Kenabian Pamungkas dan Syariat IslamDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Pertanyaan mendasar yang
juga dapat dilontarkan berkenaan dengan masalah ini adalah, mengapa kenabian
dan syariat berakhir dengan agama Islam? Dengan kata lain, apa filsafat dan
rahasia dari khâtamiyyah? Filsafat dan rahasia
khâtamiyyah berada pada kesempurnaan agama dan syariat Islam; yakni syariat
Islam merupakan puncak dari suatu rentetan syariat yang turun dari sisi Tuhan.
Secara teoritis, sistem syariat Ilahi akan mencapai suatu titik akhir dimana
paling sempurnanya ushul, parameter, dan prinsip wahyu untuk memberi hidayah
kepada manusia telah tersusun dan tertetapkan. Dan perkara ini adalah mungkin
(possible) serta tidak diragukan perealisasiannya berada dalam cakupan ilmu dan
kudrat Ilahi. Di samping itu, dalil-dalil khatamiyyah juga menguatkan atas
asumsi dan teori ini. Oleh karena itu, sebagai natijahnya filsafat dan rahasia
khatamiyyah adalah kesempurnaan syariat. Sebelumnya kami telah
jelaskan makna dari khâtamiyyah baik secara semantik maupun secara istilah. Di
samping itu kami juga telah paparkan beberapa pertanyaan dan isykal mendasar
terhadap konsep dan teori ini beserta jawabannya. Sekarang beberapa pembahasan
urgen lainnya di seputar tema khatâmiyyah kenabian dan syariat Islam ini akan
coba kami paparkan sebagai kelanjutan dari tulisan sebelumnya. Hikmah
Khatamiyyah
Pertanyaan mendasar yang
juga dapat dilontarkan berkenaan dengan masalah ini adalah, mengapa kenabian
dan syariat berakhir dengan agama Islam? Dengan kata lain, apa filsafat dan
rahasia dari khâtamiyyah? Filsafat dan rahasia
khâtamiyyah berada pada kesempurnaan agama dan syariat Islam; yakni syariat
Islam merupakan puncak dari suatu rentetan syariat yang turun dari sisi Tuhan.
Secara teoritis, sistem syariat Ilahi akan mencapai suatu titik akhir dimana
paling sempurnanya ushul, parameter, dan prinsip wahyu untuk memberi hidayah
kepada manusia telah tersusun dan tertetapkan. Dan perkara ini adalah mungkin
(possible) serta tidak diragukan perealisasiannya berada dalam cakupan ilmu dan
kudrat Ilahi. Di samping itu, dalil-dalil khatamiyyah juga menguatkan atas
asumsi dan teori ini. Oleh karena itu, sebagai natijahnya filsafat dan rahasia
khatamiyyah adalah kesempurnaan syariat. Berdasarkan ini,
sebagian ulama (khususnya ulama Irfan) dalam mendefinisikan khâtam (baca;
khâtim) mengatakan, khâtam, yakni nabi khâtam adalah nabi yang melewati seluruh
tingkatan-tingkatan kesempurnaan dan tidak ada lagi tersisa satu tingkatan pun
yang tidak dilewatinya sehingga dengan perantaraan orang lain jalan itu akan
terlewati, dan dia juga mengajarkan kepada manusia jalan dan cara melewatinya.[1] Dalam definisi ini tidak
hanya dijelaskan bahwa khâtamiyyah adalah tidak akan datang lagi nabi dan
syariat sesudahnya (sesudah nabi akhir Rasulullah Saw), tetapi juga disebutkan
‘sebab’ mengapa tidak akan datang lagi nabi pemilik syariat baru. Menurut
Syahid Muthahari, jika yang akan diberitakan kepada manusia tidak tersisa lagi,
tingkatan yang akan dilewati sudah terlewati semua, yakni seluruh tingkatan
dalam bagian ini sudah mencapai final maka dengan sendirinya nubuwwah juga
mencapai puncak dan akhirnya.[2] Oleh karena itu, ‘sebab’ mengapa khatamiyyah tidak terjadi
di awal pengutusan para nabi serta mengapa ia terjadi di zaman Rasulullah Saw,
jawabannya dapat dianalisa dari dua dimensi. Pertama, berhubungan dengan
pembawa syariat dan penerima wahyu dari sisi Tuhan; yakni para nabi As dan
kedua, berhubungan dengan masyarkat yang menerima wahyu dan syariat; yakni
manusia secara umum. Kedua dimensi tersebut memestikan prinsip kebertahapan
dalam kesempurnaan; yakni mesti mukaddimah dan tahap demi tahap terlewati
sampai tersedia syarat-syarat yang layak bagi diturunkan dan disampaikannya
syariat akhir -dimana ia adalah paling sempurnanya kitab syariat Ilahi bagi
masyarakat manusia-. Meskipun akal dan pengetahuan manusia yang terbatas tidak
dapat mempersepsi seluruh dimensi dari masalah ini, tetapi apa yang sudah
diungkapkan sebagai analisa dan penjelasan global terhadapnya, menurut akal,
pengetahuan, dan pengalaman manusia, dapat diterima secara baik. Yakni meskipun
kita tidak sanggup mengutarakan analisa rasional kesempurnaan syariat secara
detail dan dalam seluruh makrifat-makrifat serta hukum-hukumnya; tetapi kita
tetap dapat memaparkan berbagai analisa dan kajian dari sebagian
prinsip-prinsip syariat Islami dalam aspek akidah dan amal sehingga filsafat
dan rahasia khatamiyyah menjadi lebih jelas.[3] Monoteisme Qur’ani
Salah satu inti dakwah para nabi As adalah tauhid. Akan
tetapi tauhid yang al-Qur’an tampilkan dan jelaskan, kendatipun dalam bentuk
penjelasan dan tafsiran yang simpel, mengandung penafsiran dan pemahaman yang
sangat tinggi dan dalam. Tauhid Qur’ani mengandung seluruh tingkatan-tingkatan
tauhid (tauhid dzat, sifat, penciptaan, pengaturan, dan ibadah) dan memandang
bahwa sumber semua itu adalah ke-basith-an dzat suci Tuhan dan ketakterbatasan
kesempurnaan-Nya. Yakni ketunggalan Tuhan bukan dari jenis kesatuan angka,
komprehensi, dan mahiyah; akan tetapi Tuhan adalah eksistensi murni dan tidak
ada jalan sedikitpun bagi keterbatasan mahiyah dan kefakiran esensial
kepada-Nya. Sebagai bukti dari klaim ini adalah, al-Qur’an sesudah
menjelaskan keesaan Tuhan, dia lantas menyebutkan sifat Qahhariyyat-Nya; yakni
Tuhan sama sekali tidak memiliki keterbatasan serta tidak maqhûr (terkalahkan)
sedikitpun dari batasan dan faqr wujudi (kefakiran eksistensial).[4] Oleh karena itu, menurut al-Qur’an,
Tuhan adalah eksistensi murni dan kesempurnaan tidak terbatas. Berasaskan ini,
asumsi dualisme atau politeisme merupakan asumsi yang mustahil (kontradiksi
dengan monoteisme); sebab asumsi ini memestikan setiap dari keduanya memiliki
keterbatasan eksistensial dan keberangkapan dari dimensi keberadaan dan
ketiadaan; sementara selain dari ini, tidak mungkin dikonsepsi bentuk lain dari
keberadaan dualisme dan politeisme. Natijah dari ini, asumsi ke-bashit-an dzat
dengan keberangkapan dzat adalah saling kontradiksi dan tidak sesuai (sementara
pembuktian tauhid memiliki burhan yang kokoh dan kebenarannya tidak
tergoyahkan). Oleh karena itu, gambaran tentang tauhid tidak dapat
diperoleh dari ajaran agama lain dan tidak dapat diasumsikan lebih sempurna dan
lebih tinggi sebagaimana yang dikandung dan dijelaskan oleh al-Qur’an. Diriwayatkan dalam sebuah hadits dari imam Zainul Abidin
yang menegaskan bahwa tauhid Qur’ani memiliki kandungan yang sangat dalam dimana
hanya sesuai dengan starata pemikiran dan akal manusia dalam priode akhir
sejarah manusia. Dalam hadits tersebut disebutkan, karena Tuhan mengetahui di
akhir zaman akan datang manusia-manusia yang mempunyai kedalaman pandangan dan
pemikiran maka Tuhan menurunkan surah Tauhid dan ayat-ayat awal surah Hadid.
Jika seseorang menginginkan beranjak lebih tinggi dari tingkatan makrifat
ketuhanan dari ini maka dia akan hancur;[5]sebab
lebih tinggi dari ini, sebagaimana yang diuraikan sebelumnya, akan berakhir
pada kontradiksi. Eskatalogi Qur’ani
Pengajaran al-Qur’an dalam masalah eskatalogi juga merupakan
pengajaran yang paling sempurna dari seluruh pengajaran yang ada dan yang dapat
diasumsikan dalam masalah ini. Al-Qur’an memandang maad manusia dalam dua
dimensi jasmani dan ruhani; yakni kedua-duanya akan mahsyur (dikumpulkan dan
dibangkitkan) di hari kiamat. Balasan dan siksaan ukhrawi juga sebagian
berhubungan dengan kelezatan dan penderitaan badan dan sebagian berhubungan
dengan kelezatan dan penderitaan ruh. Asumsi-asumsi lain selain dari pandangan
ini, akan berakhir pada pengingkaran prinsip maad atau penggambaran tentangnya
yang salah dan kurang sempurna. Oleh karena itu, dalam masalah eskatologi,
tidak akan ditemukan konsepsi yang lebih sempurna dari apa yang diungkapkan
oleh al-Qur’an. Sistem Moralitas Dalam Al-Qur’an
Suatu sistem moralitas yang ideal mesti mengandung
pengajaran yang mengarahkan individu-individu manusia kepada kepemilikan
sifat-sifat sempurna akhlaki dan terpuji serta menghilangkan dan menjauhkan
mereka dari sifat-sifat tercela dan tidak terpuji akhlaki. Untuk mencapai
kepada tujuan ini dibutuhkan; pertama, amal dan kedua, motiv serta tujuan. Apa
yang berhubungan dengan amal tidak lain adalah melaksanakan
pekerjaan-pekerjaan yang terpuji dan menjauhi perbuatan-perbuatan yang tercela.
Cara ini mesti dilakukan secara kontinyu dan permanen; sebab
pelatihan jiwa dalam melakukan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan buruk yang
berkesinambungan akan menyebabkan keutamaan dan kebaikan mengakar dan malakah
dalam jiwa manusia. Salah satu keutamaan manusia dibanding dengan maujud-maujud
lainnya. dia memiliki kemampuan berikhtiar dalam perbuatannya. Karena itu,
manusia dalam mengambil keputusan untuk mengerjakan suatu perbuatan
senantiasa berasaskan motiv dan tujuan yang dirancang dan dipilihnya. Sementara
motiv dan tujuan dalam akhlak mempunyai pengaruh yang sangat asas dan mendasar
bagi bentuk dan sistem moralitas yang akan ada. Secara pokok terdapat tiga macam motiv dan tujuan yang bisa
diutarakan: 1. Motif dan tujuan duniawi; yakni upaya untuk meraih
kecintaan dan kepopuleran masyarakat sebagai sarana untuk mendapatkan
manfaat-manfaat duniawi. Sistem moralitas materialis tidak punya pilihan selain
menawarkan bentuk peraihan manfaat duniawi sebesar-besarnya; sebab ia tidak
memiliki landasan teologis dan eskatologis yang mengarahkan manusia di samping
peraihan manfaat duniawi juga pencapaian manfaat ukhrawi dalam bentuk
keselamatan dan kebahagiaan abadi. 2. Motif dan tujuan ukhrawi; yakni harapan untuk
memperoleh balasan perbuatan baik bagi pelakunya yang akan diberikan kepadanya
di hari kiamat. Sistem akhlak ini lebih baik dan lebih sempurna dibandingkan
dengan sistem akhlak sebelumnya; tetapi tetap terlihat dalam sistem ini nuansa
manusia sentris dalam bentuk maknawi yang langgeng, tidak dalam bentuk
materialis yang tidak langgeng. 3. Motif dan tujuan Ilahi: yakni memandang bahwa
keagungan, kemuliaan, keutamaan, dan kekuatan yang hakiki hanya milik Allah
Swt. Karena itu, manusia dalam seluruh perbuatannya, baik itu perbuatan-perbuatan
baik untuk mendapatkan kemuliaan dan keutamaan maupun menjauhi
perbuatan-perbuatan buruk untuk tetap aman dari kekuatan yang lebih tinggi
darinya, mesti senantiasa berpikiran mendekatkan diri kepada Tuhan dan tidak
mencari perlindungan kecuali perlindungan-Nya. Berasaskan ini maka tidak ada
tempat sekecil apapun dari sifat riya, cari popularitas, takut dari selain
Tuhan, berharap kepada selain Tuhan, dan sifat-sifat rendah akhlak lainnya bagi
jiwa yang terpatri dengan akidah ini. Dari dua metode terakhir yang disebutkan, metode paling
akhir yang merupakan kekhususan dari al-Qur’an. Dan adapun metode kedua, telah
diutarakan agama-agama wahyu sebelumnya dan menjadi subyek dakwah para nabi As,
karena itu al-Qur’an juga menegaskan metode kedua ini. Sebagaimana terpahami
dari ayat-ayatnya bahwa ia (al-Qur’an) di samping membenarkan kitab-kitab wahyu
sebelumnya, juga menjadi muhaimin atas mereka: “Dan Kami telah menurunkan Kitab
(al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan
kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya,….” (Qs. al-Maidah[5]:
48) Jadi al-Qur’an menyempurnakan sistem syariat-syariat sebelumnya dan
menawarkan sistem akhlak yang paling sempurna. Oleh karena itu, al-Qur’an tidak
menghapuskan metode akhlak yang kedua, bahkan ia menjadikannya berada dalam
kevertikalan metode ketiga; sebab al-Qur’an mengetahui secara benar perbedaan
manusia dalam memahami makrifat-makrifat tinggi tauhid serta mengambil paedah
dan manfaat darinya.[6] Dasar dan Prinsip Kemasyarakatan Dalam
Al-Qur’an
Dasar dan prinsip yang al-Qur’an tawarkan dalam bidang
hubungan kemasyarakatan, juga merupakan dasar dan prinsip yang paling sempurna
yang diketahui oleh manusia. Dengan membandingkan ayat-ayat al-Qur’an yang
berkenaan dengan sistem keluarga, hak-hak madani, masalah-masalah ekonomi,
hak-hak individu dan sosial, sistem pemerintahan, sistem politik, dan
masalah-masalah lainnya yang berhubungan dengan masalah kemasyarakatan dengan
undang-undang dan aturan manusia yang paling maju dalam masalah ini, maka dapat
dipahami secara jelas kebenaran akan klaim ini. Undang-undang kemasyarakatan Islam tegak berasaskan keadilan
dan keutamaan; yakni hubungan kemasyarakatan dalam Islam diatur dan dijaga
dalam bentuk sedemikian hingga yang memelihara prinsip keadilan dan keutamaan
insani. Di samping itu kepentingan dan maslahat umum dikedepankan ketimbang
kepentingan dan manfaat pribadi. Berasaskan ini, kecintaan dan persahabatan,
kedamaian dan ketentraman, ketenangan dan keamanan, menjadi tujuan strategis
dan mendasar Islam dalam kehidupan kemasyarakatan dan jalan untuk mencapainya
hanya dengan cara menjaga keadilan dan keutamaan akhlaki. Adapun sarana yang
menopang bagi terealisasinya tujuan tersebut, adalah sistem pemerintahan,
pengaturan, dan pengawasan secara umum yang terlaksana lewat prinsip
‘memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran’. Dalam hal ini kami menghindari untuk menjelaskan secara
panjang lebar dan detail prinsip dan dasar Islam ini dengan menyebutkan dalil
dan nash al-Qur’an serta riwayat-riwayatnya, sebab penguraian seperti itu tidak
masuk dari tujuan penulisan ini. Oleh karena itu, untuk mencukupkan kajian filsafat
khâtamiyyah ini, kami kembali bawakan pandangan Syahid Muthahari dalam masalah
ini. Sebagaimana yang kami sebutkan sebelumnya, Syahid Muthahari dalam
mengomentarai definisi khâtam, yaitu khâtam adalah nabi yang melewati
seluruh tingkatan-tingkatan kesempurnaan dan tidak ada lagi tersisa satu
tingkatan pun yang tidak dilewatinya… menyatakan, jika yang akan diberitakan
kepada manusia tidak tersisa lagi, tingkatan yang akan dilewati sudah terlewati
semua, yakni seluruh tingkatan-tingkatan sudah mencapai final seluruhnya maka
dengan sendirinya nubuwwah juga mencapai puncak dan akhirnya. Yakni Syahid
Muthahari lewat komentarnya terhadap definisi ini mengungkapkan filsafat dari
khâtamiyyah, yaitu dikarenakan tidak ada matlab yang perlu diberitakan dan
disampaikan kepada manusia lewat wahyu dan ilham lagi (dikarenakan seluruh
tingkatan telah terlewati dan matlab telah disampaikan seluruhnya) maka tidak
dibutuhkan lagi kedatangan seorang nabi dan syariat baru sesudah
kedatangan Nabi Islam Muhammad Saw dan syariat yang dibawanya. Di samping itu,
definisi ini juga meliputi makrifat-makrifat ketuhanan, aturan-aturan
moralitas, hukum-hukum individual yang berkenaan ibadah, dan hukum-hukum
kemasyarakatan. Dan sebagaimana kita ketahui bahwa tauhid, makrifat Ilahiyyah,
dan makrifat rububiah mempunyai tingkatan-tingkatan dan semua
tingkatan-tingkatan ini dijelaskan dalam al-Qur’an. Sementara itu kekhususan
moralitas manusia; yakni habungan manusia dengan dirinya dan kebagaimanaan
mengatur instink dan syahwatnya, telah dijelaskan dalam al-Qur’an dalam bentuk
sistem akhlak yang paling tinggi. Demikian pula prinsip dan hubungan di antara
manusia yang mesti tercipta dalam masyarakat dan yang mesti ditiadakan di
dalamnya, juga terkandung dalam konsep kemasyarakatan Qur’ani; karena
itu, sesuatu yang menjadi tanggung jawab wahyu dan mesti disampaikan kepada
masyarakat dengan perantaraannya, sudah tersampaikan semuanya. Dengan kata lain
tidak tersisa lagi satu matlab pun yang akan diberitakan kepada manusia lewat
wahyu dan ilham. Rahasia Islam sebuah agama yang hidup dan lestari,
pengajarannya yang tidak dapat dibandingkan dan digantikan dengan
pengajaran lain dalam setiap aspek kehidupan manusia; sebab agama ini tidak
memberikan bentuk pengajaran yang bersifat parsial dan temporer sehingga hanya
berhubungan dengan zaman dan wilayah khusus. Melainkan ia menawarkan pengajaran
yang bersifat universal dan meliputi seluruh zaman dan tempat. Oleh karena itu,
prinsip dan tujuan yang terungkap dalam revolusi agama tauhid ini tidak
terkhususkan pada suatu zaman dan tempat tertentu, tetapi ia mengatasi seluruh
zaman dan tempat. Hakikat bahwasanya hanya Tuhan yang mesti disembah, tidak
terkhususkan bagi zaman dan tempat khusus dan juga tidak terkhususkan bagi
suatu bagnsa dan suku khusus. Syiar tauhid Qur’ani yang mengajak penafian
segala bentuk tuhan selain Allah dengan pernyataannya: “Allah, tidak ada tuhan
selain Dia. Yang Mahahidup, Yang terus menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak
mengantuk dan tidak tidur. Milik-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di
bumi. Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya…” (Qs.
al-Baqarah[2]:255), senantiasa hidup dan baru dan selamanya tidak akan usang
dan mati. Demikian pula pengajaran Islam tentang maad dan eskatologi.
Syiar al-Qur’an dengan seruan: Wahai manusia! Engkau merupakan suatu maujud
yang hakikat dan identitasmu akan kembali kepada Tuhan, perbuatan dan amalmu
tidak akan hilang serta realitas dan eksistensimu tidak akan musnah: “Dan bahwa
manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya. Dan sesungguhnya
usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan
kepadanya dengan balasan yang paling sempurna. Dan sesungguhnya kepada
Tuhanmulah kesudahannya.” (Qs. an-Najm[53]: 39-42) “…sesungguhnya Kami
milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali.” (Qs. al-Baqarah[2]: 156) Dari sudut pandang Islam, bekerja dan berusaha adalah
ibadah, karena itu bermalas-malasan, menganggur, dan menjadikan diri benalu
bagi orang lain adalah sesuatu yang dicela dalam agama ini. Prinsip ini tentunya
bersifat langgeng dan tidak akan terhapus, sebab sesuai dengan tabiat manusia
yang memuji kerja dan mencela kemalasan. Selain itu, prinsip saling menolong
dan persaudaraan, merupakan salah satu prinsip kemasyarakatan Islam yang juga
bersifat lestari dan tidak akan terhapus. Dengan prinsip hubungan
kemasyarakatan ini akan terciplah suasana aman dan tentram dalam masyarakat,
sebab setiap muslim merasakan dirinya menjadi bagian dari saudara-saudara
muslim lainnya. Dasar dan prinsip yang telah disebutkan dan prinsip-prinsip
serta aturan-aturan Islam lainnya, sedemikian hingga didesain oleh Tuhan
sehingga tidak berhubungan dengan hanya kebudayaan, bangsa, suku, zaman, dan
tempat khusus, tetapi bersifat universal dan berlaku selamanya. Tafsiran Terhadap Khâtamiyiyyah Pandangan dan penafsiran para cendekiawan mazhab-mazhab
Islam terhadap khâtamiyyah dan syariat Islam –dari awal hingga kini-, bahwa
syariat ini merupakan syariat Ilahi paling akhir dan sampai dunia ini berakhir
ia akan menjadi agama hak Ilahi dan menjadi landasan serta neraca akidah,
akhlak, dan amal perbuatan mereka. Tidak diragukan, dalam setiap priode sejarah manusia dimana
manusia mesti mengikuti syariat Ilahi dalam priode itu, mereka juga harus tetap
menggunakan akal dan pengetahuannya. Sebab wahyu dan syariat diturunkan bukan
untuk mengenyampingkan akal, pengetahuan, dan pengalaman manusia; akan tetapi
ia diturunkan malah untuk mengangkat dan meluaskan horizon pemahaman dan
pandangan teoritis manusia serta menjelaskan kepada manusia dimensi-dimensi
yang lebih tinggi dari jangkauan akal dan eksperimennya. Meskipun kadar dan
ukuran kebutuhan manusia kepada hidayah wahyu disepanjang sejarah adalah tidak
sama, tetapi yang pasti prinsip kebutuhan manusia kepada makrifat dan hidayah
wahyu tidak terbatas kepada zaman dan priode khusus dan manusia selamanya butuh
kepada sumber ini untuk menapaki jalan menuju kebahagiaan dan kesempurnaan. Berasaskan ini, maksud dari khâtamiyyah tidak berarti bahwa
manusia dikarenakan telah mencapai kemekaran akal dan ilmu maka sesudah ini
mereka tidak butuh lagi kepada hidayah dan bimbingan wahyu. Tidak berarti
dengan minus wahyu mereka dengan kemampuan akal dan ilmunya sanggup memecahkan
segala kebutuhan-kebutuhannya dalam kehidupan individu dan sosial, kehidupan
materi dan spiritual, dan sanggup menyelesaikan seluruh masalah yang
berhubungan dengan keselamatan dan kebahagiaannya di dunia dan di akhirat.
Dalam hadits-hadits dijelaskan bahwa halal dan haram dalam agama khâtam ini
berlaku hingga hari kiamat dan tidak akan menerima perubahan serta tidak akn
dikarantinakan, yakni tidak akan datang syariat baru yang akan menghapusnya dan
menggantikannya. Sebagaimana diriwayatkan bahwa Zurarah bertanya kepada Imam
Shadiq As tentang halal dan haramnya Tuhan; Imam Shadiq As berkata: Halalnya
Muhammad Saw, halal selamanya hingga hari kiamat dan haramnya, haram selamanya
hingga hari kiamat, tidak akan ada selainnya dan tidak akan datang selainnya.[7] Di samping riwayat ini masih banyak
riwayat-riwayat lain yang berkenaan masalah ini dalam kitab-kitab hadits Syiah
dan Sunni yang kami serahkan kepada pembaca untuk merujuknya. Tafsiran Lain Terhadap Khâtamiyyah
Dalam masalah khâtamiyyah ini terdapat tafsiran lain dari
sebagian ilmuan dan pemikir Islam kontemporer yang menurut kami perlu
dicermati, ditelaah, dan jika perlu dikritik. Menurut mereka, khâtamiyyah agama
dan syariat adalah, manusia dikarenakan dari segi akal dan ilmu berada pada
suatu kondisi zaman dimana mereka dengan sendirinya mampu mengenal jalan
kehidupannya maka mereka tidak butuh kepada bimbingan kenabian dan hidayah
wahyu lagi. Sebagaimana bentuk tafsiran ini dapat kita lihat dari ungkapan dan
pernyataan Doktor Abdul Karim Sorush salah seorang pemikir kontemporer muslim
dari Iran. Dalam salah satu tulisannya dia menyatakan, hal yang jelas dapat
dilihat, manusia menemukan ketidakbutuhannya dari para nabi dan
pengajaran-pengajaran mereka. Dan itu menggambarkan bahwa terkadang nisbah
manusia dengan maktab para nabi telah berganti dan kekuasaan yang dimiliki
maktab para nabi dalam priode-prioede yang telah lalu atas manusia, sekarang
ini semakin melemah. Penyebab Ketidakbutuhan manusia sekarang ini dari para nabi
adalah pengajaran-pengajaran mereka yang masuk ke dalam akal manusia
terhitung perkara-perkara yang badihi. Berperang dengan penyembah berhala
yang ketika itu butuh kepada (pengajaran-pengajaran para nabi) dan upaya-upaya
mengantisipasinya, sekarang ini ketidakbenarannya (ketidakbenaran penyembahan
berhala) merupakan perkara badihi bagi manusia berperadaban dan jadid (baru).
Keberhasilan para nabi tadinya adalah nilai-nilai moralitas seperti keadilan,
amanat, dan lainnya mereka jadikan sebagai perkara-perkara badihi kebudayaan
manusia, dan sekarang manusia tidak butuh lagi kepada peringatan-peringatan
mereka.”[8] Seirama dengan tafsiran di atas, sebelumnya seorang pemikir
terkenal muslim berkebangsaan Pakistan Muhammad Ikbal menyatakan, Nabi Islam
Saw berada antara alam qadim (lama) dan alam jadid (baru); yakni sampai batas
matlab yang berhubungan dengan sumber wahyu dan ilham adalah dia maka wujudnya
berhubungan dengan alam qadim dan tempat yang menjadi subyek berhubungan dengan
ruh wahyu dan ilham adalah dia maka bergantung dengan alam baru…. Permasalahan kenabian dalam Islam sampai pada suatu
kedudukan dimana ia memperoleh batas kesempurnaannya dan kenabian mencapai
akhirnya. Peristiwa ini meliputi makna ini bahwa dari sini hingga kemudian,
bidang-bidang kehidupan tidak boleh berada dalam tangan orang-orang tertentu
dan khusus, dan manusia untuk dapat secara sempurna menggunakan sumber-sumber
nurani dan kesadaran puncaknya, mesti menyerahkan ikhtiyarnya kepada dirinya. Realitas perkara, bahwa al-Qur’an anfusi dan âfâqi dipandang
sebagai sumber-sumber pengetahuan dan makrifat dan ini adalah tanggung jawab
manusia megaplikasikan seluruh dimensi-dimensi dan tingkatan-tingkatan yang
membuahkan potensi dan kelayakannya. … terdapat kecenderungan dalam sistem kehidupan yang
menyediakan kondisi perasaan dan kemandirian kepada aktivitas dan mujahadah
ruhani dan maknawi. Dan dengan perantaraan penciptaan akidah ini akan
melahirkan pemahaman bahwa priode kekuasaan dan kelebihan pemilik-pemilik
kekuatan individual yang mengklaim memiliki kedudukan matafisika, telah
berakhir dalam sejarah manusia.[9] Mencermati bentuk tafsiran terhadap khâtamiyyah ini maka
dapat dikemukakan beberapa isykal dan kritik terhadapnya: Kritik dan Isykal Terhadap Pandangan Abdul Karim Sorush Kritik terhadap pernyataan Abdul karim Sorush ini dapat
diungkapkan dalam bentuk beberapa poin: 1. Menyalahi hadits-hadits Nabi Saw yang dengan jelas
menyebutkan kelanggengan hukum-hukum Islam dan memandang bahwa kebutuhan
manusia terhadap agama merupakan suatu perkara yang berlaku selamanya. Seperti
hadits berikut ini: Imam Baqir As meriwayatkan dari Rasulullah Saw bahwa beliau
bersabda: Wahai manusia! Kehalalanku, halal hingga hari kiamat dan keharamanku,
haram sampai hari kiamat.[10] Demikian pula pandangan ini tidak
sesuai dengan ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan khâtamiyyah. Seperti
ayat berikut ini: “…pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan
telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai
agamamu….” (Qs. al-Maidah[5]: 3) Ayat-ayat yang berkenaan khâtamiyyah
menegaskan bahwa kitab al-Qur’an merupakan kitab hidayah dan pengingat bagi
manusia dan agama Islam yang sempurna telah menjadi agama yang diridai Tuhan
yang akan membawa manusia kepada keselamatan dan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Oleh karena itu, bagaimana bisa diterima bahwa sesudah ini (khâtamiyyah) maka
manusia tidak butuh lagi kepada agama, hidayah, dan peringatan-peringatan
al-Qur’an?! 2. Penyembahan berhala, hatta dalam bentuknya yang tua
dan sangat awal, hari ini masih terdapat dalam masyarakat manusia. Jadi
berdasarkan alasan penyembahan berhala merupakan perkara badihi bagi manusia
sekarang maka semestinya mereka tidak butuh lagi kepada pengajaran para nabi,
jelas sekali tertolak dengan bukti masih adanya masyarakat manusia yang
menyembah berhala dalam bentuknya yang awal. Tambahan pula, bentuk baru
penyembahan berhala di era sekarang ini lebih kabur dan lebih banyak dapat
menyesatkan masyarakat manusia ketimbang dari bentuknya yang tua dan awal. 3. Mengapa kita memandang bahwa karena akhlak di dalam
agama didasari oleh perkara-perkara badihi maka manusia tidak butuh kepada
peringatan-peringatan agama? Memangnya agama terbangun dengan beberapa prinsip
akhlak badihi saja? Pada dasarnya prinsip dan dasar berbagai makrifat dan
pengetahuan, baik itu teoritis dan amali, senantiasa terbangun dari hal dan
perkara badihi, dan pengetahuan terhadap ini tidak terkhususkan bagi manusia
baru saja. Jika kebadihian perkara-perkara tersebut menjadi dalil
ketidakbutuhan manusia baru atas agama maka natijah dari ini pengingkaran
terhadap prinsip agama dan kenabian, sebagaimana sebagian pengingkar kenabian
dan agama menyandarkan kepada matlab seperti ini.
Kritik Ustad Syahid Muthahari Atas Pandangan Muhammad Iqbal Ustad Syahid Muthahari mengutarakan beberapa poin kritikan
penting atas pandangan Muhammad Iqbal tentang filsafat kepamungkasan kenabian
-yang telah kami sebutkan di atas-. Berikut ini kami bawakan ringkasan
kritikannya: 1. Filsafat ini, jika benar, ia adalah filsafat keberakhiran
keberagamaan, bukan filsafat kepamungkasan kenabian. Dan kerja wahyu Islami
(dalam hal ini) hanya memberitahukan berakhirnya priode agama dan mulainya
priode akal dan ilmu. Matlab ini adalah menyalahi kedarurian Islam. 2. Teori tersebut juga menyalahi pandangan Muhammad Iqbal
sendiri; sebab dia berusaha menetapkan matlab ini bahwa kebutuhan manusia
kepada agama dan keimanan mazhab, seukuran kebutuhannya kepada ilmu. Dia dengan
jelas mengungkapkan bahwa kehidupan butuh pada ushul yang tetap dan furu’ yang
berubah, dan kerja ijtihad Islami adalah menyingkap kesesuaian furu’ atas
ushul.[11] 3. Muhammad Iqbal menegaskan bahwa kepamungkasan kenabian
sama sekali tidak bermakna pengalaman internal (batini) –yang menurut
keyakinannya dari segi kualitatif tidak berbeda dengan pengalaman kenabian-;
yakni ilham dan mukasyafah serta karamah para wali Tuhan tidaklah berakhir.
Kendatipun ilham, mukasyafah, dan karamah para wali itu tidak memiliki hujjiyyah
dan mesti seperti setiap kejadian yang lain berada dalam koridor pengamatan
rasionalitas.[12] Tafsiran dari khâtamiyyah tersebut tidak sesuai dengan
pandangan ini; sebab dia memandang perkara-perkara ini sejenis instink, dan
instink adalah suatu hidayah yang berada di luar suatu maujud dan bukan
merupakan suatu pilihan; tetapi akal (rasionalitas) adalah suatu pengalaman dan
hidayah dari dalam dan muncul dari pilihan. Akan tetapi harus diketahui bahwa wahyu bukanlah dari jenis
instink. Instink adalah suatu persepsi yang tidak lebih tinggi dari persepsi
indra, imajinasi, dan akal, sementara wahyu merupakan persepsi yang lebih
tinggi dari persepsi indra, imajinasi dan akal. 4. Muhammad Iqbal, sangat menentang pandangan sebagian
ilmuan barat yang memandang ilmu sebagai pengganti iman; tetapi pandangannya
tentang filsafat kepamungkasan kenabian natijahnya berakhir dengan pandangan
tidak benar ini; yakni ilmu menjadi pengganti dari iman. 5. Pandangan Muhammad Iqbal, juga tidak sesuai dengan
penafsiran para urafa tentang kepamungkasan kenabian, padahal dia sangat memuja
urafa dan pandangan-pandangannya. Urafa menafsirkan khâtamiyyah bahwa seluruh
tingkatan-tingkatan kesempurnaan telah terjalani dan terlewati dengan perantara
Nabi Islam Saw; yakni Nabi Khâtam Saw telah melewati seluruh jalan-jalan dan
menjadikan seluruh hakikat-hakikat berada dalam ikhtiar manusia, karena itu
tidak ada lagi kebutuhan terhadap kedatangan nabi lain. Para urafa memandang
khâtamiyyah dengan pengertian kesempurnaan kenabian dan agama, tetapi
penafsiran yang Muhammad Iqbal ungkapkan tentang khâtamiyyah, yakni khâtamiyyah
bermakna kesempurnaan rasionalitas individual manusia.[13] Agama Bersifat Tetap dan Kebutuhan Manusia Berubah Hal yang menjadi pertanyaan penting dalam bab Khâtamiyyah
agama adalah bagaimana dapat dipertemukan antara khâtamiyyah dan ketidak
berubahan agama, serta jawaban permasalahan dan kebutuhan-kebutuhan manusia
yang senantiasa berubah? Dari satu sisi, kehidupan manusia senantiasa bergerak
dan berubah dan setiap hari muncul permasalahan baru dimana agama mesti
memberikan jawaban hukum atasnya, sementara dari sisi lain, hukum-hukum agama
telah dijelaskan di era sebelumnya yang sesuai dengan syarat-syaratnya dimana
syarat-syarat tersebut secara total sudah mengalami perubahan di era sekarang.
Dalam konteks ini, bagaimana bisa syariat yang tetap menjadi jalan penyelesaian
hukum dan pemberi jawaban hukum terhadap masalah-masalah yang berubah? Dalam memecahkan masalah ini, kita harus memperhatikan dua
permasalahan berikut ini: a. Sistem penetapan
undang-undang dan penetapan hukum Islam sedemikian hingga, sehingga dalam
keberadaannya yang tetap dan permanen dapat disinkronkan dengan pergerakan dan
perubahan sejarah dan kemasyarakatan. Dan juga dapat disesuaikan dengan
syarat-syarat zaman dan tempat yang beragam serta menawarkan jalan kehidupan
agamis dalam setiap zaman, tempat, priode, dan bagi setiap generasi. b. Meskipun zaman secara zat
berganti dan berubah dan syarat-syarat serta kemestiannya beragam; tetapi
tidaklah demikian bahwa seluruh hakikat-hakikat yang berkuasa dalam alam
natural dan alam manusia mesti mengalami pergantian dan perubahan. Di alam yang
senantiasa bergerak dan berubah ini terdapat serentetan hakikat-hakikat yang
bersifat tetap dan tidak berubah dan selamanya tidak tersentuh oleh keusangan
dan kehancuran. Apakah dengan berlalunya zaman maka landasan pemikiran rasional
seperti prinsip non-kontradiksi, huwiyyah, dan kausalitas menjadi terhapus dan
tidak berlaku lagi? Apakah ungkapan ini, anak cucu Adam ibaratnya
anggota-anggota satu tubuh, dikarenakan telah berusia berabad-abad maka
terhapus dan tidak dapat lagi diamalkan? Apakah prinsip keadilan, amanah, dan
kebaikan, dikarenakan telah berusia ribuan tahun maka sudah menjadi usang dan
kehilangan maknanya di zaman sekarang? Tentu kita semua dengan hanya
mengkonsepsi secara benar subyek permasalahan ini maka akan memberikan jawaban
negative terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Pilar-pilar Dinamis Syariat Khâtam Sekarang kita akan berusaha menyingkap mekanisme dan sistem
kerja khusus yang ada dalam sistem penetapan undang-undang Islam dan dengan itu
kita dapat menunjukkan hubungan timbal balik antara dua konsepsi ‘tetap’ dan
‘berubah’ dalam bab agama dan kehidupan manusia. 1. Hukum-hukum awwaliyyah dan tsanawiyyah Dalam syariat Islam terdapat dua bentuk aturan dan hukum:
sekelompok aturan dan hukum yang berhubungan dengan syarat-syarat biasa dan
lazim kehidupan manusia yang disebut hukum-hukum awwaliyyah (primer) dan
sekelompok aturan dan hukum lainnya yang berhubungan dengan syarat-syarat
terpaksa dan tidak biasa yang disebut hukum-hukum tsanawiyyah (sekunder).
Hukum-hukum tsanawiyyah mengawasi hukum-hukum awwaliyyah dan dalam
syarat-syarat yang tidak biasa dan terpaksa, ia akan merubahnya atau
mencabutnya secara keseluruhan. Misalnya kewajiban berpuasa dalam bulan
ramadhan merupakan salah satu hukum awwaliyyah yang berhubungan dengan
syarat-syarat biasa. Akan tetapi jika berpuasa di bulan itu akan menimbulkan
dharar dan bahaya bagi kesehatan dan keselamatan seseorang maka dalam hal ini
hukum tsanawi yaitu kaidah menghilangkan dharar yang akan berkuasa (berlaku),
dan kewajiban berpuasa bagi orang yang dharar dan berbahaya baginya untuk itu
menjadi terangkat (tidak diwajibkan). Demikian juga jika seseorang apabila
berpuasa maka akan membahayakan orang lain; seperti perempuan yang lagi mengandung
atau ibu yang lagi menyusui bayinya dan baginya berpuasa akan membahayakan
kandungannya atau bayinya. Hukum ini juga berlaku pada kondisi dimana berpuasa akan
menyebabkan kesulitan yang sangat, yaitu kesulitan yang berada di luar batas
yang lazim dalam mengerjakan taklif ini, kendatipun kesulitan tersebut tidak
sampai pada tahap mencelakakan badan. Hukum-hukum tsanawi bentuk ini juga berlaku dalam
ibadah-ibadah lainnya dan bahkan juga berlaku dalam maslah-masalah muamalah
serta fungsinya adalah mengubah hukum awwali atau mencabutnya secara
keseluruhan.[14] Sebagai contoh lain dalam masalah ini, hukum awwaliyyah
memakan daging dan makanan-makanan lainnya yang memiliki kehalalan (yakni
hukumnya mubah). Akan tetapi jika memakannya akan menimbulkan bahaya serius
terhadap badan maka memakannya akan menjadi haram, sebagaimana jika
meninggalkannya akan membawa bahaya bagi badan dan memakannya menjadi daruri
bagi kehidupan manusia maka memakannya dalam hal ini adalah wajib. Di sini
hukum tsanawi ‘dharar’ mengubah hukum awwali, tapi pada saat yang sama hukum
awwali tidak dinasikh dan untuk selamanya tetap ada. 2. Tasyri’ ijtihad dalam Islam Ijtihad dalam peristilahan ulama ushul fikh adalah usaha dan
upaya untuk melakukan instinbat hukum-hukum syar’i dengan merujuk kepada kitab
al-Qur’an, sunnah, dan kaidah-kaidah akal. Dan sebutan mujtahid diberikan bagi
seseorang yang memiliki kemampuan melakukan instinbat hukum-hukum syar’i yang
tentunya setelah mempelajari cara menginstibat dengan merujuk kepada
dalil-dalil al-Qur’an, sunnah, dan kaidah-kaidah akal. Malakah atau kekuatan
berijtihad, meskipun merupakan suatu hakikat yang basith dan tidak mempunyai
bagian-bagian; akan tetapi memiliki tingkatan-tingkatan serta derajat-derajat
lemah dan kuat, karena itu terdapat kemungkinan dalam ijtihad berdimensi
tajazzi (mempunyai kemampuan berijtihad dalam satu bab hukum atau lebih, tetapi
tidak dalam seluruh bab-bab hukum).[15] Para mujtahid, pada hakikatnya mereka adalah kelompok ahli
dalam masalah pengetahuan hukum-hukum agama. Di samping itu terdapat juga
kelompok ahli dalam bidang-bidang ilmu agama lainnya, seperti dalam bidang
sejarah, tafsir al-Qur’an, akidah Islam, perawi hadits-hadits (ilmu rijal),
pengenalan teks-teks hadits, dan bidang ilmu agama lainnya. Para mujtahid ini
merupakan orang-orang yang menguasai bidang pengetahuan hukum-hukum Islami
tentang perbuatan dan tindakan mukallaf dalam ibadah dan muamalah. Bidang keilmuan
inilah yang membentuk ilmu fikh; dan para fuqaha (ahli fikh) serta para
mujtahid merupakan orang-orang ahli dalam disiplin ilmu ini. Oleh karena itu,
sebagaimana merupakan kemestian terdapatnya pakar dan ahli dalam
masalah-masalah teoritis dan praktis dalam masyarakat manusia maka keberadaan
ahli dan pakar dalam hukum-hukum syar’i juga merupakan suatu keniscayaan serta
meragukannya tidak lain adalah suatu bentuk sophisme. Sejarah ijtihad dalam dunia Islam, kembali kepada zaman Nabi
Islam Saw. Di zaman itu, di antara para sahabat Nabi Saw terdapat orang-orang
yang dikenal sebagai ilmuan agama. Perbedaan para sahabat dalam memahami
hadits-hadits yang mereka dengar dari Nabi Saw, menimbulkan perbedaan awal
dalam hadits-hadits. Pangkal dari itu adalah kelupaan atau kelalaian dari
sebagian kekhususan-kekhususan dan kait-kait yang terdapat dalam suatu hadits
dan yang tidak terdapat dalam hadits lainnya, atau penukilan kait dan
kekhususan dalam suatu hadits dan ketiadaan penukilannya dalam hadits lainnya serta
hal-hal semacam itu. Adanya perkara dan kondisi seperti inilah yang kemudian
menjadi faktor timbulnya ijtihad di antara para sahabat-sahabat Nabi saw. Dalam
bentuknya, seperti membandingkan hadits-hadits antara satu dengan lainnya,
melakukan takhsis terhadap yang umum dan melakukan pengkaitan terhadap yang
mutlak, atau melakukan campur tangan terhadap lahiriah hadits dengan bersandar
kepada karinah hâliyyah (kondisi) dan karinah maqâliyyah (pengungkapan). Cara dan metode ini yang tidak lain adalah ijtihad
mustalah dalam hukum syar’i, pada dasarnya telah dilakukan para sahabat di
zaman Nabi Saw dan beliau tidak melarangnya, karena itu metode ijtihad ini
dapat dikatakan mendapatkan legalitasnya sejak itu dan tetap berlanjut setelah
beliau Saw wafat. Bahkan, dikarenakan penyebaran dan perluasan jangkauan agama
Islam dan perbauran yang tak terhindari dengan bangsa-bangsa yang beragam
beserta budaya-budaya mereka dan bermunculannya hadits-hadits buatan serta
semacamnya maka kebutuhan kaum muslimin terhadap ijtihad semakin bertambah
kuat.[16] Berdasarkan itu, tasyri’ (pelegalisasian) ijtihad dalam
syariat Islami, mempunyai pengaruh yang sangat penting bagi kelayakan fikhi
Islami sebagai pemberi jawaban dan pemberi solusi hukum terhadap
masalah-masalah baru yang muncul di dunia Islam. Dan sebagai natijah dari itu
adanya kesesuaian Khâtamiyyah syariat Islam dengan perubahan syarat-syarat
kehidupan dan kebutuhan-kebutuhan baru umat manusia. Mesti kita ketahui bahwa ijtihad tidaklah berarti pengubahan
kaidah-kaidah dan ushul-ushul global syariat; akan tetapi penerapan dan
penjabaran kaidah-kaidah atas misdak-misdak, subyek-subyek khusus dan baru.
Diriwayatkan bahwa aimmah As berkata: Kami yang menjelaskan kaidah-kaidah dan
ushul-ushul global (syariat dan hukum) dan kamu yang melakukan istinbat furu’
dari ushul-ushul ini.[17]
Berdasarkan ini, kaidah-kaidah dan ushul-ushul syariat terbatas dan bersifat
tetap; akan tetapi cabang-cabang (furu’) tidak terbatas dan berubah-ubah.
Tentunya furu’ yang terjadi di zaman para imam As, telah dijelaskan
hukum-hukumnya oleh para imam As sendiri. Tetapi furu’ yang tidak muncul di
zaman mereka dan tidak ditanyakan kepada mereka hukumnya maka jawaban hukum
terhadap furu’ itu diserahkan tanggung jawabnya kepada para mujtahid. Sekarang jelaslah bahwa ijtihad sahih merupakan kekuatan
penggerak yang dinamis atas Islam, ia dapat menberikan jalan solusi hukum di
antara ketidak mungkinan terhapusnya hukum-hukum Islam dan ketidak berubahan
sesuatu yang halal dan haram dalam Islam dengan berbagai
masalah-masalah baru yang muncul. Pergerakan dan perubahan zaman melahirkan
masalah-masalah baru yang harus ditangani para mujtahid, sementara itu
kaidah-kaidah dan ushul-ushul Islami tidak mengalami perubahan dan bersifat
tetap. Oleh karena itu, tugas para mujtahid untuk memperoleh hukum
masalah-masalah baru dengan jalan ijtihad sahih dan sebagai natijah dari ini,
hukum-hukum tsâbit (tetap) dan syariat khâtam dapat memberikan jawaban dan
solusi hukum terhadap masalah-masalah baru ummat manusia dalam segala zaman dan
tempat.[18] Seorang faqih dan mujtahid yang mengenal zaman dan tempat
beserta kemestian-kemestiannya, dengan kaidah-kaidah kulli hukum dan
ushul-ushul syariat yang tetap, dapat meluaskan penerapan dan penjabaran
hukum-hukum terhadap masalah-masalah yang baru muncul. Istinbat hukum-hukum
yang berhubungan dengan subyek-subyek baru, seperti transfusi darah,
penggantian ginjal dan anggota-anggota badan lainnya, pembuahan sperma di luar
rahim, cloning, transaksi bank dan asuransi, jual-beli mata uang dan saham, dan
berbagai hukum yang berhubungan dengan masalah-masalah baru lainnya serta
pengenalan berbagai furu’ yang berhubungan dengan mereka dari ushul-ushul
awwaliyyah syar’i –tanpa menggunakan subyek-subyek tsanawi seperti kemestian
‘usr wa haraj (kesusahan dan kesempitan)- bukti kekuatan syariat dalam
memberikan solusi hukum terhadap kebutuhan-kebutuhan baru zaman. Hal yang menimbulkan tanda tanya dan kritik terhadap
kesempurnaan dan khâtamiyyah agama adalah kediaman syâri’ dinisbahkan dengan hukum
sebagian dari subyek-subyek baru yang belum pernah terjadi sebelumnya, atau
dengan kata lain tertutupnya pintu ijtihad. Dengan keluasan hukum-hukum syar’i
dan kelanggengan istinbat fikhi maka pancaran syariat ibaratnya cahaya mentari
dan sinaran bulan yang selalu memancar dan bersinar atas seluruh
fenomena-fenomena dan peristiwa-peristiwa (yang ada dalam masyarakat di setiap
zaman dan tempat).[19] 3. Parameter Hukum dan kaidah ‘Aham wa Muhim’ Salah satu kaidah yang berlaku dalam ushul fikh imamiyah
adalah kaidah aham wa muhim (lebih penting dan penting). Maksud dari kaidah ini
adalah bahwa setiap kali terjadi tabrakan dalam maqam aplikasi dua taklif
syar’i dikarenakan keterbatasan-keterbatasan zaman dan semacamnya; yakni
mukallaf tidak mampu menjalankan dua taklif sekaligus, dalam bentuk ini maka
mukallaf mesti menjalankan taklif yang nilai urgensinya lebih besar dari yang
lainnya serta melebihkan yang ‘aham’ atas yang ‘muhim’. Misalnya dalam kasus
tidak boleh menduduki atau menggunakan milik orang lain tanpa keridaan dan izin
pemiliknya. Sekarang apabila jiwa seorang mukmin dalam milik orang itu berada
dalam bahaya dan untuk mendapatkan keridaan dan izinnya, adalah tidak mungkin
atau bahaya itu sangat serius dan harus segera ditangani dan melambatkan atau
mengakhirkan dalam melakukan tindakan penyelamatan terhadap mukmin tersebut
akan menyebabkan kehancuran dan kematiannya, dalam bentuk ini, mesti menduduki
atau menggunakan milik itu dan menyelamatkan mukmin dari bahaya kehancuran. Kaidah fikhi akli ini berpijak pada suatu landasan teologis
bahwa syariat adalah perbuatan Tuhan Yang Maha Bijaksana dan perbuatan pelaku
yang bijaksana tanpa tujuan adalah sesuatu yang tidak bijaksana (karena itu
pasti perbuatan pelaku bijaksana mempunyai tujuan). Tujuan tersebut yang
kembali kepada para mukallaf sendiri –bukan kepada Tuhan- adalah milâk (tolok
ukur) hukum syar’i. Dari dimensi inilah maka ulama ushul fikh mengatakan:
Hukum-hukum syar’i mengikuti tolok ukur nyata, maslahat, dan mafsadat nafsul
amri.[20] Setiap kali milak hukum-hukum yang merupakan sebab-sebab
final hukum-hukum itu dihasilkan, maka dalam bentuk ini, dalam kondisi dan
peristiwa terjadinya tazâkhum (bertabrakan dua hukum) maka taklif yang
mempunyai milak lebih penting harus dilebihkan. Dan mengerjakannya menjadi
keharusan dan kemestian. Para mujtahid dalam ilmu ushul, telah berusaha menguraikan
pembahasan yang luas dan panjang lebar tentang perkara-perkara dan
misdak-misdak tazâkhum. Dalam hal ini secara global untuk mengetahui yang mana
nilai urgensi hukumnya melebihi yang lainnya dapat diperoleh dari salah satu
cara berikut ini: 1. Kekhususan-kekhususan yang
terdapat dalam dalil-dalil hukum; 2. Mempelajari kesesuaian yang ada
antara hukum dan subyek; 3. Teliti dan akurat dalam milak
hukum-hukum syar’i.[21] Perlu diketahui pekerjaan menentukan ‘aham wa muhim’
subyek-subyek dan misdak-misdak hukum merupakan sesuatu yang pelik, karena itu
perbedaan kaidah fikhi ‘aham wa muhim’ ini dibandingkan dengan kaidah fikhi
nakli, seperti kaidah ‘nafi dharar’ dan kaidah ‘nafi haraj’ dan semacamnya
adalah bahwa penentuan misdak-misdak kaidah seperti ‘nafi dharar’ dan ‘nafi
haraj’ berada dalam tanggung jawab urf atau ahli seperti dokter dan lainnya.
Akan tetapi menentukan yang mana nilai urgensi hukum sesuatu melebihi nilai
urgensi hukum lainnya merupakan pekerjaan yang rumit dan membutuhkan ketelitian
yang galibnya berada dalam tanggung jawab faqih dan mujtahid. Yakni di sini
penentuan hukum dan subyek hukum keduanya dilakukan dengan perantara mujtahid. Di samping tiga bentuk pilar-pilar syariat khâtam yang kami
sebutkan di atas, juga terdapat pilar-pilar lainnya, yaitu peranan akal dalam
ijtihad dan tanggung jawab serta ikhtiar seorang pemimpin pemerintahan Islami
yang dalam hal ini disebut pemerintahan wilayat faqih terhadap berbagai masalah
yang berhubungan dengan sosial dan pemerintahan Islam. Dikarenakan menyebutkan
tiga pilar-pilar syariat khâtam tersebut telah memadai untuk memahami bagaimana
syariat khâtam ini dalam kondisinya tetap dan permanen, tetap mempunyai nilai
aplikasi yang dinamis dan antisipasif terhadap berbagai perkembangan dan
perubahan zaman maka kami tidak menyempatkan diri lagi untuk menguraikan
pilar-pilar lainnya. [Sumber: www.wisdoms4all.com] |