Hakekat Taqiyah versi SyiahDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Beberapa pihak melancarkan kritik terhadap pihak Syi’ah
dengan mengatakan bahawa melakukan taqiyah dalam agama adalah bertentangan
dengan nilai keberanian. Pemikiran yang paling sederhana sekalipun akan
menunjukkan bahawa tuduhan itu salah, sebab taqiyah harus dipraktikkan dalam
keadaan orang tersebut menghadapi sesuatu bahaya yang tidak dapat ditolak dan
dilawankan. Perlawanan terhadap bahaya semacam itu dan kegagalan untuk
mempraktikkan taqiyah dalam keadaan seperti itu menunjukkan tindakan yang
semberono dan membabi-buta, dan bukan keberanian. ——————————— Salah satu aspek dalam Syi’ah yang paling di salahfahamkan
adalah, praktik taqiyah atau menyembunyikan sesuatu dengan berpura-pura. Di
sini kami mengabaikan makna yang lebih luas dari taqiyah:”menghindari atau
menjauhkan diri dari setiap jenis bahaya”. Kami lebih cenderung mendiskusikan
jenis taqiyah dalam arti seorang menyembunyikan agamanya atau beberapa praktik
tertentu dari agamanya dalam keadaan-keadaan yang mungkin atau pasti akan
menimbulkan bahaya sebagai akibat tindakan-tindakan dari orang-orang yang
menentang agamanya atau praktik-praktik keagamaan tertentu. Di antara pengikut-pengikut berbagai mazhab dalam Islam maka
kaum Syi’ah terkenal akan praktik taqiyah mereka. Dalam keadaan bahaya, mereka menyembunyikan
agama mereka dan merahasiakan praktik-praktik dan upacara-upacara keagamaan
yang khas terhadap lawan-lawan mereka. Sumber-sumber yang menjadi dasar kaum Syi’ah dalam persoalan
ini, termasuk ayat-ayat al-Qur’an seperti di bawah: “Jangan sampai orang-orang yang beriman menjadikan
orang-orang kafir sebagai teman-teman mereka selain orang-orang yang beriman.
Barang siapa yang melakukan hal itu maka tidak ada pertolongan dari Allah
kecuali untuk menjaga diri terhadap mereka (orang-orang kafir) dengan
sebaik-baiknya. Allah memperingatkan kalian (agar selalu ingat) kepadaNya. Dan
kepada Allahlah kalian kembali.”[al-Qur'an(3): 28]. (Ungkapan menjaga diri
terhadap mereka (orang-orang kafir) dengan sebaik-baiknya diterjemahkan dari
tattaqu minhum tuqatan, kata tattaqu dan tuqatan mempunyai akar kata yang sama
dengan taqiyah.) Sebagaimana jelas dari ayat al-Qur’an tersebut, Allah SWT
sangat melarang wilayah (yang dalam hal ini bererti persahabatan yang sedikit
banyak mempengaruhi hidup seseorang) dengan orang-orang kafir yang
memerintahkan agar berhati-hati dan mempunyai rasa khuwatir dalam keadaan
semacam itu. Di tempat lain Ia berfirman:
“Barangs siapa mengingkari Allah sesudah mengimaniNya (dia
mendapat kemurkaan Allah), kecuali dia yang terpaksa untuk melakukan itu sedang
hatinya masih tenteram dalam keimanan; akan tetapi barang siapa yang membuka
dadanya untuk kekafiran, maka laknat Allah menimpa mereka, dan bagi mereka azab
yang dahsyat.” [al-Qur'an (16): 106] Sebagaimana disebutkan dalam kedua sumber, Sunni dan Syi’ah,
ayat ini diturunkan mengenai Ammar ibn Yasir. Setelah Nabi saw berhijrah, kaum
kafir Mekah memenjarakan beberapa orang Islam Mekah, menyiksa dan memaksa
mereka untuk meninggalkan Islam dan kembali pada agama mereka semula, yakni
menyembah berhala. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah Ammar, berserta ayah
dan ibunya. Orang tua Ammar menolak untuk mengingkari Islam dan meninggal
kerana siksaan. Tetapi Ammar - untuk menghidari siksaan dan kematian -
pura-pura meninggalkan Islam dan menerima penyembahan berhala, dan kerana itu
ia terhindar dari bahaya. Setelah dibebaskan, dengan diam-diam ia meninggalkan
Mekah pergi ke Madinah. Di Madinah ia mengadap Nabi Muhammad saw, dan dalam
keadaan menyesal dan sedih dengan apa yang telah dilakukannya ia bertanya
kepada Nabi apakah dengan berbuat demikian ia telah keluar dari wilayah
kesucian agama. Nabi menjawab bahawa kewajipannya ialah apa yang telah ia
lakukan. Kemudian ayat tersebut diwahyukan. Kedua ayat yang dikutip di atas diturunkan mengenai kes-kes
tertentu, akan tetapi pengertiannya begitu rupa, sehingga mencakup seluruh
situasi yang menyebabkan pengungkapan kepercayaan dan amal keagamaan yang
mungkin dapat membahayakan diri. Selain ayat-ayat ini, terdapat banyak hadith
dari Ahlu l-Bait Nabi yang memerintahkan taqiyah jika terdapat kekhawatiran
akan bahaya. Beberapa pihak melancarkan kritik terhadap pihak Syi’ah
dengan mengatakan bahawa melakukan taqiyah dalam agama adalah bertentangan
dengan nilai keberanian. Pemikiran yang paling sederhana sekalipun akan
menunjukkan bahawa tuduhan itu salah, sebab taqiyah harus dipraktikkan dalam
keadaan orang tersebut menghadapi sesuatu bahaya yang tidak dapat ditolak dan
dilawankan. Perlawanan terhadap bahaya semacam itu dan kegagalan untuk mempraktikkan
taqiyah dalam keadaan seperti itu menunjukkan tindakan yang semberono dan
membabi-buta, dan bukan keberanian. Sifat-sifat keberanian dapat diamal hanya
paling sedikit ada kemungkinan untuk berhasil. Akan tetapi menghadapi suatu
bahaya yang pasti atau mungkin terjadi, yang di dalamnya tidak terdapat
kemungkinan untuk menang, seperti minum air yang mungkin ada racunnya, atau
melemparkan diri ke muka sebuah meriam yang ditembakkan, atau berbaring di atas
rel di depan keretapi yang sedang berjalan dengan cepatnya - semuanya perbuatan
yang semacam itu - tidak lain daripada kegilaan yang bertentangan dengan logika
dan fikiran yang waras. Dari hal itu, dapat disimpulkan bahawa taqiyah harus
dipraktikkan hanya apabila terdapat suatu bahaya yang pasti yang tidak dapat
dihindari dan tidak ada harapan menang dalam menghadapinya. Batas bahaya yang tepat yang memungkinkan dilakukan taqiyah
telah diperdebatkan di antara para mujtahid Syi’ah. Dalam pandangan kami,
menjalankan taqiyah dapat dibenarkan apabila terdapat bahaya yang pasti, yang
mengancam hidup seseorang atau keluarganya, atau kemungkinan hilangnya
kehormatan dan kesucian isteri seseorang atau anggota-anggota keluarga wanita
lainnya, atau bahaya hilangnya harga benda yang sedemikian banyaknya sehingga mengakibatkan
kemiskinan yang total dan tidak memungkinkan seseorang untuk seterusnya
memberikan nafkah kepada keluarganya dan dirinya sendiri. Pendek kata, sifat
berhati-hati dan menghindari dari bahaya yang pasti atau mungkin datang dan
tidak dapat dicegah, merupakan hukum logika yang biasa dan diterima oleh semua
orang dan dipraktikkan oleh orang-orang dalam seluruh tahap kesempurnaan mereka
yang berbeda-beda. (Oleh Al-Marhum Allamah Thabathaba’i - Ansariyan
Publication,Qum, 1989,Shi’a, hlm. 223; PU Grafiti, 1989, Indonesia,Islam
Syi’ah, hlm. 259) |