Kajian Klasik Tentang Keadilan TuhanDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Oleh: Muiz Sulistiveno*
Keadilan Tuhan swt selalu berputar pada poros hikmah,
termasuk dalam penciptaan manusia dimana salah satu bukti keadilan Tuhan swt
adalah dengan memberikan syariat kepada manusia untuk membantu manusia meraih
kesempurnaan penciptaannya. Prakata
Jika kita tengok kembali era kita saat ini dari sudut
pandang ideologi, mazhab dan pandangan dunianya--khususnya bagi generasi muda--
adalah era kebimbangan dan krisis terhadap keyakinan ideal. Banyak rangkaian
pertanyaan-pertanyaan baru--bahkan pertanyaan-pertanyaan yang telah lama
dilupakan-- muncul kembali akibat dari tuntutan zaman yang menimbulkan banyak
keraguan. Lalu apakah harus kita sayangkan dan kita biarkan semua keraguan dan
pertanyaan-pertanyaan tetang eksistensi diri dan pandangan dunianya tersebut? Keraguan dan pertanyaan-pertanyaan tentang eksistensi
dirinya adalah langkah awal untuk meraih keyakian. Akan halnya dengan keraguan
adalah tempat pemberhentian sementara yang baik, dan tempat tinggal yang paling
buruk, maka tidak ada yang perlu kita sayangkan dan justru perlu didukung.
Islam sebagai agama yang paling gencar mengajak umat manusia untuk berpikir dan
merenung, maka secara tidak langsung ia juga menjelaskan bahwa pada tahap
awalnya manusia dalam keadaan tidak tahu atau ragu. Seorang bijak berkata:
"Cukup menjadi manfaat dari kata-kata kami jika telah membuat kalian
bertanya dan mencari hingga pada akhirnya kalian meyakini". Sejarah mencatat pembahasan teologi Islam bermula pada
setengah abad pertama Hijriah. Salah satu diantara pembahasannya yang paling
tua adalah pembahasan tentang jabr (determinis) dan ikhtiar (non-determinis).
Pada tahap awal masalah jabr dan ikhtiar adalah masalah manusiawi, dan pada
tahap berikutnya merupakan masalah ketuhanan dan alam. Adapun merupakan masalah
manusiawi, karena materi pembahasan kita adalah manusia, apakah manusia bebas
berkehendak atau tidak? Dari sisi lain merupakan masalah ketuhanan dan alam,
karena apakah ketentuan, kehendak, keinginan, qadha dan qadhar Tuhan, serta
hukum kausalitas alam, memberikan kebebasan manusia berkehendak atau tidak?
Karena masalah ini adalah masalah manusiawi, dan bagaimanapun juga masalah
manusiawi sangat berhubungan erat dengan nasib manusia itu sendiri, maka sangat
kecil kemungkinannya jika ada orang yang tidak pernah mempertanyakan masalah
ini. Jabr (determinism) dan Ikhtiar
(non-determinism)
Ketika jabr dan ikhtiar dikemukakan, dengan sendirinya kita
juga akan mengetengahkan masalah keadilan. Karena hanya ketika seseorang
memiliki ihktiar, kewajiban, pahala dan dosa akan bermakna. Sebaliknya ketika
manusia tidak bebas berkehandak dan berikhtiar dihadapan kehendak Tuhan swt
atau Alam, maka istilah kewajiban, hak-hak, pahala dan dosa atau bahkan sesuatu
yang bersifat lebih umum seperti etika pun tidak lagi mempengaruhi aksi dan tindakan
manusia. Dalam teologi Islam terdapat dua aliran, Mu'tazilah, yang
meyakini keadilan dan ikhtiar dan Asy'ariyah, yang meyakini jabr (determinism).
Walaupun kelompok kedua Asy'ariyah, tidak memungkiri keadilan Tuhan swt, karena
al-Quran secara transparan menafikan kezaliman dari wujud Tuhan swt dengan
menetapkan atribut keadilan dalam dzat-Nya. Namun mereka menafsirkan keadilan
dengan cara yang berbeda. Bahwa keadilan bukan sebuah realita yang sebelumnya
dapat disifati sebagai tolok ukur tindakan Tuhan swt. Karena sebenarnya tolok
ukur dan standar tindakan Tuhan swt merupakan satu bentuk penetapan tugas dan
tanggung jawab serta pembatasan kehendak Tuhan swt. Tidak mungkin kita tetapkan
sebuah hukum atas kehendak dan tindakan tuhan swt, yang akan sangat bertentangan
dengan kemuliaan dan kekuasaan mutlak-Nya. Dengan bahasa lain, makna keadilan
dalam dzat Tuhan swt bukan berarti bahwa dia bertindak sesuai hukum atau
undang-undang keadlian, akan tetapi keadilan dan kezaliman tercermin dari
kehendak dan tindakan-Nya. Keadilan bukan tolok ukur tindakan Tuhan swt,
melainkan tindakan Tuhan swt yang menjadi ukuran dan standar sebuah keadilan. Adapun Mu'tazilah (non-determinism) berargumen bahwa
keadilan itu sendiri merupakan sebuah realita, dan Tuhan swt sebagai satu-satunya
eksistensi keadlian sempurna (The Just) dan hikmah mutlak (All-wise) akan
selalu berntindak berlandaskan tolok ukur dan proposi keadilan. Esensi Baik dan Buruk
Adalah masalah lain yang harus dikemukakan sebagai hasil
dari meluasnya jangkauan pandangan tentang jabr dan ikhtiar atau tentang
keadilan. Bahwa apakah secara global semua tindakan atau perilaku memiliki
sifat baik dan buruk secara esensial? Atau sebagai contoh, apakah kejujuran
dengan sendirinya bersifat baik dan penghianatan itu buruk? Apakah sifat-sifat
seperti kebaikan dan kelayakan, keburukan dan ketidaklayakan merupakan
sifat-sifat yang memiliki kenyataan tunggal sebagai atribut untuk setiap
tindakan manusia tanpa harus merujuk pada pelaku dan kondisi tindakan tersebut?
Atau sebagai sifat-sifat hipostasi dan relatif saja? Hal ini sangat berhubungan sekali dengan independensi akal
dalam menilai sifat-sifat ini. Apakah logika manusia dengan sendirinya mampu
menilai baik dan buruknya setiap tindakan? Atau membutuhkan syariat untuk
memberikan penilaian terhadapnya? Mu'tazilah (non-determinism) berpendapat akan dzati-nya baik
dan buruk-baik pada esensinya baik dan buruk pada esensinya buruk-- dan
mengetengahkan masalah self-sufficients logistic (mustaqillatul-aqliyah) bahwa
dengan sangat jelas tanpa petunjuk syariat agama pun akal mampu memilah setiap
tindakan yang berbeda-beda. Adapun Asy'ariyah sebagaimana mereka mengingkari keadilan,
mereka juga mengingkari esensi baik dan buruk. Pertama, mereka menganggap bahwa
baik dan buruk itu relatif yang bergantung pada kondisi, waktu dan
lingkungannya, yang juga merupakan hasil rangkaian dari doktrin-doktrin. Kedua,
akal dalam menilai baik dan buruk harus mengikuti petunjuk syariat. Dengan kata
lain meminimalkan akal dalam menetukan baik dan buruk atau bahkan
mengabaikannya. Puncak perselisihan antara Asy'ariyah dan Mu'tazilah dalam
masalah keadilan Tuhan swt adalah ketika Mu'tazilah tidak mampu menjawab kritik
yang dilontarkan Asy'ariyah bahwa jika keadilan mencakup ikhtiar, baik dan
buruk logistis serta keterikatan tindakan Tuhan swt dengan tujuan-tujuan semua
tindakan-Nya, maka pendapat ini akan bertentangan dengan ke-Esaan tindakan
Tuhan swt (Tauhid fil Af'al) bahkan bertentangan dengan ke-Esaan Tuhan swt itu
sendiri. Karena ikhitar menurut Mu'tazilah merupakan bentuk penyerahan ikhtiar
yang ekstrim dan juga menafikan ikhtiar dari dzat-Nya. Keadilan Tuhan swt dalam Pandangan
Mazhab Syiah
Ketika seorang manusia melihat pada sesamanya, kemuadian ia
tidak mempunyai maksud buruk, menghormati hak-haknya, tidak membedakan antara
sesama, begitu juga ketika dalam ruang lingkup kekuasaan maupun pemerintahan
yang menyamaratakan semua tingkatan sosial, dan juga dalam sebuah perselisihan
ia memberikan dukungan dan pembelaan pada orang yang lemah dan tertindas serta
menentang kejahatan dan kesewenang-wenangan, tentunya kita akan memuji sikapnya
dan menganggap dia telah berbuat adil. Begitu juga kita akan menisbatkan
predikat "zalim" pada orang yang bertindak tidak sesuai dengan yang
diatas. Namun bagaimana dengan Tuhan swt? Pertama, apakah makna-makna yang digunakan untuk manusia
seperti keadilan dianggap sebagai sifat kesempurnaan, dan kezaliman sebagai
sifat ketidaksempurnaan wujud manusia? Lalu apakah makna tersebut juga layak
untuk eksistensiTuhan swt? Atau makna tersebut hanya menghukumi sosial individu
manusia saja yang merupakan bagian dari hikmah praktikal sikap dan tindakan
manusia? Kedua, kita umpamakan makna tersebut juga mencakup tindakan,
lalu apakah mungkin kezaliman itu muncul dari sisi Tuhan swt? Kita tidak
melihatnya dari segi mustahil atau tidaknya kezaliman yang muncul dari
dzat-Nya, atau dari segi baik dan buruk adalah sebuah pemahaman hasil dari
doktrin-doktrin syariat saja, atau tidak dari sudut pandang logika seperti yang
diungkapkan Asy'ariyah, melainkan kita melihatnya dari segi makna sederhana
bahwa keadilan adalah menjaga hak-hak orang lain dan kezaliman adalah merampas
hak-hak orang lain. Jelas bahwa ada istilah penting dan lebih penting atau
istilah kepemilikan (hak) dalam hubungan antar manusia, dan segala bentuk
pelanggaran terhadap kepentingan dan kepemilikan (hak) merupakan kezaliman.
Lalu bagaimana dengan Tuhan swt? Sedangkan apapun yang dimiliki oleh makhluk
berasal dari-Nya. Jika kita hubungkan antara kepemilikan (hak) manusia dengan
kepemilikan (hak) Tuhan swt, tentunya kepemilikan (hak) manusia dibawah
kapemilikan (hak) Tuhan swt, dan tidak sejarar (horizontal). Yang artinya,
Tuhan swt tidak bersekutu dengan manusia dalam kepemilikan (hak), karena apapun
yang manusia miliki, Tuhan swt tetap lebih berhak atasnya. Nah, kini kita
kembali kepada makna keadilan dan kezaliman diatas, maka kezaliman tidak
memiliki arti untuk Tuhan swt karena bukankah kezaliman adalah merampas atau
pelanggaran terhadap hak-hak orang lain, sedangkan kata "orang lain"
(yang berarti selain-Nya) bagi Tuhan swt sudah tidak ada lagi. Hal tersebut
karena apapun yang ada di alam semesta ini adalah milik-Nya, bahkan manusia itu
sendiri, atau dengan bahasa filsafat, eksistensi selain Tuhan (mumkinun wujud)
adalah bergantung pada eksistensi-Nya. Lain halnya dengan pemahaman Asy'ariyah maupun Mu'tazilah,
dalam mazhab Syiah makna global keadilan Tuhan swt tidak berdampak buruk
terhadap Tauhid fil Af''al (ke-Esaan tindakan Tuhan) dan Ke-Esaan Tuhan swt.
Syiah melihat keadilan dan independensi akal serta kebebasan manusia dalam
berkehendak telah ditetapkan tanpa ada kontradiksi dengan ke-Esaan Tuhan swt,
atau ikhtiar yang dimiliki manusia ketika melakukan tindakan dan tidak
menempatkan manusia pada posisi sebagai sekutu Tuhan swt. Dalam mazhab Syiah, masalah-masalah yang berhubungan dengan
tauhid, kecenderungan didalamnya pun juga sepenuhnya berkisar tentang
ketauhidan. Tauhid disini diartikan dengan kesatuan bukan ke-Esaan, yang
artinya atribut atau sifat Tuhan itu menyatu dalam dzat-Nya, termasuk
didalamnya keadilan Tuhan. Pandangan Syiah ini adalah jalan tengah dari dua
pemikiran, Mu'tazilah dan Asy'ariyah. Pada satu sisi Syiah menolak pandangan
Asy'ariyah dan sependapat dengan Mu'tazilah dengan perbedaan bahwa Mu'tazilah menafikan
sifat Tuhan, kemudian memposisikan Dzat-Nya sebagai pengganti sifat tersebut.
Adapun Syiah meyakini kesatuan wujud antara sifat dan dzat-Nya, artinya tidak
ada pemisahan antara sifat dan dzat Allah swt. Pada sisi lain, Syiah sependapat
dengan Asy'ariyah dalam ke-Esaan Tindakan Tuhan swt, dengan perbedaan bahwa
Syiah tidak menafikan hukum kausalitas dan sebab-akibat. Tidak seperti
Asy'ariyah yang menafikan semua hukum kausalitas dan sebab-akibat dalam
tindakan Tuhan swt, karena menurut mereka hal demikian merupakan satu bentuk
dari keterkaitan dan pembebanan tugas atau tanggung jawab terhadap kehendak
Tuhan swt yang bertentangan dengan kemuliaan dan kekuasaan mutlak Tuhan swt,
seperti yang telah disebutkan diatas. Disinilah pemahaman seseorang tentang Ta'tsirul Istiqlali
(independent effect) akan sangat membantu menjelaskan masalah ini. Bahwa
setelah semua makhluk hidup melewati tahap penciptaan, dalam setiap tindakan
mereka, tidak lepas dari eksistensi Tuhan swt. Kemudian dampak yang ditimbulkan
dari tindakan mereka tetap dibawah izin dan naungan kekuasaan Tuhan swt. Maka
sebenarnya tidak ada satu wujud pun selain-Nya yang memiliki dampak independent
dalam setiap tindakannya. Karena hanya Dialah yang mampu bertindak tanpa
memerlukan wujud selain diri-Nya. Kata keadilan biasa didefinisikan dalam dua tempat. Pertama,
Keadilan sebagai lawan dari kezaliman yang akan berarti memberikan hak-hak
orang lain. Definisi pertama ini tidak masuk dalam pembahasan ini. Karena
ketika kita masuk dalam pembahasan keadilan Tuhan swt, tidak mungkin kezaliman
muncul dari wujud Tuhan swt. Kedua, keadilan yang memiliki jangkauan yang lebih
luas dari yang pertama, yaitu meletakkan segala sesuatu tepat pada tempatnya.
Menurut definisi kedua ini, keadilan sama artinya dengan hikmah, keseimbangan,
dan kesejajaran. Namun masalahnya adalah, apakah keadilan Tuhan swt juga
berarti bahwa Tuhan swt menciptakan makhluk-makhluk-Nya sama tanpa ada
perbedaan? Dan apakah hal ini sesuai dengan hikmah penciptaan? Dapat kita bayangkan jika keadilan itu selalu menuntut
kesamaan terutama dalam penciptaan, yang pada akhirnya akan menghacurkan
ciptaan itu sendiri. Sebagai contoh, seperti yang disebutkan dalam al-Quran: "Allah tidak akan membebani seseorang kecuali sesuai
dengan kemampuannya".( surat Al-Baqarah ayat 286) Oleh karena itu, akal kita pun meyakini bahwa keadilan harus
selalu sejalan dan sejajar dengan hikmah dan tidak membatasi makna keadilan
pada kesamaan (equal) saja, karena hal tersebut justru akan berlawanan dengan
yang telah didefinisikan. Dengan alasan inilah, kehendak dan ikhtiar Tuhan swt dalam
penciptaan selalu dalam ruang lingkup kemungkinan (possibility), sesuai dengan
potensinya dan hikmah penciptaan itu sendiri. Dan salah satu hikmah penciptaan
manusia adalah kebebasan yang diberikan Tuhan swt untuk memilih dan berkehendak
sesuai kehendak manusia. Yang pada tahap berikutnya, manusia bisa menentukan
jalan pilihannya untuk berbuat baik dan menuju pada kesempurnaan atau melakukan
perbuatan buruk yang akan berakhir dengan kesesatan. Karena untuk menentukan
pilihan yang tepat membutuhkan penafsiran pemahaman yang benar pula, maka
keadilan Tuhan swt pun menuntut untuk menyediakan sebuah perangkat atau wasilah
yang mampu membimbing dan menjaga manusia dalam mencapai tujuan penciptaan itu
sendiri yaitu "kesempurnaan". Perangkat dan wasilah yang akan
membimbing manusia menuju kesempurnaan yang sesuai dengan apa yang dikendaki
oleh penciptanya, kemudian dinamakan dengan syariat. Didalam syariat inilah
seluruh petunjuk, hukum-hukum dan kewajiban-kewajiban yang akan membantu
manusia untuk mencapai tujuan kesempurnaan perjalanannya menuju kekasihnya yang
abadi. Dari pembahasan diatas kita dapat mengambil beberapa
kesimpulan: Kedua, bahwa makna universal keadilan Tuhan swt tidak
menimbulkan dampak buruk terhadap pemahaman ke-Esaan eksistensi dan tindakan
Tuhan swt. Ketiga, keadilan Tuhan swt selalu berputar pada poros
hikmah, termasuk dalam penciptaan manusia dimana salah satu bukti keadilan
Tuhan swt adalah dengan memberikan syariat kepada manusia untuk membantu
manusia meraih kesempurnaan penciptaannya. Jawaban beberapa kritik atas keadilan
Tuhan
Sebelum kita akhiri pembahasan ini, ada baiknya jika kita
renungkan kembali beberapa jawaban dari kritik atas keadilan Tuhan swt: 1- Apakah perbedaan dalam penciptaan pada khususnya untuk
manusia, sesuai dengan keadilan Tuhan swt? Jawabannya adalah, seperti yang
telah kita sebutkan diatas, jika kita renungkan sedikit lebih dalam lagi, maka
penyamarataan dalam penciptaan justru akan menimbulkan ketidakseimbangan dan
kehancuran. 2- Apabila hikmah Tuhan swt menuntut untuk menciptakan
manusia agar hidup di dunia ini, lalu mengapa pula ia harus mencabut nyawanya?
Pertama, hidup dan mati adalah hukum alam dan berhubungan dengan hukum sebab
dan akibat, juga merupakan kelaziman dalam pencptaan. Kedua, jika saja semua
makhluk hidup tidak mati dan abadi, maka tidak ada kesempatan bagi generasai
berikutnya untuk hidup di dunia ini. Ketiga, anggap saja bahwa semua makhluk
hidup tidak akan mati, maka tidak berapa lama lagi bumi akan sangat sempit
untuk mereka dan pada akhirnya karena tekanan hidup-yang pasti akan terjadi
ketegangan didalamnya diakibatkan interaksi yang tidak seimbang-mereka akan
mengharapkan kematian. Keempat, tujuan pokok pencpitaan manusia-menurut Tuhan
swt-- adalah sampai pada kebahagiaan abadi dan tanpa batas, hal ini tidak akan
pernah terwujud tanpa kematian. 3- Bagaimana keadilan Tuhan swt sesuai dengan
kejadian-kejadian seperti bencana alam, penyakit, atau peritiwa sosial seperti
kekejaman dan perang? Pertama, terjadinya bencana alam karena sesuai dengan
reaksi terhadap sebab-sebab sebab alam, dan hal ini tetap dalam ruang lingkup
hikmah --baik maknawi maupun materi--, karena kerugian yang ditimbulkan olehnya
tidak lebih besar dari manfaatnya. Kedua, dengan terjadinya peristiwa ini,
manusia lebih dituntut untuk mengkaji hikmah yang ada dibalik peristiwa ini,
yang akan membantu manusia memahami hidup dengan benar. 4- Dimana keadilan Tuhan swt ketika Dia memberikan siksaan
abadi untuk orang-orang yang melakukan dosa di dunia ini? Seperti halnya jika
seseorang yang membutakan mata seseorang yang terjadi hanya dalam beberapa saat
saja, namun akibatnya orang tersebut harus merasakannya seumur hidupnya. Begitu
juga dengan dosa-dosa besar yang dilakukan seseorang di dunia ini, akan
menyebabkan dirinya harus menerima siksaan abadi di akhirat nanti. Namun
keadilan Tuhan swt juga memberikan manusia kesempatan utnuk memperbaikinya
dengan jalan taubat. Maka jika ada harus ada siksaan abadi di akhirat nanti,
sama sekali itdak bertentangan dengan hikmah ketuhanan YME, karena tentunnya
orang tersebut melakukan dosa dengan kesadaran penuh akan hasil perbuatannya
nanti.[ISLAT] |