Menimbang Keadilan TuhanDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Sepanjang beberapa kajian yang lalu tampak banyak ikhtilaf
di antara dua mazhab Teologis, yaitu Asy�ariyah dan Mu�tazilah dalam berbagai
masalah. Di antaranya, masalah kalam Allah, iradah Allah, Tauhid Sifati,
Determinasi dan Kehendak Bebas, Qadha dan Qadar. Kita pun melihat betapa
pandangan dua mazhab tersebut mengesankan sikap ifrat dan tafrit. Salah satu ikhtilaf mendasar di antara Asy�ariyah dan Mu�tazilah ialah masalah
Keadilan Ilahi. Di sini, kita jumpai bagaimana Syi�ah sejalan dengan Mu�tazilah. Kedua
mazhab ini dikenal juga dengan �Adliyah, sebagai lawan dari Asy�ariyah. Mengingat
pentingnya masalah ini, masalah ini dianggap sebagai masalah pokok di dalam
ilmu Kalam. Bahkan masalah ini dianggap sebagai masalah ushulul �aqaid dan termasuk
keistimewaan yang dimiliki oleh mazhab Syi�ah dan Mu�tazilah. Perlu diketahui bahwa mazhab Asy�ariyah juga sebenarnya
tidak menolak keadilan Ilahi. Mereka tidak menilai bahwa Allah Swt. itu zalim,
na�u dzubillah. Karena sesungguhnya ayat-ayat al-Qur�an yang jelas yang tidak
perlu ditakwil menetapkan adanya keadilan Ilahi dan menafikan berbagai macam
kezaliman dari-Nya. Akan tetapi pembahasan dalam tema ini berkisar tentang
apakah akal manusia �tanpa bersandar kepada al-Qur�an dan Sunnah� dapat mengetahui
dasar-dasar untuk suatu per-buatan, khususnya perbuatan Allah, yang atas dasar
tersebut mengharuskan seseorang agar melakukan suatu perbuatan atau
meninggalkannya. Misalnya, akal dapat menghukumi bahwa Allah Swt itu mesti
memasukkan kaum mukmin ke dalam surga dan kaum kafir ke dalam neraka. Ataukah
hukum-hukum seperti ini tidak dapat dipahami kecuali dengan bersandar kepada
wahyu Ilahi, yang tanpanya akal tidak dapat menyatakan hukum-hukum
tersebut? Dengan demikian, masalah utama yang diperdebatkan adalah
yang diistilahkan dengan baik dan buruk akli (husn wa kubh aqli). Asy�ariyah mengingkari hal
tersebut. Mereka berkeyakinan bahwa segala hal penciptaan yang dilakukan Allah
adalah kebaikan, dan hukum apa saja yang disyariatkan Oleh-Nya adalah kebaikan.
Bukan lantaran perbuatan itu baik lalu Allah memerintahkan untuk dilakukan atau
ditinggalkan. Adapun mazhab �Adliyah meyakini bahwa segala per-buatan,
terlepas dari kaitan penciptaan dan pensyariatannya pada Allah, pada dirinya
sendiri bersifat baik atau buruk. Pada batas-batas tertentu, Akal mampu
menjangkau kebaikan dan keburukan suatu perbuatan serta menyucikan dzat
Allah dari melakukan perbuatan buruk. Pengetahuan akal ini tidak berarti bahwa
akal � na�udzubillah � memerintah Allah atau mencegah-Nya. Maksud di atas ini ialah
bahwa akal dapat mengetahui kesesuaian atau tidaknya suatu perbuatan dengan
sifat-sifat sempurna Allah. Karenanya, �Adliyah meyakini
kemustahilan dilakukannya perbuatan buruk oleh Allah Swt. Jelas bahwa pengkajian terperinci atas tema-tema ini dan
jawaban atas kritik serta keraguan yang dilontarkan oleh mazhab Asy�ariyah -dalam
mengingkari baik dan buruk akli dan berhadapan dengan �Adliyah- tidaklah
sesuai dengan kapasitas buku ini. Begitu pula, sangat mungkin terdapat
beberapa kelemahan pada Mu�tazilah yang perlu diurai dan dikritisi. Akan
tetapi, keyakinan dasar terhadap baik dan buruk akli itu telah diterima oleh
Syi�ah. Akan tampak bahwa hal itu didukung oleh Al-Qur�an, hadis Nabi Saw. dan
sabda para imam maksum As. Oleh karena itu, terlebih dahulu kami akan menjelaskan
pengertian adil atau keadilan. Lalu, kami akan menjelaskan dalil-dalil rasional
atas sifat adil tersebut yang termasuk sifat-sifat fi�liyah (perbuatan) Allah.
Pada bagian akhir, kami akan mengkritisi keraguan-keraguan penting dalam
masalah ini dan mem-berikan jawabannya. Arti Keadilan
Keadilan secara leksikal berarti sama dan menyamakan. Dan
menurut pandangan umum, keadilan yaitu menjaga hak-hak orang lain. Keadilan
merupakan lawan kezaliman yang berarti merampas hak-hak orang lain. Atas dasar
ini, definisi keadilan ialah memberikan hak kepada yang berhak
mene-rimanya. Maka itu, pertama kita harus mempunyai gambaran adanya pihak yang
mempunyai hak sehingga dapat dikatakan bahwa menjaga haknya merupakan keadilan
dan merampas haknya adalah kezaliman. Akan tetapi, terkadang pengertian adil ini lebih diperluas
lagi dan digunakan dengan makna: menempatkan sesuatu pada tempatnya atau
mengerjakan segala sesuatu dengan baik. Berdasarkan definisi ini,
keadilan sinonim dengan bijakasana. Maka, perbuatan yang adil yaitu perbuatan
yang bijak. Adapun bagaimana hak orang yang berhak dan posisi semestinya setiap
sesuatu itu dapat ditentukan, pembahasan persoalan ini sangat luas dan
merupakan bagian yang penting dalam pembahasan Filsafat Etika dan Filsafat
Hukum yang tidak mungkin dapat kita bahas pada kesempatan ini. Yang perlu kami tekankan di sini adalah bahwa setiap orang
yang berakal pasti mengetahui bahwa apabila seseorang itu merampas sepotong
roti dari seorang anak yatim tanpa alasan yang jelas, atau menumpahkan darah
orang lain yang tidak bersalah, berarti ia telah melakukan kezaliman dan
melakukan tindakan yang buruk. Demikian pula sebaliknya, apabila seseorang mengambil
kembali sepotong roti yang telah diambil dari seorang pencuri, kemudian
mengembalikannya kepada anak yatim atau ia memberikan sanksi atas pembunuh yang
berbuat jahat sesuai dengan kejahatannya, berarti ia telah berbuat baik dan
benar. Sesungguhnya penilaian terhadap kebaikan dan keburukan,
keadilan dan kezaliman ini tidak bergantung kepada perintah dan larangan Allah,
sebab penilaian ini dapat dipahami sekalipun oleh orang yang tidak beriman
kepada wujud Allah Swt. Adapun apa sebenarnya dasar hukum tersebut, dan
kekuatan indra apa yang dapat mengetahui kebaikan dan keburukan perbuatan,
adalah bagian masalah Filsafat. Dengan demikian, keadilan dapat didekatkan dengan dua
pengertian: pengertian khusus dan pengertian umum. Yang pertama ialah menjaga
hak-hak orang lain, dan yang kedua adalah keluarnya suatu perbuatan dengan cara
hikmah di mana menjaga hak-hak orang lain termasuk bagian dari mishdaq-nya
(instanta). Berdasarkan hal itu, maka adil bukan berarti memberikan secara sama
kepada seluruh umat manusia atau di antara segala sesuatu. Seorang guru yang
adil bukanlah yang memiliki sikap yang sama terhadap seluruh anak didiknya,
sehingga ia menyamakan seluruhnya dalam hal memberikan teguran dan pujian baik
kepada anak didiknya yang rajin maupun yang malas. Seorang hakim yang adil
bukanlah yang membagi harta yang dipertikaikan itu secara sama antara orang
yang bertikai. Seorang guru yang adil adalah yang memuji setiap anak didiknya
dan juga memberikan peringatan kepada mereka sesuai dengan hak-haknya. Hakim
yang adil adalah hakim yang mengembalikan harta yang dipertikaikan kepada yang
berhak. Demikian pula, sesuai dengan Hikmah dan Keadilan Ilahi,
Allah Swt. tidak menciptakan seluruh makhluk-Nya dalam bentuk yang sama,
misalnya Allah menciptakan manusia bertanduk atau bersayap dan sebagainya. Akan
tetapi Dia menciptakan alam semesta dalam bentuk yang terukur sehingga dapat
terealisasi kebaikan dan kesempurnaan. Allah Swt. menciptakan segenap
makhluk-Nya dalam bentuk yang serasi antara bagian-bagiannya dengan tujuannya
yang terakhir. Demikian pula sesuai dengan Hikmah dan Keadilan Ilahi, Allah
membebankan tugas (taklif) kepada setiap manusia sesuai dengan kemampuan
masing-masing. Dan Dia pun memutuskan suatu hukum sesuai dengan kemampuan dan
kehendak bebas mereka, serta memberikan balasan, baik berupa pahala atau siksa
yang setimpal dengan tiap-tiap perbuatan mereka. Allah Swt. berfirman: �Sesungguhnya Allah tidak akan membebani manusia sesuai
dengan kemampuannya.� (Qs. Al-Baqarah [2]: 286) �Dan akan diputuskan kepada mereka itu suatu
tugas hukum dengan keadilan dan tidak dizalimi sedikit pun.� (Qs. Yunus [10]: 54) �Maka pada hari kiamat tidak dizalimi seorang pun
dan tidak diberikan balasan terhadap apa yang mereka lakukan melainkan sesuai dengan
apa yang telah mereka perbuat.� (Qs.Yasin [33]:54) Dalil atas Keadilan Ilahi
Telah kami katakan bahwa Keadilan Ilahi merupakan salah satu
mishdaq Hikmah Ilahiyah. Berdasarkan salah satu penafsiran, keadilan adalah
Hikmah Ilahiyah itu sendiri. Tentunya, dalil yang digunakan untuk menetapkan
Keadilan Ilahi adalah dalil yang juga digunakan untuk menetapkan Hikmah
Ilahiyah, seperti yang telah dibahas pada kajian 11. Di sini kami akan
mengulanginya secara lebih terinci. Pada pelajaran yang lalu telah kita ketahui bahwa Allah Swt.
memiliki tingkat kekuasaan yang paling tinggi dan sempurna, bahwa Dia Mahamampu
untuk melakukan peker-jaan apa saja yang mungkin terjadi, atau tidak
melakukannya tanpa tunduk pada pengaruh apapun dan tanpa dipaksa oleh selainnya.
Akan tetapi, Allah Swt. tidak melakukan segala apa yang Ia mampu untuk
melakukannya, melainkan Dia hanya melakukan sesuatu yang Ia kehendaki. Telah kita ketahui pula bahwa kehendak Allah Swt. tidaklah
sia-sia dan main-main. Hanya saja Dia tidak meng-hendaki sesuatu kecuali sesuai
dengan sifat-sifat kesempur-naan-Nya. Apabila sesuatu itu tidak sesuai
dengan sifat-sifat kesempurnaan, maka sesuatu itu tidak akan terjadi dan tidak
akan Allah lakukan sama sekali, karena Dia adalah kesem-purnaan yang
mutlak dan murni, maka kehendak-Nya pun hanya berurusan dengan sisi
kesempurnaan dan kebaikan makhluknya saja. Apabila keberadaan suatu makhluk
mela-zimkan sebagian keburukan atau kekurangan, maka sisi keburukan itu tidak
dimaksudkan secara mendasar, akan tetapi hanya merupakan efek, sebab kehendak
Allah secara mendasar hanya berurusan dengan kebaikan. Dengan demikian, sesuai dengan sifat-sifat Ilahi yang
sempurna, Allah Swt. menciptakan alam semesta ini dalam bentuk yang sesempurna
dan sebaik mungkin. Dari sinilah kita dapat menetapkan tentang sifat hikmah
pada Allah Swt. Maka itu, kehendak Ilahiyah itu hanyalah berurusan dengan
penciptaan manusia dari sisi wujudnya yang mungkin (mum-kinul wujud), yang
merupakan sumber kebaikan sebanyak mungkin. Sebuah keistimewaan utama yang dimiliki oleh manusia adalah
kehendak dan usaha bebasnya. Tidak syak lagi bahwa kekuatan berkehendak dan
berusaha merupakan kesem-purnaan manusia, dan bahwa orang yang memilikinya
dianggap lebih utama ketimbang orang yang tidak memi-likinya. Akan tetapi,
kelaziman kehendak bebas manusia ialah bahwa ia mampu melakukan berbagai
perbuatan yang baik yang dapat menyampaikannya kepada puncak kesempurnaan, juga
ia mampu melakukan perbuatan yang buruk sehingga ia akan menderita kerugian dan
kecelakaan yang abadi. Tentunya, sesuatu yang secara mendasar berkaitan dengan
kehendak Ilahiyah adalah proses kesempurnaan manusia. Hanya saja proses
kesempurnaan manusia membuka ke-mungkinan bahwa ia pun bisa gagal lantaran
mengikuti hawa nafsu dan keinginan-keinginan setan. Oleh karena itu kehendak
Ilahiyah pun berhubungan secara kausal dengan kegagalan usaha bebas umat
manusia. Karena usaha yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan
perasaan itu membutuhkan pengetahuan yang benar akan jalan-jalan kebaikan dan
keburukan, Allah memerintahkan umat manusia untuk melakukan sesuatu yang
mengandung kebaikan dan kemaslahatan baginya dan mencegah dari apa saja yang
membawanya kepada kerusakan, penyelewengan serta kemunduran. Oleh karena itu,
Allah Swt. memenuhi segala kebutuhan untuk usaha-usaha kesempurnaan. Selain itu, karena tugas-tugas Ilahi disyariatkan atas
manusia untuk tujuan menyampaikan mereka kepada hasil dari pengamalan
tugas-tugas Ilahi tersebut, maka itulah tugas-tugas tersebut harus sesuai
dengan kemampuan mereka. Oleh karena itu, tugas yang tidak mungkin dilakukan
adalah sia-sia dan tak berarti. Atas dasar itu, tingkat pertama bagi keadilan (dalam
pengertian khusus) yaitu keadilan dalam hal penetapan tugas, dapat dibuktikan
dengan argumen sebagai berikut: yaitu bahwa jika Alah Swt menetapkan tugas ke
atas hamba-Nya yang ia tidak mampu untuk melakukannya, tugas itu tidak mungkin
dilakukan dan menjadi penetapan yang sia-sia. Adapun keadilan dalam hal mengadili hamba-hamba dapat
dibuktikan sebagai berikut: yaitu bahwa pengadilan dapat dilakukan oleh Allah
untuk menentukan orang-orang yang berhak menerima pahala atau azab. Apabila
pengadilan tersebut bertentangan dengan keadilan, itu melazimkan adanya
kekurangan dan bertentangan dengan tujuan-Nya. Kemudian keadilan dalam hal memberi pahala atau siksa dapat
dibuktikan dengan memperhatikan tujuan puncak penciptaan. Bahwa Allah Swt.
menciptakan manusia dengan bertujuan untuk menyampaikan mereka kepada
hasil-hasil usaha mereka, baik usaha yang baik maupun yang buruk. Jika memberi
pahala dan siksa itu tidak setimpal dengan perbuatan mereka, tujuan
penciptaan itu tidak terpenuhi. Dengan demikian, dalil atas keadilan Allah dengan arti yang
sesungguhnya dan pada semua tingkatnya ialah bahwa sifat-sifat dzatiyah Allah
Swt. menuntut tindakan-Nya itu pasti adil dan bijaksana, dan tidak terdapat
satu sifat pada-Nya yang melazimkan kezaliman atau kesia-siaan. Beberapa Keraguan dan Jawaban
Keraguan Pertama: Bagaimana mungkin berbagai perbedaan pada
makhluk Allah, khususnya manusia, itu bisa sesuai dengan Keadilan dan Hikmah
Ilahiyah? Dan mengapa Allah Yang Mahaadil dan Bijak tidak menciptakan seluruh
makhluk-Nya dalam bentuk yang sama? Jawab: perbedaan yang terdapat pada makhluk-makhluk Allah
swt. di alam ini adalah suatu hal yang pasti terjadi sesuai dengan tata
cipta-Nya dan tunduk kepada hukum sebab akibat yang menguasai tata cipta itu.
Asumsi persamaan pada ciptaan Allah merupakan asumsi yang dangkal dan sia-sia.
Kalau kita pikirkan baik-baik, akan kita ketahui bahwa asumsi semacam itu
berarti meninggalkan ciptaan, karena apabila seluruh manusia itu adalah
laki-laki atau perempuan semuanya, maka tidak akan terealisasi kelahiran dan
ketu-runan dan pasti akan habis manusia di muka bumi ini. Dan apabila semua
makhluk Allah itu adalah manusia saja, tidak akan didapati bahan makanan atau
hal-hal lain yang dapat memenuhi kebutuhan manusia. Dan seandainya
seluruh makhluk Allah itu adalah hewan atau satu macam tumbuhan yang mempunyai
warna dan sifat-sifat yang satu pula, maka tidak akan ditemukan adanya karunia
dan manfaat-manfaat yang banyak, dan tidak akan didapati pula pemandangan yang
indah. Adanya fenomena semacam ini, yaitu bentuk dan sifat yang
beragam, merupakan kelaziman faktor-faktor dan syarat-syarat yang dapat
terpenuhi sesuai dengan proses perubahan dan dan pergantian materi, dan tidak
seorang pun -sebelum ia diciptakan- mempunyai hak untuk mengatur penciptaan
Allah Swt. atas dirinya, yaitu menuntut agar Dia menciptakannya
dalam bentuk, tempat dan zaman tertentu saja, sehingga terdapat peluang untuk
keadilan dan kezaliman. Keraguan Kedua: Apabila Hikmah Ilahiyah itu menuntut
hidupnya manusia di alam dunia ini, namun mengapa setelah itu Allah mema-tikan
manusia dan mengakhiri hidupnya? Jawab: pertama, kehidupan dan kematian segala sesuatu di
dunia ini sebenarnya tunduk pada hukum alam (takwini) dan sebab-akibat, serta
merupakan kemestian bagi tata cipta alam ini. Kedua, apabila seluruh makhluk hidup ini tidak menga-lami
kematian, tidak akan ada lahan untuk makhluk-makhluk hidup yang akan datang.
Dengan demikian, generasi berikutnya tidak mendapatkan kehidupan. Ketiga, apabila kita berasumsi bahwa kehidupan manusia ini
berlangsung abadi, maka tidak akan berlalu masa yang panjang kecuali kita akan
melihat permukaan bumi ini di-penuhi oleh umat manusia, dan bumi akan
menjadi sempit dengan keberadaan mereka, sehingga setiap manusia akan
mengharapkan kematian karena beratnya menanggung rasa lapar, sakit dan
kelelahan. Keempat, sesungguhnya tujuan utama diciptakannya manusia
adalah untuk kebahagiaan yang abadi dan hakiki. Jika manusia tidak dipindahkan
dari kehidupan dunia ke kehidupan lainnya (akhirat) melalui kematian, tujuan
utama untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki tersebut tidak akan
terealisasi. Keraguan Ketiga: Kejadian berbagai penyakit dan bencana alam
seperti banjir, gempa bumi serta adanya patologi-patologi sosial seperti
kezaliman dan peperangan, bagaimana bisa sesuai dengan Keadilan Ilahi? Jawab: pertama, gejala-gejala dan bencana alam yang
menyakitkan itu merupakan kelaziman dari perbuatan-perbuatan yang bersifat
materi, dimana benda-benda itu saling berinteraksi, bergesekan dan berbenturan.
Mengingat bahwa kebaikan gejala-gejala tersebut lebih banyak daripada
keburukannya, hal itu tidak bertentangan dengan Hikmah Ilahiyah. Demikian pula,
krisis sosial sebenarnya muncul lantaran usaha manusia. Usaha ini sesuai dengan
Hikmah Ilahiyah. Hanya yang perlu diperhatikan di sini ialah bahwa manfaat dari
kehidupan sosial dan hal-hal yang positif sebenarnya lebih banyak daripada
kerugiannya. Seandainya kerugian itu lebih banyak, tentu tidak akan ada lagi
manusia di muka bumi ini. Kedua, kejadian berbagai macam bencana dan musibah tersebut,
di satu sisi akan mendorong manusia untuk mencari rahasia dan sebab-sebab
alami, serta berusaha untuk mengungkapnya. Dengan demikian, akan lahir
pengetahuan, penemuan, serta produk-produk yang berbagai macam. Di sisi lain,
ihwal menghadapi bencana-bencana tersebut lalu ber-usaha untuk mencari jalan
keluarnya berperan besar dalam menggali dan mengembangkan potensi
manusia, serta dalam mencapai kesempurnaan umat manusia itu sendiri demi
peningkatan dan kemajuan hidup. Sehingga pada akhirnya, akan timbul ketabahan
dalam menanggung beban penyakit dan musibah tersebut. Apabila ketabahan itu dilandasi
oleh alasan-alasan yang benar dan sesuai dengan syariat, hal itu akan
mendatangkan pahala yang abadi di akherat kelak. Ketabahan itu tidak akan
sia-sia, bahkan ia akan diimbal dengan ganjaran yang lebih mulia dan berlipat
ganda. Keraguan Keempat: Bagaimana siksa Allah yang bersifat abadi
atas dosa-dosa yang sekejap dilakukan oleh pelaku-pelakunya di alam dunia ini
bisa selaras dengan Keadilan Ilahi? Jawab: Sebenarnya ada hubungan sebab-akibat antara perbuatan
yang baik atau buruk dan antara pahala atau siksa akhirat, sebagaimana
yang diungkap oleh wahyu, dan manu-sia pun telah diingatkan akan hal itu.
Sebagaimana kita perhatikan di alam dunia ini adanya kejahatan yang
penga-ruhnya berlangsung dalam waktu yang cukup panjang, walaupun kejahatan
tersebut bersifat sementara atau sesaat saja. Misalnya, jika seseorang
menciderai mata orang lain sampai buta, atau ia mencederai matanya sendiri.
Perbuatan semacam ini terjadi sekejap saja, akan tetapi akibatnya berlangsung
terus sepanjang usianya. Demikian pula, dosa-dosa besar berpengaruh pada nasib buruk
ukhrawi yang bersifat abadi. Jika kemudian pelaku dosa itu tidak melakukan cara
yang dapat menghapusnya (seperti taubat), keadaannya ini akan berdampak buruk
selama-lamanya, sebagaimana kebutaan seseorang sampai akhir hayatnya hanya
lantaran perbuatannya yang sekejap saja. Ini semua tidak menentang Keadilan
Ilahi. Demikian pula azab Ilahi yang abadi itu merupakan akibat dari dosa-dosa
besar. Juga hal ini tidak mengabaikan keadilan Ilahi, karena ia merupakan
dampak dari dosa yang dilakukan pelakunya atas dasar kesadarannya.
[www.wisdoms4all.com] |