Pernahkah Tuhan Dinafikan?Deprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Oleh: Nasir Dimyati*
Selama ini sejarah filsafat dan teologi tidak penah
menyaksikan ateis membawakan argumentasi ketiadaan Tuhan, puncak usaha mereka
berhenti pada sesungguhnya tidak ada satu alasanun yang mampu membuktikan keberadaan-Nya.
Namun ateis kontemporer semakin cerdik dan mulai berani secara ilmiah
melecehkan orang-orang beragama keTuhanan. Secara logis keyakinan adanya Tuhan
adalah kebodohan berganda. Karena Tuhan adalah Yang maha mampu, tahu dan cinta
kebaikan, dan sebagai konsekwensi logis maka keberadaan Tuhan semacam ini
melarang adanya keburukan atau kejelekan di alam semesta. Oleh karena kejelekan
itu ada maka Tuhan tersebut tidak ada. Sebagaimana juga diyakini oleh Plato, kejelakan adalah
tiada, karena ada dari sisi keadaannya dan dalam kapasitas dirinya sama dengan
kebaikan (atau keindahan). Oleh karena itulah secara implisit dapat dimengerti
kesalahan aliran penduaan (meyakini adanya dua Tuhan baik dan buruk), Majusi
dan semisalnya, karena tiada tidak menuntut sumber (pencipta). Dengan demikian
jelas bahwa silogisme di atas tidak benar mengingat salah satu dari premisnya
[kejelekan itu ada] tidak benar. Kendatipun demikian, masih ada tanda tanya besar, berkenaan
dengan kejelekan relatif yang acapkali kita rasakan di dunia ini. Memang benar
kejelekan esensial sama dengan ketiadaan, akan tetapi bukan kejelekan relatif.
Seringkali kita saksikan eksistensi tertentu menyebabkan ketiadaan bagi orang
lain, artinya mencegah keberadaan atau kesempurnaan yang semestinya bisa dia
dapatkan. Kenapa Tuhan tidak menciptakan alam kebaikan murni dan murni
keindahan sehingga tidak terjadi benturan dalam mencapai kesempurnaan? Bukankah
Dia maha tahu, mampu dan cinta kebaikan? Murid tersohor Plato pernah menyinggung solusi pertanyaan diatas
yang mungkin bisa kita katakan sebagai lanjutan penyempurna jawaban gurunya
mengenai kejelekan. Aristoteles menjelaskan bahwa dalam perspektif rasional
setiap fenomena tidak keluar dari lima kemungkinan; baik murni, kebaikan
mendominasi kejelekannya, kebaikannya sejajar dengan kejelekannya, kejelekan
mendominasi kebaikannya, dan yang terakhir adalah keburukan murni. Gabungan premis ini dengan premis diatas membentuk silogisme
du pourquoi (burhan limmy) sebagai berikut. Apabila Tuhan maha tahu, mampu dan
bijak niscaya tidak akan menciptakan fenomena yang jelek murni ataupun yang
kejelekannya mendominasi kebaikannya. Karena adalah buruk mendahulukan sesuatu
dari sesuatu lain yang semestinya di dahulukan, dan Yang bijak tidak bertindak
buruk. Begitupula tidak akan mengadakan fenomena yang kebaikannya sama dengan
kejelekannya. Karena adalah buruk mendahulukan sesuatu tanpa alasan. Oleh
karenanya segala eksistensi di alam ada -perspektif filosofis ontologis- tidak
keluar dari dua kemungkinan, baik murni dan yang kebaikannya dominan daripada
kejelekannya, dan mengadakan kedua hal itu adalah bijak. Kebijakan Tuhan
mengharuskan-Nya untuk mengadakan dua hal tersebut, dan sudah Dia lakukan. Alam
baik murni adalah alam non materi metafisik, disanalah kesempurnaan murni
berada sehingga tidak terjadi benturan seperti tersebut diatas. Sedangkan alam
materi tidak terlepas dari kejelekan, di sana kebaikan dan keburukan bercampur
dan berbenturan. Alam materi minus kejelekan adalah imposible terjadi, maka
menuntut Tuhan untuk mengadakan alam materi minus kejelekan adalah menuntut
sesuatu yang mustahil. Tidak tercipta bukan berarti Dia tidak mampu, melainkan
tuntutan tersebut bukanlah sesutu -yang potensial untuk diadakan- sehingga
apabila tidak diciptakan maka berarti kekuasaa-Nya terbatas. Sebagaimana anda
menanyakan apakah Tuhan mampu menciptakan sekutu-Nya. Lebih lanjut bahwa tidak
mencipta bukan berarti tidak mampu, sebagaimana tidak berbohong bukan berarti
tidak kuasa, karena kawasan kuasa lebih luas dari kawasan pengadaan.[ISLAT] *S2. Ulumul Quran |