Imajinasi: Kekuatan Yang Harus Tunduk Pada AkalDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Oleh: M SAID MARSAOLY*
Ruang imajinatif memang telah menjadi kamar tersendiri dalam
rumah besar bernama pengetahuan. Baik rumah yang berfondasi indera maupun yang
berdasar rasio. Seluruhnya menerima imajinasi sebagai anak kandung yang amat
disayangi bahkan selalu dipuji dan diagungkan. Namun, sekali lagi, benarkah
karena itu imajinasi lebih penting dari pengetahuan? Tulisan ini memang tergelitik oleh tulisan lain di rubrik
ini, dari Bagus Takwin (Kompas, 6/12/2008) yang meminjam ungkapan Einstein,
“imajinasi lebih penting dari pengetahuan”. Tulisan yang seakan telah
merepresentasikan teori masyhur Einstein, E=mc . Bahwa, menurut Takwin,
imajinasilah yang membawa Einstein pada pemahaman tentang relativisme gerak.
Kita akan periksa ini. TEMPAT ISTIMEWA
Imajinasi memang telah mendapat tempat yang istimewa dalam
kesusastraan dan seni. Namun meletakkan imajinasi sebagai instrumen memperbarui
kebenaran adalah hal yang (memiliki konsekuensi) tersendiri. Dari mana
sebenarnya asal kebenaran? Dengan instrumen apa manusia mengenali kebenaran?
Dan apakah kebenaran mengalami perubahan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut telah menyedot perhatian
berbagai kalangan dari dulu hingga kini dan “kebenaran” tinggal menjadi misteri
filsafat hingga saat ini. Hal itu akan semakin kompleks bahkan khaotis bila
pengetahuan manusia tidak mampu membedakan antara konsepsi dan afirmasi
(gagasan dan penilaian). Dalam filsafat Islam, keduanya dikenal dengan tasawwur
dan tasdiq. Bukankah dua persoalan itu telah menelurkan dua gagasan
besar dalam jagat filsafat? Dan bukankah munculnya rasionalisme dan empirisme
terbukti tidak mampu keduanya sebagai sumber pokok pengetahuan. IMAJINASI MENUJU PERSEPSI
Dalam epistemologi, imajinasi ditempatkan pada urutan kedua
setelah indera sebagai perangkat dasar pengetahuan. Hal itu disebabkan
imajinasi tidak dapat berdiri sendiri. Imajinasi dapat bekerja setelah indera
mempersepsi obyek tertentu. Obyek itu kemudian tersimpan dalam benak manusia
dalam bentuk imateriil. Karena itu, imajinasi hanya dapat mendeskripsikan sesuatu
meskipun indera telah terputus dari realitas material. Namun, ia tidak dapat
menetapkannya sebagai sebuah pengetahuan baru. Maka, proses kreativitas manusia
dalam dunia obyek (world of objects) adalah kesimpulan dan ketetapan akal bukan
imajinasi. Misalnya, pertanyaan kita kenapa burung dapat terbang?
Pertanyaan “kenapa” adalah ciri akal-rasional. Bukankah dalam imajinasi tidak
dapat menetapkan kausalitas? Ia adalah konsepsi primer yang muncul dalam akal. Dalam tradisi pemikiran Islam biasanya diterima tiga tingkat
pemikiran manusia. Dan rasionalitas atau logika ada di tingkat pertama. Yang
kedua adalah hal yang bersifat spiritual, rohaniah. Yang ini terkait dengan
perasaan-perasaan atau pengalaman-pengalaman keagamaan. Di antara keduanyalah
terletak imajinasi. Filosof seperti Mullah Sadra (1571-1640) menyebut, persepsi
tentang dunia fisik eksternal, penglihatan misalnya, terjadi ketika jiwa
mempersepsi. Kemudian jiwa menciptakan bentuk imateriil yang sama dengan obyek
eksternal melalui iluminasi akal aktif, ketika organ penglihatan dan segala
kondisi yang dipersyaratkan terpenuhi. Bentuk ini kemudian hadir dalam jiwa
perseptif: jiwa memahami melalui pengetahuan akan kehadiran (Inggris: Knowledge
by Presence, Arab: Al-‘Ilmu Al-Huduri). Artinya: jiwa memahami dengan
kesadaran. Kehadiran itu seperti perbuatan bagi seorang pelaku. Bentuk
yang diciptakan oleh jiwa ini tidak selamanya hanya menjadi penyempurnaan
sekunder, tetapi selanjutnya justru jiwa “menjadi” bentuk tersebut. Jiwa
berubah dari tidak mengetahui menjadi mengetahui (Al-Hikmah Al-Muta’aliyyah,
Vol 9 halaman 285). IMAJINASI DAN AKAL-RASIONAL
Imajinasi rasional-logis oleh filosof Muslim biasanya
disampaikan lewat bahasa yang mengandalkan pada tata bahasa (grammar) yang
teratur dan urut-urutan logis. Yang spiritual, kata sebagian orang—termasuk
Al-Ghazali—tak bisa diungkapkan secara rasional. Namun, beberapa sufi tertentu
mencoba mengungkapkannya. Termasuk di dalamnya yang amat terkenal dan produktif dalam
mengungkapkan perasaan-perasaan keagamaannya adalah Ibn ‘Arabi. Terkait relasi imajinasi dan akal-rasional, Muhammad Baqir
Shadr (1935-1980) dalam bukunya, Falsafatuna—setelah mengulas pendapat para
filosof mengenai perbedaan sumber-sumber pokok pengetahuan—menyajikan sebuah
teori yang khas dalam filsafat Islam yang disebut “Teori Disposesi”
(nazhariyyah al-intiza’). Teori ini terangkum dalam pembagian konsepsi primer dan
sekunder. Konsepsi primer adalah dasar konseptual bagi akal manusia. Ia lahir
dari persepsi inderawi secara langsung beserta segala hal yang dikandungnya.
Misalnya konsepsi kita tentang rasa, warna, bau, panas, dan lain-lain. Bagi
Baqir Shadr, persepsi inderawi menjadi awal munculnya konsepsi itu. Ia
menciptakan ide tentang hal itu dalam akal manusia. Baqir Shadr percaya bahwa dari ide-ide tersebut terbentuklah
kaidah pertama (primer) tentang konsepsi. Dengan dasar itu, akal kemudian
memunculkan konsepsi sekunder. Dengan demikian, mulailah daur penciptaan
inovasi dan konstruksi. Inilah yang diistilahkan dengan kata intiza’
(disposesi). Dalam kalimat lain, teori disposesi adalah pertemuan fakta
obyektif dengan konsep akal. Lalu di manakah posisi imajinasi? Imajinasi berada di antara
keduanya. Ia menjadi sumber konstruksi, tetapi bukan ia sendiri yang
mengonstruksi kebenaran. Kebenaran hanya dapat dikonstruksi oleh akal. Wilayah imajinasi ada dalam dunia ide, bukan pada fakta
obyektif. Karena itu, kebenaran saintifik dan kebenaran imajinatif amat jauh
berbeda. Namun bukan berarti keduanya tidak dapat bertemu. Pertemuan keduanya terjadi di dunia imajinasi, sementara
dalam dunia obyektif indera dan akallah yang bekerja sama. Di sinilah terjadi
“generalisasi” sebagai output yang saintifik. Dan bukankah “generalisasi” itu
sendiri adalah simpulan akal? Itulah sebabnya para filosof Muslim percaya bahwa daya
imajinasi harus ditempatkan di bawah kendali daya rasional. Jika dilepaskan
dari daya rasional, daya imajinasi berisiko kehilangan kendali dan sekaligus
kehilangan akses kepada realitas otentik yang ada di alam imajinasi. *Pemerhati Sosial
|