitas selain-Nya,
menegaskan wujud Tuhan, ini tidak sebagaimana kaum teolog membuktikan Tuhan
dari sisi ke-huduts-an makhluk dan juga tidak seperti Aristoteles menetapkan
Tuhan dari dimensi gerak alam. Burhan shiddiqin versi Ibnu Sina ini, berpijak pada prinsip
kehakikian realitas wujud yang merupakan lawan dari penolakan mutlak atas
kehakikian eksistensi. Setelah kita yakin pada kehakikian wujud eksternal, maka
kita lanjut pada pembagian logis bahwa eksistensi eksternal itu hanya terbagi
ke dalam dua bagian yaitu Wajibul Wujud atau wujud kontingen, kemudian kita
letakkan kebutuhan esensial wujud kontingen kepada sebab pengada itu sebagai
alur utama argumen, dengan bersandar pada kemustahilan daur dan tasalsul,
disimpulkan bahwa wujud kontingen mutlak bergantung pada Wajibul Wujud. Yang
harus diperhatikan dalam burhan tersebut adalah tak ada keharusan menerima
realitas wujud kontingen, karena kalaupun wujud kontingen itu tiada maka yang
ada "alam luar" niscaya Wajibul Wujud, jadi jangan dipahami bahwa
wujud kontingen itu sebagai perantara dalam argumentasi tersebut. Karena yang
bisa kita saksikan di luar adalah wujud kontingen, maka burhan berawal darinya,
tapi kalau kita bisa "saksikan" secara langsung dan hudhuri maka
wujud Tuhan otomatis terbukti dengan sendirinya. Dia adalah swa-bukti
sebagaimana Dia juga swa-ada. Ibnu Sina, dalam pasal keempat kitab al-Isyarat wa at-Tanbihat
setelah menjelaskan burhan ini dalam menegaskan wujud Tuhan dan burhan-burhan
lain yang bersandar pada silogisme burhan tersebut dalam membuktikan keesaan
dan sifat-sifat Tuhan, berkata, "Saksikanlah bagaimana argumen kami
tentang penegasan Wujud Pertama dan ketunggalan-Nya yang tak membutuhkan selain
wujud itu sendiri dan bagaimana penjabaran kami tak lagi berpijak pada
perbuatan-Nya dan makhluk. Walaupun semuanya itu adalah dalil atas
keberadaan-Nya, tetapi metode tersebut (baca: burhan shiddiqin) lebih kuat dan
lebih sempurna karena pijakannya pada realitas wujud itu sendiri, kesimpulannya
adalah kesaksian atas Wajibul Wujud dan kesaksian bahwa wujud-Nya terletak
sebelum realitas wujud-wujud lainnya. Kandungan burhan tersebut sesuai dengan
ayat al-Quran yang berbunyi, "Segera akan tampak tanda-tanda kami di alam
dan jiwa-jiwa mereka hingga menjadi jelaslah kebenaran bagi mereka". Saya
berkata, "kandungan ayat ini untuk kaum tertentu". Dan setelah itu
Tuhan berfirman, "Apakah tak cukup dengan Tuhanmu bahwa sesungguhnya Dia
saksi atas segala sesuatu". Saya berkata, "kandungan ayat ini untuk
shiddiqin dimana mereka menjadikan wujud Tuhan itu sendiri sebagai saksi
atas-Nya dan bukan segala realitas wujud bersaksi atas wujud Tuhan, Dialah saksi
atas segala realitas bukan sebaliknya." Nampak dalam argumentasi Ibnu Sina di atas bahwa burhan
tersebut mengantarkan kita pada satu kesimpulan yang pasti tentang eksistensi
Tuhan tanpa menggunakan makhluk sebagai perantara dan murni menggunakan
perhitungan rasionalitas dalam penegasan-Nya. Negasi wujud Tuhan merupakan hal
yang tak terbayangkan, karena Ibnu Sina dan sebagaian filosof muslim
berpandangan bahwa Tuhan adalah wujud itu sendiri. Kaum ateis yang tak mampu
secara rasional menegaskan wujud Tuhan pada akhirnya hanya berpikir tentang
kemungkinan ketiadaan-Nya dan menolak eksistensi-Nya. Dengan burhan tersebut, Ibnu Sina membuka bab baru tentang
pembuktian wujud Tuhan dalam filsafat Islam dan sekaligus membuka peluang
munculnya teori yang mendasar dalam pembahasan tentang Tuhan dalam teologi
Kristen setelah Thomas Aquinas. Ibnu Sina dalam burhan tersebut menggunakan
satu cara yang disebut dengan "kemestian rasionalitas"
menetapkan wujud Tuhan dan juga tentang ilmu Tuhan yang mendahului dan
meliputi segala realitas, burhan itu juga menegaskan bahwa semua realitas alam
secara esensial bersifat mungkin berwujud dan karena wujud Tuhan dia bersifat
mesti berwujud. Dari sudut pandang metafisika, gagasan inti Ibnu Sina itu
adalah mencoba menyempurnakan pendapat Aristoteles yang mendasarkan bahwa
setiap realitas wujud terbentuk dari dua bagian yaitu materi (al-mâdda) dan
forma (al-shurah). Ibnu Sina yakin bahwa mustahil terwujudnya realitas luar
hanya didasarkan oleh salah satu dari materi dan forma. Dalam kitabnya al-Syifa(4)
dia juga menganalisa hubungan antara materi dan forma, yang akhirnya
berkesimpulan bahwa materi dan forma berhubungan dan bergantung kepada akal
fa'âl (active intellect)(5). Lebih lanjut dia berkata bahwa wujud gabungan (composite
existence) tak terwujud hanya dengan perantaraan materi dan forma, tetapi harus
dipengaruhi juga oleh "sesuatu yang lain". Dia berkata, "Segala
sesuatu yang tunggal (tak bercampur) berwujud, maka wujudnya terambil dari
sesuatu yang lain dan secara esensial "meminta" ketiadaan.
Bukan Cuma wujud tunggal itu, yang hanya materi atau hanya forma, yang
"meminta" ketiadaan, tetapi keseluruhan wujud sesuatu (yaitu gabungan
materi dan forma)". Walaupun di beberapa tempat Ibnu Sina membahas bahwa
materi sebagai "sumber" kejamakan forma atau kuiditas, tetapi dia tak
menyatakan bahwa materi dan forma merupakan sumber terwujudnya sebuah realitas
eksternal. Dalam pandangannya, Tuhan merupakan satu-satunya sumber lahirnya
segala realitas wujud di alam. Rumusan burhan dan argumen Mulla Sadra dalam penegasan wujud
Tuhan berbeda dengan burhan Al-Farabi dan Ibnu Sina. Mulla Sadra juga
mengkritik burhan milik Ibnu Sina dan menganggapnya bahwa burhan tersebut tak
tergolong sebagai burhan shiddiqin(6). Menurut Mulla Sadra, walaupun dalam burhan
tersebut tak meletakkan wujud makhluk sebagai perantara, tetapi sebagaimana
para teolog dan ilmuwan alam, menggunakan kebergantungan (al-imkan) yang
merupakan watak asli kuiditas sebagai perantara dalam burhan tersebut. Mulla Sadra yang berbeda dengan Ibnu Sina, ketika mengkaji
perbedaan antara Tuhan dan realitas alam dan kemudian menyebut Tuhan sebagai
Wajibul Wujud (necessary existence) dan selain-Nya sebagai wujud mumkin
(contingent existence), maksud dari "Wajibul Wujud" adalah wujud
murni atau tak berangkap (bercampur) dimana memiliki intensitas wujud yang tak
terbatas, dan maksud dari wujud mumkin adalah "wujud" hubungan atau
bergantung dimana dalam "perwujudan" dan kesempurnaan
"wujud"nya bergantung secara mutlak kepada Wajibul
Wujud(7). Mulla Sadra, dalam burhannya, pertama-tama menegaskan
hakikat wujud (baca: Wajibul Wujud) dan setelah itu, membuktikan wujud
kontingen. Dengan demikian Wajibul Wujud sebagai perantara untuk membuktikan
wujud kontingen, dalam pandangannya wujud kontingen itu bukan wujud kedua
setelah Wajibul Wujud tapi merupakan manifestasi, citra dan tajalli Wajibul
Wujud. Jadi, "wujud" kontingen tidak berada dalam satu tingkatan
dengan Wajibul Wujud, tapi Dia meliputi "wujud" kontingen secara
hakiki. Dalam burhan shiddiqin Mulla Sadra hanya berbicara tentang
wujud hakiki dan wujud eksternal, dan perbedaan antara wujud-wujud eksternal
tersebut pada dataran intensitasnya yang bersifat berjenjang dan bertingkat;
sementara dalam burhannya Ibnu Sina berangkat dari persepsi wujud dimana wujud
dibagi atas dua bagian yaitu Wajibul Wujud dan wujud kontingen, wujud kontingen
terbentuk dari wujud dan kuiditas sementara Wajibul Wujud adalah murni wujud
dan suci dari kuiditas. Secara umum, diantara para filosof muslim dalam penegasan
wujud Tuhan, terdapat dua aliran pemikiran: Pertama, aliran pemikiran semisal Ibnu
Sina;
Kedua, aliran pemikiran seperti Mulla Sadra. Aliran pemikiran Ibnu sina, langkah pertama burhan mereka
adalah membagi dua wujud eksternal tersebut menjadi Wajibul Wujud dan wujud
kontingen, dan langkah kedua argumen ini adalah menetapkan bahwa wujud
kontingen mustahil terwujud, dengan berpijak pada kemustahilan daur dan
tasalsul, tanpa Wajibul Wujud. Dalam aliran pemikiran Mulla Sadra, sistimatika burhannya
pertama-tama dimulai dari penegasan tentang realitas wujud eksternal dan
pengkajian atas kehakikian kuiditas atau wujud. Dia mengecam kaum yang ragu
atas realitas eksistensi, langkah yang dilakukan oleh filosof eksistensialis
ini yang kemudian membedakannya dengan kelompok Sophis. Dalam pahamannya,
realitas wujud eksternal itu hanya satu yang hakiki dan lainnya bersifat
majasi. Langkah berikutnya, dia menegaskan bahwa yang hakiki itu
adalah wujud dan kuiditas bersifat majasi. Langkah ketiga adalah menetapkan
bahwa hakikat wujud hanya satu dan tak lebih, kejamakan dan pluralitas hanya
terpancar pada dataran manifestasi wujud. Langkah keempat, hakikat wujud yang
bersifat hakiki dan tunggal adalah Wajibul Wujud dan bukan milik
"wujud" kontingen; karena kalau milik "wujud" kontingen
maka dia harus bergantung kepada selainnya, sementara tiada yang lain selain
hakikat wujud dimana hakikat wujud itu bergantung kepadanya. Dengan demikian,
hakikat wujud identik dan setara dengan Wajibul Wujud yang mustahil meniada. Di
sisi lain, kita melihat bahwa realitas alam senantiasa mengalami perubahan dan
akan punah, maka dari itu kita menghukumi bahwa realitas alam ini bukan hakikat
wujud, tapi bayangan dan citra wujud. Mulla Sadra dalam kitab Masyâ'ir juga meletakkan hakikat
wujud tersebut sebagai inti argumentasinya dan bukan persepsi wujud. Dalam
uraiannya dia berkata, "Tuhan memiliki intensitas wujud tak terbatas dan
keterbatasan itu adalah kemestian dari manifestasi-Nya"(8). Dari alur
pemikiran ini, terlontar pertanyaan bahwa kenapa Wajibul Wujud senantiasa
menjadi Wajibul Wujud dan mengapa Sebab Pertama terus menjadi Sebab Pertama,
jawabannya adalah karena hakikat wujud itu merupakan satu-satunya hakikat untuk
realitas alam, hakikat wujud secara esensial adalah ketakbergantungan kepada
yang lain, keniscayaan itu sendiri, awal dan akhir itu sendiri, dan sebab dan
sumber segala keberadaan. Jadi, pertanyaan tentang-Nya yang zat-Nya merupakan Sebab
Pertama itu sendiri, sama sekali tak berdasar. Oleh karena itu, menurut aliran
pemikiran Mulla Sadra, pertanyaan yang muncul dalam benak kita tak semestinya
berbentuk, "kenapa Sebab Pertama terus sebagai Sebab Pertama"? tetapi
berbunyi, "kenapa sesuatu yang bukan sebagai sebab pertama adalah akibat
dan tak sempurna, dan akibat itu senantiasa terbatas, hadir terbelakang dan
bergantung"? Jawabannya,karena kesempurnaan, keaktualan, ketakbergantungan
dan ketakterbatasan merupakan konsekuensi dari hakikat wujud tersebut,
sedangkan manifestasi dan tajalli konsekuensinya adalah kekurangan,
keterbatasan dan kebutuhan, semuanya sifat ini identik dengan ke-akibat-an. Gagasan Tentang Tuhan Berdasarkan alur pemikiran di atas, gagasan Mulla Sadra
tentang Tuhan berbeda dengan gagasan ke-Tuhan-an yang dimiliki oleh Al-Farabi
dan Ibnu Sina. Gagasan mereka atas Tuhan berpijak pada persepsi tentang
"keniscayaan wujud" dan menurut mereka juga memperkenalkan Tuhan tak
cukup dengan mematok pengertian tentang ke-qadim-an dan tolok ukur ketakbutuhan
dan kesempurnaan esensial Tuhan. Dalam pandangan mereka perbedaan antara
Wajibul Wujud dan wujud kontingen adalah bahwa wujud kontingen terangkap dan
tersusun dari kuiditas dan wujud, sementara Wajibul Wujud merupakan wujud murni
dan tak tersusun dari kuiditas. Karena wujud itu sendiri berada pada tingkatan
esensi Tuhan dan bukan bersifat tambahan pada esensi-Nya, maka zat-Nya pada
tingkatan tersebut tak terpisah dari wujud sehingga mesti butuh pada wujud
tersebut. Mulla Sadra berpendapat bahwa ketakbutuhan dan kesempurnaan esensi
Tuhan tak cukup dengan menegaskan ke-qadim-an dan kemanunggalan esensi
Tuhan dan wujud. Dalam pandangannya, teori bahwa Tuhan yang merupakan wujud
murni dan basith bukan dalil atas keniscayaan dan ketakbutuhan mutlak Tuhan,
teori ini tak lain menegaskan bahwa maujud yang terasumsi(9) merupakan maujud
hakiki dan bukan maujud majasi. Syarat keniscayaan suatu wujud adalah
kehakikian dan ketakbutuhan kepada sebab. Jadi, pengenalan sempurna tentang
esensi Tuhan harus mengikut sertakan kedua syarat keniscayaan tersebut. Dalam sistem metafisika hikmah muta'aliyah, dengan berpijak
pada teori kehakikian wujud dan prinsipalitas wujud (al-ashâlah al-wujud),
wujud Tuhan ditegaskan sebagai wujud berintensitas tinggi yang tak terbatas dan
makhluk merupakan sesuatu wujud yang berintensitas rendah, membutuhkan dan
mustahil menjadi sebab kehadiran bagi dirinya sendiri, oleh karena itu dia
harus bergantug kepada Wujud Mutlak (Tuhan). Keberadaan hakiki hanya milik Tuhan. Wujud Tuhan tak
terbatas dan memiliki kemandirian secara esensi. Kemandirian Tuhan dalam
dimensi zat dan sifat-Nya, ini berarti bahwa Dia tak bergantung kepada realitas
lain, Dia tak tercipta dari realitas lain dan tak satupun selain-Nya yang dapat
membinasakan-Nya. Hanya Tuhan yang berwujud, Maha Kaya, Sempurna dan tak
terbatas. Wujud-Nya tak bersyarat dan Dia merupakan syarat mutlak bagi
terwujudnya realitas lain. Dengan demikian, simplisitas (al-besâthat) memiliki pengertian
yang mendalam terhadap wujud Tuhan dimana mustahil menegasikan salah satu
kesempurnaan yang mesti dimiliki-Nya. Mulla Sadra beranggapan bahwa Tuhan
secara mutlak memiliki kesempurnaan dan juga zat-Nya menyatu secara hakiki
dengan sifat-Nya. Perbedaan Tuhan dan makhluk tak dipahami sebagai dua
realitas yang memiliki batasan dan garis pemisah tapi perbedaan keduanya
terletak pada kesempurnaan Tuhan dan kekurangan makhluk, kekuatan-Nya dan
kelemahannya. Maka dari itu, perbedan antara keduanya bukan perbedaan yang
saling berhadap-hadapan tapi perbedaan yang bersifat "mencakupi" dan
"meliputi". Dengan ungkapan lain, segala wujud-wujud selain-Nya
merupakan suatu rangkaian gradasi dari menifestasi cahaya zat dan sifat-Nya dan
bukan sebagai realitas-realitas yang mandiri dan berpisah secara hakiki dari
wujud-Nya. Kesatuan wujud dan maujud secara menyeluruh dan hakiki dalam
realitas kemajemukan keduanya. Menurut Mulla Sadra, pemahaman tauhid seperti
itu adalah tingkatan tertinggi dari tauhid yang dimiliki oleh para monoteis
sejati dari kaum urafa dan para filosof muta'aliyah. Kesatuan Wujud Kesatuan Tuhan bukan kesatuan yang bersifat bilangan
matematis. Gagasan ini merupakan pemikiran cemerlang dari filsafat Islam yang
tidak dimiliki oleh mazhab filsafat manapun. Teori cemerlang itu tak lepas dari
pengaruh timbal balik antara doktrin-doktrin ajaran suci Islam dan kajian
kontemplatif filsafat Islam. Mulla Sadra berpendapat bahwa Tuhan
merupakan kesatuan hakiki. Persepsi ini sebagai azas yang paling mendasar dalam
hikmah muta'aliyah dan juga dasar pijakan pemikiran filsafat pasca Mulla Sadra. Gagasan tersebut kita tidak temukan dalam pemikiran filosof
Islam sebelum Mulla Sadra seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina. Para filosof yang
memasukkan gagasan tersebut dalam filsafatnya lantas menamakan kesatuan itu
sebagai al-hakkah al-hakikiyyah, dan dalam tasawuf (irfan) kesatuan itu disebut
al-wahdah al-wujud (kesatuan wujud). Kesatuan ini berarti bahwa Tuhan merupakan
wujud mutlak dan mutlak wujud-Nya. Kesatuan Tuhan bukanlah bersifat bilangan. Dia adalah Yang
Pertama, ini bukan berarti bahwa ada Yang Kedua setelah-Nya. Bilangan merupakan
kerakteristik alam materi. Bilangan merupakan "kuantitas terpisah"
(kam al-munfashil) dari golongan aksiden, dan aksiden itu termasuk dalam
kategori kuiditas (al-mahiyah). Wujud Tuhan, karena tak memiliki kuditas, tak
termasuk dalam aksiden atau substansi dimana keduanya merupakan kategori
kuiditas. Selain Tuhan, kesatuan dalam wujud-wujud abstrak (nonmateri) tak
termasuk dalam kategori bilangan, karena wujud mereka bersifat
substansial. Wujud Tuhan tak terbatas, karena itu tak terbayangkan adanya
sesuatu yang kedua setelah-Nya. Wujud Tuhan yang sedemikian tak berhingga itu
tak menyisakan lagi kemungkinan hadirnya wujud selain-Nya, karena kalau ada
yang kedua setelah-Nya berarti bahwa wujud Tuhan terbatas. Tuhan dalam konteks di atas mustahil dapat dikenal dengan
indera lahiriah, tak bisa diserupakan dengan apapun, mata tak dapat
melihat-Nya, pikiran tak dapat meliputi-Nya dan tak bisa dikhayalkan dan
digambarkan dalam bentuk apapun, karena kalau bisa diserupakan dan diliputi
oleh akal dan pikiran maka berarti wujud-Nya terbatas. Bagaimanapun, sesuatu
yang terbatas mustahil meliputi yang tak terbatas karena yang terpancar dari
sesuatu yang terbatas adalah keterbatasan itu sendiri, sedangkan Tuhan adalah
sesuatu yang tak terbatas. Maka dari itu, pengenalan hakikat Tuhan merupakan
hal yang mustahil. Dalam hal ini, Mulla Sadra dalam kitab Asfar berkata,
"Para filosof Muta'allihin mengenal Tuhan dan bersaksi atas keberadaannya
tapi tak mengenal hakikat-Nya karena kekuatan intensitas pancaran dan
cahaya-Nya serta kelemahan substansi wujud kita yang menghalangi penyaksian
hakikat Tuhan, sebagaimana kekuatan intensitas pancaran dan cahaya matahari yang
menyebabkan mata kita tak mampu menyaksikan secara langsung wujud matahari.
Kita tak sanggup menyaksikan hakikat Tuhan karena terhijabi oleh intensitas
pancaran dan cahaya-Nya, kita memiliki pengetahuan dan ilmu tentang-Nya tapi
bukan bermakna "meliputi" dan "mencakupi" realitas
wujud-Nya."(10) Keazalian dan Keabadian Tuhan
Dalam pandangan Mulla Sadra, wujud tunggal yang hakiki
(wahid hakiki) mesti memiliki dua sifat dasar, yang pertama adalah harus azali.
Yang dimaksud dengan azali adalah sesuatu yang tak pernah tiada dan tak ada
sesuatu yang lain mendahuluinya. Ruang dan dan waktu tak berpengaruh atas
sesuatu yang azali. Sifat yang kedua adalah zatnya berpijak pada esensinya
sendiri yakni wujud dan sifatnya tidak bersandar pada realitas lain, dia tak
dicipta oleh wujud yang lain dan juga tak ada satu realitaspun yang dapat membinasakannya. Zat Tuhan hadir lebih dahulu atas waktu, atas segala
keberadaan dan atas segala permulaan, konsep ini merupakan salah satu pemikiran
yang cermat dan jitu dalam filsafat Ilahi, dan pengertian keazalian Tuhan bukan
hanya bermakna bahwa Dia senantiasa berada bahkan keazalian Tuhan diatas
ke-senantiasa-an keberadaan tersebut, karena ke-senantiasa-an itu mengharuskan
adanya waktu sementara Tuhan, disamping bersama dengan segala realitas waktu,
juga mendahului segala sesuatu termasuk waktu itu sendiri. Inilah pengertian
yang benar tentang keazalian Tuhan. Tuhan adalah wujud murni dan semata-mata
aktual serta tak dibatasi oleh ruang dan waktu. Wujud-Nya tersembunyi dihadapan
panca indera kita, tapi secara riil Dia adalah wujud yang paling jelas, paling
terang dan paling bercahaya, bahkan Dia adalah cahaya itu sendiri. Kesempurnaan
Tuhan justru terletak diantara lahir dan batin atau jelas dan tersembunyi. Berdasar pada kenyataan di atas, Mulla Sadra menarik
kesimpulan bahwa al-Wahid al-Hakiki adalah suatu wujud yang tak butuh kepada
sebab dan berpijak pada zat-Nya sendiri, disamping itu dia juga menetapkan
simplisitas wujud-Nya (al-besâthat), ke-esa-an, ke-tunggal-an dan kesucian
wujud-Nya dari segala bentuk kebercampuran, kejamakan, perubahan dan gerak
serta keserupaan-Nya dengan makhluk-makhluk. Tuhan disebut Wâjib al-Wujud dari
sisi bahwa wujud-Nya berdiri sendiri dan mutlak yakni memiliki kemandirian
esensi dan zat serta tak butuh kepada wujud yang lain, Dia adalah Maha Kaya
dalam semua dimensi dan aspek, oleh karena itu Dia mesti azali dan abadi. Di sini Al-Farabi juga beranggapan tentang Tuhan bahwa
disamping Dia Yang Pertama juga Yang Terakhir; Pelaku dan juga Puncak Tujuan,
Pelaku dan Puncak Tujuan ini memiliki kesatuan yang sempurna yakni Dia Pelaku
mutlak dan juga Tujuan mutlak. Secara hakiki, tak ada perbedaan antara azali
dan abadi jika dihubungkan dengan wujud Tuhan, karena keabadian Dia adalah
keazalian-Nya itu sendiri begitu pula sebaliknya, Tuhan sejak dahulu berada dan
juga sekarang berada serta tak sesuatupun bersama-Nya; berdasarkan ini, Mulla
Sadra menyebut Tuhan sebagai Wujud Mutlak. Sebagaimana yang telah kami katakan bahwa keazalian dan
keabadian Tuhan bisa juga dipahami dengan makna bahwa Tuhan adalah suatu wujud
di atas ruang dan waktu. Makna ini bukan berarti bahwa Tuhan itu, dari dimensi
waktu, kita pahami sebagai sesuatu yang tak berawal dan juga tak berakhir. Dia
secara mutlak keluar dari ruang dan waktu, Dia tidak diliputi oleh ruang dan
waktu, karena kemarin dan hari ini masuk dalam kategori waktu. Dia tidak di
dalam waktu dan tidak dalam suatu ruang, Dia juga tak dibatasi oleh ruang dan
waktu. Tak satupun realitas yang meliputi dan mencakup-Nya, bahkan Dia yang
meliputi segala realitas dan semua realitas itu di bawah pengaruh dan
cakupan-Nya serta tak ada yang lepas dari kekuasaan-Nya. Tak bisa kita katakan
bahwa Tuhan itu pernah tiada kemudian terwujud (hâdits) atau setelah Dia berada
pada waktu tertentu akan menjadi binasa dan punah (fana). Secara berurut, akan tertegaskan sifat lain untuk Wâjib
al-Wujud yaitu tak satupun wujud atau realitas materi yang dapat menjadi Tuhan;
karena wujud-wujud materi adalah sesuatu yang pernah tiada dan lantas terwujud
kemudian (hâdits), begitu pula realitas wujud-wujud materi tak bisa kita katakan
bahwa mereka itu senantiasa ada atau mustahil menjadi tiada. Dalam doktrin-doktrin suci agama, keabadian dan keazalian
Tuhan memiliki tiga pengertian, pertama adalah bahwa Tuhan itu abadi dalam
waktu dan tak berakhir, yang kedua adalah Dia tak berwaktu, dan yang ketiga
adalah Dia memiliki segala kesempurnaan wujud. Tapi dalam doktrin suci Islam,
Tuhan diperkenalkan sebagai wujud yang suci dari segala bentuk kefakiran dan
kebutuhan, sifat ini meniscayakan bahwa Tuhan tidak dalam ruang dan waktu;
karena suatu realitas wujud yang berada dalam ruang pasti membutuhkan dan
memerlukan ruang dan tempat, begitupula suatu wujud yang berada dalam waktu
mesti memerlukan syarat-syarat tertentu agar dapat tetap berada dalam waktu. Nama dan Sifat Tuhan
Tak satupun dari makhluk dalam semua aspek yang serupa
dengan Tuhan. Pada sisi lain, setiap sifat dari sifat-sifat yang kita kenal
adalah sifat makhluk dan bukan sifat Khâlik. Kalau Dia itu kita sifatkan dengan
sifat-sifat yang kita ketahui tersebut, maka kita meletakkan makhluk serupa dan
setara dengan Tuhan dalam sifat-sifat itu. Maka dari itu, kita harus memilih
jalan agar kita tak terjebak dalam penafian makrifat tentang sifat Tuhan dan
juga menghindar dari penyerupaan makhluk dengan Tuhan. Kelihatannya jalan yang logis dalam pengenalan manusia
tentang sifat-sifat Tuhan adalah beranggapan bahwa akal manusia memiliki
keterbatasan dalam kemampuannya menjelajahi secara rasional ketakterbatasan
sifat-sifat Tuhan. Jadi bukan berarti bahwa akan manusia secara mutlak tak mampu
mengenal beberapa sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Sebagaian aliran teologis
beranggapan bahwa akal manusia tak bisa menetapkan sifat-sifat Tuhan secara
mendetail dan menegaskan batasan-batasan sifat-Nya. Walaupun aliran ini,
kenyataannya tak menolak beberapa pengetahuan dan pengenalan kepada sifat Tuhan
yang perlu dan urgen bagi manusia, ini berarti bahwa mereka tak memberikan
batasan antara kemampuan pengenalan akal manusia dan "urgensi kebutuhan
pengetahuan manusia terhadap Tuhan". Maka jelaslah bahwa, dalam keadaan ketidakmampuan akal
manusia mencapai secara sempurna pengetahuan hakiki tentang Tuhan, manusia
sangat urgen memiliki pengetahuan tentang Tuhan walaupun sedikit dimana
pengetahuan "yang sedikit" itu bukan hanya tak "dilarang"
atau akal tak mampu menjangkaunya bahkan sangat perlu dan mesti bagi manusia
dalam meraih keyakinan tentang-Nya. Pengetahuan "yang sedikit"
tentang Tuhan sangat berpengaruh dalam semua bentuk peribadatan manusia
kepada-Nya, tanpa pengetahuan itu mustahil manusia merasakan kelezatan dalam
mengingat dan berzikir kepada-Nya. Manusia dapat mensifatkan Tuhan dengan suatu sifat yang
menggambarkan kebaikan dan kesempurnaan-Nya dan hal itu tidak menunjukkan
kekurangan dan keterbatasan-Nya. Memang benar bahwa Tuhan tak serupa dengan makhluk-makhluk
dan begitu juga sebaliknya semua makhluk tak sama dengan Tuhan dalam semua
dimensi. Tapi penafian keserupaan dan kesamaan (al-tasybih) tersebut bukan
berarti menegaskan perlawanan dan pertentangan makhluk dengan Tuhan. Bentuk
pensucian (al-tanzih) seperti tersebut di atas dapat dikatakan dalam suatu
ungkapan, "Apa saja yang ada pada makhluk berbeda dengan apa yang ada pada
Khalik". Perbedan tersebut bukanlah bentuk perlawanan dan pertentangan,
makhluk bukanlah lawan dari Tuhan, makhluk adalah pancaran, ayat, bayangan,
citra, tajalli dan manifestasi Tuhan. Kalau konsekuensi dari pensucian Tuhan
tersebut adalah bahwa setiap makna yang sesuai dengan makhluk pasti tidak
bersesuaian dengan Tuhan, lantas bagaimana dengan pengertian dan makna "keberadaan,
eksistensi" dan "kesatuan" yang terterapkan dan teraplikasikan
pada Tuhan dan makhluk? Jelaslah bahwa pemikiran tersebut bukan hanya
meniadakan Tuhan dari sifat-sifat bahkan memustahilkan akal manusia mencapai
pengeahuan dan makrifat tentang ketuhanan dimana hal ini berujung kepada
pengingkaran dan penolakan eksistensi Tuhan. Mulla Sadra, dalam masalah pengenalan sifat-sifat Tuhan,
juga menggunakan metode yang berpijak pada gagasan burhan shiddiqin dimana
burhan ini digunakan untuk menetapkan eksistensi dan kesatuan Tuhan. Ketika
dalam hikmah muta'aliyah ditegaskan bahwa wujud itulah yang hakiki bukan
kuiditas, dan zat Tuhan adalah wujud itu sendiri (wujud murni) yang tak
memiliki keterbatasan, maka semua karakteristik wujud dan kesempurnaan wujud
secara mutlak dan sempurna terdapat pada zat Tuhan. Semua sifat-sifat dan keadaan-keadaan yang disaksikan secara
riil dan mendetail di alam ini, dari sisi bahwa hal itu menunjukkan
keterbatasan mereka dan keterbatasan itu bersumber dari penafian dan ketiadaan
kesempurnaan, dalam masalah Tuhan dimana zat-Nya adalah murni wujud niscaya secara
mutlak menolak ketiadaan, segala bentuk ketiadaan tak sesuai dengan kesucian
wujud-Nya, dan karena secara umum sifat-sifat yang tersaksikan tersebut
berhubungan dengan ketiadaan dan keterbatasan maka secara pasti harus dinafikan
dari zat suci Tuhan dan penegasan secara mutlak ketiadaan keterbatasan wujud
dan sifat-Nya. Eksistensi Tuhan secara mutlak lepas dari segala syarat-syarat
dan jauh dari semua bentuk keterbatasan, dari sisi ini, wujud Tuhan mustahil
dibatasi dan diliputi oleh sebuah persepsi yang secara sempurna menceritakan
tentang realitas wujud Tuhan. Segala sifat-sifat yang mengesankan atau menceritakan suatu
bentuk keterbatasan dan ketidaksempurnaan mesti dinafikan dari sifat-sifat
Ilahi dan pada saat yang sama kesempurnaan eksistensial dari sifat-sifat
tersebut ada pada zat Tuhan. Dengan ungkapan lain, kesempurnaan kuiditas tak
ada pada zat Tuhan dan yang ada hanyalah kesempurnaan wujud. Tuhan Maha
Mengetahui tapi bukan dengan perantaraan alat-alat keilmuan, Tuhan Maha Melihat
tapi tidak dengan perantaraan mata, Tuhan Maha Mendengar tapi idak dengan
telinga, Tuhan Maha Berkehendak tapi bukan dengan berpikir sebelumnya, Dia
meliputi segala sesuatu tapi tidak dengan peliputan jasmani, Dia bersama dengan
semua realitas tapi tidak dengan persatuan, Dia terpisah dan jauh dari segala
sesuatu tapi tak berjarak. Dalam pandangan Mulla Sadra, wujud Tuhan adalah wujud yang
paling sempurna, dari sisi ini, Dia berada di atas dari semua penginderaan
kita. Penginderaan kita yang terbatas ini mustahil menjangkau suatu realitas
wujud yang tak terbatas. Tuhan adalah puncak kesempurnaan dan kesempurnaan-Nya
yang tak terbatas itu membuat heran dan kagum akal manusia. Manusia yang
merupakan wujud yang terbatas dan berkekurangan bagaimana mungkin bisa meraih
dan meliputi sesuatu yang wujudnya tak terbatas dan kesempurnaannya tak
berujung. Oleh karena itu, menurut Mulla Sadra Tuhan yang memiliki wujud yang
maha sempurna dan di atas ruang dan waktu mustahil berada dalam jangkauan
indera dan akal manusia. Lebih lanjut, Mulla Sadra menekankan bahwa pengenalan Tuhan
adalah merupakan tujuan filsafat dan manusia berkewajiban mengenal dan
mengetahui Tuhan berdasarkan kemampuan dan "keluasan wujudnya"
masing-masing serta berusaha mengikuti segala perbuatan Tuhan dan meneladani
sunnah-Nya dalam semua dimensi. Mulla Sadra memustahilkan pengetahuan sempurna
atas wujud Tuhan sebagaimana ada-Nya, pengetahuan manusia tentang Tuhan
diperoleh dari jenis pengenalan rasionalitas yang berangkat dari
analisa-analisa tajam dan teliti atas persepsi-persepsi yang ada. Mulla Sadra menegaskan masalah sifat-sifat Tuhan dalam usaha
dan jalur rasionalitas. Dia tidak sama dengan golongan orang-orang yang
menyandarkan dan menisbahkan sifat dan perbuatan makhluk kepada Tuhan, dan
diapun tidak sejalan dengan golongan orang-orang yang menafikan segala bentuk
pengenalan manusia atas zat dan sifat-sifat Tuhan. Mulla Sadra, pada saat yang
sama mengakui kemustahilan pengetahuan hakikat zat Tuhan juga menegaskan bahwa
pengenalan Tuhan diperoleh lewat pengetahuan tentang nama dan sifat-sifat
Tuhan. Berkaitan dengan nama-nama dan sifat-sifat agung Tuhan,
Mulla Sadra berkeyakinan bahwa setiap nama – yang menceritakan hubungan Tuhan
dan makhluk – bisa disandarkan dan dilekatkan kepada Tuhan, dan nama-nama
tersebut bukanlah sesuatu yang berada di luar dari zat Tuhan. Dalam perspektif
Mulla Sadra, satu-satunya jalan mencapai hakikat wujud Tuhan adalah dengan
ma'rifat syuhudi dimana sesuai dengan potensi wujud masing-masing manusia,
ma'rifat ini bukan pengetahuan tentang nama dan sifat Tuhan. Mulla Sadra, tidak sama dengan kaum Asy'ariah yang memandang
sifat-sifat Tuhan tersebut berada di luar dari zat Tuhan dan pada saat yang
sama sifat-sifat itu merupakan sesuatu yang tak tercipta, dan dia juga tak
sepaham dengan kelompok Mu'tazilah yang menafikan sifat-sifat Tuhan dan
penisbahan sifat-sifat itu kepada Tuhan bersifat majasi. Mulla Sadra
mensifatkan Tuhan dengan suatu sifat tetapi bukan sifat yang berada di luar
dari zat-Nya, sifat dan zat Tuhan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan,
perbedaan sifat dan zat-Nya hanya pada dataran persepsi (al-mafhum) bukan pada
dimensi contoh luar (extensi, al-mishdaq), berbeda dalam persepsi dan satu
dalam extensi. Menurutnya, akal ketika memahami satu kesempurnaan dari kesempurnaan-kesempurnaan
wujud Tuhan seperti ilmu dan kekuatan maka secara langsung diapun menegaskan
kesempurnaan-kesempurnaan lain yang mesti dimiliki oleh Tuhan, karena wujud
Tuhan merupakan suatu realitas yang basith dan satu kesatuan mutlak, segala
kesempurnaan tak terbatas dimiliki-Nya dan tak satupun bentuk kesempurnaan yang
dapat dinafikan dari wujud-Nya. Mulla Sadra dalam kitab Asfar secara mendetail membahas
tentang asma dan sifat Tuhan serta sekaligus menetapkan suatu sifat untuk
Tuhan. Dia berkata, "Karena Tuhan merupakan wujud mutlak dan secara esensi
Wâjib al-Wujud maka tersucikan dari segala bentuk kekurangan dan keterbatasan,
oleh karena itu Dia adalah kebaikan dan kehidupan mutlak dan wujud seperti ini
merupakan kesatuan antara subyek, obyek, dan ilmu. Dalam gagasannya, Tuhan mengetahui semua makhluk. Ilmu-Nya
tentang zat-Nya menyatu dengan zat-Nya dan ilmu kepada makhluk-Nya adalah ilmu
huduri yang juga menyatu dengan zat-Nya. Mulla Sadra berbeda dengan Aristoteles
yang memungkiri ilmu Tuhan kepada makhluk-makhluk-Nya. Mulla Sadra beranggapan
bahwa Tuhan mengetahui segala realitas makhluk secara partikularitas, Dia
mengatur segala maujud serta ilmu dan kehendak-Nya meliputi segala sesuatu. Tak
satupun keluar dari pengetahuan-Nya dan segala sesuatu yang ada di alam diatur
dan diarahkan dalam sebaik dan sesempurnanya sistem. Ilmu Tuhan dalam masalah-masalah yang bersifat partikular
tidak sama dengan ilmu kita terhadap masalah tersebut. Ilmu-Nya tentangnya
tidak berasal dari masalah tersebut dan tidak dipengaruhi oleh waktu dan zaman,
jika demikian maka Dia harus berjarak dengannya dan berpengaruh pada-Nya,
sementara hal in merupakan sesuatu yang mustahil. Ilmu Tuhan tidak berubah
seiring perubahan yang terjadi pada wujud-wujud partikular, ilmunya tidak hadir
secara aksiden dalam zat-Nya hingga Dia mesti "menunggu". Sifat-Sifat Perbuatan Tuhan dan Masalah
Penciptaan Tak diragukan lagi bahwa seluruh alam dan segala kejadian
yang terjadi di dalamnya, dari sisi wujud dan eksistensinya, memiliki hubungan
dengan Tuhan, semuanya itu adalah perbuatan dan pancaran dari-Nya, pancaran
dari sifat-sifat seperti, sifat Rahmat, Rahim, Pemberi Rezki, Keagungan,
Kekayaan, Kemuliaan, dan lain sebagainya. Tuhan disifatkan dengan suatu sifat
yang terambil dari tingkatan perbuatan itu sendiri, sifat ini disebut dengan
sifat perbuatan dan lebih rendah dari sifat zat. Kehendak (iradah), Kemurahan dan Kebaikan (ihsan) Tuhan
adalah wujud eksternal itu sendiri (baca: alam dengan segala realitasnya)
dimana terwujud dengan penciptaan Tuhan dengan perantaraan nama Al-Murid,
Al-Karim dan Al-Muhsin. Penciptaan Tuhan tiada lain adalah realitas alam itu
sendiri secara menyeluruh dan wujud-wujud partikular merupakan manifestasi
langsung dari nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Makhluk-makhluk dengan wujudnya yang beraneka ragam dan
sifatnya yang bermacam-macam mengisyaratkan kepada kita bahwa realitas itu
merupakan tanda kesempurnaan zat dan sifat Tuhan, yakni realitas ini bersumber
dari suatu perbuatan pada tingkatan zat Tuhan. Secara lahiriah, perbuatan Ilahi
itu memiliki banyak perbedaan tapi pada hakikatnya semua kembali kepada satu
perbuatan umum yang disebut dengan penciptaan. Yang dimaksud dengan penciptaan
bukan berarti bahwa ada "bahan baku" atau "materi awal" sebelumnya
dimana Tuhan menggunakan "bahan baku" tersebut sebagai bahan dasar
dalam penciptaan, karena jika demikian maka wujud Tuhan tidaklah azali bila
dibandingkan dengan "materi awal" tersebut dan juga wujud-Nya menjadi
terbatas dan keterbatasan wujud-Nya ini tidak sesuai dengan kesempurnaan mutlak
yang dimiliki-Nya. Disamping itu, dari sisi perbuatan, Tuhan akan butuh kepada
"materi awal" tersebut, dan kebutuhan Tuhan ini bertentangan Maha
Kaya dan kesempurnaan mutlak-Nya. Iradah dan kehendak Tuhan adalah perbuatan
dan penciptaan itu sendiri, karena segala bentuk pikiran, gambaran,khayalan,
gerak dan kondisi serta faktor internal dan eksternal tidaklah sesuai dengan
zat Tuhan. Tuhan mencipta tidak dari sesuatu. Dalam filsafat Ilahi, kehendak Tuhan berhubungan dengan satu
sistem keteraturan sempurna dimana memiliki kemaslahatan dan tujuan tertentu,
kemaslahatan ini tidaklah membatasi kehendak Tuhan tersebut. Mulla sadra dalam
hal ini menekankan bahwa sifat kebaikan harus dihubungkan kepada kekuatan dan
ilmu Tuhan secara mutlak, ketika Tuhan dikatakan sebagai sumber segala kebaikan
yakni perbuatan Tuhan dan eksistensi-Nya merupakan syarat dasar kebaikan dan
paling tingginya kesempurnaan wujud dalam tatanan sempurna kewujudan. Oleh karena itu, Tuhan mustahil berbuat sesuatu yang bertentangan
dengan hikmah dan tujuan universal, gagasan ini tidaklah bertentangan dengan
kekuatan mutlak Tuhan. Segala perbuatan Ilahi memiliki kesesuaian dan
keharmonisan satu sama lainnya. Menurut Mulla Sadra, Tuhan, disamping memiliki
ilmu dan kekuatan mutlak juga sebagai Yang Maha Bijaksana (Al-Hakim). Mulla Sadra beranggapan bahwa Tuhan bukan hanya sebagai
Pencipta (Al-Khaliq), bahkan juga sebagai Hakim yang memiliki kemurahan,
keadilan dan sumber segala kebaikan dan rahmat. Biasanya kebaikan dan kecintaan
digunakan sebagai dua sifat dari sifat-sifat Tuhan. Sumber kebaikan Tuhan
adalah kecintaan dan rahmat-Nya, semua sifat-sifat ini digunakan dalam satu
makna; tetapi yang terpenting diantara mereka adalah cinta dan mahabbah Tuhan.
Menurutnya, Tuhan itu kesempurnaan, cinta dan kebaikan mutlak dimana pada satu
sisi semua kebaikan berasal dari-Nya dan pada sisi lain kecintaan-Nya meliputi
segala realitas wujud dan makhluk. Sebagaimana wujud itu hakiki dan bergradasi, kebaikan dan
kesempurnaan mutlak adalah wujud itu sendiri, maka kebaikan dan kesempurnaan
juga bergradasi dan berjenjang. Karena tatanan segala realitas alam bersumber
dari ilmu, kekuatan dan kecintaan kepada kesempurnaan dan kebaikan, maka segala
realitas alam tersebut senantiasa berwujud dalam kondisi yang paling sempurna.
Tak ada lagi tatanan dan sistem yang lebih sempurna dari tatanan yang universal
ini, apa yang ada ini adalah yang terbaik dan paling sempurna, karena kalau ada
yang terbaik yang tak tercipta oleh Tuhan, maka ilmu, kekuatan dan
kesempurnaan-Nya pasti terbatas. Mulla Sadra menyatakan bahwa Tuhan adalah satu-satunya
Pelaku atau Sebab hakiki di alam. Alam dalam pandangannya memiliki kesatuan dan
keharmonisan serta mempunyai hubungan kausalitas antara tingkatan-tingkatan
wujud. Gagasannya tentang ketunggalan Pelaku alam tak bertentangan dengan
konsep keniscayaan sebab-akibat yang digagas oleh para filosof lain. Awal Dan Akhir Penciptaan Alam Masalah yang senantiasa menjadi pokok perhatian para pemikir
dan filosof adalah hubungan antara Tuhan dan alam. Tuhan, dalam pandangan Mulla
Sadra, adalah suatu wujud yang nonmateri (al-mujarrad), lantas bagaimana
hubungan Dia dengan alam yang bersifat materi ini? Bagaimana bisa alam materi
tercipta atau terpancar dari suatu realitas yang non materi? Apakah penciptaan
alam "sezaman" dengan ke-qadim-an Tuhan? Mulla Sadra berpegang pada konsep "manifestasi"
dalam menetapkan bentuk hubungan antara satu dan jamak, antara kesatuan dan
kejamakan. Dalam pandangannya, Tuhan adalah kesatuan yang hakiki dan wujud
mutlak yang merupakan sumber segala kesempurnaan, berdasarkan rahmat-Nya yang
luas maka terpancar dari-Nya suatu wujud yang oleh filosof disebut dengan akal
pertama, akal pertama ini memiliki semua karakteristik yang ada pada wujud
Tuhan, perbedaannya dengan Tuhan hanyalah bersifat tingkatan saja. Akal pertama
berada satu tingkatan di bawah Tuhan. Alam yang bersentuhan langsung dengan kita adalah alam
materi, alam ini bersifat hâdits zamani(11) yakni wujudnya didahului oleh
"ketiadaan" dan ketiadaannya didahului oleh wujud. Alam materi ini
dipengaruhi oleh ruang, waktu dan gerak. Perubahan adalah substansi alam
materi. Dengan semua karakteristik ini, alam materi tak lepas dari peliputan
dan pencakupan Tuhan, awal dan akhir alam materi berhubungan dengan Tuhan. Alam lain yang telah dibuktikan dan ditegaskan keberadaannya
adalah alam non materi. Alam ini memiliki sifat konstan (tetap), tak bergerak,
tak reaktif, tak berubah, tak berwaktu, dan tak berpotensi. Alam ini tetap
memiliki sifat butuh dan bergantung kepada Tuhan sebagaimana alam materi,
karena walaupun alam non materi tersebut memiliki memiliki banyak
"persamaan dan keserupaan" dengan Tuhan tapi dari sisi wujudnya tetap
memiliki keterbatasan. Kekhususan lain yang dimiliki oleh alam ini adalah
setiap kesempurnaan yang secara mungkin dimilikinya niscaya ada padanya dan dia
tak lagi menyempurna karena tak satupun sifatnya yang bersifat potensi. Semua
manifestasi Tuhan secara sempurna diserapnya, hal ini seperti sebuah cermin
yang menyerap dan memantulkan secara sempurna obyek yang berada
dihadapannya. Tuhan "bertajalli dan bermanifestasi" pertama kali
di alam nonmateri tersebut, alam ini akan menyerap tajalli Tuhan itu dan secara
sempurna memantulkannya secara bergradasi ke alam mitsal(12) lantas ke alam
materi yang merupakan alam yang terendah. Tuhan tak lansung menciptkan alam
materi ini, tapi Dia mencipta alam non materi dimana konsekuensi alam ini
melahirkan alam-alam lain secara bergradasi hingga ke alam materi. Demikianlah sepintas pembahasan tentang wujud, nama dan
sifat-sifat Tuhan yang diramu dari gagasan-gagasan seorang filosof Ilahi yang
agung, Mulla Sadra, pendiri Hikmah Muta'aliyah. Pembahasan ini sangatlah
ringkas dan tidak semua gagasannya dituangkan secara sempurna dalam makalah ini
karena keterbatasan penulis sendiri, makalah ini hanyalah secara global
memperkenalkan konsep dan gagasan dari seorang filosf muslim yang terkenal dengan
teori-teori transendentalnya tentang ke-Tuhan-an dan kami berharap suatu waktu,
secara terperinci dan sistimatis, akan menjabarkan pemikiran-pemikirannya.
1. Alam ide Plato adalah suatu bentuk yang non materi dan
juga hakikat persepsi akal. Alam ini bersifat, azali, konstan dan mandiri.
Jadi, setiap realitas memiliki "bentuk non materi"nya di alam Ilahi,
"bentuk non materi" itu dinamakan mutsul. Karena mutsui ini
dikonsepsi pertama kali oleh Plato, maka kemudian para filosof menamakan mutsul
Aflatun atau mutsul Plato, yang kita terjemahkan dengan alam ide Plato.. 2. Istilah ini telah kami jelaskan secara terperinci dalam
makalah kami yang berjudul "Tuhan dalam filsafat". 3. Ibnu Sina, al-Isyarat wa al-Tanbihat, jilid 3, hal.
18-27. Dan dalam kitab an-Najâh, hal. 66. 4. Ibnu Sina, asy-Syifa, makalah kedua, pasal keempat. 5. Para filosof peripatetik beranggapan bahwa di alam
eksistensi ini terdapat sepuluh akal yang berjenjang dan bertingkat. Akal yang
paling rendah tingkatannya disebut dengan akal fa'âl, akal ini disamping
berfungsi untuk mengaktualkan segala potensi yang dimiliki oleh jiwa-jiwa juga
berfungsi "mencipta" jiwa-jiwa dan akal-akal partikular (akal yang
terdapat dalam diri manusia) di alam semesta ini. 6. Mulla Sadra, al-Asfar, jilid 6, hal. 15 dan 16. 7. Mulla Sadra, al-Asfar, jilid 6, bab penegasan
tauhid. 8. Mulla Sadra, al-Masyâ'ir, hal. 69. 9.Maujud yang akan ditegaskan dan dibuktikan hakikat
keberadaannya, misalnya dalam pengasumsian bahwa Tuhan itu berada kemudian
dengan pendekatan dalil-dalil filosofis terbukti bahwa Tuhan benar-benar
berwujud secara hakiki. 10. Mulla Sadra, Asfar, jilid 1, hal. 115. 11. Adalah baru tercipta dalam waktu, alam ini pernah tiada
- dalam waktu - dan sekarang baru tercipta dan hadir - juga dalam waktu
-, jadi alam materi ini diliputi oleh waktu, bahkan waktu merupakan salah satu
faktor hakiki terwujudnya alam, waktu adalah salah satu faktor pembangun alam.
12. Alam yang berada diantara alam akal dan alam materi. Sumber: Islamalternatif.net |