ISLAM DAN PLURALITAS-PLURALISME AGAMADeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Oleh Abd Moqsith Ghazali
Pengertian Dasar
Kata “pluralisme” berasal dari bahasa Inggris, pluralism.
Kata ini diduga berasal dari bahasa Latin, plures, yang berarti beberapa dengan
implikasi perbedaan. Dari asal-usul kata ini diketahui bahwa pluralisme agama
tidak menghendaki keseragaman bentuk agama. Sebab, ketika keseragaman sudah
terjadi, maka tidak ada lagi pluralitas agama (religious plurality).
Keseragaman itu sesuatu yang mustahil. Allah menjelaskan bahwa sekiranya
Tuhanmu berkehendak niscaya kalian akan dijadikan dalam satu umat. Pluralisme agama tidak hendak menyatakan bahwa semua agama
adalah sama. Frans Magnis-Suseno berpendapat bahwa menghormati agama orang lain
tidak ada hubungannya dengan ucapan bahwa semua agama adalah sama. Agama-agama
jelas berbeda-beda satu sama lain. Perbedaan-perbedaan syari`at yang menyertai
agama-agama menunjukkan bahwa agama tidaklah sama. Setiap agama memiliki
konteks partikularitasnya sendiri sehingga tak mungkin semua agama menjadi
sebangun dan sama persis. Yang dikehendaki dari gagasan pluralisme agama adalah
adanya pengakuan secara aktif terhadap agama lain. Agama lain ada sebagaimana
keberadaan agama yang dipeluk diri yang bersangkutan. Setiap agama punya hak
hidup. Nurcholish Madjid menegaskan, pluralisme tidak saja
mengisyaratkan adanya sikap bersedia mengakui hak kelompok agama lain untuk
ada, melainkan juga mengandung makna kesediaan berlaku adil kepada kelompok
lain itu atas dasar perdamaian dan saling menghormati. Allah berfirman, “Allah
tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tidak memerangi dalam urusan agama dan tidak pula mengusir kamu dari
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. QS,
al-Mumtahanah [60]: ayat 8 Paparan di atas menyampaikan pada suatu pengertian sederhana
bahwa pluralisme agama adalah suatu sistem nilai yang memandang keberagaman
atau kemajemukan agama secara positif sekaligus optimis dengan menerimanya
sebagai kenyataan (sunnatullâh) dan berupaya untuk berbuat sebaik mungkin
berdasarkan kenyataan itu. Dikatakan secara positif, agar umat beragama tidak
memandang pluralitas agama sebagai kemungkaran yang harus dibasmi. Dinyatakan
secara optimis, karena kemajemukan agama itu sesungguhnya sebuah potensi agar
setiap umat terus berlomba menciptakan kebaikan di bumi. Sikap terhadap non-Muslim
Pluralitas agama dan umat beragama adalah kenyataan. Sebelum
Islam datang, di tanah Arab sudah muncul berbagai jenis agama, seperti Yahudi,
Nashrani, Majusi, Zoroaster dan Shabi’ah. Suku-suku Yahudi sudah lama terbentuk
di wilayah pertanian Yatsrib (kelak disebut sebagai Madinah), Khaibar, dan
Fadak. Di wilayah Arab ada beberapa komunitas Yahudi yang terpencar-pencar dan
beberapa orang sekurang-kurangnya disebut Kristen. Pada abad ke empat sudah
berdiri Gereja Suriah. Karena itu tak salah jika dinyatakan, Islam lahir dalam
konteks agama-agama terutama agama Yahudi dan Nashrani. Al-Qur’an memiliki pandangan sendiri dalam menyikapi
pluralitas umat beragama tersebut.Terhadap Ahli Kitab (meliputi Yahudi,
Nashrani, Majusi, dan Shabi’ah), umat Islam diperintahkan untuk mencari titik
temu (kalimat sawa`). Kalau terjadi perselisihan antara umat Islam dan umat
agama lain, umat Islam dianjurkan untuk berdialog (wa jâdilhum billatî hiya
ahsan). Terhadap siapa saja yang beriman kepada Allah, meyakini Hari Akhir, dan
melakukan amal kebajikan, al-Qur`an menegaskan bahwa mereka, baik beragama
Islam maupun bukan, kelak di akhirat akan diberi pahala. Tak ada keraguan bahwa
orang-orang seperti ini akan mendapatlan kebahagiaan ukhrawi. Ini karena,
sebagaimana dikemukakan Muhammad Rasyid Ridla, keberuntungan di akhirat tak
terkait dengan jenis agama yang dianut seseorang. Al-Qur’an mengijinkan sekiranya umat Islam hendak bergaul
bahkan menikah dengan Ahli Kitab. Tidak sedikit para sahabat Nabi yang
memperisteri perempuan-perempuan dari kalangan Ahli Kitab. Utsman ibn `Affan,
Thalhah ibn Abdullah, Khudzaifah ibn Yaman, Sa`ad ibn Abi Waqash adalah di
antara sahabat Nabi yang menikah dengan perempuan Ahli Kitab. Alkisah,
Khudzaifah adalah salah seorang sahabat Nabi yang menikah dengan perempuan
beragama Majusi. Nabi Muhammad juga pernah memiliki budak perempuan beragama
Kristen, Maria binti Syama`un al-Qibtiyah al-Mishriyah. Dari perempuan ini,
Nabi memiliki seorang anak laki-laki bernama Ibrahim. Ia meninggal dalam usia
balita. Sejarah juga menuturkan, ayah kandung dari Shafiyah binti Hayy yang
menjadi isteri Nabi adalah salah seorang pimpinan kelompok Yahudi. Nabi Muhammad dan para pengikutnya sangat intens
berkomunikasi dengan orang-orang Ahli Kitab. Muhammad muda pernah mendengarkan
khotbah Qus ibn Sâ`idah, seorang pendeta Kristen dari Thaif. Muhammad Husain
Haikal, sebagaimana dikutip Khalîl Abdul Karim, menjelaskan isi khotbah Qus ibn
Sâ`idah itu sebagai berikut; “Wahai manusia, dengarkan dan sadarlah. Siapa yang hidup
pasti mati, dan siapa yang mati pasti musnah. Semuanya pasti akan datang. Malam
gelap gulita, langit yang beribntang, laut yang pasang, bintang-bintang yang
bercahaya, cahaya dan kegelapan, kebaikan dan kemaksiatan, makanan dan minuman,
pakaian dan kendaraan. Aku tidak melihat manusia pergi dan tidak kembali,
menetap dan tinggal di sebuah tempat, atau meninggalkannya kemudian tidur.
Tuhannya Qus ibn Sa’adah tidak ada di muka bumi. Agama yang paling mulia
semakin dekat waktunya denganmu, semakin dekat saatnya. Maka sungguh beruntung
bagi orang yang mendapati dan kemudian mengikutinya, dan celaka bagi yang mengingkarinya”. Muhammad Husain Haikal melanjutkan kisah tentang Qus ibn
Sâ`idah. Alkisah, utusan Bani Iyad–suku Qus ibn Sa`îdah–menemui Nabi. Nabi
bertanya keberadaan Qus. Mereka menjawab, Qus ibn Sâ`idah sudah meninggal
dunia. Mendengar informasi tersebut, Nabi teringat akan khotbahnya di Pasar
Ukazh; ia menunggang unta yang berwarna keabuan sambil berbicara. Tapi, aku
tidak hafal detail ungkapannya. Seseorang (ada yang bilang Abu Bakar) berkata,
“saya hafal wahai Nabi”. Ia kemudian merapalkan isi khotbah Qus tersebut.
Rasulullah berkata, “semoga Tuhan memberi rahmat kepada Qus dan aku berharap
agar ia kelak di hari kiamat dibangkitkan dalam umat yang mengesakan-Nya”.
`Imad al-Shabbâgh menceritakan, Nabi pada akhirnya hafal isi khutbah Qus
tersebut. Nabi bersabda, berbeda dengan kecenderungan orang-orang Arab yang
menyembah patung, Qus salah seorang yang menyembah Allah Yang Esa. Pengakuan tentang kenabian Muhammad datang pertama kali dari
pendeta Yahudi bernama Buhaira dan tokoh Kristen bernama Waraqah ibn Nawfal.
Melalui pendeta Buhaira terdengar informasi, Muhammad akan menjadi nabi
pamungkas (khâtam al-nabiyyîn). Buhairâ (kerap disebut Jirjis atau Sirjin)
pernah mendengar hâtif (informasi spritual) bahwa ada tiga manusia paling baik
di permukaan bumi ini, yaitu Buhaira, Rubab al-Syana, dan satu orang lagi
sedang ditunggu. Menurutnya, yang ketiga itu adalah Muhammad ibn Abdillah. Dan
ketika Muhammad baru pertama kali mendapatkan wahyu, Waraqah menjelaskan bahwa
sosok yang datang kepada Muhammad adalah Namus yang dulu juga datang kepada
Nabi Musa. Waraqah mencium kening Muhammad sebagai simbol pengakuan terhadap
kenabiannya, seraya berkata, “Berbahagialah, berbahagialah. Sesungguhnya kamu
adalah orang yang dikatakan `Isa ibn Maryam sebagai kabar gembira. Engkau seperti
Musa ketika menerima wahyu. Engkau seorang utusan”. Nabi pernah bersabda bahwa
Waraqah akan dimasukkan ke dalam surga oleh Allah. Nabi Muhammad tak menganggap ajaran agama sebelum Islam
sebagai ancaman. Islam adalah terusan dan kontinyuasi dari agama-agama
sebelumnya. Allah berfirman kepada Nabi Muhammad agar ia mengikuti agama Nabi
Ibrahim (millat Ibrahim). Sebagaimana Isa al-Masih datang untuk menggenapi
hukum Taurat, begitu juga Nabi Muhammad. Ia hadir bukan untuk menghapuskan
Taurat dan Injil, melainkan untuk menyempurnakan dan mengukuhkannya. Disebutkan
dalam al-Qur’an, “Dia menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepadamu dengan
sebenarnya, membenarkan kitab (mushaddiq) yang telah diturunkan sebelumnya dan
menurunkan Taurat dan Injil sebelum al-Qur’an menjadi petunjuk bagi manusia dan
Dia menurunkan al-Furqan”. Al-Qurthubi mengutip pendapat jumhur ulama yang menyatakan
bahwa arti kata mushaddiq dalam ayat itu adalah muwâfiq (cocok atau sesuai).
Menurut Ibnu `Abbâs dan al-Dlahhak, makna atau esensi dasar ajaran al-Qur’an
sesungguhnya telah tercantum dalam kitab-kitab sebelum al-Qur’an semisal Taurat
Musa, Shuhuf Ibrahim. Yang berbeda hanya redaksionalnya bukan makna atau
esensinya. Ketika ragu tentang sebuah wahyu, al-Qur’an memerintahkan Nabi
Muhammad untuk bertanya pada orang-orang yang sudah membaca kitab-kitab sebelum
al-Qur’an. Sebab, di dalam kitab-kitab suci itu, ada prinsip-prinsip dasar yang
merekatkan seluruh ajaran para nabi. Ini tidak berarti bahwa semua agama adalah sama. Sebab, di
samping memang mengandung kesamaan tujuan untuk menyembah Allah dan berbuat
baik, tak bisa dipungkiri bahwa setiap agama memiliki keunikan, kekhasan, dan
syari`atnya sendiri. Sebagian mufasir berkata, al-dîn wâhid wa al-syarî`at
mukhtalifat [agama itu satu, sementara syari`atnya berbeda-beda]. Detail-detail
syari`at ini yang membedakan satu agama dengan agama lain. Sebab, tidaklah
mustahil bahwa sesuatu yang bernilai maslahat dalam suatu tempat dan waktu
tertentu, kemudian berubah menjadi mafsadat dalam suatu ruang dan waktu yang
lain. Bila kemaslahatan dapat berubah karena perubahan konteks, maka dapat saja
Allah menyuruh berbuat sesuatu karena diketahui mengandung maslahat, kemudian
Allah melarangnya pada waktu lain karena diketahui ternyata aturan tersebut
tidak lagi menyuarakan kemaslahatan. Namun, perbedaan syari`at itu tak menyebabkan Islam
kehilangan apresiasinya terhadap para nabi. Dalam pandangan Islam, semua nabi
adalah bersaudara. Nabi Muhammad bersabda, “tak ada orang yang paling dekat
hubungan kekerabatannya dengan Isa al-Masih ketimbang aku”. Ia bersabda, umat
Islam yang mengimani Nabi Isa dan Muhammad SAW akan mendapatkan dua pahala.
Nabi Muhammad juga bersabda, sebagaimana dalam Shahih Bukhari, ”sesungguhnya
perumpamaan antara aku dengan para nabi sebelumnya adalah ibarat seseorang yang
membangun sebuah rumah. Lalu ia buat rumah itu bagus dan indah, kecuali ada
tempat bagi sebuah ubin di sebuah sudut. Orang banyak pun berkeliling rumah itu
dan mereka takjub, lalu berkata, “mengapa ubin itu tidak dipasang. Nabi
bersabda, “Akulah ubin itu, Aku adalah penutup para nabi”. Umat Islam pun
diperintahkan meyakini dan menghargai seluruh para nabi plus kitab suci yang
dibawanya. Jika para nabi yang membawa ajaran-ajaran ketuhanan itu dikatakan
Muhammad sebagai bersaudara, maka para pengikut atau pemeluk agama-agama itu
disebut sebagai Ahli Kitab. Ketika Nabi Muhammad memasuki Mekah dengan kemenangan dan
menyuruh menghancurkan berhala dan patung, dia menemukan gambar Bunda Maria
(Sang Perawan) dan Isa al-Masih (Sang Anak) di dalam Ka`bah. Dengan menutupi
gambar tersebut dengan jubahnya, dia memerintahkan semua gambar dihancurkan
kecuali gambar dua tokoh itu. Dalam riwayat lain disebutkan, yang diselamatkan
itu bukan hanya gambar Isa al-Masîh dan ibunya (Maryam), melainkan juga gambar
Nabi Ibrahim. Patung Maryam yang terletak di salah satu tiang Ka`bah dan patung
Nabi Isa di Hijirnya yang dipenuhi berbagai hiasan dibiarkan berdiri tegak.
Tindakan ini diceritakan berbagai sumber sebagai penghargaan Muhammad terhadap
Isa, Maryam (Bunda Maria), dan Ibrahim. Ini menunjukkan, sikap saling
menghargai telah dikukuhkan Nabi semenjak awal kehadiran Islam. Itulah sikap teologis al-Qur’an dalam merespons pluralitas
agama dan umat beragama. Sementara sikap sosial-politisnya berjalan dinamis dan
fluktuatif Adakalanya tampak mesra. Di kala yang lain, sangat tegang. Ketika
Romawi yang Kristen kalah perang melawan Persia, umat Islam ikut bersedih. Satu
ayat al-Qur’an turun menghibur kesedihan umat Islam tersebut. Disebutkan pula,
ketika Muhammad SAW mengadakan perjalanan ke Thaif, ia bertemu seorang budak
pemeluk agama Kristen bernama `Uddâs di Ninawi Irak (kota asal Nabi Yunus).
Ketika Muhammad dikejar-kejar, `Uddâs yang memberikan setangkai anggur untuk
dimakan. Diceritakan, ketika Muhammad dan pengikutnya mendapatkan
intimidasi dan ancaman dari kaum Musyrik Mekah, perlindungan diberikan raja
Abisinia yang Kristen. Puluhan sahabat Nabi hijrah ke Abisinia untuk
menyelamatkan diri, seperti `Utsman ibn `Affân dan istrinya (Ruqayah, puteri
Nabi), Abû Hudzaifah ibn `Utbah, Zubair ibn `Awwâm, Abdurrahman ibn `Auf,
Ja`far ibn Abî Thâlib, hijrah ke Abesinia untuk menghindari ancaman pembunuhan
kafir Quraisy. Disaat kafir Quraisy memaksa sang raja mengembalikan umat Islam
ke Mekah, ia tetap pada pendiriannya; pengikut Muhammad harus dilindungi dan
diberikan haknya memeluk agama. Sebuah ayat al-Qur`an menyebutkan, “kalian
(umat Islam) pasti mendapati orang-orang yang paling dekat persahabatannya
dengan orang-orang Islam adalah orang-orang yang berkata, “sesungguhnya kami
orang Kristen”. Disebutkan pula, waktu raja Najasyi meninggal dunia, Muhammad
SAW pun melaksanakan shalat jenazah dan memohonkan ampun atasnya. Alkisah, Nabi pernah menerima kunjungan para tokoh Kristen
Najran yang berjumlah 60 orang. Rombongan dipimpin Abdul Masih, al-Ayham dan
Abu Haritsah ibn Alqama. Abu Haritsah adalah seorang tokoh yang disegani karena
kedalaman ilmunya dan konon karena beberapa karomah yang dimilikinya. Menurut
Muhammad ibn Ja’far ibn al-Zubair, ketika rombongan itu sampai di Madinah,
mereka langsung menuju mesjid tatkala Nabi melaksanakan shalat ashar bersama
para sahabatnya. Mereka datang dengan memakai jubah dan surban, pakaian yang
juga lazim dikenakan Muhammad SAW. Ketika waktu kebaktian telah tiba, mereka
pun tak mencari gereja. Nabi Muhammad memperkenankan rombongan melakukan
kebaktian atau sembahyang di dalam mesjid. Hal yang sama juga dilakukan Nabi pada kalangan Yahudi.
Ketika pertama sampai di Madinah, Nabi membuat konsensus untuk mengatur tata
hubungan antara kaum Yahudi, Musyrik Madinah, dan Islam. Traktat politik itu
dikenal dengan “Piagam Madinah” atau “Miytsâq al-Madînah”, dibuat pada tahun
pertama hijriyah. Sebagian ahli berpendapat bahwa Piagam Madinah itu dibuat
sebelum terjadinya perang Badar. Sedang yang lain berpendapat bahwa Piagam itu
dibuat setelah meletusnya perang Badar. Piagam ini memuat 47 pasal. Pasal-pasal
ini tak diputuskan sekaligus. Menurut Ali Bulac, 23 pasal yang pertama
diputuskan ketika Nabi baru beberapa bulan sampai di Madinah. Pada saat itu,
Islam belum menjadi agama mayoritas. Berdasarkan sensus yang dilakukan ketika
pertama kali Nabi berada di Madinah itu, diketahui bahwa jumlah umat Islam
hanya 1.500 dari 10.000 penduduk Madinah. Sementara orang Yahudi berjumlah 4000
orang dan orang-orang Musyrik berjumlah 4.500 orang. Dikatakan dalam piagam tersebut misalnya bahwa seluruh
penduduk Madinah, apapun latar belakang etnis dan agamanya, harus saling
melindungi tatkala salah satu di antara mereka mendapatkan serangan dari luar.
Sekiranya kaum Yahudi mendapatkan serangan dari luar, maka umat Islam membantu
menyelamatkan nyawa dan harta benda mereka. Begitu juga, tatkala umat Islam
diserang pihak luar, maka kaum Yahudi ikut melindungi dan menyelamatkan. Pada
paragraf awal Piagam itu tercantum “Jika seorang pendeta atau pejalan
berlindung di gunung atau lembah atau gua atau bangunan atau dataran raml atau
Radnah (nama sebuah desa di Madinah) atau gereja, maka aku (Nabi) adalah
pelindung di belakang mereka dari setiap permusuhan terhadap mereka demi
jiwaku, para pendukungku, para pemeluk agamaku dan para pengikutku, sebagaimana
mereka (kaum Nashrani) itu adalah rakyatku dan anggota perlindunganku”. Apa yang dilakukan Nabi Muhammad di Madinah ini
menginspirasi Umar ibn Khattab untuk membuat traktat serupa di Yerusalem,
dikenal dengan “Piagam Aelia”, ketika Islam menguasai wilayah ini. Piagam ini
berisi jaminan keselamatan dari penguasa Islam terhadap penduduk Yerusalem,
yang beragama non-Islam sekalipun. Salah satu penggalan paragrafnya berbunyi: “Inilah jaminan keamanan yang diberikan Abdullah, Umar,
Amirul Mukminin kepada penduduk Aelia: Ia menjamin keamanan mereka untuk jiwa
dan harta mereka, dan untuk gereja-gereja dan salib-salib mereka, dalam keadaan
sakit maupun sehat, dan untuk agama mereka secara keseluruhan. Gereja-gereja
mereka tidak akan diduduki dan tidak pula dirusak, dan tidak akan dikurangi
sesuatu apapun dari gereja-gereja itu dan tidak pula dari lingkungannya, serta
tidak dari salib mereka, dan tidak sedikitpun dari harta kekayaan mereka (dalam
gereja-gereja itu). Mereka tidak akan dipaksa meninggalkan agama mereka, dan
tidak seorang pun dari mereka boleh diganggu”. Muhammad Rasyîd Ridlâ menuturkan bahwa Umar ibn Khattab
pernah mengangkat salah seorang stafnya dari Romawi. Ini juga dilakukan Utsman
ibn Affan, Ali ibn Abi Thalid, raja-raja Bani Umayyah hingga suatu waktu Abdul
Malik ibn Marwan menggantikan staf orang Romawi ke orang Arab. Daulah Abbasiyah
juga banyak mengangkat staf dari kalangan Yahudi, Nashrani, dan Shabiun. Daulah
Utsmaniyah juga mengangkat duta besar di negara-negara asing dari kalangan
Nashrani Di kala yang lain, hubungan umat Islam dengan umat agama
lain itu tegang bahkan keras. Islam pernah berkonflik dengan Yahudi, juga
dengan Kristen. Sejauh yang bisa dipantau, sikap tegas dan keras yang
ditunjukkan al-Qur`an lebih merupakan reaksi terhadap pelbagai penyerangan
orang-orang non-Muslim dan orang-orang Musyrik Mekah. Islam bukanlah agama yang
memerintahkan umat Islam untuk menyerahkan pipi kiri ketika pipi kanan
ditampar. Membela diri dan melawan ketidakadilan dibenarkan. Dalam konteks
itulah, ayat jihad dan perang dalam al-Qur`an diturunkan. Jihad melawan
keganasan orang-orang Musyrik dan Kafir Mekah tak dilarang, bahkan
diperintahkan. Sebab, orang-orang Musyrik Mekah bukan hanya telah
mengintimidasi umat Islam, tetapi juga mengusir umat Islam dari kediamannya. Fakta ini membenarkan sebuah pandangan bahwa peperangan pada
zaman Nabi dipicu karena persoalan ekonomi-politik daripada soal agama atau
keyakinan. Ini bisa dimaklumi karena al-Qur’an sejak awal mendorong terwujudnya
kebebasan beragama dan berkeyakinan. Al-Qur’an tak memaksa seseorang memeluk
Islam. Allah berfirman (QS, al-Baqarah [2]: 256), lâ ikrâha fî al-dîn (tak ada
paksaan dalam soal agama). Di ayat lain (QS, al-Kafirun [106]: 6) disebutkan,
lakum dinukum wa liya dini [untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku].
Al-Qur’an memberikan kebebasan kepada manusia untuk beriman dan kafir [Faman
syâ’a falyu’min waman syâ’a falyakfur] (QS, al-Kahfi [18]: 29). Al-Qur’an
melarang umat Islam untuk mencerca patung-patung sesembahan orang-orang
Musyrik. Al-Qur’an tak memberikan sanksi hukum apapun terhadap orang Islam yang
murtad. Seakan al-Qur’an hendak menegaskan bahwa soal pindah agama merupakan
soal yang bersangkutan dengan Allah. Tuhan yang akan memberikan keputusan hukum
terhadap orang yang pindah agama, kelak di akhirat. Sejarah mencatat,
Rasulullah tak pernah menghukum bunuh orang yang pindah agama. Penutup Oleh karena itu, jelas bahwa pandangan al-Qur’an terhadap umat
agama lain dalam soal ekonomi-politik bersifat kondisional dan situasional
sehingga tak bisa diuniversalisasikan dan diberlakukan dalam semua keadaan.
Ayat demikian bisa disebut sebagai ayat-ayat fushul (fushûl al-Qur’ân), ayat
juz’iyyât, atau fiqh al-Qur’an. Ayat-ayat kontekstual seperti itu, dalam
pandangan para mufasir, tak bisa membatalkan ayat-ayat yang memuat
prinsip-prinsip umum ajaran Islam, seperti ayat yang menjamin kebebasan
beragama dan berkeyakinan. Tambahan pula, ayat lâ ikrâha fî al-dîn adalah
termasuk lafzh `âm (pernyataan umum) yang menurut ushul fikih Hanafi adalah
tegas dan pasti (qath`i), sehingga tak bisa dihapuskan (takhshish, naskh) oleh
ayat-ayat kontekstual apalagi hadits ahâd (seperti hadits yang memerintahkan
membunuh orang pindah agama) yang dalâlahnya adalah zhanni (relatif). Ayat lâ
ikrâha fî al-dîn bersifat universal, melintasi ruang dan waktu. Ayat yang
berisi nilai-nilai umum ajaran disebut sebagai ayat ushûl (ushûl al-Qur’ân)
atau ayat kulliyât. Dalam masyarakat plural seperti Indonesia, saatnya umat
Islam lebih memperhatikan ayat-ayat universal, setelah sekian lama memfokuskan
diri pada ayat-ayat partikular. Ayat-ayat partikular pun kerap dibaca dengan
dilepaskan dari konteks umum yang melatar-belakangi kehadirannya. Berbeda
dengan ayat-ayat partikular, ayat-ayat universal mengandung pesan-pesan dan
prinsip-prinsip umum yang berguna untuk membangun tata kehidupan Indonesia yang
damai. Untuk membangun Indonesia yang damai tersebut, maka beberapa
langkah berikut perlu dilakukan. Pertama, harus dibangun pengertian bersama dan
mencari titik temu (kalimat sawa`) antar umat beragama. Ini untuk membantu
meringankan ketegangan yang kerap mewarnai kehidupan umat beragama di
Indonesia. Dalam konteks Islam, membangun kerukunan antar-umat beragama jelas
membutuhkan tafsir al-Qur’an yang lebih menghargai umat agama lain. Tafsir
keagamaan eksklusif yang cenderung mendiskriminasi umat agama lain tak cocok
buat cita-cita kehidupan damai, terlebih di Indonesia. Sebab, sudah maklum,
Indonesia adalah negara bangsa yang didirikan bukan hanya oleh umat Islam,
tetapi juga oleh umat lain seperti Hindu, Budha, dan Kristen. Dengan demikian,
di Indonesia tak dikenal warga negara kelas dua (kafir dzimmi) sebagaimana
dikemukakan sebagian ulama. Menerapkan tafsir-tafsir keagamaan eksklusif tak
cukup menolong bagi terciptanya kerukunan dan kedamaian Kedua, setiap orang perlu menghindari stigmatisasi dan
generalisasi menyesatkan tentang umat agama lain. Generalisasi merupakan
simplifikasi (penyederhanaan) dan stigmatisasi adalah merugikan orang lain.
Al-Qur’an berusaha untuk menjauhi generalisasi. Al-Qur’an menyatakan, tak
seluruh Ahli Kitab memiliki perilaku dan tindakan sama. Di samping ada yang
berperilaku jahat, tak sedikit di antara mereka yang konsisten melakukan amal
saleh dan beriman kepada Allah. Ketiga, sebagaimana diperintahkan al-Qur’an dan diteladankan
Nabi Muhammad, umat Islam seharusnya memberikan perlindungan dan jaminan
terhadap implementasi kebebasan beragama dan berkeyakinan. Sebagaimana orang
Islam bebas menjalankan ajaran agamanya, begitu juga dengan umat dan sekte
lain. Seseorang tak boleh didiskriminasi dan diekskomunikasi berdasarkan agama
yang dipilih dan diyakininya. Dalam kaitan ini, umat Islam perlu mengembangkan
sikap toleran, simpati dan empati terhadap kelompok atau umat agama lain.[] Makalah pengantar untuk bedah bukuku di universitas
paramadina jakarta, 31 maret 2009 Sumber: |