Tuhan Mencipta karena Membutuhkan?Dalam menjawab pertanyaan ini, sebagai pengantar akan kami
jelaskan permasalahan-permasalahan berikut ini: Pertama, tujuan manusia dalam menjalankan segala
aktivitasnya adalah untuk mencapai kesempurnaan atau untuk menghilangkan
kekurangannya. Sebagai contoh, manusia mengkonsumsi makanan sehingga ia tidak
akan lagi kelaparan dan memenuhi segala kebutuhan nutrisi yang diperlukan oleh
badan. Manusia mengenakan baju supaya ia terlindungi dari teriknya panas sinar
matahari atau untuk menjaga badannya supaya tidak kedinginan. Manusia
melaksanakan pernikahan untuk memenuhi kebutuhan seksualnya. Manusia menyembah
Allah Swt supaya ia sampai kepada puncak kesempurnaan, mendekatkan diri
kepada-Nya dan berkhidmat kepada ciptaan-Nya sehingga dengan aktivitas yang ia
kerjakan ini akan mengantarkannya kepada kesempurnaan secara maksimal. Namun,
Allah Swt tidak mempunyai kekurangan sedikit pun sehingga dengan perbuatan yang
Dia laksanakan berpotensi menghilangkan kekurangan yang ada pada-Nya dan tidak
perlu berupaya untuk menuju kepada kesempurnaan-Nya. Kedua, mempunyai tujuan, tidak selamanya selalu dibarengi
dengan kebutuhan, namun keberadaannya yang sempurna, tidak akan memerlukan
pertolongan orang lain, merupakan ciri-ciri dan sifat-sifat dari wujud yang
sempurna dan penuh kasih sayang. Allah Swt yang Maha Penyayang juga tidak
mencari keuntungan bagi diri-Nya, tetapi tujuan paling penting dan paling utama
yang dipunyai-Nya adalah pencapaian kebaikan bagi hamba-hamba-Nya dan
menciptakan kesempatan dan peluang bagi hamba-hamba-Nya di muka bumi ini guna
menuju kepada kesempurnaan maknawinya. Oleh karena itu, tujuan penciptaan ini adalah pemanduan
setiap mumkinul wujud untuk menuju kepada kesempurnaan yang bisa dicapainya dan
yang layak baginya; dimana dalam penciptaan ini tiada menyisakan hasil bagi
Dzat Kudus-Nya. Setiap perkara yang bersifat kontingen (mumkin) di dunia ini,
dapat dicapai oleh manusia, Manusia dalam hal ini memiliki kelayakan dan
kepatutan untuk menerima kesempurnaan eksistensial yang dapat ia raup dengan
usaha dan ikhtiar yang dimilikinya. Maksud dari penciptaan semesta ini adalah
tercapainya kesempurnaan manusia. Dengan kata lain, penciptaan merupakan suatu
kebaikan dan emanasi yang memancar dari Allah Swt yang dianugerahkan kepada
wujud-wujud yang bersifat kontingen (mumkin). Penciptaan semacam ini secara
esensial adalah kebaikan. Tuhan dengan penciptaan manusia dan semesta
memancarkan emanasi dan menganugerahkan media kepada manusia untuk meraup
kesempurnaan yang lebih baik. Menghindarkan diri dari emanasi dan
penganugerahan semacam ini adalah bentuk kepelitan dan bakhil yang keduanya
merupakan sifat yang tercela; oleh karena itu pantas kiranya Tuhan Yang
Mahabijak dan Kesempurnaan Absolut menciptakan dunia ini dengan kebijaksanaan
yang ideal dan sublimitas yang tinggi. Oleh karena itu, penciptaan Ilahi
merupakan perbuatan yang sarat dengan hikmah dan kebijaksanaan; meski pada
derajat penciptaan, Tuhan tidak membutuhkan dan membutuhkan bukan merupakan
sifatnya. Tuhan sama sekali tidak memiliki cela dalam kesempurnaan-Nya;
melainkan ia adalah kesempurnaan itu sendiri, dan emanasinya bersifat absolut.
Artinya emanasi-Nya tercurah deras kepada segala sesuatu dan curahan tersebut
sama sekali tidak berkurang, karena kekurangan tiada pada-Nya; melainkan lantaran
memiliki emanasi sempurna, Dia menciptakan semesta dan manusia. Bertitik tolak
dari sini disebutkan bahwa penciptaan semesta merupakan keniscayaan emanatif
dan manisfestasi (tajalli) Tuhan; bukan menjadi pendahuluan dan sebab adanya
emanasi. Oleh karena itu, keniscayaan emanatif absolute Ilahi dan penciptaan
semesta ini bukan bermakna bahwa Tuhan menciptakan semesta supaya Dia disebut
mahapencurah emanasi (fayyadh)! Redaksi semacam ini meniscayakan adanya semacam
kebutuhan. Dengan memperhatikan secara seksama premis-premis pendahuluan dapat
kita simpulkan bahwa Tuhan adalah Mahapencurah Emanasi dan hasil dari sifat
kudus ini adalah penciptaan semesta. Wallahu ‘Alim [Sumber: Al-Balagh |