BENARKAH NABI MANUSIA BIASADeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Oleh: Umar Shahab
APAKAH Nabi saw hanya manusia biasa tidak ubah-nya seperti
kita-kita? Demikian, mungkin keyakinan sebagian pihak. Biasanya mereka
mengajukan ayat: “Katakanlah, sesungguhnya aku hanyalah manusia seperti kamu.
Hanya saja kepadaku disampaikan wahyu.” (QS. 18:110). Berdasarkan ayat ini dan
tunjangan ayat-ayat senada, semisal “Katakan: ‘Mahasuci Tuhanku. Bukankah aku
hanya seorang manusia yang diutus?” Kelompok ini percaya bahwa Nabi Muhammad
saw adalah manusia biasa seperti manusia lainnya, dapat membuat kesalah-an,
kekeliruan, bahkan mungkin, na’udzubillah, pelang-garan. Oleh karena itu
kelompok ini menuding para pemuja Nabi saw telah berlaku berlebih-lebihan dan
pengkultusan yang tidak perlu. Benarkah demikian? Untuk itu kita harus
melihatnya dari berbagai sisi. Pertama, sejauh mana al-Quran mendudukkan posisi Nabi
Muhammad saw, apakah hanya sebagai manusia biasa seperti manusia-manusia
lainnya, atau sebagai manusia yang luar biasa, yang tidak dapat disamakan
dengan manusia umum, bahkan dengan malaikat sekalipun? Jika kita telusuri
dengan seksama ayat-ayat yang menyinggung tentang Nabi saw atau malah
riwayat-riwayat yang berkenaan dengan Nabi saw, maka dengan yakin kita akan
menganut pandang-an kedua dan menyimpulkan bahwa Nabi Muhammad saw memang bukan
manusia biasa. Ia adalah manusia utama, “superman” yang telah berhasil melewati
ting-kat umum manusia dan mencapai derajat keutamaan yang tiada taranya.
Katakanlah insân kamîl. Tapi me-ngapa masih ada yang memandang Nabi saw sebagai
manusia biasa? Kita akan melihatnya. Kedua, apa yang dimaksud bahwa Nabi Mu-hammad saw adalah
manusia, basyar, seperti manusia lainnya? Apakah maksudnya bahwa kedudukannya
di mata Allah sama dengan manusia lainnya? Saya kira kelompok penolak pemujaan
kepada Nabi pun tidak membenarkan anggapan seperti ini. Mereka juga yakin bahwa
Nabi Muhammad adalah seorang rasul dan me-miliki kedudukan yang sangat khusus
di sisi Allah. Tapi mengapa mereka menganggap bahwa Nabi tidak ubahnya seperti
manusia lain yang dapat lupa, salah, atau keliru? Kita coba mengkajinya. Ketiga, bagaimana kita harus menyikapi Nabi Muhammad saw? Di
satu sisi, ia adalah Nabi dengan kemuliaan yang tiada tara, tapi di sisi lain
al-Quran menegaskan bahwa ia juga adalah manusia seperti kita. Kita akan sampai
ke pembahasan ini setelah kita mele-wati pembahasan pertama dan kedua. Kedudukan Nabi dalam al-Quran
Seperti yang telah kita singgung di atas, kedu-dukan Nabi
Muhammad saw dalam al-Quran sungguh luar biasa. Terdapat puluhan ayat di
dalam al-Quran yang memuja Nabi Muhammad saw, apakah dalam bentuk pujian
langsung, seperti ayat yang menyatakan bahwa Nabi memiliki akhlak yang sangat
luhur. Atau dalam bentuk penyebutan sifat-sifat terpuji yang dimili-ki Nabi.
Berikut beberapa contoh keagungan Rasulu-llah sebagaimana dalam al-Quran. Pertama, keimanan semua rasul kepada Nabi. Imam ‘Ali bin Abi
Thalib kw berkata: Setiap kali Allah mengutus seorang nabi, mulai dari Nabi
Adam sampai seterusnya, maka kepada nabi-nabi itu Allah menuntut janji setia
mereka bahwa jika nanti Nabi Muhammad saw diutus, mereka akan ber-iman padanya,
membelanya dan mengam-bil janji setia dari kaumnya untuk melaku-kan hal yang
sama. Untuk hal ini, Allah Swt. berfirman dalam QS. 3: 81: Dan ketika Allah mengambil janji dari para nabi: “Aku
telah berikan kepada kalian al-kitab dan al-hikmah, maka ketika Rasul itu
(Mu-hammad saw) datang kepada kalian, yang membenarkan apa yang ada pada
kalian, kali-an benar-benar harus beriman kepadanya dan membelanya.” Dia
(Allah) berkata: “Apakah ka-lian menerima dan berjanji akan memenuhi
perintah-Ku ini?” Mereka berkata: “Ya, kami berjanji untuk melakukan itu.” Dia
berkata: “Kalau begitu persaksikanlah dan Aku menjadi saksi bersama kalian.” Kedua, kabar gembira tentang kedatangan Mu-hammad
saw. Al-Quran menjelaskan bahwa para peng-anut Ahlul Kitab tahu betul tentang
kedatangan Nabi Muhammad saw, sebagaimana mereka tahu betul siapa anak mereka.
Bahkan mereka saling memberi kabar gembira tentang kedatangannya itu (QS. 2:89,
146). Dan itu pula yang dipintakan Nabi Ibrahim as dalam doanya: Tuhan kami, utuslah pada mereka seorang Ra-sul dari kalangan
mereka sendiri (Muham-mad) yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu,
mengajarkan mereka al-kitab dan al-hikmah, dan menyucikan mereka. Sesung-guhnya
Engkau Mahaperkasa lagi Mahabijak-sana (QS. 2:129). Ketiga, penciptaan Nabi Muhammad saw se-belum Nabi Adam as.
Tetapi penciptaan itu masih dalam wujud “nûr” atau cahaya. Ketika Allah
mencip-takan Adam, Ia menitipkan nur itu pada sulbi Adam yang kemudian
berpindah-pindah dari satu sulbi ke sulbi yang lain hingga sulbi ‘Abdullah,
ayah Nabi. Ibnu Abbas meriwayatkan: Rasulullah saw bersabda: Allah telah mencip-takanku dalam wu-jud nur yang
berse-mayam di bawah ‘arasy dua belas ribu tahun sebelum men-ciptakan Adam as.
Maka ketika Allah menciptakan Adam, Ia meletakkan nur itu pada sulbi Adam. Nur
itu berpindah dari sulbi ke sulbi; dan kami baru ber-pisah setelah ‘Abdul
Muthalib. Aku ke sulbi ‘Abdullah dan ‘Ali ke sulbi Abu Thalib. Al-Quran menyebutkan bahwa sulbi-sulbi tempat
bersemayamnya nur itu adalah sulbi-sulbi orang-orang suci. Ini berarti bahwa
orangtua dan nenek moyang Rasulullah sampai ke Nabi Adam as. Istilah al-Quran,
al-Sajidîn, orang-orang patuh. Allah berfir-man: Dan bertawakallah kepada Tuhan Yang Mahaperkasa lagi
Maha Penyayang. Yang melihatmu saat engkau bangun dan perpindahanmu dari sulbi
ke sulbi orang-orang patuh (QS. 26:217-219). Keempat, Nabi Muhammad saw adalah manu-sia suci.
Tidak pernah berbuat kesalahan, apalagi dosa. Namun demikian, ia tetap manusia
biasa seperti manusia lainnya, dalam arti bahwa secara biologis tidak ada
perbedaan antara Nabi saw dengan yang lain. Allah berfirman dalam QS. 33:33: Sesungguhnya yang dikehendaki Allah ialah menjauhkan
kamu wahai Ahlul Bait dari segala kotoran dan mensucikan kamu sesuci-sucinya. Riwayat-riwayat mengatakan bahwa yang dimaksud
de-ngan Ahlul Bait pada ayat di atas adalah ‘Ali, Fathimah, Hasan, Husain, dan
Nabi Muhammad saw sendiri. Kelima, Nabi Muhammad selalu dibimbing Allah Swt. Ucapannya,
perbuatannya, tutur katanya dan sebagainya semuanya di bawah pengarahan dan
bimbingan Allah Swt. Sesungguhnya dia (Muhammad) tidak bertu-tur kata atas dasar
hawa nafsu, melainkan se-muanya semata-mata adalah wahyu yang di-wahyukan
kepadanya (QS. 53:3-4). Keenam, Nabi Muhammad saw adalah panutan yang
sempurna, uswatun hasanah. Allah berfirman: “Sesungguhnya dalam diri Rasulullah
terda-pat teladan yang baik buat kamu.” (QS.33:21). Karena itu, maka “Apa pun
yang di-bawanya harus kamu terima dan apa pun yang dilarang-nya harus kamu
jauhi.” (QS. 59:7) Ketujuh, dibukanya rahasia kegaiban kepada Nabi Muhammad
saw. Allah berfirman: Tuhan Maha Mengetahui yang gaib. Maka Dia tidak akan
membukakan kegaibannya itu kepada seorang pun, kecuali kepada rasul yang dikehendaki
(QS. 72: 26-27). Tentu saja Rasulullah saw berada di urutan paling
atas di antara para rasul yang menerima anugrah utama ini. Kedelapan, Allah memuji Nabi Muhammad saw dengan berbagai
pujian karena keluhuran akhlak-nya (QS. 68:4); kepeduliannya dan kasih
sayangnya kepada umat manusia (QS. 9:128) dan pengorbanan diri, tidak
mementingkan diri demi kebahagiaan orang lain (QS. 20:2-3). Selain itu Allah
Swt memberi perhatian yang khusus kepada Nabi Muhammad saw jika ada sedikit
saja “masalah” yang dihadapinya (QS. 93:1-3; 94:1-4). Kesembilan, siapa saja yang berhadapan de-ngan Nabi Muhammad
saw maka berhadapan dengan Allah Swt. Sebaliknya, siapa saja yang membelanya,
Allah berada di belakangnya. Firman Allah (QS. 9:61). Pada kesempatan lain,
Allah bahkan mengancam ke-dua istri Rasulullah sendiri, ‘Aisyah dan Hafsah,
karena mengkhianatinya dalam soal rahasia yang disampai-kannya kepada mereka.
Jika mereka tidak tobat dan masih melawan Rasulullah, maka Allah sendiri yang
akan menghadapi mereka (QS. 66:4). Kesepuluh, Allah bershalawat kepada Nabi. Demikian juga
seluruh malaikatnya. Karena itu orang-orang yang beriman diperintahkan
bershalawat kepa-danya (QS. 33:56). Arti shala-wat Allah kepada Nabi ada-lah
penganugrahan rahmat dan kasih sayang-Nya; sha-lawat malaikat adalah
per-mohonan limpahan rahmat-Nya. Demikian pula shala-wat orang-orang beriman. Kesebelas, orang-orang beriman diperintah-kan untuk tidak
memperla-kukan Rasulullah sebagai-mana perlakuan mereka ter-hadap sesama
mereka. Jika berbicara kepada Rasul ha-rus dengan suara yang pe-lan, tidak
boleh teriak-teri-ak, karena hal itu akan meng-hapus pahala amal mereka (QS.
49:2-3). Kedua belas, Allah akan melakukan apa saja demi menyenangkan
hati Nabi. “Dan tuhanmu akan memberimu sehingga membuatmu senang” (QS. 93:5).
Ayat ini menunjukkan betapa Allah amat mencintai Nabi-Nya. Ia akan memberikan
apa saja yang diinginkan Nabi dan akan melakukan apa saja demi menyenang-kan
hati Nabi saw. Dan salah satu anugrah Allah yang paling besar kepada Nabi ialah
wewenang memberi syafaat kepada umatnya yang berdosa. Bukan saja di akhirat,
tapi juga di dunia, yaitu dalam bentuk pe-ngabulan doa yang disampaikan oleh
Nabi untuk umat-nya, baik ketika Nabi masih hidup maupun sesudah wafatnya. Ketiga belas, Nabi saw ditetapkan sebagai pe-rantara
(wasilah) antara diri-Nya dengan manusia. Bah-kan merupakan salah satu syarat
terkabulnya doa. Kami tidak utus seorang rasul kecuali untuk ditaati, dengan
seizin Allah. Dan seandainya mereka mendatangimu ketika mereka berbuat dosa,
lalu memohon ampun kepada Allah dan Rasul pun memohonkan ampun buat mereka,
pastilah mereka dapati Allah Maha Pengam-pun dan Maha Pengasih (QS. 4:64). Bahkan tawassul kepada Nabi Muhammad saw ini sudah
dilakukan para nabi dan orang-orang salih jauh sebelum kelahirannya. Kita dapat
membaca riwa-yat yang mengatakan bahwa Adam dan Hawa telah bertawassul kepada
Nabi Muhammad saw saat mereka berdua dikeluarkan dari surga. Dikisahkan bahwa
tat-kala Nabi Adam as dikeluarkan dari surga, ia memohon ampun kepada Allah atas
perbuatanya. Dalam permo-honannya itu, ia bertawassul melalui Nabi Muhammad
saw: “Ya Allah, melalui kebe-saran Muhammad, aku mohon ampun pada-Mu
kiranya Eng-kau ampuni dosaku.” Allah Swt bertanya kepada Adam, “Dari mana kamu tahu
Muhammad pa-dahal Aku belum mencipta-kannya?” Adam berkata, “Tu-hanku, ketika Engkau cipta-kan aku dengan
tangan-Mu dan Engkau tiupkan ruh-Mu dalam diriku, aku mengang-katkan kepalaku
dan kulihat di pilar-pilar Arsy tertulis Lâ ilâha illallâh Muhammad
Ra-sûlullâh. Aku tahu Engkau ti-dak akan menyertakan nama hamba-Mu kepada
nama-Mu kecuali yang paling Eng-kau cintai.” Allah Swt berkata, “Engkau benar, Adam. Mu-hammad adalah
hamba yang paling Aku cintai. Dan karena engkau memohon ampun melaluinya, maka
Aku kabulkan permohonanmu. Hai Adam, kalau bu-kan karena Muhammad, Aku tidak
akan menciptakan-mu.” Nabi Sebagai Manusia Biasa Dari sekian ayat yang kita lihat di atas tidak dapat
disangkal bahwa Nabi Muhammad saw bukan manusia biasa, dalam arti bahwa
kedudukannya sangat-sangat mulia di sisi Allah. Ia telah diciptakan Allah
sebelum menciptakan yang lainnya. Nabi telah diper-siapkan membawa amanat-Nya
jauh sebelum utusan-utusan lainnya. Bahkan utusan-utusan itu diperin-tahkan
untuk mengimaninya dan mengabarkan kepada umat manusia kedatangannya. Nabi
ditetapkan sebagai perantara antara manusia dengan Tuhan, dan sebagai-nya. Akan
tetapi semua ini tidak harus membuat kita memposisikannya sebagai bukan dari
golongan manu-sia, seperti yang dilakukan kaum Nasrani terhadap Nabi ‘Isa as. Nabi Muhammad saw tetap manusia sebagai-mana manusia
lainnya, sebagaimana isyarat al-Quran dalam beberapa ayatnya di atas. Pada diri
Nabi Mu-hammad saw terdapat segala sesuatu yang ada pada manusia, yakni dimensi
biologis manusia. Karena itu Nabi makan, minum, sakit, tidur, berdagang,
berkelu-arga, senang, sedih, dan sebagainya, seperti umumnya manusia. Al-Quran
sengaja menegaskan bahwa Nabi Muhammad adalah manusia, basyar, seperti manusia
lainnya untuk membantah alasan penolakan kaum mu-syrikin terhadap Na-bi saw
bahwa ia bu-kan dari golongan malaikat atau paling tidak bekerjasama dengan
malaikat (QS. 25:7) dan juga mengingatkan kaum Muslimin supaya ti-dak
mengulangi ke-salahan seperti yang dilakukan kaum Nasrani terhadap Nabi ‘Isa
yang meng-anggapnya sebagai Tuhan. Akan tetapi ketika kita mengata-kan bahwa Nabi adalah
manusia biasa seperti manusia lainnya tidak berarti bahwa kita harus
menganggapnya salah, keliru, melanggar, atau berakhirlah segalanya sesudah ia
wafat. Sama sekali tidak demikian. Kesu-cian, keterpeliharaan dari dosa,
maksum, hidup abadi bersama Allah sesudah kematian atau kemampuan ber-hubungan
dengan-Nya sesudah kematian adalah per-kara ruhani yang dapat saja dicapai oleh
manusia manapun jika ia telah mencapai kedudukan ruhani yang tinggi atau katakanlah
maqam Insan Kamil. Allah Swt memang menciptakan manusia dari unsur tanah, yang
menghasilkan dimensi biologisnya, akan tetapi pada manusia, Allah ciptakan juga
unsur lain-nya, yakni ruh Allah, yang justru dapat membuat manu-sia lebih
tinggi dari makhluk manapun, termasuk mala-ikat. Yaitu jika melalui ruh itu ia
mampu mengatasi unsur biologisnya. Itulah mengapa malaikat dan jin atau Iblis
diperintahkan untuk sujud kepada Adam atau manusia. Itulah pula mengapa Nabi
Muhammad dapat menembus Sidratul-Muntaha, sementara Jibril akan hangus terbakar
jika berani mencoba melang-kahkan kaki meskipun hanya setapak. Padahal Jibril
adalah penghulu para malaikat. Karena Nabi Muham-mad telah mencapai derajat
kesempurnaan mutlak insani. Kesalahan terbesar pihak yang menolak meng-akui kebesaran
Nabi Muhammad di atas dan menolak memujanya, bahkan menganggap pelakunya
sebagai bertindak berlebih-lebihan dan kultus yang diharam-kan, yaitu karena
mereka melihat Nabi Muhammad saw dengan kacamata materi. Mereka hanya melihat
Nabi saw sebagai makhluk biologis. Mereka lupa bahwa manusia memiliki dimensi
yang jauh lebih tinggi dari sekadar dimensi biologis atau fisik. Bahkan dimensi
ruhani merupakan jati diri manusia yang sesungguhnya. Melihat se-orang hanya dari di-mensi biologisnya adalah
logika orang-orang kafir. Bukan logika orang-orang beriman. Dengan alasan bahwa
para utusan itu hanya ma-nusia seperti mere-ka, orang-orang kafir menolak
meng-akuinya sebagai nabi atau rasul. Dan tidaklah menghalangi orang-orang (ka-fir) untuk
beriman ketika datang kepada mereka petunjuk kecuali mereka mengalaskan: Apakah
Allah mengutus rasul dari golongan manusia? (QS. 17:94). Tapi orang-orang beriman berkata: “Kami
mengimani-nya. Semuanya dari sisi Tuhan kami”. (QS. 3:7). Sikap kepada Nabi Berdasarkan beberapa ayat tentang keagungan Nabi Muhammad
saw di atas dan beberapa riwayat Nabi, kita dapat melihat betapa Allah menuntut
kita untuk menghormati dan mengagungkan rasul-Nya. Coba perhatikan ayat
shalawat. Adakah perintah yang sama dengan perintah shalawat, yaitu yang
didahului dengan pernyataan bahwa Allah dan malaikat-Nya te-lah melakukannya
terlebih dahulu dan oleh karena itu kita pun diperintahkan untuk melakukan-nya,
selain shalawat kepada Nabi? Tidak ada. Perintah itu berarti kita harus selalu
melihat Nabi dengan penuh takzim dan agar kita selalu membalas
jasa-jasanya. Oleh karena itu pula, Nabi saw selalu mengingatkan bahwa
orang yang tidak mau bershalawat kepadanya adalah bakhil atau kikir. Bahkan
orang yang datang ke tanah suci tapi tidak mampir ke Madinah untuk berziarah
kepadanya telah memutus hu-bungan silaturrahmi dengannya. Pada ayat tawassul kita bahkan diperi-ngatkan Allah jika
ingin dosa-dosa kita diam-puni oleh-Nya harus bertawassul kepadanya. Jika
tidak, Allah tidak akan mengabulkan per-mohonan ampun kita. Allah juga
mengingatkan agar kita tidak memperlakukannya sama dengan kita, sebab hal itu
dapat menghapus pahala amal ibadah kita (QS. 49:2-3). Selain itu, kita juga
diperingatkan untuk tidak menganggap apa yang dilakukan atau diucapkannya lahir
karena emosi atau hawa nafsunya. Tapi semuanya atas bimbingan Allah yang tidak
pernah salah. Ia tidak bertutur kata atas dasar hawa nafsunya,
melainkan berdasarkan wahyu yang diterimanya (QS. 53:3-4). Dengan demikian, yang mengagungkan dan memerintahkan
kita untuk mengagungkan Nabi Muhammad saw adalah Allah Swt sendiri. Bukan kita.
Kita hanya mengikuti perintah dan ajaran-Nya saja. Lalu mengapa kita harus
menentang Allah dan Rasul-Nya hanya karena takut jatuh dalam hantu “kultus”
yang kita ciptakan sendiri? Sebenarnya tidak ada kultus; karena kultus ialah
melebih-lebihkan sesuatu yang tidak pada tempatnya. Pengagungan Nabi Muhammad
saw justeru mendudukkan posisi Nabi Muhammad saw sebagaimana mestinya, seperti
diperintahkan al-Quran. Justru jika kita tidak melakukan itu, dikhawatirkan
telah menzalimi beliau. Sesungguhnya orang-orang yang menggangu Allah dan
rasul-Nya dikutuk oleh Allah di dunia maupun di akhirat dan Allah siapkan
baginya siksa yang menghinakannya (QS. 33:57). Sebagai penutup renungkan peristiwa yang terjadi pada
zaman Nabi saw di bawah ini. ‘Abdullah bin Amr berkata: Aku menulis segala sesuatu yang aku dengar dari
Rasulullah saw. Aku bermaksud menghapalnya. Tapi orang-orang Quraisy melarangku
dan mereka berkata: “Engkau menulis segala sesuatu yang engkau dengar dari
Rasulullah saw? Padahal beliau hanyalah seorang manusia yang berbicara saat
marah dan senang.” Aku berhenti menulis. Tetapi kemudian aku ceritakan hal itu
kepada Rasulullah. Ia kemudian menunjuk ke-pada mulutnya dan berkata: “Tulis
saja. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya tidak ada yang
ke-luar dari sini kecuali kebenaran.” Camkan! Sumber: RausyanFikr's Site |