TAUHID: MENOLAK MENGABDI SELAIN KEPADA ALLAH (I)Deprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang Lâ ilâha
illa Allâh adalah ungkapan paling murni dalam lubuk fitrah manusia. Rasulullah
saw datang ke tengah umat manusia dengan mengumandangkan kalimat “Lâ ilâha illa
Allâh” (tiada tuhan selain Allah) itu; sebagai pernyataan utama dari pesan
kenabian (kerasulan), yang merupakan landasan paling penting bagi pembebasan
dan kemerdekaan manusia. Sebagian kelompok dalam masyarakat yang menobatkan diri
sebagai kalangan elit, para pembesar, kepala-kepala suku (dan bangsa) yang
merasa memiliki kewibawaan dan kemuliaan (secara sosial, ekonomi, dan politik)
menjadi kelompok yang berdiri di barisan paling depan dalam menentang panggilan
fitrah tersebut. Mereka juga mempengaruhi dan mengomandani anggota masyarakat
lainnya untuk melawan (seruan) Rasulullah saw. Pada mulanya mereka menggunakan
ejekan, kritik sinis, olok-olok, dan celaan, yang mencerminkan cara-cara
primitif dan tidak beradab dalam pergaulan sosial. Mereka melakukan itu karena kebencian terhadap seruan
Rasulullah saw. Selanjutnya rasa benci itu berkembang sebagai bentuk
permusuhan, yang menjadikan celaan dan ejekan sebagai alat yang dianggap paling
tepat dengan mempropagandakannya berulang-ulang demi hendak menyaingi langkah
gerak tauhid (pengesaan Tuhan) yang diperjuangkan Rasulullah saw sejak awal
hingga akhir. Kelompok-kelompok lain yang berada di bawah pengaruh mereka juga
terdorong (melakukan hal serupa) masuk ke dalam arena kebencian dan permusuhan
terhadap Rasulullah saw dan orang-orang mukmin. Pada fase awal perjuangan Islam, sejarah kemudian mencatat
bagian-bagian kisah memalukan dan tak bermoral telah dilakukan oleh para
penentang tauhid yang terjadi selama tidak kurang dari tiga belas tahun sebelum
hijrah Nabi Muhammad saw (dari Mekkah) ke Madinah. Catatan sejarah ini
mengungkap berbagai fakta yang patut diperhatikan secara sungguh-sungguh karena
di dalamnya memuat proses perjuangan yang dapat meyakinkan kita atas
pengetahuan dan pemahaman tentang Islam, khususnya tauhid. (Tauhid adalah kata
inti dan terpenting dalam Islam, yang menjadi pembuka dan penutup ajarannya).
Bagi kita, satu di antara sekian banyak kejadian yang paling memilukan dalam
perjalanan hidup ini adalah perubahan bentuk dan pemutarbalikan konsep tauhid.
Hal ini seharusnya dicermati–oleh setiap orang yang menyatakan dirinya merdeka–
sebagai sebuah tragedi paling menyedihkan dalam kehidupan. Sebab, dengan
menerima penyelewengan konsep yang paling fundamental dalam agama ini, berarti
kita tidak dapat lagi menemukan konsep lain yang bisa memberi hasil nyata dalam
mewujudkan kemerdekaan dan pembebasan manusia di sepanjang jalan peradaban.
Tauhid datang kepada umat manusia sebagai tanda dan bentuk pembebasan dari
setiap penindasan. Dalam menegakkan peradaban manusia, sejauh yang kita kenal,
para nabi dan rasul–sebagai pembawa risalah Ilahi–menjadi titik sentral dari
pergerakan yang begitu penting demi (menuju) kebaikan dan kemaslahatan manusia.
Gerakannya bertujuan membebaskan masyarakat dari penindasan, kekejaman,
diskriminasi, dan tindakan yang melampaui batas, mengganggu dan merusak. Bagian terpenting dari moralitas (dan akhlak) yang
terkandung dalam ajaran agama-agama besar, menurut Erich Fromm, meliputi
gagasan dan cita-cita tentang pengetahuan, persaudaraan (mencintai sesama),
mengurangi penderitaan manusia, pembebasan atau kemerdekaan diri, serta adanya
tanggung jawab terhadap setiap bentuk perbuatan. Tentu saja, pelaksanaan dari
cita-cita mulia seperti ini tidak bisa diharap dan ditemui dari para peneliti
materialis. Sebenarnya, gagasan dan cita-cita tersebut dapat disebut sebagai
beberapa bentuk perwujudan “tauhid”. Nabi Muhammad saw, sambil mengarahkan para
pendengarnya pada tauhid, senantiasa mengungkap pesan-pesan yang mereka jadikan
slogan itu, dengan mengejawantahkan tauhid dalam kenyataan (yakni, dalam
perilaku sehari-hari). Dalam garis perjuangan Nabi Muhammad saw, setiap ajakan
harus bisa dipraktikkan dan sang penyeru harus mewujudkannya (lebih dahulu)
dalam tingkah laku. Karena itu, sungguh keadaan yang patut disesalkan jika
mereka–yang mengklaim bertauhid dan mengikuti gagasan dan cita-cita luhur di
atas– menganggap bahwa konsep tauhid sebagai sesuatu yang tak dapat
dipraktikkan, atau malah menjadi teka-teki yang membingungkan, atau hal yang
menyesatkan lainnya. Atau mereka mengira bahwa semua pemikirannya (tauhid) cuma
sebagai konsumsi pikiran (otak) saja yang hanya ditimbang sepintas lalu dan
hanya dirasa perlu dan dicari-cari (pemahamannya) ketika gagasan dan pemikiran
(tauhid) itu dilontarkan kepada mereka. Penolakan dan penentangan yang terjadi
pada periode awal terbitnya Islam mengungkapkan bukti berharga berkenaan dengan
syiar dan pemahaman terhadap konsep ketauhidan. Bukti tersebut adalah: bahwa
semboyan lâ ilâha illallâh (tiada tuhan selain Allah) telah menjadi hantaman
telak terutama bagi orang-orang yang geram (sambil menggemertakkan gigi)
lantaran kebencian dan permusuhan. Gerakan tauhid mendapat perlawanan sengit dari
kelompok-kelompok yang berpengaruh dalam masyarakat dengan mengerahkan seluruh
keutamaan, kewibawaan, dan kekuatan (sosial-politik) yang menjadi haknya.
Orientasi sosial sebuah (konsep) pemikiran dan gerakan Ilahiah, dengan berbagai
bentuk kegiatannya, dapat dilihat dengan baik melalui reaksi kelompok-kelompok
yang memusuhi gerakan atau pemikiran Ilahiah tersebut. Reaksi musuh tersebut
akan memperlihatkan dengan jelas–tentu melalui penelitian–sifat-sifat mereka
berikut pendukungnya. Dengan meneliti bentuk interaksi sosial yang terjadi bisa
diketahui bahwa penentangan suatu kelompok masyarakat tertentu pada umumnya
berhubungan dengan usaha-usaha pergerakan dan pemikiran tersebut. Kuatnya
kebencian pihak musuh merupakan tantangan yang menguji kualitas dan kekuatan
sebuah gerakan. Ternyata, penelitian terhadap kondisi semacam itu menghasilkan
pemilahan terhadap masyarakat menjadi dua kelompok; satu golongan sebagai
pendukung gerakan, yang berhadapan dengan golongan lain sebagai musuhnya.
Sehingga –belajar dari semua itu– kita kemudian bisa mempertimbangkan dan memilih
jalan mana yang maslahat, aman, dan bijaksana, guna menemukan pemahaman yang
benar dari suatu gerakan suci (ketuhanan). Dengan mengamati secara teliti kondisi masyarakat tersebut,
kita melihat adanya kelompok berpengaruh yang memiliki kekuatan (sosial,
ekonomi, dan politik) yang besar. Mereka biasanya menjadi lapisan pertama yang
menentang panggilan Ilahi (agama). Mereka mewujudkan seluruh bentuk penentangan
itu dengan daya upaya sebaik dan sekuat mungkin dari yang mereka mampu lakukan. Oleh karena itu, kita dapat memahami dengan jelas bahwa
suatu agama atau gerakan Ilahiah biasanya (lazim) menghadapi kelompok seperti
itu. Bentuk yang terkandung dalam setiap seruan agama (Ilahi) ialah perlawanan
terhadap sifat dan sikap mereka yang melampaui batas, juga terhadap kekuatan
atau kekayaan yang diperoleh secara curang, selain perlawanan secara mendasar
terhadap segala bentuk diskriminasi sosial. Dengan menggunakan ketauhidan dalam
menimbang permasalahan, berarti kita berhadapan dengan simbol-simbol kebesaran
dan kemuliaan yang ditempatkan secara keliru dalam masyarakat. Simbol-simbol itu digunakan oleh sebagian orang untuk
memanipulasi, membodohi, dan menindas anggota masyarakat yang lain. Jadi,
konteks tauhid sesungguhnya bukanlah sekadar urusan pemikiran, atau teori, atau
sebagai filsafat, atau suatu ungkapan dan syair indah semata –sebagaimana hal
ini telah menjadi sebuah kekeliruan (kesalahkaprahan) yang merata dalam
pemahaman masyarakat (umumnya). Tetapi, tauhid adalah asas terpenting bagi
manusia untuk melihat keberadaan alam semesta, menyadari posisi diri dan
memperbaiki akhlak, di samping keberadaannya sebagai doktrin sosial, ekonomi,
dan politik. Dalam peristilahan dan literatur keagamaan serta wacana yang lain,
tauhid memiliki pengertian paling luas dalam pergerakan masyarakat. Tauhid
dapat tumbuh subur dan mudah berkembang karena ia dapat memberikan pengaruh
kuat bagi setiap konsep konstruktif dan revolusioner, sekaligus menutupi
aspek-aspek buruk dan diskriminatif dalam kehidupan sosial. Oleh karena itu, adalah keliru jika menganggap bahwa
pemikiran dan gerakan tauhid hanyalah sebagai proses kebetulan dalam peradaban.
Seluruh pernyataan dan gerakan Ilahiah yang terjadi dalam sejarah justru
mengisyaratkan dan tertuju pada satu titik, yakni kesaksian bahwa tidak ada
tuhan selain Allah; bahwa pencipta dan pengatur alam semesta beserta seluruh
isinya hanyalah Dia, dan semua akan kembali kepada-Nya. (Sumber: The Essence of Tawhid) |