Menapak Jalan Menuju HakikatDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Oleh: Ruhullah Syams
Setiap manusia yang meyakini keberadaan realitas zahir dan
batin (gaib), tentunya berpikiran tentang jalan untuk meraih dan menggapai
kedua realitas tersebut. Karena realitas zahir adalah sesuatu yang terang,
jelas, dan bahkan badihi (swa-bukti) bagi setiap orang, maka jalan ini
sangatlah mudah untuk ditapaki dan diraih oleh semua orang. Misalnya ketika
seseorang merasa haus atau lapar, dengan mudah ia dapat menghilangkan dahaga
atau laparnya dengan meneguk air atau menyantap makanan. Namun, terkadang dikarenakan
realitas zahir ini juga, kebanyakan manusia pada akhirnya mengabaikan
realitas batin. Padahal realitas ini jauh lebih sempurna, lebih indah, dan
lebih permanen dari realitas lahir. Kognisi Diri; Jalan Mencapai Batin
“Barang siapa mengenal dirinya maka dia mengenal Tuhannya”.
(Al-Hadits) Beberapa hal berikut ini yang perlu disebutkan dalam rangka
kognisi diri: Pertama: Dzat manusia terbentuk dari dua substansi:
Substansi cahaya yang membentuk nafs dan substansi gelap yang membentuk jasad.
Nafs, adalah hidup, berakal, bekerja dan aktif: sedangkan jasad, adalah mati,
jahil, dan pasif. Kedua: Kesempurnaan, keutamaan, dan kelebihan atas yang
lain, dapat diperoleh manusia hanya dengan jalan pengetahuan dan pengamalan
terhadap kemestiannya, bukan sesuatu yang lain. Ketiga: Pengetahuan yang mengantarkan manusia untuk
memperoleh keutamaan dan kesempurnaan serta dengan memilikinya akan menaikkan
manusia dari kesejajaran hewan-hewan sampai derajat malaikat muqarrabin,
bukanlah setiap ilmu (baca; sembarang ilmu). Betapa banyak ilmu dan pengetahuan
yang menjadi karya ilmuan tapi hanya menyibukkan para pembacanya, sebab isi dan
kandungannya tidak lebih hanya semacam ungkapan-ungkapan perkataan. Adapun ilmu
dan makrifat yang bermanfaat di akhirat hanyalah ilmu dan makrifat yang ulama
akhirat memberikan perhatian sangat besar terhadapnya, sementara ulama dunia
membelakanginya, yakni pengetahuan dan makrifat terhadap Tuhan,
sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya, kitab-kitab suci-Nya, dan para
Nabi-Nya (Insan Kamil). Juga pengetahuan terhadap hari kiamat (eskatologi),
nafs manusia serta bagaimana nafs mengalami kesempurnaan dan kenaikannya -dari
posisi kehewanan- mendapatkan kondisi fana sampai pada tataran malakut dan
ruhani yang langgeng dan abadi. Keempat: Kesempurnaan ilmu dan makrifat demikian ini tidak
mungkin diperoleh kecuali dengan jalan riadah dan kesungguhan
syar'i serta keilmuan dan menjaga syarat-syarat khusus. Dan kemungkinan
untuk meraihnya terbuka lebar bagi setiap orang, namun karena hanya sedikit
yang mengarunginya dengan sungguh-sungguh maka hanya sedikit orang yang
berhasil menggapainya. Untuk memahami ungkapan-ungkapan di atas dengan baik, kami
menjelaskannya dalam bentuk suatu contoh: Nafs (jiwa) manusia dalam mempersepsi topik-topik
benar dan hakikat sesuatu, berposisi sebagai cermin yang berhadapan dengan
gambaran-gambaran ma'lumât (hal-hal yang diketahui). Sementara sebab tak
terlihatnya suatu gambaran dalam cermin, ada lima hal: 1. Cermin masih belum dalam bentuk sempurnanya,
misalnya bahan-bahan yang diperlukan dalam pembuatannya sudah tersedia, tapi
cermin masih belum dibuat. 2. Terkadang cermin telah jadi, tapi kotoran, karatan,
dan debu mengenainya (menutupinya). 3. Dikarenakan kita tidak memposisikan cermin pada
posisi dimana gambar (rupa) ingin disaksikan, misalnya obyek dan benda yang
ingin disaksikan berada dibelakang cermin. 4. Antara cermin dan benda terdapat sesuatu –misalnya
tirai- sebagai penghalang. 5. Kita tidak mengetahui secara pasti posisi dimana
sesuatu yang menjadi obyek perhatian di arahkan, sehingga cermin kita letakkan
ke arah tersebut. Demikian juga seperti lima perkara ini tentang substansi
nafs manusia, dimana ia memiliki kesiapan sebagai sebuah cermin bagi tajalli
gambaran hakikat Hak Swt. Oleh karena itu, langkah mendasar yang dibutuhkan
untuk mendapatkan ilmu dan makrifat Ilahiah adalah mengenal diri dan nafs kita
terlebih dahulu. Bahwa nafs adalah suatu substansi cahaya, hidup, berakal,
bekerja, aktif, dinamis, dan abadi. Dari dimensi-dimensi yang dimilikinya itu,
ia memiliki pelbagai kesiapan untuk menyerap asma dan sifat-sifat Allah yang
Maha Sempurna, sebagaimana sabda Rasulullah Saw: Takhallaqu Bi Akhlâqillah
(Berakhlaklah dengan akhlak Allah). Namun tentunya dengan syarat ia harus
memiliki kebersihan dan kesucian, sehingga dimensi-dimensi yang dimilikinya
tersebut dapat bekerja dengan baik dan sempurna dalam berhadapan dengan
cahaya-cahaya Ilahiah yang senantiasa terpancar di alam makro kosmos dan mikro
kosmos. Kemungkinan Musyhadah Alam Gaib
Tidak diragukan, para pembesar agama-agama –dalam hal ini
para nabi As- dengan perbedaan tingkatan yang mereka miliki, mempunyai hubungan
dengan alam metafisika (baca; alam gaib) dan memiliki informasi dan pengetahuan
tentang perkara-perkara batini. Namun masalahnya adalah apakah maqam dan
kedudukan ruhani ini hanya terkhusus bagi mereka? Apakah ia merupakan pemberian
Tuhan yang hanya terbatas bagi mereka ataukah orang-orang lain yang mengikuti
jalan ilmu, makrifat, dan amali mereka, juga berpeluang untuk menggapainya? Dengan kata lain, apakah informasi dan pengetahuan terhadap
perkara-perkara batini dan rahasi-rahasia gaib terbatas hanya bagi para nabi As
dan orang-orang lain yang berada di alam materi ini tidak mampu
mendapatkan jalan tersebut kecuali setelah mereka mati, ataukah maqam tersebut
merupakan perkara iktisabi (maksudnya dapat diperoleh dengan berusaha dan
berupaya) dan orang-orang lain juga berpeluang meraihnya? Tentunya jawaban kita
dalam hal ini adalah bahwa orang-orang lain juga mampu mendapatkan jalan kepada
rahasia-rahasia alam. Salah satu argumennya adalah; hubungan alam materi (fisika)
dengan alam metafisika, hubungan sebab dan akibat serta sempurna dan kurang.
Dan kita menamakan hubungan ini dengan hubungan zhahir dan batin. Sebagaimana kita alami bahwa zhahir secara daruri kita
saksikan, sementara penyaksian zhahir tidak bisa kosong dari penyaksian
batin, sebab keberadaan zhahir adalah gradasi keberadaan batin dan merupakan
manifestasinya; karena itu, batin juga tersaksikan secara aktual ketika zhahir
tersaksikan. Dan sebagaimana zhahir merupakan batasan dan manifestasi batin
maka ketika manusia mengenyampingkan batasan ini dan bersungguh-sungguh
(mujahadah) untuk mengabaikannya, tidak diragukan dia akan menyaksikan yang
batin. Dengan kata lain alam materi ini adalah akibat dari alam
mitsal, yakni jika kita ingin dalam bentuk suatu tangga naik ke atas maka kita
dari alam materi akan naik ke alam mitsal. Dan alam mitsal ini, sekarang juga
bersama kita, ia maujud secara aktual saat ini. Oleh karena itu, hubungan alam
zhahir dengan alam batin adalah hubungan akibat dengan sebab. Seperti konsepsi
yang ada di akal manusia dengan tulisannya. Manusia, ketika sedang menulis,
secara beruntun dia mengkonsepsi dan menuliskannya. Dan jika sedetik dia
berhenti mengkonsepsi (sesuatu) maka dia juga akan berhenti menuliskan sesuatu. Pada hakikatnya dalam konteks ini juga berlaku sistem sebab
dan akibat. Zhahir yang disaksikan ini, ia sendiri keberadaannya tegak atas
dasar batin. Dan meskipun pada dasarnya batin juga tersaksikan, tapi kita tidak
melihatnya. Ketika kita menyaksikan zhahir, batin juga secara aktual
tersaksikan oleh kita. Jika seseorang penglihatan batinnya terbuka maka tidak
mungkin penyaksian zhahirnya tidak membawanya pada penyaksian batin; sebab
wujud zhahir tidak lain merupakan bentuk dan gambaran dari wujud batin. Jadi
zhahir itu adalah batin yang bertajalli dan memanifestasi. Karena itu, dengan
penyaksian alam materi ini maka batin juga tersaksikan. Zhahir adalah batasan batin. Pada hakikatnya alam batin
terbatasi dengan alam zhahir. Jika seseorang mampu dengan mujahadah nafs
memecahkan batasan ini dan tidak menghiraukannya maka dia niscaya akan
menyaksikan batin dari alam ini. Sebagaimana nafs mempunyai kesatuan dengan badan, maka di
satu sisi nafs memandang dirinya adalah badan itu sendiri. Namun ketika badan
dari jalan penginderaannya menyaksikan nafs maka dia menyangka dirinya terpisah
dari nafs, dan ketika persangkaan ini mengambil bentuk maka nafs berhenti pada
tataran badan dan melupakan tingkatannya yang tinggi. Tingkatan tinggi setiap
orang adalah alam mitsal dan alam akalnya. Dan nafs, ketika melupakan suatu
tingkatan dari tingkatan-tingkatannya maka dia akan melupakan juga
kekhususan-kekhususan yang terkhususkan tingkatan tersebut dan alam yang
terkhususkan untuknya; akan tetapi pada saat yang sama dia tetap menyaksikan
inniyyah dan hakikat dirinya, yakni akunya. Penyaksian ini adalah daruri dan
tidak dapat terpisahkan. Oleh karena itu, dengan terputusnya aku dari badan maka
tidak terdapat lagi tirai penghalang. Berasaskan ini, jika seseorang kembali
kepada nafs dan hakikat dirinya dengan ilmu dan makrifat serta amal baik,
niscaya hakikat nafs, tingkatan-tingkatannya, maujud-maujud dan rahasia-rahasia
batin alam akan dia saksikan. Jadi jelaslah bahwasanya manusia selain para nabi As dan
maksumin As, juga mempunyai kemungkinan untuk mendapatkan informasi dan
pengetahuan terhadap alam metafisika (alam gaib) ketika dia masih hidup di alam
materi ini, yakni bukan hanya hakikat-hakikat yang tersembunyi dan rahasia itu
baru mereka bisa saksikan setelah kematian natural dialaminya. Musyahadah Batin Dalam Al-Qur’an dan
Riwayat
Untuk mengakhirkan bahasan ini kami akan menukilkan sebagian
dalil-dalil nakli yang mendukung pandangan tersebut di atas. Bukti dan dalil
ini akan memberi kesaksian bahwa manusia mampu menyaksikan rahasia-rahasia dan
batin alam sejak dalam kehidupannya di alam materi ini. Ayat al-Qur’an menyebutkan: “Kami akan memperlihatkan kepada
mereka tanda-tanda Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri,
sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Dia adalah Hak. Tidak cukupkah (bagi kamu)
bahwa Tuhanmu menjadi syahiid atas segala sesuatu? Ingatlah, sesungguhnya
mereka dalam keraguan tentang pertemuan dengan Tuhan mereka. Ingatlah
sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu.” (Qs. Fussilat [41]: 53-54)
Sebagian mufassir seperti Allamah Thabathabai menafsirkan bahwa kata syahiid
dalam ayat ini tidaklah bermakna syaahid, tetapi bermakna masyhuud, dengan
qarinah bahwa dalam ayat ini disebutkan tentang Tuhan memperlihatkan
tanda-tanda-Nya sehingga jelaslah Dia Hak Swt. Dan ayat al-Qur’an: “Dan milik Allah timur dan barat. Ke
mana pun kamu menghadap di sanalah wajah Allah. Sungguh Allah Maha luas, Maha
Mengetahui.” (Qs. al-Baqarah[2]: 115) Sebab Tuhan, Dialah yang awal dan akhir dan Dia pula yang
zhahir dan batin maka ke mana pun maujud-maujud ini mengarahkan pandangnnya,
yang mereka saksikan adalah wajah-Nya, apakah itu yang zhahir ataukah yang
batin. Terdapat sebuah riwayat dari Rasulullah Saw: bahwa beliau
masuk masjid pada waktu subuh, di dalam mesjid beliau menyaksikan seorang
pemuda kurus namun penuh cahaya di wajahnya duduk di salah satu sudut masjid.
Rasulullah bertanya: Bagaimana kondisi anda pada subuh ini? Pemuda itu
menjawab: Saya pada subuh ini dalam kondisi yakin kepada Allah Swt. Bertanya Rasulullah tentang kondisi Zaid Bagaimana pagi subuh ini kau lalui wahai sahabat sejati? Berkata Aku hamba yang yakin Bertanya mana bukti keyakinan yang menakjubkan itu? Berkata aku menyaksikan makhluk-makhluk penghuni langit Dan aku melihat dan menyaksikan Arasy dan para penghuninya. Diriwayatkan bahwa Haris bin Malik berkata kepada Nabi Saw:
"Ya Rasulullah, aku melihat neraka jahanam dan penghuninya dan aku melihat
surga beserta penghuninya dan aku mendengar suara-suara mereka" (Ushul
al-Kafi, Jld. 2, Bab Hakikat al-Iman wa al-Yaqin) Imam Ali As dalam khutbahnya menta'birkan kelompok manusia
seperti ini dengan ungkapannya: "Mereka ada di alam dunia ini, menyaksikan
Surga seakan-akan mereka juga sedang ikut menikmati keindahannya".
(Nahjul Balagah, Khutbah 193) Mampukah kita menjadi orang-orang yang dapat menyaksikan
batin dari alam ini? Semoga! |