Tokoh SuperiorAli Akbar Parvaresh
“(Sambil mengucapkan:) "Salamun `alaikum bima
shabartum" (Keselamatan atasmu berkat kesabaranmu). Maka alangkah baiknya
tempat kesudahan itu”.[1] Dalam buku “Shaut Al-‘Adalah Al-Insaniyah” (Suara Keadilan
Insani) disebutkan sebuah buku berjudul “Ihtidhariyat Wa Al-Qabriyat” yang
secara kaedah merupakan buku terbaru dalam bidangnya. Dalam buku tersebut
disebutkan tokoh-tokoh terkenal dunia hingga masa itu, abad keempat dalam
menghadapi kematian reaksi apa yang mereka tampakkan dari diri mereka sendiri,
dan selanjutnya buku tersebut menyimpulkan bahwa di antara kalimat-kalimat
orang-orang besar dalam berhadapan dengan kematian, kalimat terindah dan teragung
adalah kalimat milik Ali bin Abi Thalib as yang diucapkan pada detik-deik
terakhir umur beliau as ketika kepala beliau as pecah: “Fuztu Wa Rabbi
Al-Ka’bah” (Aku beruntung demi Tuhan pemilik Ka’bah). Kalimat ini tersusun dari satu kata kerja dan satu sumpah
yang dengan memohon pertolongan dari ruh Imam Ali as kami akan membahas
sekelumit dalam masalah ini. Sumpah “Demi Tuhan pemilik Ka’bah” dengan sendirinya
menentukan arah perbuatan Amirul Mukminin as yang pada hakekatnya menuju kepada
Tuhan Ka’bah, untuk-Nya dan di jalan-Nya. Mungkin hal itu sendiri merupakan
sebuah isyarat lembut bahwa syahadah beliau as sama seperti wiladah (kelahiran)
menghadap kepada Ka’bah, dan menurut ucapan Abdul Fatah Abdul Maksud yang
memiliki kata-kata bagaikan penyair: “Ka’bah adalah kiblat ibadah, wiladah
Amirul Mukminin as terjadi di sana sehingga arah wilayah juga menuju ke sana”. Berkenaan dengan bagian pertama yaitu “Aku beruntung”,
pertama-tama kami membawakan sebuah prolog: Anda sendiri juga pernah mengalami
bahwa setiap orang dalam menghadapi kematian akan menampakkan sebuah kalimat
walaupun hal tersebut tidak diucapkan. Kalimat ini tanpa penentuan dan
penetapan yang tersembunyi di dalam jiwanya tidaklah demikian bahwa hal
tersebut dapat dilatih dan ditampakkan secara buatan. Kalimat yang pada waktu
itu keluar, pada hakekatnya adalah simbol kumpulan kehidupan mausia dan bentuk
jiwa manusia. Sebuah bentuk jiwa yang beramal selama bertahun-tahun dan pada
detik tersebut tampak dalam format sari pemikiran, ide, amal dan kumpulan
kehidupan manusia, oleh karena itu hal tersebut tidak dapat dibuat-buat dengan
latihan sebelumnya. Jika Anda saksikan seseorang pada detik-detik kematian,
misalnya berteriak: “Wahai ibuku”, maka jelas bahwa ia adalah sebuah kumpulan
kehidupan emosional. Orang lain berucap sebutar harta bendanya dan menunjukkan
bahwa jiwa materialis telah menerobos dalam seluruh wujudnya. Dan yang lain
menghadapinya dengan bentuk lain. Kalimat Amirul Mukminin Ali as merupakan sebuah kalimat
teragung yang menjelaskan seseorang dalam menghadapi kematian, dan pada
hakekatnya adalah garis besar haluan kehidupan, amal, pemikiran, ide dan
keberadaannya. Untuk mengkaji lebih banyak penggunaan kata ini kita merujuk
kepada al-Quran sehingga dapat melihat siapakah orang-orang “beruntung” yang
dianggap oleh al-Quran. Kita meyakini bahwa ketika Amirul Mukminin as berkata:
“Aku beruntung”, al-Quran menjadi saksi atasnya. Al-Quran, hadis dan sunnah adalah
saksi atas raihan-raihan auliya’ Allah. Mereka adalah obyek kesaksian sang
saksi (al-Quran). Dalam al-Quran “Fauz” (keberuntungan) dibahas dalam dua
sudut pandang: 1- Al-Quran menyebutkan beberapa amal dan
merekomendasikannya sebagai “fauz”. 2- Al-Quran menunjukkan hasil dan buah sebagian amal sebagai
“fauz” bukan amal-amal itu sendiri. Berkenaan dengan hal pertama kita mendapati ayat-ayat: “Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan
takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang
mendapat keberuntungan”.[2] Yakni ketaatan kepada Allah swt dan Rasul saw, takut dan
ketakwaan kepada Allah swt, amal-amal ini sendiri adalah “keberuntungan”. Oleh
karena itu, ketika Amirul Mukminin as berkata: “Aku telah beruntung”, artinya
kumpulan kehidupanku adalah ketaatan kepada Allah swt dan Rasul saw, ketakwaan
dan takut kepada-Nya. Ayat lain berbunyi: “Orang-orang yang beriman dan
berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka,
adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang
mendapat keberuntungan”.[3] Dalam ayat ini, iman, hijrah, jihad di
jalan Allah swt dengan harta benda dan jiwa terhitung “keberuntungan” dan
pengucap kalimat “Aku telah beruntung” meyakini ayat ini sebagai saksi atas
amal, pemikiran dan kumpulan kehidupannya dan karena esensi iman berada di
dalam jiwanya, jihad dan hijrah dalam kumpulan amalnya, maka beliau as
mengucapkan kalimat tersebut ketika meninggal. Dalam ayat lain disebutkan: “Sesungguhnya Aku memberi
balasan kepada mereka di hari ini, karena kesabaran mereka; sesungguhnya mereka
itulah orang-orang yang beruntung”.[4] Ayat tersebut melihat orang-orang yang
sabar berada dalam ketenangan keberuntungan. Orang-orang yang bersabar dalam
menghadapi ejekan-ejekan, olok-olok dan permainan musuh dan dengan senjata ini
mereka mengarungi hal-hal yang terjadi maka mereka akan mencapai
“keberuntungan”. Ayat lain menegaskan: “Sesungguhnya Allah telah membeli dari
orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.
Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu
telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al
Qur'an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka
bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah
keberuntungan yang besar”[5] dan ayat selanjutnya: “Mereka itu
adalah orang-orang yang bertobat, yang beribadah, yang memuji (Allah), yang
melawat (untuk berjihad atau menuntut ilmu pengetahuan) atau yang berpuasa,
yang rukuk, yang sujud, yang menyuruh berbuat makruf dan mencegah berbuat
mungkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang
mukmin itu”.[6] Di dalam dua ayat ini, atensi berada
pada masing-masing aspek “keberuntungan”, aspek amal itu sendiri dan juga aspek
hasil dan buah dari amal. Dari sisi lain, orang-orang yang masuk dalam sebuah
transaksi yang Allah swt sebagai pembeli, mukminin sebagai penjual, barang
transaksi adalah jiwa dan harta orang-orang mukmin, surat bukti transaksi adalah
Taurat, Injil dan al-Quran, harga transaksi adalah surga dan akhir transaksi
adalah “keberuntungan”, maka demikianlah, hasil amal mereka sampai kepada
“keberuntungan”. Dan dalam kelanjutan ayat yang menyebutkan kriteria-kriteria
pelaku transaksi yaitu orang-orang yang bertobat, yang beribadah, yang memuji
(Allah), yang melawat (untuk berjihad atau menuntut ilmu pengetahuan) atau yang
berpuasa, yang rukuk, yang sujud, yang menyuruh berbuat makruf dan mencegah
berbuat mungkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah diperkenalkan sebagai
penyandang kriteria “keberuntungan” tersebut dengan kata sambung yang terdapat
dalam konteks ayat. Dengan demikian Imam Ali as dengan kalimat “Aku telah
beruntung demi Tuhan pemilik Ka’bah” mengambil saksi ayat yang dalam kehidupannya,
adalah orang yang bertobat, yang beribadah, yang memuji (Allah), yang melawat
(untuk berjihad atau menuntut ilmu pengetahuan) atau yang berpuasa, yang rukuk,
yang sujud, yang menyuruh berbuat makruf dan mencegah berbuat mungkar dan yang
memelihara hukum-hukum Allah dan hal ini menentukan catatan kehidupan beliau
as. Ayat ini dan ayat-ayat sebelumnya serta yang lainnya yang
silahkan Anda rujuk sendiri menjelaskan surat catatan kehidupan beliau as
sebagai ketaatan kepada Allah swt dan Rasul-Nya, takut, ketakwaan, hijrah,
jihad, iman, ibadah, sabar dan… Sisi kedua adalah ayat-ayat yang menganggap hasil dan buah
amal sebagai “keberuntungan”: “Barang siapa dijauhkan dari neraka dan
dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung”.[7] Sebuah pekerjaan yang hasilnya adalah
jauh dari api neraka dan masuk ke dalam surga adalah “keberuntungan” itu
sendiri. “Katakanlah: "Sesungguhnya aku takut akan azab hari
yang besar (hari kiamat), jika aku mendurhakai Tuhanku. Barang siapa yang
dijauhkan azab daripadanya pada hari itu, maka sungguh Allah telah memberikan
rahmat kepadanya. Dan itulah keberuntungan yang nyata”.[8] Hasil berpaling dari durhaka kepada
Allah swt adalah rahmat dan “keberuntungan” nyata dari Allah swt. “Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan
(dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat
(janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah keberuntungan yang besar”.[9] Di sini juga hasil amal berakhir
dengan “keberuntungan” yang besar. Memperoleh rahmat Allah swt, ketenangan
sempurna, derajat suci surga ‘And dan meraih ridha Ilahi adalah hasil dan buah
amal dan termasuk “keberuntungan”. Dengan menengok cepat kepada kumpulan ayat-ayat al-Quran
yang menjadi saksi atas Ali bin Abi Thalib as, kita dapat memahami bahwa beliau
as ketika mengucapkan “Aku telah beruntung”, mengetahui persis penggunaan
al-Quran dari kalimat, dan menjelaskannya dengan memperhatikan kepada
konsepsi-konsepsinya. Bagaimanapun juga lafad dengan sendirinya tanpa melihat
kepada konsepsi-konsepsinya tidak memiliki keistimewaan. Lafad “air” tidak
dapat menghilangkan dahaga seorangpun yang kehausan. Dikisahkan bahwa telah
diadakan sebuah seminar besar terdiri dari 102 orang tokoh besar yang sisi
persamaan dalam pembahasan mereka berkenaan dengan “air”, dan masing-masing
melontarkan sebuah aspeknya dan mereka memohon waktu selama dua tahun untuk
kajian mereka dan mereka mulai mengkaji dan seluruh ilmuwan menyatakan
ketidakmampuan mereka. Singkatnya, ceramah-ceramah dan buku-buku berkenaan
dengan air tidak dapat menghilangkan rasa dahaga. Sebuah contoh dinukil dari
almarhum Syah Abadi bahwa beliau berkata: Bila di antara Anda dan gelas air
terdapat sebuah tabir tipis sementara Anda dalam kondisi dahaga dan tidak mengetahuinya,
maka terkadang Anda akan mengingkari air. Ringkasnya, tanpa berlebih-lebihan, berkenaan dengan Amirul
Muminin Ali as sedemikian rupa beliau as memiliki keagungan sehingga pemujinya
-sesuai dengan pepatah “Pemuji matahari adalah yang banyak memujinya sendiri-
memuji pengetahuan-pengetahuannya sendiri dan kami lebih kecil untuk memuji
junjungan kami Amirul Muminin Ali as. Akan tetapi kami menginginkan beliau as memiliki peran dalam
kehidupan kami, dan menyuplai makanan sebatas kemampuan kami sendiri dan jangan
sampai kita mengatakan bahwa “Ia dari tanah, dari kota dan rumah lain” yang
meskipun benar, namun tidak menutup jalan dan kita juga harus menghirup aroma
wilayah. Bahwa Salman diberi jalan memasuki rumah tersebut, jelas bahwa jalan
juga terbuka untuk yang lain. Kini dengan inayah dari Allah swt kita akan membahas
beberapa kalimat juga berkenaan dengan kalimat terkenal Imam Ali as yang
berbunyi: “Demi Allah! Sesungguhnya putera Abi Thalib akrab dengan kematian
daripada anak kecil dengan puting susu ibunya”.[10] Manusia terdiri dari dua kelompok; pertama, mereka yang
mengkonsumsi makanan dari “kehidupan”, sebuah kehidupan yang dianggap al-Quran
sebagai permainan dan kesia-siaan, dan hasilnya adalah kerakusan, pendidikan
buruk, pemikiran jelek, pandangan sempit, keangkuhan dan egoisme. Dan
sekelompok lain mengkonsumsi makanan dari “kematian”. Amirul Mukminin Ali as
berkata: Sebagaimana anak bayi menyedot puting susu ibunya dan meminum susunya,
akupun selalu mengkonsumsi makanan dari “kematian”, dan putera Abu Thalib
mengkonsumsi makanan dari apa yang ada dalam kumpulan urat, kulit dan tulang
kematian. Dalam makanan ini terdapat berbagai macam hal-hal manis yang
disinggung oleh al-Quran bahwa kekasih-kekasih (wali-wali) Allah swt
mengkonsumsi makanan dari “kematian”.[11] Keakraban Ali bin Abi Thalib as dengan
kematian lebih besar dari kedekatan seorang bayi kepada puting susu ibu. Salah satu kenikmatan makanan ini adalah “Liqaullah”
(pertemuan dengan Allah swt). Makanan materinya adalah kenikmatan-kenikmatan
surgawi dan makanan spiritual orang-orang berwilayah adalah “Liqaullah” yang
dalam kerinduan mereka terbakar. Kematian membayangi kita semua dan akan menjumpai kita,[12] dan menurut Imam Ali as, kesertaannya
dengan kita lebih dari bayangan kita sendiri, akan tetapi kita tidak
mengkonsumsi makanan darinya karena kita terperdaya oleh kehidupan material,
dan keinginan terhadap dunia, egoisme, keangkuhan dan kesombongan telah
mengakar dalam diri kita. Adapun bila kita mengkonsumsi makanan dari kematian,
maka tidak mungkin kita terkena polusi dosa, karena dengan mudah kita akan
menghindar darinya, dan karena kita melihat diri kita tidak berdaya sama sekali
di hadapan Allah swt, maka rasa egoisme akan lenyap, kita melihat kepada
ketidakmampuan diri sendiri. Khilafah Ilahi tidak memiliki jalan selain melalui
ketidakmampuan dan kesulitan: “Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang
yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan
kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah
di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati (Nya)”.[13] Menurut Allamah Thaba’thabai yang
mengatakan: Nama a’dham (teragung) adalah sebuah nama khusus dan bukan sebuah
konsepsi, akan tetapi setiap kali Anda memahami secara mendalam
ketidakberdayaan sendiri dan menyadari “kemampuan”-Nya, maka inilah nama
a’dham. Begitu juga apabila Anda mengetahui kebodohan sendiri, maka
“pengetahuan (ilmu) Allah” adalah nama a’dham, ketika Anda sakit, maka “Syafi”
(penyembuh) adalah nama a’dham Allah swt, ketika kita mendapati kesemrawutan
diri maka “Ya Jami’ Kulli Syai’” (wahai pengumpul segala sesuatu) adalah nama
a’dham, ketika kita melihat kezaliman diri dan mengatakan “Ya Nuur” (wahai
cahaya) dari lubuk hati maka itulah nama a’dham. Oleh karena itu, mengenal sifat-sifat ini tidak menjadi
niscaya selain lewat jalur diri sendiri, jiwa, intern, meraih ketidakberdayaan
dan kelemahan, kekurangan cahaya dan kebodohan. Dan keakraban Ali bin Abi
Thalib as kepada kematian sebagai pintu gerbang pertemuan dengan Allah swt,
lebih erat daripada kedekatan anak bayi dari puting susu ibunya. Dan masa ketika
beliau as mengkonsumsi makanan ini, maka beliau as akan memperoleh ketenangan
dan kepercayaan yang tidak dapat ditembus oleh kegelisahan dan kekhawatiran.
Kita sebagai Syiah (pengikut) Imam Ali as harus berusaha supaya dapat
mengeluarkan catatan-catatan terakhir seperti ini di ujung kehidupan kita.
Tentu saja beliau as sendiri juga mengatakan bahwa kalian tidak akan dapat
seperti aku “tetapi setidak-tidaknya dukunglah saya dalam kesalehan, usaha,
kesucian dan kejujuran”.[14] Harus berjalan melalui ketakwaan,
kegigihan dan suplai makanan dari kematian, dan melangkah mengikuti beliau as. Kita akan menyinggung beberapa kalimat dalam hal ini: “Dan barangsiapa mengantisipasi kematian ia akan bergegas
kepada amal baik”.[15] “Yang paling saya cintai ialah kematian”.[16] “Anda sedang dikejar oleh kematian. Apabila Anda berhenti,
ia akan menangkap Anda, dan apabila Anda melarikan diri darinya, ia akan
mencengkeram Anda. la lebih melekat pada Anda dari bayang-bayang Anda. Kematian
terikat kepada gombak Anda sementara dunia sedang digulung dari belakang Anda…”[17] Kematian sekarang ini bersama kita,
beruntunglah orang-orang yang mengkonsumsi makanan dari puting susu kematian. Kita memohon taufik dari Allah swt agar kita dapat
mengkonsumsi makanan dari kematian dan meraih kehidupan thayyib[18] (yang baik) di dalam kehidupan ini. Washallallahu ‘Ala Muhammad Wa Aalihi Ath-Thayyibin
Ath-Thahirin Dan semoga Allah swt senantiasa memberikan shalawat kepada
Muhammad saw dan Keluarganya yang suci. [IG.] |