Merenungkan Kembali Makna TaqwaSayyid Ali Khamenei hf
Takwa: Suatu kata yang sering disebut dan
terdengar dalam kalangan umat Islam, Arti Takwa yakni takut kepada Allah
swt yang disertai aktifitas atau mencegah diri dari segala larangan sembari
mengerjakan segala perintahnya, bukan takut dengan diam atau bukan mencegah
diri dari bertindak. Terkadang berada dalam keadaan takut atau mencegah diri
dengan berdiam diri (non-aktif), yakni pergi masuk rumah, duduk dan tanpa
melakukan suatu kerja, atau dengan tidak menyetir mobil untuk mencegah diri
dari menabrak gunung atau supaya tidak terlempar ke jurang. Mencegah diri dari
mendaki gunung, tidak bergerak supaya duri dan semak-belukar tidak menusuki
kaki dan paha, apakah demikiankah arti takwa?. Tentunya tidak demikian dan
Islam tidak menyarankan kita untuk bersikap demikian, akan tetapi Islam
mengatakan hadapi dan gelutilah aktifitas dan kejadian yang terjadi dihadapan
dan di ketika itulah hendaknya bertakwa. Seperti seorang supir yang menyetir mobil namun iapun berjaga-jaga,
dan penjagaan diri; seperti inilah yang biasa disebutkan dengan sikap mawas
diri dan berhati-hati. Jadi kata mencegah diri untuk keadaan demikian dapat
dibenarkan. Hanya saja karena makna Mutaqin diterjemahkan dengan arti
orang-orang bertakwa, sedemikian seringnya didengar sehingga akal tidak
meresapi kepekaan makna yang semestinya diperlukan. Dari itu, sudah sekian lama
memegang arti Takwa sebanding dengan kata takut atau orang yang bertakwa yakni
orang yang memiliki rasa takut, namun setelah berfikir dan mengkaji kembali,
ternyata makna takwa tidaklah berarti takut yang biasa kita fahami selama ini
karena memuat ketidak relevanan dan tanpa memberi spirit ilmiah, yakni sentuhan
instrumental musik bahasa hendaknya tidak berat didengar ditelinga dan
hendaknya indah sampainya ketelinga supaya mudah memasyarakat. Ini satu rahasia
kejelian memilih dan menempatkan bahasa. Dari itu, hendaknya memahami makna kata Takwa dengan:
"Menjaga diri dalam setiap aktifitas atau berhati-hati dalam
bergerak", bergeraklah dalam berbagai lapangan namun berhati-hatilah dari
berbagai kesalahan, dari terjerembab dan orang lain, dari mengarah pada
kesia-siaan dan dari melampaui batas-batas yang sudah ditetapkan untuk manusia,
yang jika telah lampaui maka manusia akan tersesat dari jalannya, karena jalan
kehidupan ini sangat berbahaya, panjang dan gelap. Kegelapan dunia ini dapat disaksikan: kekuasaan materialis
sekarang ini telah mengepulkan debu tebal di permukaan dunia, sinyal-sinyal
telekomunikasi mereka lancarkan, arahan-arahan kehendak mereka lakukan dan
berapa banyak manusia telah kehilangan jejak dari jalannya, jadi sudah
semestinya hendaknya berhati-hati!. Betapa di dunia sekarang ini, kehendak dan niat perjalanan
para tiran dunia telah mendapat tempat di hati sebagian besar penduduk dunia,
seperti apa yang mereka katakan: "Pemikiran umum Barat mengatakan
demikian", maka demikianlah yang mereka usahakan sehingga pola pemikiran
umum Barat menjadi sebuah pernyataan yang seakan-akan menjadi satu hakekat, untuk
apa ini sebenarnya?, Mereka menginginkan supaya kepercayaan-kepercayaan manusia
ditarik kearah Barat. Patut disayangkan, kepercayaan orang banyak telah
berhasil mereka pengaruhi dan inilah sikap elastis manusia yang juga memiliki
kecenderungan untuk menerima kesesatan dari jalan kehidupan yang hakiki, yang
jika sedikit saja mereka kehilangan kesadarannya maka dengan cepat mereka akan
tersesat (dari jalan hakiki), dari itu maka ditengah perjalanan (duniawi) ini
dibutuhkan Takwa. Jika seseorang tidak memiliki Takwa dan demikian saja
(berjalan dengan) menutup mata, tanpa memperhatikan dengan penuh kesadaran
melakukan aktifitasnya dan bertindak, apakah Quran dapat memberi hidayat
kepadanya? Tentu tidak, tiada satu kata kebenaranpun dapat menghidayati manusia
seperti ini!. Seorang yang tidak menyiapkan telinga hatinya untuk
mendengarkan, maka tiada perkataan hakikat yang dapat ia percaya, sedang ia
hanya mabuk kepayang dalam kendali pilihan syahwatnya saja atau hanya dengan
syahwat orang lain ia bergerak, maka Quran tidak akan memberi hidayat kepada
orang semacam ini. Betul, memang Al-Quran memanggil mereka juga untuk dapat
menerimanya sebagai pemberi hidayat, namun panggilan Quran ini tiada dirasakan
dengan peka oleh telinga mereka, keadaan mereka yang seperti ini disebutkan
oleh Al-Quran sendiri ddengan satu ibaratnya: "Mereka itu bagai dipanggil
dari tempat yang jauh" (Qs Fusilat/44) – Dan ayat demikian mengisyaratkan
kepada orang yang seperti ini, kepada mereka diperdengarkan seruan dari jarak
yang jauh. Kadang-kadang ketika mendengar satu lagu dari tempat yang
jauh, seperti seseorang mendendangkan satu lagu yang sangat indah dengan
liku-liku irama yang sangat harmonis dan syahdu, tetapi katakanlah dari
kejauhan satu kilo meter suaranya sampai ke telinga, maka apa yang dapat
difahami dari kata demi kata yang dilantunkannya? Tentunya pertama ia tidak
dapat dimaklumi, karena ucapan kata-kata tidak terdengar dengan baik, hanya
desingan suara yang terdengar, kedua, irama indah yang digunakannyapun tidak
dapat dirasakan dan tidak dapat difahami kelembutan dan kesyahduannya. Persis seperti sebuah lukisan yang berbentuk garis panjang
yang digores dipermukaan tembok yang dilihat dari kejauhan, ia akan terlihat
hanya sebagai satu garis kosong saja, tetapi ketika Anda mendekatinya ternyata
memiliki ukiran indah yang menunjukan ketinggian karya seni yang digunakan
keatasnya yang tidak dapat dilihat dari jarak yang jauh, demikian macam
orang-orang ini, dimana Al-Quran mengatakan bahwa mereka seperti
memperdengarkan panggilannya dari kejauhan sehingga mereka tidak dapat
mendengarkanya dengan baik. Jadi hendaknya mawas diri supaya dapat terhidayati, inilah
makna singkat dari "Hudan-lil-Muttaqiin". |