Antara Pluralisme Agama dan WahyuDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Oleh: Ruhullah Syams
Agama (dalam hal ini ad-din dalam bahsa arab) memiliki makna
jalan, balasan, dan kecenderungan.[1] Agama-agama Ilahi turun satu
menggantikan lainnya dalam bentuk saling menyempurnakan dengan tekanan
pengajaran yang berbeda-beda untuk memberi hidayah dan petunjuk kepada manusia.
Karena itu, substansi agama-agama Ilahi adalah hidayah (memberikan petunjuk)
dan dalam implementasi tujuan ini tidak ada perbedaan di antara agama-agama
Ilahi. Akan tetapi dalam mizan hidayah dan kadar pengajaran, mereka satu sama
lain mempunyai perbedaan secara intensitas kuat dan lemah. Zaman sekarang ini, di dunia Barat terjadi krisis agama dan
spiritual. Masyarakat Barat telah mendudukkan manusia pada tempat Tuhan[2],
menempatkan para jenius dan pemikir pada kedudukan para nabi, dan
menggantikan agama dengan maktab-maktab filsafat sosial. Dan untuk menghapus
perbedaan agama-agama Ilahi dan maktab-maktab buatan manusia, mereka melakukan
pelbagai distorsi (tahrif) terhadap agama sebagai mukaddimah, di mana pada
akhirnya akan muncullah suatu wajah dari pluralisme agama-agama dan
maktab-maktab. Descartes berkeyakinan bahwa hakikat ada pada semua dan tak
satupun kelompok yang berrhak membatasi hakikat hanya pada dirinya dan semuanya
dalam pemahaman hakikat adalah sama. Tentu ungkapan ini menimbulkan tanda tanya
besar bagi kadar validitas sebuah agama. Sementara itu Kant berkeyakinan bahwa
di dalam proposisi-proposisi analitis akal teoritis, kita tidak mempunyai
kemampuan pengetahuan apriori dan keluarnya hukum-hukum (pembenaran dan
pengafirmasian) sebelum pengalaman (eksperimen). Kendatipun pemikiran-pemikiran ini dalam posisi dan
kedudukannya tersendiri dari sudut benar dan salahnya masih perlu dikaji, akan
tetapi pemikiran-pemikiran ini biasnya di era sekarang sudah disertai dengan
natijah yang sama, yakni pluralisme filsafat, agama, dan akhlak. Bagaimana Bentuk Hubungan Agama dengan
Sejarah?
Tentang hubungan agama dan sejarah, terdapat beberapa
pertanyaan urgen yang dapat diutarakan di sini: Apakah keberadaan agama
berhubungan dengan sejarah? Apakah dengan kemajuan sejarah agama juga mengalami
kesempurnaan? Dalam bentuk ini, apa makna bagi konsep khâtamiyyah (akhir
kenabian)? Apakah pemahaman-pemahaman maknawi dan hakiki dapat menemukan
kesempurnaannya lewat perkara-perkara yang berlalu, yakni sejarah? Apa penentu
kesempurnaan dalam agama? Apakah sejarah dapat menerangkan faktor ini? Apakah
wahyu dan hakikat terjadi lewat sejarah dalam agama? Dan pertanyaan akhir
apakah konsepsi Tuhan yang dipersepsi dengan baik oleh para teolog memerlukan
perhatian pada aspek kesejarahan? Dalam menjawab pertanyaan akhir mesti kami katakan bahwa
kendatipun pandangan para teolog tentang Tuhan mesti diperoleh dari wahyu dan
tidak dari sejarah, akan tetapi terdapat sejumlah filosof seperti Hegel yang
menerima kemestian esensial antara sejarah dan wahyu. Dan sejumlah lainnya juga
seperti Paul Tilich tidak memandang adanya hubungan niscaya (dharuri) antara
wahyu dan sejarah. Meskipun wahyu diperoleh dalam wadah sejarah, tetapi kita
tidak mendapatkannya dari sejarah. Sementara sebagian filosof lainnya
berkeyakinan bahwa terdapat hubungan yang niscaya antara wahyu dan sejarah. Sebagian filosof Islam seperti Shadrul Mutaalihin memandang
bahwa tinjauan di atas berkenaan dengan aspek kesejarahan wahyu adalah benar
dari satu sisi dan tidak benar dari satu sisi. Jika kita mengambil pemahaman kenabian secara mutlak maka
dahulu dan kemudian dalam hal ini tidak menunjukkan atas kesempurnaan dan
kekurangan. Misalnya, meskipun Nabi Ya’kub As datang setelah Nabi Ibrahim As,
tetapi ini tidak bisa menjadi dalil atas lebih sempurnanya Nabi Ya’kub As
ketimbang Nabi Ibrahim As. Dalam hal kesempurnaan para nabi terdapat
derajat yang bertingkat-tingkat, tetapi tidak ditinjau dari aspek kesejarahan
awal dan akhir kedatangannya (di sini kita meninjau wahyu lebih umum dari
kenabian dan risalah dan dalam subyek ini tidak terdapat perbedaan di antara
keduanya). Wahyu tidak mengambil kehujjahannya dari sejarah dan faktor
kesejarahan, karena itu kedudukan wahyu lebih atas dari dahulu dan kemudian
(baru). Jika seorang teolog ingin berbicara tentang kemajuan dan kemunduran
dalam sejarah agama, dia mesti mengisyaratkan dalam pembicaraannya unsur-unsur
penting dan spesifik dalam pemahan agama dan wahyu. Kesempurnaan Agama Islam Agama Islam sebagai agama akhir dan penutup (khâtam) dari
agama-agama samawi merupakan agama yang lebih sempurna dari agama-agama
sebelumnya. Dan dalam kata khâtamiyyah sendiri terkandung makna kesempurnaan,
sebab ia meliputi keseluruhan kandungan agama-agama sebelumnya. Islam, meliputi
seluruh agama-agama dan meta sejarah, ia adalah seluruhnya tanpa ia menjadi
bagian dari salah satu dari mereka. Ia adalah keseluruhan kesempurnaan
agama-agama dan minus dari kekurangan-kekurangan mereka. Dalam al-Qur’an, kata “ ÇáÏíä” (ad-din) dinisbahkan terhadap
agama Islam, yang mana alif dan lam-nya merupakan alif dan lam istigrâq. Akan
tetapi terhadap agama-agama lain, al-Qur’an memakai kata “ÏíäÇ” (dinan):
“Barang siapa yang mencari suatu agama selain Islam maka tidak akan diterima
agama darinya, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi” (Qs. Ali Imran [3]:
85). Dari sini jelas bahwa agama-agama selain agama Islam adalah “óóÏíäÇ“,
yakni satu agama. Akan tetapi agama Islam adalah “ ÇáÏíä“, yakni keseluruhan
kesempurnaan agama-agama. Menurut Paul Tilich, supaya kita mengetahui bagaimana
komprehensi (mafhum) agama menemukan perluasan maka kita butuh kepada
komprehensi agama itu sendiri. Akan tetapi apakah pahaman agama itu menyeluruh
dan meliputi ataukah partikular, menurutnya, jika komprehensi agama itu tidak
meliputi maka ia adalah terbatas dan tidak menyeluruh. Dan jika konsepsi kita
terhadap agama adalah universal maka ia meliputi dan menyeluruh. Namun, jika
kita memberi kait terhadap komprehensi agama, kemestian dari ini kita
mengasumsikan bahwa seluruh agama-agama adalah terbatas. Komprehensi yang ada
pada agama adalah meta sejarah, akan tetapi bahwa ia mempunyai bentuk ini dan
bentuk itu, ia adalah historis. Jika agama kita kenal sebagai sesuatu yang
menjadi perhatian final dan tertinggi manusia, dalam bentuk ini
konsepsi-konsepsi etikal dan logikal agama dari dimensi sebagai penjelas
terhadap perkara final akan menjadi sahih dan muktabar. Dalam hal ini, agama
Nasrani dan agama-agama selainnya mesti taslim dan menyerah kepada parameter
wahyu final.[3] Menurut kita wahyu pamungkas dan akhir adalah Islam. Akan
tetapi mungkin saja para pengikut agama-agama lainnya juga menafsirkan wahyu
final itu sesuai dengan cita rasa mereka. Dalam hal ini kami mengutarakan
beberapa dalil dan bukti bahwa agama komprehensip dan wahyu final adalah Islam
berikut ini: 1. Agama Islam mengungkapkan
gambaran universal, mendunia, dan menyeluruh tentang agama di mana hal ini
tidak terungkap dalam agama-agama historis. Sebelumnya kami telah jelaskan
bahwa Islam adalah “ÇáÏیä” dan mutlak, bukan “ÏیäÇ” dan partikular.
Filosof besar Islam Shadrul Mutaalihin, berkenaan dengan ayat-ayat yang
berhubungan dengan agama seperti: “Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah
Islam” (Qs. Ali Imran [3]: 19), “Barang siapa yang mencari suatu agama
selain Islam maka tidak akan diterima agama darinya, dan di akhirat dia
termasuk orang yang rugi” (Qs. Ali Imran [3]: 85), dan hadits: “Islam adalah
tinggi dan tidak ada yang mengatasinya” menegaskan pandangannya bahwa Islam
menghimpun dan meliputi seluruh (kesempurnaan) agama-agama.[4] 2. Hakikat-hakikat yang disebutkan
dalam al-Qur’an, sebelumnya telah disebutkan dalam Zabur, kitab Maknun, Suhuf
Ulaa, Taurat, dan Injil. Dan ini menurut Shadrul Mutaalihin bukti atas
komprehensifnya al-Qur’an.[5] Oleh karena itu, dengan memperhatikan
istidlal (reasoning) di atas dapat dikatakan bahwa agama Islam adalah meta
sejarah dan meliputi seluruh agama-agama. 3. Dengan memperhatikan serangkaian
ayat-ayat al-Qur’an dapat dikatakan bahwa agama khâtam mestilah agama
komprehensip dan menyeluruh, seperti ayat yang menyatakan: “Dan (ingatlah) pada
hari (ketika) Kami bangkitkan pada setiap umat seorang saksi atas mereka dari
mereka sendiri, dan Kami datangkan engkau (Muhammad) menjadi saksi atas mereka.
Dan Kami turunkan Kitab (al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu,
sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri
(muslim)” (Qs. an-Nahl [16]: 89). Saksi (syahid) yakni meliputi, sebagaimana
markaz lingkaran meliputi sekitarnya. Yakni dalam ayat ini para nabi menjadi
saksi atas umatnya, akan tetapi nabi khâtam Islam Saw adalah saksi atas seluruh
umat dan kitabnya adalah kitab yang menjelaskan segala sesuatu (termasuk
hakikat-hakikat dan kesempurnaan-kesempurnaan agama yang ada sebelumnya
tentunya). Demikian juga ayat yang menyatakan: “…Kami jadikan kamu umat
pertengahan supaya kamu menjadi saksi-saksi atas manusia”, juga menjelaskan
atas kenyataan komprehensifnya agama khâtam dan kemencakupannya atas seluruh
agama-agama. Dengan demikian kaidah yang ada pada eksistensi, yakni
“Basîthul hakikah kullul asy-yâ wa laisa bisyain minhâ” (basîth hakiki atau
ketakberangkapan hakiki adalah segala sesuatu dan ia bukan sesuatu dari
mereka), secara jelas juga berlaku dalam wujud wahyu. Dan ini hanya
terkhususkan bagi wahyu (agama) Islam, dimana prinsip dan hakikatnya memiliki
dimensi meta historis. Adapun pandangan pluralisme agama dalam pengertiannya yang
berkembang, dimana kelazimannya adalah kesamaan agama-agama Ilahi dan
agama-agama non-Ilahi serta tidak adanya keutamaan antara satu agama dengan
agama lainnya, berkenaan dengan tinjauan kita tentang agama khâtam dan wahyu
final di atas, dapat disimpulkan tentang kebatilan pandangan pluralisme
agama-agama tersebut dan memberikan solusi tentang kemestian dan keniscayaan
ke-lebih sempurna-an agama khâtam (Islam) dibanding seluruh agama-agama
lainnya. Dan ayat al-Qur’an yang menyatakan: “Pada hari ini telah Aku
sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah
Aku ridai Islam sebagai agamamu” (Qs. al-Maidah [5]: 3) adalah dalil bahwa
suatu agama dapat menduduki tingkatan final dan akhir dari pergerakan sempurna
agama-agama serta hukum-hukum dan undang-undangnya lebih sempurna dari
agama-agama lainnya. Penilaian Al-Qur’an (Islam) Terhadap Kitab-kitab
Lainnya Sebab manusia diciptakan sebagai maujud dinamis dan pencari
kesempurnaan, maka pencipta manusia untuk memenuhi kebutuhan substansial
manusia ini di sepanjang zaman senantiasa mengundangnya kepada maqam
kesempurnaan dan spiritual lewat ajaran dan hidayah para nabi-Nya. Prinsip
dasar hidayah para nabi dan pembingbing manusia adalah satu dan bersumber dari
satu mabda: “Sungguh, Kami yang menurunkan Kitab Taurat; di dalamnya (ada)
petunjuk dan cahaya. Yang dengan Kitab itu para nabi yang berserah diri kepada
Allah memberi putusan atas perkara orang Yahudi, demikian juga para ulama dan
pendeta-pendeta mereka, sebab mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah
dan mereka menjadi saksi terhadapnya” (Qs. al-Maidah [5]: 44). Tuhan, tentang
Kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa As berfirman: “… di sii mereka
Kitab Taurat yang di dalamnya (ada) hukum Allah…” (Qs. al-Maidah [5]: 43) dan
tentang Kitab Injil yang dikirimkan untuk Nabi Isa As berfirman: “Dan Kami menurunkan
Injil kepadanya, di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya, dan membenarkan
kitab yang sebelumnya yaitu Taurat, dan sebagai petunjuk serta pengajaran untuk
orang-orang yang bertakwa” (Qs. al-Maidah [5]: 46). Jika ahli kitab menjaga dua kitab ini dari kekotoran
distorsi (tahrif) dan mengamalkan segala apa yang diturunkan Tuhan kepada
mereka, niscaya mereka akan mendapatkan berkah dari langit dan bumi: “Dan
sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan Taurat, Injil, dan apa yang
diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan
dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka” (Qs. al-Maidah [5]: 66). Al-Qur’an mengungkapkan secara terang tentang adanya
kekotoran tahrif yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi terhadap kitab-kitab
sebelumnya: “Di antara orang Yahudi (terdapat golongan orang) yang mengubah
perkataan dari tempat-tempatnya …” (Qs. an-Nisa [4]: 46), maksudnya melakukan
tahrif terhadap kitab-kitab suci. Demikian juga ayat berikut ini menjelaskan
perbuatan mereka yang melakukan tahrif terhadap perkataan-perkataan Tuhan:
“Maka apakah kamu sangat mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, sedangkan
segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah
memahaminya, padahal mereka mengetahuinya?” (Qs. al-Baqarah [2]: 75). Al-Qur’an, dalam masalah ini sangat mencela perbuatan mereka
dan Tuhan melaknat pelaku-pelaku tersebut: “Sungguh, orang-orang yang
menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan
petunjuk, setelah Kami jelaskan kepada manusia dalam Kitab (al-Qur’an), mereka
itulah yang dilaknat Allah dan dilaknat (pula) oleh mereka yang melaknat” (Qs.
al-Baqarah [2]: 159). Demikianlah al-Qur’an memandang kitab-kitab sebelumnya
sebagai kitab-kitab yang mengandung hidayah, bimbingan, dan petunjuk bagi
manusia kepada kesempurnaan dan spiritual. Akan tetapi dikarenakan adanya
kekotoran tahrif di dalam kitab-kitab tersebut maka masa berlakunya untuk
menuntun manusia sudah berakhir dan digantikan dengan wahyu final dan kitab
terakhir yang mengandung kesempurnaan-kesempurnaan kitab-kitab sebelumnya dan
minus serta terjaga dari kekotoran distorsi (tahrif). Oleh karena itu, al-Qur’an, dikarenakan terjaga dari
tangan-tangan penahrif dan tidak terjadi di dalamnya pengurangan, penambahan,
dan distorsi (tahrif) maka dia menjadi mizan dan tolok ukur kebenaran kandungan
dan isi (yang tetap terjaga dari tahrif) bagi kitab-kitab suci lainnya.
Berdasarkan ini, penyimpangan-penyimpangan yang ada dapat diluruskan dan
penyelewengan ajaran Ilahiah yang disisipkan dapat dibersihkan dengan
dimizankan dengan kandungan dan isi dari al-Qur’an. Di samping itu pembawa wahyu final dan khâtam yaitu Nabi
khâtam Muhammad Saw, di banding atas nabi-nabi lainnya mempunyai kesempurnaan,
kemuliaan, dan keutamaan yang lebih daripada mereka. Dan dia menjadi muhaimin
(penjaga) atas mereka; sebab maqam dan kedudukan Nabi khâtam adalah setingkat
dengan wahyu khâtam; sebagaimana para nabi sebelumnya sederajat dengan
kitab-kitab suci mereka dan al-Qur’an al-karim adalah muhaimin (penjaga) atas
semua kitab-kitab suci: “Dan Kami telah menurunkan Kitab (al-Qur’an) kepadamu
(Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang
diturunkan sebelumnya dan menjaganya” (Qs. al-Maidah [5]: 48). Oleh karena itu,
Rasul khâtam Muhammad Saw adalah muhaimin atas seluruh rasu-rasul Ilahi.[6] Berdasarkan maqam dan kedudukan Nabi khâtam Islam Saw ini
maka al-Qur’an menyatakan: “Dan bagaimanakah, jika Kami mendatangkan seorang
saksi (rasul) dari setiap umat dan Kami mendatangkan engkau (Muhammad) sebagai
saksi atas mereka” (Qs. an-Nisa [4]: 41). Yakni, Tuhan mendatangkan saksi
(sebelumnya kami telah memaknai saksi adalah meliputi) dalam bentuk mengutus
seorang nabi, rasul, atau imam bagi setiap umat yang mengawasi akidah, aturan,
dan amal perbuatan mereka dan Nabi khâtam Muhammad Saw adalah saksi atas semua
saksi-saksi tersebut, sebab beliau Saw adalah muhaimin atas seluruh nabi,
rasul, imam, dan seluruh umat manusia. Karena itu dalam hadits, tentang
kedudukan beliau Saw kita baca: Yang paling awal diciptakan Allah adalah cahayaku.[7]Beliau
mempunyai kedahuluan esensial atas seluruh ma siwallah dan keniscayaan dari
kedahuluan esensial adalah peliputan eksistensial terhadap
eksistensi-eksistensi lainnya dan kepenyebaban terhadap sebab-sebab di
bawahnya.[8] Oleh karena itu, apa saja di alam
imkan ini mencium harum eksistensi maka semua mereka itu berasal dari semerbak
wangi hadhrat khâtmi martabat Saw dan dengan perantara cahayanya alam eksitensi
imkan ini mendapatkan cahaya dari sumber cahaya yaitu cahaya di atas cahaya
(Allah Swt). Komprehensi Agama dan Khâtamiyyah
Sebelumnya telah kita katakan bahwa agama mempunyai makna
taslim, jalan, dan balasan. Agama-agama Ilahi (baca: kitab-kitab Ilahi)
diturunkan untuk memberi hidayah pada manusia dan dalam tingkatan-tingkatan
kesempurnaan, mereka satu sama lain saling menyempurnakan. Agama-agama Ilahi
ditinjau dari dimensi kebenarannya tidak memiliki perbedaan antara satu dan
lainnya dan hanya ditinjau dari segi syarat tempat dan zaman dalam mizan
program hidayah yang mempunyai intensitas kuat dan lemah. Agama Islam adalah
agama Ilahi yang paling akhir diturunkan dan merupakan paling sempurnanya agama
Ilahi serta nabinya dan kitabnya merupakan khâtam anbiyâ dan kitab-kitab suci. Adapun pluralisme agama yang berkembang saat ini tidaklah
menerima pengertian agama, kebenaran agama-agama, dan khâtamiyyah (kesempurnaan
agama akhir) yang kita maksudkan di atas. Sebab menurut terma mereka tidak ada
keunggulan agama-agama Ilahi dibandingkan agama-agama non-Ilahi dan
maktab-maktab non-agama. Karena itu pluralisme agama dalam bentuk ini
memestikan penurunan derajat agama Ilahi dan mensejajarkan maktab buatan
manusia dengan agama yang diturunkan Tuhan serta melakukan distorsi terhadap
ajaran agama yang sempurna dengan pengaburan menyandingkannya dengan
agama-agama yang telah ternodai tahrif dan bahkan agama atau maktab
buatan manusia sekalipun. Sumber:
wisdoms4all |