Mencari Pencipta TuhanDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Kaum agamawan, baik mereka yang konsisten menjalankan
agamanya ataupun tidak, meyakini eksistensi Tuhan Pencipta alam raya ini.
Sehubungan dengan persoalan Tuhan Pencipta, dan karena sulitnya meyakini suatu
maujud tanpa pencipta, seringkali muncul sebuah pertanyaan yang dilontarkan
oleh orang-orang awam dari kalangan mereka, yaitu: “Jika Tuhan telah
menciptakan alam raya ini dan semua isinya, lalu siapakah yang menciptakan
Tuhan itu sendiri?” Pertanyaan semacam itu dapat pula dilontarkan dengan kemasan
sedikit ilmiah oleh sebagian ilmuan materialisme, yaitu: ”Apabila orang-orang
yang meyakini wujud Tuhan menyatakan bahwa alam raya ini diciptakan oleh Tuhan,
semestinya Tuhan itupun ada yang menciptakan-Nya. Hal itu sesuai dengan hukum kausalitas
(sebab-akibat) yang mereka yakini keberadaannya. Hukum kausalitas menyatakan
bahwa setiap yang maujud di alam raya ini pasti merupakan ciptaan Sang
Pencipta. Apabila mereka telah memastikan dan meyakini eksistensi Tuhan, maka
merekapun -mau tidak mau- harus tunduk pada hukum kausalitas ini. Yakni bahwa
Pencipta tersebut harus ada yang menciptakan-Nya”. Kaum agamawan, baik para filosof maupun teolognya menyatakan
bahwa setiap yang maujud di alam raya ini -selain Tuhan Pencipta- merupakan
hasil ciptaan Tuhan. Sedangkan Tuhan itu sendiri tidak membutuhkan selain-Nya
dan tidak diciptakan oleh apa dan siapapun. Dengan kata lain bahwa Tuhan
Pencipta itu merupakan Zat yang eksis dengan sendiri-Nya, tidak beranak, tidak
diberanakkan dan tidak sesuatu pun yang menyerupai-Nya. Persoalannya adalah argumen apa yang mereka gunakan untuk
membuktikan keimanan dan keyakinan yang mereka pegang erat-erat tersebut? Untuk
membuktikan keyakinan mereka bahwa Tuhan Pencipta itu eksis secara mandiri dan
tidak membutuhkan selain-Nya, biasanya mereka menggunakan kemustahilan teori
tasalsul (mata rantai yang tidak berujung). Dengan cara menggugurkan teori
tasalsul tersebut, maka wujud Tuhan Yang Mandiri dapat dibuktikan secara
logika. Teori Tasalsul Kaum agamawan dan para teolog telah menegaskan bahwa
berdasarkan argumen aqli (logika) teori tasalsul itu dapat dibuktikan
invaliditas dan kebatilannya. Mari kita kaji teori tersebut dan bagaimana ia
dapat dibatalkan sehingga dapat digunakan untuk membuktikan wujud Tuhan. Alam dunia dan materi ini dipenuhi oleh berbagai fenomena
dan ciptaan Tuhan. Setiap fenomena dan ciptaan bisa saja menjadi illat (sebab)
bagi fenomena dan ciptaan selanjutnya dan sebagai ma’lul (akibat) bagi fenomena
dan ciptaan sebelumnya. Misalnya saja manusia, ayah dan ibu dapat dikatakan
sebagai sebab bagi manusia sesudahnya, yaitu anak-anak dan seluruh keturunanya.
Dan di sisi lain, ayah ibu tersebut juga merupakan akibat dari manusia
sebelumnya, yaitu kedua orang tuanya dan kakek-neneknya. Jika kita cermati,
maka premis ini tidak keluar dari dua asumsi: Asumsi pertama, bahwa susunan mata rantai sebab akibat yang
berjalan ke arah atas, nantinya akan sampai kepada satu titik yang merupakan
sebab terakhir, yaitu Tuhan Pencipta, sebagai Zat Yang Mahakaya dan wujud
dengan sendirinya. Tuhan ini dipandang sebagai Pencipta semua rentetan sebab
akibat yang berjalan ke arah bawah. Asumsi kedua, bahwa mata rantai sebab akibat yang berjalan
ke arah atas, berjalan secara terus menerus tanpa henti, tidak berakhir dan tidak
akan sampai pada sebuah titik penghujung yang dapat membendung seluruh sebab
akibat tersebut. Dengan ungkapan lain yang lebih mudah, asumsi kedua ini ingin
menjelaskan bahwa Anda terlahir dan wujud di alam dunia fana ini melalui kedua
orang tua Anda, dan kedua orang tua Anda terlahir melalui kakek nenek Anda.
Kakek-kakek dan nenek-nenek Anda terlahir melalui kakek-kakek dan nenek-nenek
mereka, dan begitulah seterusnya sampai kepada Adam dan Hawa. Sedangkan Adam
dan Hawa diciptakan oleh Tuhan. Tuhan pertama yang menciptakan Adam dan Hawa
ini diciptakan oleh Tuhan kedua, Tuhan kedua diciptakan oleh Tuhan ketiga dan
begitulah seterusnya sampai kepada Tuhan-Tuhan yang banyak sekali, tidak
terbatas dan tidak berujung kepada satu Tuhan. Asumsi semcam ini tentu ditolak oleh akal sehat. Sebagaimana
maklum bahwa Tuhan itu disebut sebagai Tuhan, karena Dia memiliki sifat-sifat
kuasa, mandiri, tidak membutuhkan selainnya dan sifat-sifat kesempurnaan
lainnya. Apabila Tuhan Pencipta itu diciptakan oleh Tuhan lainnya, berarti Dia
tidak memiliki kekuasaan, tidak mandiri dan masih membutuhkan selainnya dalam
wujud dan keberadannya. Lebih dari itu, apabila mata rantai sebab-sebab
tersebut tidak terbatas dan tidak berujung, maka hal ini memestikan bahwa mata
rantai tersebut tidak akan pernah terwujud, karena bagaimana mungkin
sebab-sebab tersebut memperoleh wujud dari sesuatu yang tidak memiliki wujud
mandiri. Dan, karena sesuatu yang tidak memiliki wujud mandiri tidak mungkin
dapat memberikan wujud kepada yang lainnya. Kemustahilan Tasalsul
Kesimpulan akhir sebagai intisari yang dapat diambil dari
argumentasi ini ialah bahwa mata rantai sebab-akibat harus berakhir pada
realitas yang dirinya bukan lagi akibat, melainkan “sebab” yang mandiri. Ahli
Kalam (teolog) memiliki pandangan bahwa tasalsul (mata rantai sebab-akibat yang
tak berujung) itu mustahil. Atas dasar inilah maka wujud Tuhan sebagai wâjibul
wujud (wujud yang mesti) dapat dibuktikan validitasnya. Artinya bahwa wâjibul
wujud merupakan sebab pertama yang ada dengan sendirinya atau secara mandiri
dan tidak perlu kepada wujud yang lain. Para filosof telah mengajukan berbagai argumen untuk
menunjukkan kemustahilan tasalsul ini. Bahkan mereka berpendapat bahwa
sebenarnya masalah tasalsul ini merupakan persoalan yang nyaris badihi
(gamblang) dan tidak perlu pembuktian. Karena setiap orang yang mau
merenungkannya -walaupun sejenak saja- pasti ia dapat memastikan kemustahilan
tasalsul tersebut. Artinya bahwa setiap wujud akibat, pasti membutuhkan sebab
dan keberadaannya itu tergantung dan disyarati oleh keberadaan sebab tersebut
yang berujung kepada satu sebab yang mandiri. Dan apabila diasumsikan bahwa
segala sesuatu itu adalah akibat; yang semuanya membutuhkan sebab, dan
sebab-sebab itupun memerlukan sebab-sebab lainnya, dan begitulah seterusnya,
tentu tidak akan terealisasi realitas apapun. Karena tidak logis mengasumsikan
adanya mata-rantai yang saling bergantungan tanpa suatu wujud mandiri yang
merupakan puncak kebergantungan mata rantai tersebut. Dengan demikian, adanya hal-hal objektif di jagad raya ini
merupakan bukti atas keberadaan realitas yang tidak membutuhkan; yang wujudnya
itu tidak disyarati oleh wujud selainnya, yakni wujud mandiri. Asal Wujud Insan
Setiap makhluk hidup di alam raya ini -khususnya manusia- pasti
mengakui dengan jujur dan penuh kesadaran bahwa mereka tidak menciptakan diri
mereka sendiri, melainkan mereka semua mengakui adanya wujud Sang Pencipta Yang
Mahakuasa yang telah menciptakan mereka. Mereka semua meyakini bahwa realitas
dan wujud mereka tidak datang dari diri mereka. Dengan mengakui dan menyadari bahwa segala maujud di jagad
raya ini adalah “baru” (hâdits) dan berasal dari wujud yang Mahakaya yang
maujud dengan sendirinya, maka terhentilah rangkaian mata rantai sebab akibat
pada Zat tersebut. Karena Dia-lah sebab utama atas segala akibat. Dialah Sang
Pencipta Yang Mahakuasa. Setelah dibuktikan bahwa setiap makhluk itu sebelumnya
tidak ada dan tidak hidup, kemudian mendapatkan kehidupan dari Sang Pencipta
Yang Mahakuasa, maka dapat disimpulkan bahwa mata rantai tak berujung setiap
maujud adalah sesuatu yang mustahil. Dengan demikian, maka wujud setiap makhluk itu pasti ada
yang mengatur dan menciptakannya. Dialah yang memberikan spirit dan aktivitas
kepada seluruh makhluk-Nya. Dialah ujung mata rantai eksistensi sumber dari
semua maujud. Dialah sebab yang mutlak yang tidak diakibatkan oleh sebab lain
karena Dia bersifat azali (tidak bermula). Dasar keyakinan tersebut adalah
argumen rasional yang menggugurkan teori mata rantai (tasalsul) sebab akibat
yang tak terbatas. Dialah yang merupakan realitas yang ada dengan sendirinya;
tidak bergantung kepada realitas yang lain. Maka realitas ini bersifat azali
(tidak bermula) dan abadi (tidak berakhir). Lantaran, apabila sesuatu itu
ma’dum (tiada) pada masa tertentu, maka hal ini menunjukkan bahwa wujud sesuatu
itu bukan berdasarkan pada dirinya sendiri, tetapi wujudnya membutuhkan kepada
realitas selainnya yang merupakan sebab atau syarat keberadaannya. Tentu, jika
sebab atau syarat itu tidak ada, maka sesuatu tersebut tidak akan mengada. Adalah kaidah Logika yang diterima oleh semua orang yang
berakal, bahwa setiap makhluk di jagad raya ini membutuhkan sebab. Namun,
berangkat dari pengertian Hukum Kausalitas; bahwa setiap realitas membutuhkan
kepada sebab, sebagian orang menganggap bahwa seharusnya wujud Tuhan Pencipta
pun mempunyai sebab. Mereka lalai bahwa subjek pada Hukum Kausalitas itu bukanlah
realitas secara mutlak, tetapi realitas yang bersifat mumkin. Dengan kata lain,
bahwa setiap realitas “yang tidak berdiri sendiri” membutuhkan sebab. Sedangkan
realitas Tuhan Yang Mandiri tidak membutuhkan sebab. Sebab, jika realitas Tuhan
Pencipta itupun memiliki sebab, maka akan terjadi tasalsul. Sementara tasalsul
telah dibuktikan invaliditas dan kebatilannya. Permulaan alam
Apabila telah terbukti bahwa alam semesta ini tidak
menciptakan dirinya sendiri, tetapi membutuhkan Tuhan Pencipta, lalu, -dapatkah
bedasarkan prinsip-prinsip ilmiah- awal mula keberadaannya itu ditentukan
sehingga dapat dipastikan keterciptaanya? Para filosof muslim telah membuktikan secara rasional bahwa
alam raya ini dengan segala isinya adalah sesuatu yang bermula. Setelah
ditemukan hukum kedua termo-dinamika, maka semakin mudah bagi mereka untuk
memastikan hal itu. Tema ini dibahas demi menyangkal pendapat tentang “keazalian
dan keabadian alam”. Kaum materialis berpandangan bahwa materi pertama dalam
alam memiliki energi dan gerak secara terus menerus tanpa henti. Sir Isaac Newton adalah ilmuwan pertama yang menemukan
materi dan energi. Ia memastikan bahwa alam bermula menuju fase chaos, dan
energi panas alam akan sama. Dari premis ini disimpulkan bahwa alam mesti bermula.
Kesimpulannya tersebut ia peroleh setelah meneliti fenomena panas. Ia yakin
bahwa perubahan apapun yang membantu menciptakan panas haruslah muncul dari
elemen positif menuju elemen negatif, tetapi tidak sebaliknya. Inilah hukum
kedua termo-dinamika. Paul Teizman (pakar matematika) berkeyakinan bahwa hukum
kedua termo-dinamika merupakan suatu kasus khusus yang dikecualikan dari kaidah
universal. Ia juga menambahkan bahwa terjadinya pergerakan dan perpindahan itu
akan mengakibatkan keruntuhan sebagian sistem. Demikian pula halnya dengan
energi panas. Unsur-unsur positif yang berubah menjadi unsur-unsur negatif akan
mengakibatkan runtuhnya sistem keteraturan dalam setiap partikel dan sel-sel
secara perlahan yang akan berakhir dengan kematian. Hukum kedua termo-dinamika entropy juga menjelaskan kepada
kita bahwa panas akan selalu berpindah dari benda yang bersuhu panas tinggi
menuju benda yang bersuhu panas rendah, tetapi tidak sebaliknya. Jika diasumsikan bahwa alam raya ini tidak bermula, maka
segala bagian bumi akan memiliki derajat panas yang seimbang dan unsur-unsur
positif tidaklah tersisa hingga saat ini. Karena proses kimia akan berhenti,
dan sebagai akibatnya, kehidupan di muka bumi ini akan berakhir. Namun
kenyataanya, hingga saat ini kehidupan kita masih terus berlanjut sampai batas
waktu yang dikehendaki Tuhan. Jika diasumsikan bahwa alam raya ini memilki sifat azali
tanpa membutuhkan Sang Pencipta, hal ini memestikan adanya materi pertama yang
menciptakan dirinya sendiri dan mengadakannya dari ketiadaan, lalu merancang
sistem pengaturan yang cermat dan stabil bagi dirinya. Asumsi semacam ini tidak
akan bisa diterima oleh setiap orang yang berakal sehat. |