Ali bin Abi Thalib dan TasawufDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 “Aku adalah kota ilmu, dan Ali adalah
pintunya,” (Nabi saw)
Tidak ada satu tokoh dalam sejarah Islam awal, selain Nabi
sendiri, yang menjadi pusat kontroversi dan perdebatan seperti Ali bin Abi
Thalib. Kontroversi ini muncul pada lebih dari satu tataran, mulai dari
persoalan-persoalan politik dan sejarah hingga masalah-masalah di bidang
teologi dan metafisika. Keluasan intelektual dan kedalam spiritual Ali telah
mengilhami seluruh penjuru dunia Islam, baik Sunni maupun Syi’i, dan sekalipun
banyak konflik di antara kedua mazhab besar Islam ini yang berpusat pada pribadi
Ali, satu pihak tidak pernah bisa menuduh yang lain kurang memiliki kecintaan
dan penghormatan kepadanya. Dalam hal ini, secara paradoks, Ali menyatukan kaum
Muslim dalam kecintaan mereka kepadanya, tetapi sentralitasnya dalam sudut
pandang yang berlawanan menjadikannya sumber perselisihan yang serius. Lebih jauh, kita temukan dalam dunia Sunni perdebatan dengan
Ali pada pusatnya, dan ini merupakan persoalan esoterisme dalam Islam, yang
manifestasi utamanya adalah tasawuf. Kaum Sufi mengakui dua jenis otoritas,
berkaitan dengan dua jenis ilmu. Dalam konteks otoritas politis, posisi
ortodoks Sunni sangat dikenal. Sekalipun Nabi saw tidak meninggalkan
perintah-perintah tegas berkaitan dengan yang akan menggantikan beliau secara
politis, sebagian besar (?) komunitas Islam menyetujui Abu Bakar Shiddiq,
sahabat lama Nabi dan tokoh terhormat di antara para sahabat, sebagai khalifah
Islam yang pertama. Ia menunjuk Umar bin Khaththab, yang dirinya sendiri
menyusun sebuah komisi yang beranggotakan enam orang sahabat yang pada
gilirannya komisi ini memilih Utsman bin Affan. Pasca pembunuhan Utsman, Ali
menjadi khalifah keempat. Tak seorang Sunni pun menolak bahwa, dalam konteks ortoritas
temporal, ini merupakan sebuah peristiwa yang biasa. Dalam dunia Sunni, sekalipun
tidak ada pemisahan antara gereja dan negara (baca: agama dan politik),
khalifah hanyalah administrator, dan ketika ia secara ruhani unggul, ini tidak
dipandang sebagai syarat untuk jabatan khalifah. Otoritas khalifah dinilai
sebagai berasal dari Tuhan. Namun dalam dunia Sunni, terutama setelah generasi
pertama, adalah kelompok ulama, yang bertanggung jawab atas pengalihan
pengetahuan keagamaan dan spiritual dan yang berperan sebagai otoritas final
mengenai persoalan-persoalan agama. Sultan, khalifah, fukaha, dan umumnya kelas masyarakat
terpelajar merepresentasikan otoritas eksoteris dalam Islam Sunni. Akan tetapi,
kaum Sufi mengetahui rantai otoritas spiritual yang secara relatif terlepas
dari otoritas eksoteris dan secara prinsip, lebih utama atasnya. Kita katakan
terlepas atau independen bukan dalam arti bahwa tasawuf secara inheren
antinomian; lawannya adalah benar. Namun keputusan ulama eksoteris (ulama
zahir) tak akan pernah, bagi kaum Sufi, mengatasi ajaran-ajaran dari seorang
guru spiritual otentik, seorang ulama batin. Ini disebabkan yang zahir, yang
aturannya dijalankan dengan syariah atau hukum Tuhan, ada sebagai pendukung
kehidupan batin, yang pertumbuhannya dijalankankan melalui thariqah atau jalan
spiritual. Penafsiran yang beragam atas pengertian otoritas spiritual
dan temporal telah mengarahkan kepada kesalahpahaman antara Syi’ah dan Sunni
juga antara elemen-elemen tertentu dalam dunia Sunni itu sendiri. Otoritas
kerohanian diserahkan kepada Ali oleh Nabi merupakan satu realitas yang diterima
baik oleh Sufi-sufi Sunni[1] dan Syi’i, namun mereka berbeda
berkaitan dengan konsekuensinya dalam ranah temporal. Sebagai imam pertama kaum
Syi’ah, Ali menggabungkan dua jenis otoritas di atas dalam satu pribadi, dan
menurut Syi’isme, aturan tepat segala sesuatu menuntut bahwa Imam harus
mengatur dan memerintah secara spiritual dan temporal. Akan tetapi, sementara
dalam Syi’isme aspek esoteris Islam diproyeksikan ke masyakarat umum, sehingga
perbedaan antara eksoteris dan esoteris menjadi samar, kaum Sufi puas
mempraktikkan jalan mereka dalam bingkai yang ditetapkan oleh otoritas
eksoteris. Inilah mengapa, mereka mengakui Ali sebagai pengalih utama
rahasia-rahasia batin (ada yang lain seperti Abu Bakar) tanpa ada suatu
kontradiksi penting dengan seorang otorita eksoteris yang tidak memiliki
rahasia-rahasia (batin) ini. Dengan kata lain, hierarki vertikal dan horizontal
tidak perlu bercampur. Dari perspektif Sufi, misteri-misteri paling dakhil
tidak ditujukan bagi setiap orang, dan mengajarkan misteri-misteri kepada
mayoritas orang mukmin akan lebih banyak merusak ketimbang maslahatnya,
demarkasi yang lebih jelas antara dimensi eksoteris dan esoteris memiliki
faedah-faedah berupa menghindari bahaya-bahaya tersebut. Dari apa yang telah diutarakan, kita bisa simpulkan bahwa
cara terbaik untuk memahami konflik yang berpusat pada Ali adalah dengan
melihat pertikaian ”horizontal” antara Syi’ah dan Sunnah sebagai bentuk
proyeksi dari perbedaan vertikal esoterisme dan eksoterisme. Hal ini semakin
jelas ada ketika orang menguji persamaan mendalam antara tasawuf dan Syi’isme.
Para Imam dari Syi’ah Dua Belas Imam juga merupakan guru-guru spiritual dalam
rantai transmisi Sufi atau silsilah. Apabila orang mengesampingkan syariat dan juga fungsi kosmis
dari Imam, fungsi inisiatori dan peran sebagai pembimbing ruhani dari Imam
adalah persis sama dengan peran dan fungsi guru Sufi. Pada dasarnya,
sebagaimana dalam tasawuf setiap guru berkomunikasi dengan kutub di zamannya,
maka dalam Syi’isme seluruh fungsi keruhanian di setiap zaman secara batiniah
terkait dengan Imam. Gagasan Imam sebagai kutub alam semesta dan konsep quthb
dalam tasawuf nyaris identik.[2] Perbedaan utamanya adalah sejauh mana otoritas spiritual
mesti terentang luas ke dalam ranah temporal. Dalam kasus Ali, ia menggabungkan
dua aspek tersebut hingga ke tingkatan yang paling tinggi, baik sebagai penerima
utama ajaran batiniah Nabi maupun pemimpin pemerintahan Islam. Mendiskusikan
perdebatan seputar suksesi bukan menjadi bahasan kita di sini. Namun kiranya
penting untuk mengingat bahwa persoalan yang paling mendalam adalah salah
satunya perbedaan esoteris/eksoteris, dan bukan perbedaan mesin politik dan
perjuangan-perjuangan kekuasaan. Tidak ada diskusi yang cerdas akan peran
keruhanian Ali yang mungkin tanpa memahami butir ini.[3] *** Ali bin Abi Thalib adalah putra paman Nabi, Abi Thalib.
Ketika Nabi menerima wahyu pertamanya, Ali baru berusia 10 tahun. Dari sejak
kanak-kanak, ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga Nabi, karena kesulitan
finansial di rumah ayahnya sendiri, dan tetap dekat dengan Nabi sampai
kewafatan Nabi 23 tahun kemudian. Selama kurun waktu tersebut, klaim Sufi,
bahwa Nabi menyampaikan ajaran-ajaran batin dari agama baru itu kepada Ali.
Sekalipun orang bisa saja mengatakan bahwa semua anggota komunitas apostolik
awal di Mekkah adalah para wali,[4] bukan hanya persoalan kesucian namun
juga persoalan kualifikasi intelektual. Tidak setiap metafisikawan itu seorang
wali, dan sebaliknya juga, tidak setiap wali adalah metafisikawan besar. Ali
menghimpun dalam dirinya sendiri kesempurnaan vertikal yang kita sebut kesucian
dengan kedalaman dan keluasan yang luar biasa pada tataran horizontal. Tradisi
Islam mengingat Ali sebagai ksatria agung di zamannya, tak pernah terkalahkan
dalam peperangan dan selalu lembut kepada musuh-musuhnya. Kebajikannya di medan
perang sama terkenalnya. Di lingkungan Dunia Muslim, Ali dikenal sebagai bentuk
pelindung kaum miskin dan sebuah model dari apa yang disebut dunia Barat
keksatriaan, futuwwah Islam. Yang lebih penting, ia dikenal di zamannya sendiri
dan hingga sampai masa kita sebagai orang yang memiliki inteligensi yang
memukau dan kebijakan yang mendalam, baik sebagai guru besar juga pembicara fasih
bahasa Arab.[5] Di dunia Syi’ah, kekhususan tersebut
diberikan kepada Ali begitu terkenal. Di antara kaum Sunni, kaum Sufi memandangnya sebagai penerus
utama ajaran keruhanian Nabi, dan seluruh tarekat Sufi, kecuali satu,
asal-usulnya bermuara kepadanya.[6] Demikian juga, orang menemukan
pengecualian khusus yang terwujud ketika namanya disebutkan: untuk para sahabat
lain, pencantuman radhiyallahu ‘anhu (semoga Allah meridhainya) lazim dipakai,
namun dalam kasus Ali oran acap mendengar frase karram Allahu wajhah yang
secara harfiah berarti “semoga Allah memuliakan wajahnya”. Belakangan kita akan
melihat bagaimana formula ini berkaitan dengan fungsi spiritual Ali di dunia
Islam. Seluruh keturunan Nabi, yang diagungkan di dunia Syi’ah maupun Sunni,
mendapatkan garis keturunan mereka kepada pernikahan Ali dengan Fathimah, putri
Nabi. Melalui Ali dan anak keturunannya, otoritas spiritual Nabi terus
berlangsung hingga sekarang, dan bersamanya Zaman Keemasan Islam, periode
Madinah awal, mulai pudar. Tujuan kami dalam esai pendek ini adalah melihat
sumber-sumber orisinal dalam tasawuf untuk mengetahui bagaimana ajaran-ajaran
keruhanian Islam terkait dengan Ali. Kita dapat mengatakan bahwa esoterisme
Islam, alih-alih sekadar tasawuf karena Nahj al-Balâghah dan sebuah ulasan atas
sejumlah pasasenya oleh ulama Syi’ah, Allamah Thabathaba’i juga digunakan
sebagai sumber-sumber. Tanpa memasuki perdebatan seputar autentisitas Nahj
al-Balâghah, cukuplah untuk menyatakan bahwa bahkan dari perspektif Sunni, ada
banyak dalam buku ini yang bersumber dari Ali, dan bahwa konflik Syi’ah-Sunni
telah menghasilkan fenomena tidak menguntungkan berupa “pelemparan bayi dari
air mandi”. Banyak kaum Sunni cenderung meragukan laporan-laporan Syi’ah
tentang Ali, karena concern pada “melebih-lebihkan kesalehan tertentu” dari
pihak Syi’ah, dan tentu saja, terputus dari banyak hadis yang autentik. Karena
itu, kami rasa tepat untuk menggunakan sejumlah pasase yang termasyhur dan
paling penting dari Nahj al-Balâghah sebagaimana diseleksi oleh Thabathaba’i,
yang tak satu pun darinya bisa dikhususkan sebagai “Syi’ah” sebagaimana yang dilabeli
oleh Sunni. Dalam peristiwa apa pun, sebagaimana dinyatakan di atas, adalah
dalam tasawuf dan aspek yang paling esoteris dari Syi’isme konsensus itu dapat
diraih menyangkut Ali. Naasnya, ada sebuah karya sedikit serius dalam kesarjanaan
Barat yang terfokus pada Ali, selain dari terjemahan-terjemahan yang kurang
akurat dari sumber-sumber Arab dan sejumlah buku yang ditulis dalam bahasa
Inggris berupa watak polemis dari India dan Pakistan, namun ada juga terjemahan
luar biasa dari sejumlah cuplikan Nahj al-Balâghah[7] yang dialihbahasakan oleh Thomas
Cleary bertajuk Living and Dying with Grace. Kekurangan materi ini adalah
fenomena yang aneh, dengan mempertimbangkan arti penting Ali, dan
mempertimbangkan bahwa jilid-jilid yang telah ditulis mengenai tokoh-tokoh
politik dan historis belakangan dalam sejarah Islam. Di antara Nabi dan para
tokoh terpandang belakangan ada sebuah jurang dalam kesarjanaan modern. Kita
harap untuk menggunakan beberapa hadis menyangkut Ali, dan, dari
tulisan-tulisan belakangan Matsnawi-nya Rumi, melihat apa yang bisa mereka
katakan kepada kita tentang Ali dan tasawuf. Futuwwah: Ali sebagai Model Keperwiraan
Spiritual
Kata futuwwah secara harfiah artinya “pemuda” namun bisa
diterjemahkan sebagai “pemuda mistis” atau “keperwiraan spiritual”.[8] Kita sebut keperwiraan spiritual
karena kebajikan-kebajikan tradisional dari keperwiraan, seperti kedermawanan
dan keberanian, tidak terbatas pada tataran perbuatan tetapi mesti eksis pada
aras tertinggi dari wujud seseorang. Menurut tradisi Sufi, adalah bersama
[Nabi] Syits futuwwah menjadi jalan ruhani, dan yang pakaiannya adalah khirqah,
atau jubah. Menjelang masa Nabi Ibrahim, khirqah ini menjadi “terlalu berat”,
yang mungkin suatu rujukan pada hakikat segala sesuatu yang akan sirna dan
kemustahilan dari mereka di masa-masa belakangan untuk menyandingkan
praktik-praktik spiritual para leluhur mereka. Karena itu, Ibrahim melembagakan
suatu jenis futuwwah baru, yang disebarkan olehnya melalui keturunan-keturunnya
yang menjadi nabi. Nabi sendiri menerimanya, dan mentransmisikannya kepada Ali,
yang kemudian menjadi diidentifikasi sebagai kutub futuwwah.[9] Ali sendiri sangat beliau apabila dibandingkan dengan para
tokoh lainnya dari abad apostolik Islam. Fakta ini dikombinasikan dengan
kemampuan tempurnya yang legendaris dan kecerdasan serta kebajikannya
menjadikannya fatal par excellence dalam Islam. Ketika orang membaca Ali orang
bisa melihat energi dan kebajikannya yang bertenaga muncul melalui
halaman-halaman. Nasihat dan perbuatannya berasal dari watak pedang yang
menyerang dan anak panah yang bersasaran baik. Ketika diinformasikan bahwa Ali
menantangnya berduel untuk mengakhiri peperangan, Muawiyah mengetahui “ia pasti
membunuhku” karena sangat terkenal ungkapan bahwa Ali tidak pernah terkalahkan
dalam perang. Tulisan-tulisan belakangnya merupakan bukti dari kemuliaan dan
kecerdasannya, dan kezuhudannya dari dunia dan gemerlapnya menyematkan pada
dirinya gelar Abu Turab, “Bapak Debu”, yang diberikan kepadanya dari Nabi
sendiri.[10] Dalam Matsnawi Rumi, kita menemukan kisah menawan mengenai
peristiwa yang terjadi antara Ali dan seorang “ksatria kafir” yang secara
tradisional dipandang telah terjadi dalam Perang Khaybar. Ali mendapatkan
pejuang ini dan mengelilinginya untuk membunuhnya, lalu tentara kafir meludahi
wajah Ali. Terkejut dengan reaksi tentara itu, Ali menyarungkan kembali
pedangnya, memperpanjang usia si tentara. Pelajarilah bagaimana bertindak secara ikhlas dari Ali:
ketahuilah, singa Allah disucikan dari (semua) tipu daya. Ia meludahi wajah
Ali, kebanggaan setiap nabi dan wali; ia meludahi muka yang di hadapannya
rembulan membungkuk di tempat ibadah. Seketika Ali menyarungkan pedangnya dan menenangkan (usahanya)
dalam memeranginya. Jawara itu terheran-heran dengan perbuatan Ali ini dan
dengan menunjukkan pengampunan dan rahmatnya segera. Ia berkata, “Anda
mengangkat pedang tajam Anda terhadapku: mengapa engkau menyarungkannya
kembali? Apakah Anda melihat bahwa itu lebih baik ketimbang memerangiku,
sehingga Anda menjadi segan dalam memburuku?[11] Ketika pasase ini berlanjut, jawara itu meminta Ali untuk
mengatakan kepadanya apa yang telah ia lihat, menyampaikan alasan rahasia atas
pemaafannya. Jawara itu telah merasakan suatu perubahan spiritual yang berkilau
melalui perbuatan ganjil Ali, dan kini berusaha memahamai bagaimana rahmat
Allah telah mendatanginya: Wahai Ali, engkau adalah semua pikiran dan pandangan,
ceritakanlah sedikit apa yang telah kaulihat! Pedang kesabaranmu merobek jiwaku, air pengetahuanmu telah
menyucikan bumiku. Katakanlah! Aku tahu bahwa semua ini adalah
rahasia-rahasia-Nya, karena ini (cara) kerja-Nya untuk membunuh tanpa pedang Matamu telah belajar mempersepsi Yang Gaib, (sementara)
pandangan pengamat tertutup Sejauh bulan membisu menunjukkan jalan itu, ketika ia
berbicara ia menjadi cahaya di atas cahaya Karena engkau adalah gerbang kota ilmu[12] karena engkau adalah pendaran cahaya
Rahmat, Bukalah, wahai Gerbang, kepadanya yang mencari gerbang, agar
melaluimu sekam bisa sampai pada inti Kita harus memperhatikan pertama-tama bahwa Rumi menulis
bahwa ia (si jawara kafir) meludahi wajah Ali. Sebagaimana disebutkan
sebelumnya, tradisi Islam memberi Ali gelar khusus karramallahu wajhah. Wajah
yang diludahi si jawara adalah wajah yang sama yang memiliki kekuatan transformatif
pada jiwanya.[13] Di sini kita bisa menyamakan wajah Ali
dengan rembulan, dan cahaya di atas cahaya sebagai cahaya-cahaya yang
direfleksikan dari matahari. Kegelapan malam dari jiwa “menutupi” (kafir) disinari oleh
cahaya yang datang dari bulan, tetapi bulan memberikan cahaya secara tepat
karena itu bukan di kegelapan malam, namun ada dalam kehadiran cahaya matahari,
cahaya Intelek Ilahi, yang itu memantul kepada mereka yang belum mencapai visi
matahari Ilahi. Ksatria mengakui ketika ia membicarakan bulan yang menunjukkan
jalan tanpa bicara. Separuh kehidupannya yang tidak diharapkan cukup membuka
pandangan batin sehingga ia bisa melihat bulan “wajah Ali” yang menyinarinya,
mendesaknya untuk bertanya kepada Ali apa yang baru dilihatnya, sebagaimana
orang yang telah melihat rembulan tetapi tidak matahari akan heran apakah
sumber cahaya luar biasa itu.[14] Karena ksatria itu, Ali adalah cahaya
Tuhan di dunia ini, seorang wali yang Tuhan jadikan cahaya di antara manusia.[15] Sumber
Tambahan yang Digunakan al-Sya’rani. Abd al-Wahhab ibn Ahmad. ath-Thabaqat al-Kubra,
Mesir. 1936, hal. 17-18. Lings, Martin. Muhammad: His Life Based on the Earliest
Sources. Rochester, VT, 1983. Thabathaba’i, Allamah, Ali wa al-Falsafat ul-Ilahiyyah.
(tanpa titimangsa) |