Bisikan Wahyu atau Wahyu Bisikan [2]Deprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Pada bagian pertama telah kita paparkan ihwal kritikan atas
stetmen-stetmen Abdul Karim Soroush akhir-akhir ini. Nah, sekarang kami akan
mengajak Anda untuk lebih menarik perhatian Anda pada tulisan kedua ini sebagai
follow up dari tulisan kritikan pertama. Yang terhormat Dr. Soroush! Anda menyatakan bahwa:
“Rasulullah Saw itu lebih dekat kepada Allah Swt dibanding malaikat Jibril As”;
konsekuensi dari stetmen ini adalah bahwa Nabi Saw seakan-akan tidak butuh pada
Jibril As, dan hal ini merupakan sebuah interpretasi salah dan tidak bersandar
pada burhan (argumen). Kalau misalnya ungkapan semacam ini benar adanya, maka
tidaklah layak dan pantas Malaikat Izrail As bertugas untuk mencabut ruh mulia
Nabi Muhammad Saw, tapi harus Rasulullah Saw sendirilah yang layak mencabut ruh
dirinya dan dalam hal ini Nabi Saw telah melakukan tindakan bunuh diri, karena
seperti yang Anda katakan bahwa Nabi Saw, selain sebagai yang mencabut ruh,
juga sebagai yang dicabut ruhnya. Dan kalau ada seseorang yang mencoba
menisbahkan bunuh diri tersebut kepada Nabi Saw, maka mau tidak mau secara
spontanitas akan muncul pertanyaan dalam benak kita bahwa apakah orang yang
berbicara seperti itu dalam kondisi sehat jasmani dan rohani? Terbersit dalam pikiran bahwa Anda berbicara seperti ini
seakan-akan anda menganggap diri lebih unggul dibanding dengan kaum ulama dan
cendekiawan-cendekiawan Muslim, dan lebih berbahayanya lagi anda mencoba
mengatakan bahwa riwayat-riwayat; yakni dari Imam Baqir As dan Imam Shadiq As;
itu punya pandangan dan model pemikiran tersendiri dan saya juga –dengan gaya
menentang– memiliki pandangan dan teori sendiri. Bukankah ini merupakan sebuah
sikap congkak dan takabbur? Di sini saya teringat kisah Mr. Hamfer, seorang
utusan dari Inggris, dimana di sini saya akan mencoba menceritakan sedikit dari
kisah tentangnya. “Hamfer berkata: Saya adalah seorang utusan dari imperialis
Inggris dan ditugaskan di negara-negara Islam. Saya bertemu dengan salah
seorang pemuda yang sangat pandai berbicara, banyak menggunakan istilah-istilah
dan tentunya sangat fasih, namanya Muhammad bin Abdulwahhab. Saya menjadi
tertarik dengannya dan terlintas dipikiran bahwa apakah dia itu bisa berguna
ataukah tidak? Akan tetapi dalam kondisi itu saya belum begitu mengenalnya dan
hingga suatu ketika terjadi sebuah diskusi dan saya pun memutuskan untuk
memilihnya, karena orang seperti dialah yang saya cari selama ini. Saya melihat
dia dikalangan para pelajar termasuk orang yang sangat berbeda dari yang lain,
pemberani dan memiliki pemikiran bebas dan sangat mudah mengucilkan dan
menghina ulama-ulama besar dan juga para gurunya. Dan pada akhirnya saya pun
bisa memanfaatkan dan memperalatnya.” Anda Mr Soroush! Seorang pribadi yang harus konsisten dan
istiqamah dalam menghadapi para imperialis dan musuh-musuh agama dan al-Qur’an.
Akan tetapi sangat disayangkan dan sesuatu yang tidak dinanti-nantikan bahwa
Anda malah mencoba memaparkan dan menjelaskan ihwal wahyu dan nubuwwah itu
seakan-akan sejalan dengan selera dan keinginan musuh-musuh Islam, seperti
halnya yang dilakukan oleh sebagian dari mufasir Mesir dimana mereka mencoba
menginterpretasikan dan menjelaskan mukjizat-mukjizat Nabi Saw itu dalam bentuk
materi dan pada akhirnya mereka pun mengingkari mukjizat tersebut dan baru
kemudian mereka sadar kembali kalau apa yang dipahaminya itu adalah salah. Anda
dan saya tidak dipaksa untuk membuat kalangan yang kontra itu puas dan takluk
dengan cara mencaplok prinsip-prinsip dasar keagamaan, karena kekufuran dan
keimanan itu bukanlah barang yang mudah diambil atau disimpan. Anda cukup
mengatakan yang benar itu saja (wamaa ‘alarrasuuli illal balaagh) dan kalau
mereka menghendaki, maka mereka akan beriman. Anda mengatakan bahwa: “Rasulullah Saw sendirilah yang
membuat wahyu dan al-Qur’an”. Dengan demikian, tak akan ada seorang pun yang
akan menyatakan keimanannya kepada Nabi Saw. Sebab setiap orang akan
mengingkari dan menyatakan: Ucapan-ucapan ini bersumber dari dirinya sendiri
dan atas dasar inilah kita tidak beriman kepadanya, karena dia sendiri adalah
pembuat dan sekaligus penerima wahyu (seperti ungkapan yang anda nyatakan
tersebut) dan dalam kondisi seperti ini, kebenaran ada di pihak orang-orang
yang dulunya tidak mengimani Nabi Saw. Oleh karena itu, mereka, yang memahami hakikat sejati
bahwa segala sesuatu yang diucapkan oleh Rasulullah Saw itu bersumber dari
Allah Swt via malaikat Jibril As, rela mengorbankan harta dan nyawanya serta
berhijrah dan menghabiskan hidupnya di dalam memperjuangkan Islam. Dalam sebuah pertemuan, ada yang bertanya: Untuk apa
al-Qur’an menceritakan peristiwa Samiri, padahal kisah semacam ini sudah
terkubur di zamannya? Jawabnya: Tidak demikian halnya, al-Qur’an mengatakan
bahwa barangsiapa yang mencoba membuat mazhab tandingan atas nabi Allah Swt
yang ada di zamannya dan juga membuat aturan yang bertentangan dengan syariat,
maka orang tersebut dianggap sebagai Samiri di eranya dan ungkapan al-Qur’an
ini selalu berlaku dan mencakup orang-orang yang senang meciptakan agama-agama
baru di sepanjang sejarah. “Hai Samiri, perbuatan apa yang kamu perbuat ini dan
apa tujuan dan kepentingan kamu? (Qs. Thâhâ [2]: 95)”. Secara tekstual ayat ini
tidak mencakup orang-orang kafir dan hanya berbicara ihwal orang-orang yang
berada dalam ruang lingkup agama dan orang-orang yang sangat kreatif dalam
menciptakan agama-agama baru. Dalam tulisan Anda disebutkan bahwa: “Dalam beberapa riwayat
ditemukan hal semacam ini”, namun menurut saya begini dan begitu.Yang Anda
maksud riwayat di sini adalah ucapan-ucapan Imam Shadiq As, Imam Ali As, dan
Rasulullah Saw. Akan tetapi, ketika mengucapkan ucapan-ucapan Jalaluddin Rumi,
Anda seakan-akan hendak berlutut dan menampakkan ketakberdayaan Anda, padahal
yang seharusnya tertanam dan mengakar di pikiran Anda adalah bahwa kita ini pelaksana
dari ajaran-ajaran al-Qur’an, sunnah dan hadits-hadits para Maksumin As. Namun
Anda justru memperkenalkan para penyair, filosof barat dan timur, selatan dan
utara, Nasir Khusru dan para mufasir yang tidak dikenal sebagai orang-orang
yang menjadi rujukan pemikiran Anda. Padahal kita seyogyanya mengambil ajaran
dan menjadikan hadits-hadits dari para Maksumin As itu sebagai rujukan pertama
yang mana tentunya tidak pernah bertentangan dengan al-Qur’an. Imam Baqir As
pernah bersabda kepada murid-muridnya bahwa: “Jika saya mengeluarkan sebuah
hukum maka hendaklah kalian menanyakannya seperti ini: Ucapan ini ada di surat
mana dan ayat berapa?, karena kami tidak akan melontarkan atau mengeluarkan
sebuah hukum yang bertentangan dengan al-Qur’an. Namun, ketika statmen-statmen
anda bertentangan dengan al-Qur’an, Anda justru mendatangkan saksi-saksi dari
para mufasir serta filosof yang mana anda tahu bahwa tidak ada satu pun di
antara mereka itu pernah mengeluarkan pernyataan bahwa al-Qur’an itu merupakan
hasil dari rekayasa dan produk Nabi Muhammad Saw. Dalam al-Qur’an surat alHâqah
ayat 44 Allah Swt berfirman: “Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan perkataan dan
perkataan tersebut dia nisbahkan kepada Kami, maka Kami akan mengelurkannya
dari risalah dan Kami akan membinasakannya”. (Qs. al-Hâqah [69]: 44) Kaum Yahudi di era Nabi Musa As pernah berkata: “Musa
menyampaikan hasil pemikiran-pemikirannya kepada kita sebagai sebuah syariat
dan Taurat Tuhan”; yakni sama seperti ungkapan yang anda katakan bahwa Nabi Musa
As itu adalah sebagai agen sekaligus sebagai marketingnya. Dalam bentuk
mukjizat Allah Swt meletakkan gunung Thur di atas kepala mereka dan menahannya,
kemudian berfirman:” Khuzuu maa atainaakum bi quwwah“; ambillah dengan
sungguh-sungguh apa yang telah kami anugerahkan (Taurat) pada kalian. Di sini
tidak dikatakan bahwa ambillah apa yang telah Musa berikan pada kalian, akan
tetapi dikatakan ambillah apa yang telah kami berikan. Kamilah yang memproduksi
Taurat tersebut. (al-Baqarah [2]: 63). Seseorang yang berpikir tentang ucapan Anda maka dia akan
duduk dengan kaki bergetar. Kalau memang pemikiran Anda itu ada benarnya, maka
Nabi Saw (nauzubillah) itu adalah seorang pembohong dan suka mengelabui orang.
Karena, dia telah menisbahkan pemikirannya itu kepada Allah Swt dan mengatakan
bahwa: Allah berkata: katakanlah (Muhammad): Wahyu telah turun kepadaku,
katakan wahai (Muhammad): Saya tidak mengatakan sesuatu yang datang dari diri
saya sendiri, segala apa yang saya ucapkan itu adalah semata-mata bersumber dari
Allah Swt. Di sini beliau Saw mencoba untuk menghindarkan diri dari adanya
intervensi pemikiran murni dirinya. Al-Qur’an menyatakan bahwa: “Katakanlah
bahwa al-Qur’an itu dibawa oleh malaikat Jibril As dari sisi Allah Swt.” (Qs.
an-Nah [16]l: 102). Al-Qur’an menyatakan bahwa: Nabi Muhammad Saw dengan mata
kepalanya sendiri telah melihat dan menyaksikan malaikat Jibril As (maa kaziba
al fuadu maa raa); yakni hatinya tidak bisa mengingkari apa yang telah beliau
Saw saksikan dan lihat sendiri. Misalnya anda memandang ke matahari dan
menyaksikannya dalam bentuk yang sangat kecil sebesar lingkaran tablet, namun
hati anda tidak mempercayai apa yang telah disaksikan oleh mata anda, karena
matahari tersebut jutaan kali lebih besar dari pada bumi, akan tetapi ketika
saya menyaksikan dan melihat Mr. Soroush di depan saya, hati dan mata saya akan
mengatakan benar apa yang saya saksikan. Contohnya anda pergi membeli kulkas
dan anda melihatnya di depan anda sendiri dan hati anda juga tidak memungkiri
penyaksian ini, karena Anda melihat kulkas tersebut dan sekarang Anda tidak
bisa mengatakan saya sedang berpikir kalau Saya sedang menyaksikan dan menonton
Jendral Dougle. Anda tidak sedang melihat kulkas tersebut. Al-Qur’an menyatakan
bahwa: “Nabi Muhammad Saw menyaksikan dan melihat dengan betul-betul malaikat
Jibril As”. Nah, sekarang Anda mengatakan sesuatu hal yang jelas-jelas
bertentangan dengan al-Qur’an: “Nabi itu menyaksikan dengan khayalan dan
dhamirnya (hati) dan dia telah memproduksi al-Qur’an”, bukankah hal ini
merupakan statmen yang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip yang telah
tertetapkan itu? Solusi untuk Sebuah Ambiguitas Ayatullah Ja’far Subhani sangat menghormati Anda karena
telah banyak menyumbangkan tulisan-tulisan termasuk di antaranya adalah buku
filsafat Nahâd-e Nâ Arâm, lalu kenapa Anda menjaga jarak dan bahkan
meninggalkan Islam dan al-Qur’an. Saya hendak menyampaikan suatu hal bahwa
gelar filosof, penguasaan atas syair-syair Maulawi dan menulis buku filsafat
Nahâd-e Nâ Arâm tidak bisa menjadi dalil bahwa manusia itu juga pasti mampu
menafsirkan al-Qur’an. Tafsir merupakan sebuah disiplin ilmu tersendiri. Al-Qur’an
memiliki bahasa tersendiri yang mana dimulai dari penerjemahan dan pengenalan
dengan baik atas bahasa-bahasa dan kaidah-kaidah yang digunakannya. Saya
melihat salah satu rekan sepemikiran anda melontarkan statmen-statmen
–untuk mendukung anda– yang substansinya sama seperti statmen anda dan
itu semua merupakan konklusi-konklusi yang salah dalam memahami ayat-ayat
al-Qur’an. Dan menjawab syubhat-syubhat semacam ini merupakan hal yang sia-sia
dan tidak berguna. Karena, dia atau setiap orang yang tidak memiliki informasi
dan pengetahuan atas bahasa al-Qur’an harus menelaah sebuah tafsir secara
sempurna dan konprehensip dan kemudian dia juga hendaknya mendatangi serta
belajar dari seorang ulama dan pakar dalam bidang tafsir al-Qur’an, supaya
syubhat-syubhat hasil interpretasinya bisa terfilterisasi dan dia akan lebih
berhati-hati dalam melontarkan teori-teorinya atas al-Qur’an. Karena, filsafat,
sya’ir, ilmu kimia itu berbeda dengan ma’arif al-Qur’an. Akan tetapi, untuk
memahami al-Qur’an dibutuhkan kesucian hati dan cahaya iman dan barangsiapa
yang sukses dalam kedua aspek ini, maka dia akan bisa lebih banyak mengambil
manfaat darinya (al-Qur’an). Allah Swt tidak pernah menyatakan dalam al-Qur’an
bahwa barangsiapa yang mengetahui ilmu dan filsafat maka saya akan
menghidayahinya. Pada prinsipnya, hidayah Ilahi itu tertanam dan tumbuh di
dalam hati, jiwa dan kecenderungan insan dan itu semua hanya berada di tangan
Allah Swt. Allah Swt berfirman: Aku hanya menghidayahi orang-orang yang
memiliki ketawadhuan dan penghambaan; “Wahai manusia, sembahlah Tuhanmu yang
telah menciptakanmu dan orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”. (Qs.
al-Baqarah [2]: 21). Dan juga dalam surat al-Hujurat ayat 7 –berkaitan dengan
hal ini– dinyatakan bahwa: “Dan ketahuilah olehmu bahwa dikalangan kamu ada
Rasulullah Saw. Kalau ia menuruti kamu dalam beberapa urusan benar-benarlah
kamu akan mendapat kesusahan, tetapi Allah Swt menjadikan kamu cinta kepada
keimanan dan menjadikan iman itu dalam hatimu serta menjadikan kamu benci
kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang
mengikuti jalan yang lurus”. Memperoleh hidayah Tuhan itu sangatlah mudah dan setiap saat
semua orang bisa mendapatkannya dan hal itu bermakna bahwa anda harus
memasrahkan diri untuk berada dalam rangkulan Allah Swt dan mengatakan: Wahai
Tuhanku! Aku sedang mencari ridha-Mu, maka ketika itu juga anda akan menyaksikan
bahwa Allah Swt akan mengabulkan taubatmu dan segera cahaya akan menerangi
jiwamu dan Anda akan tenggelam dalam kenikmatan memerangi hawa nafsu, rasa
sombong dan lain sebagainya. Dalam al-Qur’an dikatakan bahwa: “Allah Swt akan
menghidayahi dengan al-Qur’an seseorang yang memerangi hawa nafsunya dan
mencari ridha Allah Swt semata dan Allah Swt akan mengeluarkan mereka itu dari
kegelapan (kesesatan)” (Qs. al-Maidah [5]: 16). Dalam ayat ini dijelaskan bahwa
ada dua unsur penting, pertama yaitu ilmu dan pengetahuan terhadap al-Qur’an
(Ilmu Tafsir), kedua adalah tazkiyah nafs (penyucian hati) dan mencari ridha
dan penghambaan diri kepada Allah Swt dan hal yang sangat berpengaruh dan
mencipatakan perubahan besar atas unsur internal manusia adalah bagian yang kedua
tersebut. Al-Qur’an menyatakan bahwa:“…dan bertaqwalah kepada Allah Swt dan
Allah Swt akan mengajarmu…” (Qs. al-Baqarah [2]: 282). Hendaklah saya dan Anda mendidik nafsu dan jiwa dari
menjauhi kesombongan dan kedurhakaan. Dari ayat ini dapat dipahami bahwa ilmu
itu ada dan terwujud setelah ketaqwaan itu ada, ilmu dan taqwa akan menjadi
stimulasi bagi munculnya hidayah tersebut. Sumber: wisdoms4all |