Baik dan Buruk dalam Perbuatan TuhanDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Perspektif Umum Perbuatan Tuhan
Setelah kita membahas bagian terpenting dalam masalah sifat
dzat dan perbuatan Tuhan, sebelum membahas perbuatan Tuhan, terlebih dahulu
kita kemukakan kerangka umum pembahasan. Sebagaimana dalam pembahasan sifat
Tuhan, pembahasan ini juga akan kita bagi dalam dua tahapan secara umum,
pertama, pembahasan perbuatan Tuhan secara umum, kedua, pembahasan
secara khusus yang berkaitan dengan salah satu perbuatan Tuhan. Pada tahap pertama, kita bisa pahami bahwa tidak termasuk di
dalamnya perbuatan yang dikhususkan kepada Tuhan semata, tetapi secara umum
berkaitan dengan hukum-hukum perbuatan itu sendiri. Sementara dalam tahapan
kedua berhubungan dengan perbuatan khusus seperti perbuatan memberikan petunjuk
(hidayah) dan menyesatkan (dhal�lah) Tuhan. Dengan merujuk kembali pada pembahasan yang sudah kita
lakukan dalam masalah pengetahuan ketuhanan ini, akan jelas bahwa sebagian dari
pembahasan-pembahasan lalu, dari satu sisi juga telah memuat masalah-masalah
perbuatan Ilahi. Sebagai contoh, pembahasan tauhid perbuatan Tuhan dan
kaitannnya dengan perbuatan aktif Tuhan dan perbuatan aktif makhluk-Nya, secara
umum berada dalam lingkup pembahasan perbuatan Tuhan. Demikian juga, pembahasan
tentang sifat-sifat perbuatan, pada dasarnya berhubungan dengan kelompok kedua,
yakni pembahasan khusus atas perbuatan Tuhan. Sebagian dari pembahasan tentang perbuatan Tuhan telah kita
bahas, karena itu tidak akan dibahas lagi di sini. Di sisi lain, ketika merujuk
kepada sumber asli ilmu kalam kita saksikan bahwa umumnya pembahasan-pembahasan
yang diuraikan berada dalam kelompok pertama, yaitu pembahasan perbuatan Tuhan
secara umum, sedangkan penguraian pembahasan yang dikhususkan berkaitan dengan
perbuatan khusus Tuhan, hanya sedikit dibahas. Berdasarkan hal tersebut, dan
dengan memperhatikan keterbatasan tulisan ini maka kita juga mencukupkan
diri dengan mengungkapkan begian terpenting dari pembahasan perbuatan Tuhan
secara umum. [1] Kebaikan dan Keburukan dalam Penilaian
Akal
Sebagai pendahuluan, dipandang perlu untuk membahas terlebih
dahulu masalah kebaikan dan keburukan dalam penilaian akal sebagai mukadimah
pembahasan tentang perbuatan Tuhan. Karena sebagaimana yang akan Anda saksikan
nanti, posisi secara umum pembahasan-pembahasan mendatang, berada di seputar
pandangan yang kami pilih dalam masalah ini. Kebaikan dan keburukan dalam penilaian akal (husn wa qubh �aqli) merupakan salah satu pembahasan klasik dan
rumit dalam teologi Islam dan menjadi diskusi yang berkepanjangan dikalangan
para ilmuan. Para teolog Imamiah dan Mu�tazilah merupakan pendukung konsep kebaikan dan keburukan dalam
penilaian akal (husn wa qubh �aqli). Berdasarkan
pandangan ini, akal bisa menghukumi mana sebuah perbuatan yang baik dan buruk
dengan tanpa bantuan dan bimbingan syariat. Menurut teori ini, Tuhan tidak
mungkin melakukan perbuatan yang tidak baik dan buruk. Sementara Asy�ariah mengatakan bahwa kemampuan akal dalam
menentukan baik dan buruknya sebuah perbuatan tidak memiliki independensi sama
sekali, dan meyakini bahwa yang ada hanyanya baik dan buruk yang ditentukan
agama. Dalam pandangannya, perbuatan dikatakan baik apabila dihukumi oleh
syariat adalah baik dan perbuatan disebut buruk jika dikatakan oleh syariat
ialah buruk. Akal manusia dalam konteks ini, tidak mampu mendeteksi dan
menentukan baik dan buruknya suatu perbuatan, bahkan yang menjadi syarat
keutamaan suatu perbuatan tersebut adalah kebergantungannya pada perintah dan
larangan Tuhan. Sebelum kita menjelaskan argumentasi kedua kelompok tersebut
alangkah baiknya kalau kita lebih dahulu memberikan definisi tentang kebaikan
dan keburukan serta aplikasinya sehingga kita bisa mendudukkan letak
perselisihan dan perbedaan kedua kelompok itu dengan tepat. Dengan ini,
pembahasan akan lebih jelas dan gamblang. Makna Kebaikan dan Keburukan serta
Aplikasinya
Sebenarnya makna kebaikan dan keburukan itu sudah sangat
jelas bagi setiap orang dan tidak perlu diberikan definisi, yang penting di
sini adalah penggolongan pengaplikasian kedua makna itu sehingga menjadi jelas
hubungan pembahasan kebaikan dan keburukan perspektif akal dengan bagian yang
mana dari penggunaan makna-makna tersebut. Dengan menelusuri item-item
penggunaan dua kata tersebut, maka kita dapat mengidentifikasi empat penggunaan
asli dari makna keduanya: 1. Terkadang kebaikan dan keburukan bermakna kesempurnaan
(kam�l) dan kekurangan
(naqsh) yang berhubungan dengan jiwa manusia. Dalam pengaplikasian ini,
termasuk seluruh perbuatan manusia, apakah perbuatan itu berdasarkan ikhtiar
manusia ataukah di luar ikhtiar manusia seperti sifat dasar manusia. Sebagai
contoh dikatakan, �Pengetahuan itu ialah
suatu kebaikan� atau �Belajar ilmu pengetahuan merupakan sebuah
perbuatan baik�, dan juga dikatakan, �Kebodohan itu adalah suatu keburukan� atau �Meninggalkan pencarian ilmu merupakan suatu perbuatan buruk�; karena pengetahuan dan mencari ilmu
pengetahuan merupakan sifat kesempurnaan bagi jiwa manusia, sementera kebodohan
dan meninggalkan pencarian ilmu merupakan kekurangan baginya. Berdasarkan hal
tersebut, maka sifat-sifat seperti berani dan dermawan merupakan bagian dari
sifat-sifat baik, sementara sifat penakut dan kikir termasuk dari sifat-sifat
jelek. Yakni, yang menjadi tolok ukur adalah kesempurnaan dan ketidaksempurnaan
pada jiwa manusia. 2. Terkadang kebaikan dan keburukan memiliki makna yang
sesuai dengan tabiat jiwa manusia, dalam pengaplikasian ini segala sesuatu yang
sesuai dengan tabiat jiwa manusia dan terdapat kelezatan serta kenikmatan di
dalamnya, maka hal ini bisa disebut dengan kebaikan dan segala sesuatu yang
tidak sesuai dengan tabiat jiwa manusia akan disebut keburukan. Penggunaan
makna kebaikan dan keburukan ini yang juga berhubungan dengan perbuatan ikhtiar
manusia dan perbuatan yang diluar ikhtiarnya. Berasaskan hal ini, sebagai
contoh suara yang indah ketika didengarkan adalah kebaikan dan pemandangan yang
buruk ketika disaksikan adalah keburukan. 3. Terkadang aplikasi makna kebaikan dan keburukan
berdasarkan kemaslahatan dan ke-mafsadah-an (tak berfaedah) sebuah perbuatan
atau sesuatu, dan terkadang maslahat dan mafsadah berhubungan dengan unsur
individu atau berhubungan dengan unsur masyarakat. Sebagai contoh, setiap
peserta yang menang dalam pertandingan adalah maslahat baginya (bagi peserta
yang menang itu), akan tetapi kontradiksi dengan kemaslahatan para peserta lain
yang kalah dalam pertandingan. Sebaliknya, menyebarkan keadilan dalam
masyarakat merupakan suatu perkara yang dapat dipandang sebagai maslahat bagi
seluruh masyarakat. Dengan demikian, terkadang kita menggunakan kata baik dan
buruk berdasarkan maslahat dan mafsadah yang ada dalam perbuatan manusia atau
sesuatu. Sebagai misal, dikatakan, �Meminum obat yang pahit bagi orang sakit adalah kebaikan�, sebab demi kemaslahatan dan keselamatan
jiwanya. 4. Aplikasi asli terakhir dari makna baik dan buruk adalah
pada tinjauan kesesuaian dan ketidaksesuaian dengan perbuatan ikhtiar manusia.
Dalam aplikasi ini, perbuatan yang menurut akal manusia layak untuk dilakukan
dan pelakunya mendapatkan pujian, maka perbuatan tersebut adalah perbuatan yang
baik. Sebaliknya, perbuatan yang semestinya ditinggalkan dan pelaku perbuatan
tersebut menjadi tercela, maka perbuatan tersebut dikategorikan sebagai
perbuatan yang buruk. Berdasarkan pandangan ini, �Keadilan itu adalah sebuah kebaikan� dan �Kezaliman itu ialah
sebuah keburukan�, yaitu akal memandang
pengejewantahan keadilan itu adalah layak dan baik serta pelakunya (orang adil)
berhak mendapatkan pujian dan sanjungan, sementara kezaliman itu merupakan
perbuatan yang tidak layak dan orang yang melakukannya seharusnya mendapatkan
celaan. Perlu diketahui bahwa akal yang dimaksud di sini adalah akal praktis,
yang obyeknya adalah perbuatan ikhtiar manusia dari segi kelayakan (keharusan)
untuk dilaksanakan atau kelayakan (keharusan) untuk ditinggalkan.Dasar
pandangan ini terbagi menjadi dua kelompok [2] Ketika kita mencoba memikirkan pengaplikasian keempat makna
tersebut maka akan sangat jelas perbedaannya. Contoh, aplikasi keempat -berbeda
dengan ketiga makna yang lain- yang hanya dikhususkan untuk perbuatan manusia,
sementara sifat-sifat manusia dan obyek-obyek luarnya tidak termasuk. Demikian
pula dengan aplikasi ketiga makna yang pertama, masing-masing memiliki
spesifikasi sendiri-sendiri tentang hal dan perkara manusia, karena standar
mereka secara berurutan adalah kesempurnaan dan kekurangan jiwa, kesesuaian dan
ketidaksesuaian dengan jiwa manusia, dan kemaslahatan serta ke-mafsadah-an
dalam individu atau masyarakat. Tetapi pada makna yang keempat tidak terdapat
keterbatasan seperti itu, oleh karena itu, dapat meliputi perbuatan-perbuatan
pelaku selain manusia dan bahkan perbuatan-perbuatan Tuhan. Letak Perbedaan �Adliah dan Asy�ariah
Setelah menjelaskan letak perbedaan aplikasi makna baik dan
buruk, maka kita seharusnya memposisikan letak perbedaan antara kelompok �Adliah (Syiah Imamiah dan Mu�tazilah) dan Asy�ariah dalam kaitannya dengan keempat makna tersebut. Dengan merefleksikan keempat aplikasi makna baik dan buruk
serta spesifikasinya masing-masing dan berdasarkan konteks pembahasan masalah
kebaikan dan keburukan yang bersumber dari akal, maka menjadi jelaslah bahwa
letak perbedaan pendapat antara Asy�ariah dan �Adliah berada pada
aplikasi makna keempat. Sementara ketiga makna yang pertama, merupakan masalah
takwini (hukum alam) dan tidak bisa diingkari, yakni jiwa manusia secara
takwini memiliki kesempurnaan dan kekurangan, dan benda-benda tertentu, ada
yang sesuai dengan jiwa manusia serta perkara tertentu mengandung maslahat dan
mafsadah. Oleh karena itu, yang menjadi obyek pembahasan kita sekarang ini
adalah apakah akal mampu menjadi petunjuk secara independen dan mandiri tanpa
bantuan syariat dan dengan hanya melihat subyek sebuah perbuatan (tanpa
bersandarkan pada perintah dan larangan Ilahi atas sebuah perbuatan) mampu
memutuskan bahwa perbuatan ini seharusnya dilaksanakan atau semestinya
ditinggalkan, dan memandang bahwa pelaku perbuatan tersebut layak dipuji atau
dicela serta menghitung bahwa pelakunya berhak mendapatkan pahala atau azab?
Jika jawaban dari pertanyaan ini adalah positif, maka apakah akal hanya menjadi
petunjuk khusus bagi perbuatan-perbuatan yang berhubungan dengan manusia saja
ataukah juga meliputi perbuatan-perbuatan Ilahi? �Adliah, pada kedua
pertanyaan tersebut menjawab secara positif, sementara golongan lain menjawab
kedua pertanyaan tersebut secara negatif dan sebagian yang lain mengatakan
bahwa jawaban untuk pertanyaan kedua ialah negatif dan jawaban soal yang
pertama adalah positif. Kesimpulannya, baik dan buruk dalam perspektif akal
adalah bahwa akal manusia (akal praktis manusia) bisa memahami sebagian
perbuatan manusia dan kemudian menghukuminya bahwa perbuatan itu adalah buruk.
Nilai keburukan dari perbuatan itu tidak harus bersumber dari Tuhan. Setelah jelas obyek perbedaan antara �Adliah dan Asy�ariah, selanjutnya akan dikemukakan dalil kedua kelompok tersebut. Argumentasi �Adliah
Pendukung konsep tentang kebaikan dan keburukan dalam
penilaian akal membangun beberapa argumentasi untuk menetapkan pendapat mereka.
Ada argumentasi yang rumit dan ada yang sederhana, dalam tulisan ini akan
dikemukakan argumentasi yang sederhana saja. Seluruh manusia -terlepas dari ajaran agama dan syariat-
mampu memahami sebagian perbuatan baik dan buruk, seperti adil dan jujur itu
adalah baik, zalim dan dusta itu merupakan keburukan, dalam masalah ini tidak
ada perbedaan antara mereka yang memeluk agama samawi ataupun mereka yang tidak
menganut agama sama sekali. Jadi, jelas bahwa perbuatan baik dan buruk tidak
hanya bergantung pada keputusan syariat saja, tetapi akal manusia bisa
memahaminya (baik dia meyakini dan menganut sebuah agama ataupun tidak menganut
agama sama sekali). Untuk menegaskan pandangan tersebut, misalnya seseorang yang
tidak menganut agama apapun dan dia diharuskan memilih antara jujur dan dusta,
dan tanpa ada intervensi dari luar seperti sisi manfaat untuk seseorang, maka
sudah pasti dia akan memilih jujur daripada dusta, dan yang menjadi faktor
penentu dalam memilih hal tersebut adalah hukum dan keputusan akal yang
mengatakan bahwa kebaikan itu semestinya dilakukan dan keburukan itu adalah
perbuatan yang tidak layak untuk dilakukan. Argumentasi Asya�riah
Asy�ariah mengemukakan beberapa argumentasi
untuk membenarkan penolakannya atas konsep kebaikan dan keburukan yang berasal
dari akal, di antaranya: 1. Jika akal secara independen bisa memahami kebaikan dan
keburukan sebuah perbuatan, maka pasti tidak ada perbedaan antara
proposisi-proposisi berikut ini: �prinsip kontradiksi (asl tanaqudh)� dengan �kejujuran itu merupakan
kebaikan.�Sementara kita tidak
bisa mengingkari bahwa kedua proposisi tersebut memiliki perbedaan. �Adliah menjawab argumentasi tersebut dengan
mengemukakan argumentasi lain. Mereka mengatakan bahwa sekalipun pendukung
kebaikan dan keburukan dalam perspektif akal memandang proposisi-proposisi
tersebut semuanya dalam tataran yang gamblang, seperti jujur itu adalah baik
dan sebagainya, akan tetapi kegamblangan itu sendiri memiliki derajat kualitas
yang berbeda-beda, bahkan sebagian dari proposisi itu merupakan hal yang sangat
nyata dan jelas (seperti makna wujud itu sendiri atau prinsip kontadiksi),
sementara proposisi yang lain memiliki tingkat kejelasan yang lebih rendah.
Oleh karena itu, ketika suatu proposisi yang kejelasannya lebih rendah
ketimbang proposisi lain, maka hal ini tidak bisa dijadikan alasan untuk
mengatakan ketidakjelasan dan ketidakrasionalan proposisi tersebut. 2. Jika akal yang menentukan kebaikan dan keburukan itu,
maka tidak akan pernah perbuatan baik itu menjadi buruk dan tidak akan pernah
perbuatan buruk itu menjadi baik. Sementara sering kali kita saksikan dalam
peristiwa tertentu tidak demikian kenyataannya. Seperti dusta yang merupakan
perbuatan buruk, namun ketika perbuatan dusta menyebabkan keselamatan
jiwa Nabi dari kebinasaan, maka dusta dalam hal ini menjadi perbuatan baik dan
layak untuk dilakukan. Demikian pula halnya perbuatan jujur, jika menjadi sebab
bagi kebinasaan Nabi, maka kejujuran di sini akan menjadi buruk. Dalam menjawab argumentasi di atas dikatakan bahwa baiknya
jujur dan buruknya dusta itu tetap dalam hakikat dan kedudukannya; akan tetapi
dikarenakan menjerumuskan jiwa Nabi kepada kebinasaan, maka kejujuran ini jika
dibandingkan dengan dusta adalah jauh lebih buruk, akal menghukumi bahwa
perbuatan yang keburukannya lebih rendah (yakni berdusta) lebih utama atas
perbuatan yang keburukannya lebih tinggi (yakni menjerumuskan jiwa nabi pada
kebinasaan). Oleh karena itu, dusta yang menyelamatkan jiwa Nabi itu sendiri
harus dilakukan dan diutamakan, dan pengutamaan perbuatan seperti ini adalah
kebaikan dan kelayakan. Dengan demikian, perkara ini sendiri digolongkan
kedalam kebaikan yang rasional.[3] Pengaruh Konsep Kebaikan dan Keburukan dalam penilaian Akal Sudah dikatakan bahwa para ahli kalam Imamiyah dan Mu�tazilah merupakan pendukung konsep tersebut,
sementara Asy�ariah menolaknya. Adapun
hasil yang paling penting dari keyakinan dan pandangan atas konsep ini dalam
ilmu kalam adalah terkonstruksinya beberapa kaidah yang landasannya bertumpu
pada konsep tersebut, seperti kemestian ma�rifat Tuhan, hikmah dan keadilan Tuhan, kaidah rahmat Tuhan,
kebaikan kewajiban, keburukan suatu kewajiban yang tidak mampu dilakukakan, dan
keburukan suatu siksaan dengan tanpa adanya penjelasan sebelumnya. Konsep Kebaikan dan Keburukan dalam penilaian Akal menurut
Al-Quran dan Hadits Dengan merenungkan sebagian dari ayat-ayat al-Quran akan menjadi
jelaslah bahwa al-Quran menegaskan dan menguatkan konsep kebaikan dan
keburukan yang bersumber dari akal ini serta memandang sahnya hukum akal dalam
masalah kebaikan atau keburukan sebagian perbuatan. Sebagai contoh, beberapa
ayat di bawah ini kami kemukakan kepada Anda, �Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran.[4] Dan, �(yaitu) orang-orang yang mengikuti rasul, Nabi yang Ummi yang
(namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi
mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma�ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan
menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala
yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada
pada mereka. Maka orang-orang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan
mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur�an), mereka Itulah orang-orang yang beruntung.�[5] Begitu pula, �Katakanlah: �Tuhanku hanya
mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi,
dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar,
(mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan
hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang
tidak kamu ketahui.�[6] Ayat yang telah kita sebutkan di atas menjelaskan hakikat
tersebut, bahwa akal secara inedependen mampu memahami sebagian perbuatan
manusia dengan tanpa campur tangan syariat sama sekali, seperti adil, berbuat
baik, mengajak pada kebaikan, perbuatan keji, munkar, dan maksiat. Dengan kata
lain, sebelum ayat ini turun, baik dan buruk perbuatan tersebut dalam tatanan
kehidupan manusia telah jelas sejak awal. Berdasarkan pandangan tersebut, kita
mengatakan bahwa Tuhan juga akan memerintahkan perbuatan yang menurut akal
adalah baik seperti keadilan dan ihsan serta melarang dan mencegah perbuatan
buruk seperti kezaliman. Di samping itu, ketika kita memperhatikan sebagian ayat
lainnya, Tuhan menjadikan akal dan nurani manusia sebagai hakim dan petunjuk
yang adil untuk menetapkan perbuatan-perbuatan baik, seperti, �Tidak ada Balasan kebaikan kecuali kebaikan
(pula).�[7] Dan, �Patutkah Kita menganggap
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh sama dengan
orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kita
menganggap orang- orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat
maksiat?�[8] |