Sejarah Perang Salib: Benci tapi RinduDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Abdul Hadi W. M.
PERANG SALIBCATATAN RETROSPEKSI
Perang besar bernuansa keagamaan yang pernah terjadi dalam
sejarah ialah Perang Salib. Sebutan tersebut merupakan terjemahan dari
perkataan Crusade, penamaan yang diberikan orang Barat sendiri karena tujuan
peperangan ini ialah merebut kota suci Yerusalem tempat Salib Suci disimpan.
Perang ini terjadi bukan satu dua kali, tetapi secara beruntun dalam enam
gelombang. Rentang masa peperangan pun sangat lama, hampir dua abad, antara
tahun 1096 hingga 1270 M. Perang-perang kecil sering terjadi menyelingi jeda
enam perang besar yang terjadi secara bergelombang itu. Dampak Persang Salib luar biasa, baik bagi bangsa Eropa
maupun terhadap kaum Muslimin. Selain kehancuran pranata sosial, ekonomi dan
politik ketika perang berkecamuk, perang ini selama berabad-abad sangat
mempengaruhi corak hubungan Dunia Barat dan Dunia Islam, yang dianggap
merupakan “dunia yang selebihnya’ atau “yang lain” dilihat dari sudut pandang
Barat. Penyair Jabra Ibrahim Jabra menggambarkan hubungan Barat dan Islam
sebagai hubungan “cinta bercampur benci” yang tumpang tindih dan silang
menyilang dari waktu ke waktu. Dampak lain yang terus mempengaruhi pandangan Barat terhadap
Islam ialah seperti dikemukakan G. H. Jansen dalam bukunya Militant Islam
(1979): “Sungguh menjemukan dan menyakitkan apabila kita harus mengulangi
setiap argumen licik para penulis polemis Kristen dan Barat, yang sama sekali
tidak kristiani, terhadap Islam terutama terhadap pribadi Nabi Muhammad.
Menurut mereka pada hakikatnya Muhammad adalah seorang pelbegu (penyembah
berhala) yang rendah, namun dengan pandainya memperoleh kekuasaan, menjaganya
dengan cara berpura-pura menerima wahyu da menyebarkan agamanya dengan
kekerasan dan mengizinkan pengikutnya melakukan praktik-praktik cabul seperti
dilakukannya sendiri.” (h. 60). Perang Salib I terjadi antara tahun 1096-1099 dengan kekalahan
di pihak tentara Muslim, yang terutama diwakili oleh pasukan Bani Saljug,
dinasti Turk yang baru saja menguasai Persia dan Asia Barat. Kekalahan tersebut
menyebabkan tentara Salib dapat menduduki Yerusalem. Orang-orang Islam dan
Yahudi yang menjadi penduduk Palestina kala itu digiring ke tempat
penyembelihan dan yang selamat melarikan diri serta berpencaran ke banyak
negeri di sekitarnya. Pasukan Salib ketika itu didukung oleh 300.000 tentara
reguler yang direkrut dari seluruh Eropa. Perang Salib II terjadi antara 1147-1149, dan Perang Salib
III antara 1189-1192. Perang Salib II tidak begitu seru karena kurang didukung
oleh negara-negara lain di Eropa kecuali Perancis. Ketika Perang Salib III
meletus, Damaskus (Syria sekarang) berada di bawah pemerintahan Bani Mamalik,
sebuah dinasti Turk lain yang menyingkirkan Bani Saljug. Bukan mudah bagi
pasukan Mamalik menghadapi pasukan Salib yang jumlahnya besar, sebab dia harus
menyingkirkan lebih dulu pasukan Bani Fatimiyah yang juga ingin merebut
Yerusalem dan berkeinginan menjadi pusat penyebaran ajaran Ismailiyah. Tetapi
di bawah pimpingan Salahuddin al-Ayubi, dokter dan panglima perang keturunan
suku Kurdi, tentara Fatimiyah dapat dihancurkan. Baru dia dapat menghadapi
pasukan Salib. Perang Salib IV terjadi antara 1195-1198. Perang Salib V
antara 1201-1204. Perang Salib VI antara 1217-1228. Namun secara resmi perang
ini dihentikan pada tahun 1270 dengan gencatan senjata menyeluruh dan
perjanjian damai. Perang Salib VI berkobar di wilayah Syria dan Libanon. Pada
waktu yang sama, negeri Islam lain di sebelah timur, yaitu wilayah Iraq, Iran,
Azerbaijan. Turkmenistan dan Uzbeskitan sekarang (dulu dua yang terakhir ini
disebut Khwarizmi dan Transoxiana) diharu-biru oleh pasukan Mongol yang
dipimpin oleh Jengis Khan dan anak cucunya seperti Ogotai, Hulagu Khan, dan
lain sebagainya. Tak mengherankan betapa beratnya perjuangan kaum Muslimin
ketika itu. Dalam kenyataan kemudian terjalin konspirasi antara penguasa Mongol
dan pasukan Salib untuk secara sistematis menghancurkan agama Islam. Mengenai Perang Salib I, William K. Langer mengatakan bahwa
salah satu sebab timbulnya Perang Salib I ialah: “Permintaan kaisar Byzantium
untuk membalas kekalahannya dari tentara Saljug dalam Perang Manzikert pada
tahun 1071 di Armenia, yang menyebabkan ditaklukkannya sebagian wilayah
Anatolia/Asia Kecil oleh pasukan Muslimin. Permintaan itu ditujukan kepada Paus
Gregorius VII. Setelah bala bantuan datang dari berbagai negara Eropa, sebanyak
300.000 tentara reguler, Paus Gregorius VII mengubah bantuan militer itu
menjadi Perang Suci (Perang Salib) melawan tentara Islam, yang dianggapnya
kafir (Encyclopaedia of World History 1956:255). Hasrat Byzantium untuk membalas kekalahan dalam Perang
Manzikert itu ditambah lagi dengan berita-berita buruk yang disebarkan para
peziarah Kristen ke Yerusalem setelah mereka pulang ke kampung halamannya.
Mereka menyebarkan berita bahwa orang Kristen di Yerusalem dan Palestina banyak
yang dianiaya dan disiksa oleh pasukan Daulah Saljug. Ini menimbulkan kemarahan
kaisar Byzantium di Konstantinopel. Berita pun segera tersebar ke seluruh
daratan Eropa yang mayoritas penduduknya beragama Kristen. Pada masa itu pula
terjadi pergolakan internal dalam tubuh gereja Kristen/Katholik. Gereja Romawi
dan Gereja Yunani Ortodoks saling bersaing dalam merebut kepemimpinan umat
Kristen. Paus Gregorius (1075-1085) di Roma berkeinginan menjadikan Perang
Salib itu sebagai upaya menyatukan Dunia Kristen. Sementara itu tentara Salib sedang digodog, Paus Gregorius
VII diganti oleh Paus Victor II dan Paus Victor II segera diganti pula oleh
Paus Urbanus II (1088-1099). Ketika Paus Urbanus II naik tahta, muncul pula
Paus tandingan berkedudukan di Auvergne, Perancis, yaitu Paus Clement III
(1084-1100 M). Kaisar Alexius dari Byzantium sementara meminta bantuan kepada
Paus di Roma, juga menghimbau kepada seluruh pemeluk agama Kristen di Eropa. Di
antara imbauannya itu berbunyi sbb. Bahwa barang siapa yang berani bergabung
dengan tentara Salib, sebagai balas jasanya kelak akan dilimpahi kekayaan dan
memperoleh wanita-wanita Yunani yang cantik jelita. Imbauan itu disampaikan melalaui tahta suci Paus di Roma dan
melalui gereja-gereja di seluruh Eropa. Namun semangat tentara Salib
berkobar-kobar terutama disebabkan khotbah keliling seorang rahib, Peter the
Hermit. Seraya menyampaikan pesan dari Paus Urbanus II, bahwa mereka yang
bersedia menuju medan perang, akan mendapat pengampunan dosa, walaupun
dahulunya dia seorang penyamun dan penjahat. Penetapan keberangkatan tentara Salib I diputuskan pada
tanggal 15 Agustus 1095. Segera pada permulaan tahun 1096 terjadi pertempuran
besar-besaran di Anatolia dan Armenia. Mula-mula pertempuran dahsyat meletus di
Nicae, sebuah kota di Selat Bosporus, kemudian merembet ke Dorylinea, Edessa
dan Antiokia (dalam wilayah Armenia. Dari serbuan dilanjutkan ke Yerusalem,
setelah pasukan Islam berhasil diluluhlantakkan. Namun sebelum tentara Salib mencapai Yerusalem, terdengar
kabar bahwa pasukan Daulah Fathimiyah dari Mesir menyerbu Yerusalem dan
berhasil merebutnya dari tangan pasukan Saljug. Ini membuat ciut pasukan Salib.
Sampai musim semi dan musim panas tahun 1098 tidak ada gerakan dari pasukan
Salib. Gerakan menyerbu Yerusalem baru diputuskan pada bulan Mei 1099 atas
kebijaksanaan Count Raymond. Dengan kekuatan 1500 pasukan berkuda dan 10. 000
pasukan jalan kaki, mereka menyerbu Yerusalem. Melalui pertempuran yang sengit
pada akhirnya Yerusalem dapat direbut dari pasukan Fathimiyah, yaitu pada bulan
Juli 1099. Selama 40 hari kota itu dikepung pasukan Salib. Banyak korban
berjatuhan di kedua belah pihak. Dalam buku Historian’s History (h. 352) misalnya ditulis:
“Korban yang berlumuran darah dipersembahkan seakan binatang korban kepada
Tuhan; perlawanan kecil sekalipun dari orang Islam, tanpa memandang usia dan
jenis kelamin, menimbulkan kemarahan mereka yang luar biasa berang; tiga hari
lamanya mereka hanyut dalam pembunuhan massal; dan tubuh-tubuh mayat yang
terkapar itu menimbulkan penyakit menular. Setelah tujuh puluh ribu orang Islam
ditebas dengan pedang, dan orang-orang Yahudi yang malang dibakar dalam
rumah-rumah ibadahnya, maka masih ada lagi kumpulan tawanan yang besar
jumlahnya, yang karena kepentingan tertentu maupun karena kelelahan, pada
akhirnya dibiarkan saja. Dari sekian banyak pahlawan Perang Salib yang ganas
itu, hanya tinggal Tancred saja yang masih memperlihatkan sedikit rasa
kasihan.” Setelah peristiwa itu status Yerusalem lantas dirubah
menjadi kerajaan otonom yang diperintah oleh raja Baldwin I (1100-1118) dan dia
digantikan oleh Baldwin II (1118-1131). Selama pemerintahan kedua raja ini
terjadi beberapa peperangan susulan dalam skala terbatas antara tentara Salib
dan tentara Islam. Khususnya di wilayah-wilayah berdekatan dengan Yerusalem
seperti Syria, Libanon, Armenia, Anatolia dan Georgia. Di antara perang susulan ini terjadi pada tahun 1112 M,
bertepatan dengan kesibukan pasukan Islam menghadapi pertempuran melawan
suku-suku Kirgh yang ingin menaklukkan Armenia dan Kaukasus. Pasukan Salib
menganggap bahwa pada saat itu sangat tepat untuk menundukkan pasukan Islam
yang telah kembali menguasai Armenia. Tetapi perkiraan Raja Baldwin II keliru.
Di bawah pimpinan Amir Toghrukhin (1103-1128) pasukan Islam menggagalkan
serangan pasukan Salib yang memasuki Antiokia. Malahan raja Baldwin II berhasil
ditawan dan hanya dapat dibebaskan dengan uang tebusan dalam jumlah besar.
Setelah peristiwa itu terjadi beberapa peperangan lain di wilayah Syria dan
Anatolia antara pasukan Islam melawan pasukan Byzantium. Pada waktu itu pasukan
Islam diserang lagi oleh pasukan Salib yang dipimpin raja Baldwin II. Serangan
ditujukan ke Aleppo dan Damaskus, namun sekali lagi pasukan Salib dikalahkan. Perang Salib II berlangsung antara tahun 1147-1149 M.
Berbeda dengan Perang Salib I yang timbul secara spontan dan mendapat dukungan
rakyat banyak, Perang Salib II hanya didukung oleh raja-raja dan
pangeran-pangeran. Kebanyakan pasukan yang dikirim berasal dari tentara kerajan
Perancis di bawah pimpinan Raja Louis VII (1137-1180) dan tentara kerajaan
Jerman di bawah pimpinan Raja Conrad III (1138-1152 M). Rencana perang itu
sendiri datang dari Paus Eugenius II (1145-1153 M). Pasukan Perancis dan Jerman mengalami kekalahan telak di
tangan pasukan Amir Mas`ud I. Sebagian pasukan Conrad III memang telah mencapai
Damaskus, tetapi gagal menembus pertahanan tentara Muslim. Conrad III sendiri
jatuh sakit dan akhirnya dipulangkan ke Jerman setelah dirawat di
Konstantinopel. Sedangkan Pasukan Louis VII dipukul mundur oleh pasukan
Nuruddin Zanki di Antiokia. Sebagian pasukannya turut berperang di Damaskus,
tetapi mengalami kekalahan dan pada akhirnya Raja Louis VII dan tentaranya
kembali ke Perancis melalui jalan laut. Perang Salib III (1189-1192) timbul disebabkan didudukinya
kembali Yerusalem oleh pasukan Islam di bawah pimpinan Sultan Salahuddin
al-Ayubi , jenderal keturunan suku Kurdi yang legendaris. Uskup Agung William
di Tyre, Paus Clement III (1187-1191) menyerukan raja-raja Eropa dan orang
Kristen merebut kembali Yerusalem. Dalam perang kali ini tentara Salib tidak
berhasil merekrut tentara dalam jumlah besar dan mengalami kekalahan besar.
Genjatan senjata diumumkan pada tahun 1192 dan raja Richard I yang memimpin
pasukan Inggeris mengusulkan agar Amir Turan Syah, saudara Salahuddin al-Ayubi,
menikahi saudarinya Putri Joanna. Perang Salib IV (1195-1198) terjadi setelah wafatnya Sultan
Salahuddin al-Ayyubi pada tahun 1193 dalam usia 80 tahun. Pergantian pimpinan
pemerintahan di Syria, Palestina dan Mesir lebih jauh menghidupkan harapan Paus
Calestine II (1191-1198) untuk merebut kembali Yerusalem. Dia memerintahkan
Ordo St John mengorganisasikan angkatan Perang Salib IV. Dalam perang ini
kekalahan telak kembali menimpa pasukan Salib. Perang Salib VI terjadi antara tahun 1217 dan 1221 M.
Sasaran utamanya ialah untuk menaklukkan Mesir. Mengapa? Sebab jika Mesir dapat
ditaklukkan maka penaklukan Yerusalem akan menjadi lebih mudah. Namun sekali
lagi tentara Salib gagal menghancurkan pasukan Islam. Pada tahun 1211 M kedua pihak
yang berperang menandatangani perjanjian damai yang dikenal dengan nama Treaty
of 1221 AD. Tetapi sayang perjanjian ini dilanggar tidak lama kemudian,
sehingga beberapa peperangan skala kecil meletus secara berkala sampai akhirnya
padam pada tahun 1270 M. Ketika itu seluruh wilayah kekhalifatan Abbasiyah,
yang meliputi Iran, Iraq, Uzbekistan, Turkmenistan, Azerbaijan, dan sekitarnya
telah dikuasai oleh penguasa Mongol keturunan Jengis Khan dan Hulagu Khan.
Terhentinya Perang Salib itu dimanfaatkan oleh penguasa Kristen untuk membangun
konspirasi dengan penguasa Mongol dalam rangka menghancurkan dunia Islam.
Mereka menginginkan penguasa Mongol memeluk agama Kristen. Upaya ini pada
mulanya berhasil, tetapi menjelang akhir abad ke-13 M penguasa dan bangsa Mongol
memeluk agama Islam dan berbalik menjadi pelindung kebudayaan Islam. Di lain hal kendati pasukan Salib mengalami kekalahan,
mereka berhasil membawa pulang banyak khazanah Islam yang sangat berharga ke
Eropa. Di antara khazanah itu ialah naskah dan buku-buku ilmu pengetahuan,
filsafat, kesusastraan, dan kitab-kitab agama. Kitab-kitab itu dikaji dengan
cermat dan yang dianggap penting diterjemahkan dari bahasa Arab ke dalam bahasa
Latin. Kegiatan tersebut dua abad kemudian melahirkan apa yang kita kenal sebagai
Renaissance. Di lain hal justru pasca Perang Salib dan penaklukan bangsa Mongol
itulah agama Islam kian tersebar menjangkau wilayah-wilayah yang jauh lebih
luas yang pernah dicapai sebelumnya. Misalnya ke Afrika Barat dan pedalaman
benua itu, serta India, kepulauan Nusantara dan Cina Selatan yaitu Yunan di
Timur. |