Hidup yang Tidak Dikaji, Bukanlah HidupDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Oleh: Akmal Kamil
Barangkali Anda sangat familiar dengan aporisme di atas.
Tentu bagi mereka yang memiliki kuriositas tentang kehidupan sudah barang tentu
sering mengulang-ngulang aporisme ini. Sebuah aporisme yang menantang manusia
untuk membuat hidup lebih berarti dan bermakna. Lebih dinamis dan progresif.
Socrates demikian juga Plato muridnya dalam menemani manusia mencari makna
hidup bertutur bijak: “Hidup yang tidak dikaji bukanlah hidup.” Iya, hidup yang
tidak dihayati, diinternalisasi dan dikaji tidaklah pantas disebut sebagai
hidup. Manusia yang menjalani hidup sedemikian tidak lain kecuali seonggok
jasad yang mengikuti pergiliran siang dan malam, reproduksi generasi,
menyitir Iqbal, hanyalah seorang pengembara berkenala mengikuti pundak usianya,
ia lalui siang dan malam, semakin jauh dari kehidupan, semakin dekat kepada
kematian. Bertitik-tolak dari aporisme inilah manusia dengan berbagai
jalan dan upaya berusaha mengkaji hidup ini. Aporisme ini boleh jadi memiliki
arti bagi mereka yang masih mencari makna hidup dan akan semakin berarti bagi
mereka yang ingin menambah luas cakrawalanya tentang hidup. What is a life? Why are we created? What is our’s goal life?
Demikian pertanyaan yang barangkali segera muncul dalam benak kita setelah
beraporisme. Ketiga pertanyaan fundamental, eksistensial sekaligus enigmatis
ini acapkali menjambangi pikiran manusia. Pertanyaan ihwal arti dan tujuan
hidup ini. Apa arti hidup? Mengapa manusia harus dicipta dan mencicipi
kehidupan? Dan apa tujuan hidup itu? Rentetan pertanyaan ini tidak pernah sepi dan hening dari
kehidupan manusia. Fitrah yang bersemayam dalam lubuk hati manusia senantiasa
terketuk dan berdenyut untuk membahas dan membincangkan pertanyaan hayati ini.
Pemikiran-pemikiran beradu dan berpadu. Para filosof, bijak-bestari, kaum
cendekia, orang-orang awam silih berganti muncul untuk menjawab pertanyaan ini.
Semua itu melukiskan kembara tiada ujung ide manusia ihwal kehidupan dan
penciptaan ini. Pertanyaan eksistensial seperti untuk apa ia hidup, mengapa
ia harus hidup, kemana ia harus ayunkan langkah kaki hidupnya, merupakan
rangkaian pertanyaan yang penuh teka-teki bagi manusia. Mengapa engimatis lantaran dalam menjawab pertanyaan ini
banyak cara yang dilakukan oleh manusia sedemikian sehingga sebagian orang
tergiring untuk berpandangan nihilistik, hedonistik dan humanistik dalam
menyikapi hidup ini. Nihilisme, Hedonisme dan Humanisme Nihilisme yang merupakan sebuah school of thougth dan
berpijak di atas ajaran Materialisme meyakini bahwa tiada tujuan tertentu di
balik penciptaan manusia. Manusia bebas melakukan apa saja, dan jalan apa
saja yang ia pilih. Sebuah pandangan yang memandang segala sesuatunya sebagai
nothing (tidak ada). Nihilism (dari latin, nihil, “nothing”), adalah maktab
filsafat yang menolak segala nilai-nilai positif dan menolak meyakini sesuatu.
Filsafat Nihilisme ini dapat dilacak hingga masa Yunani, dimana Gorgias (380
SM) dapat kita kategorikan sebagai filosof Nihilisme. Gorgias
mengekspresikan filsafatnya dalam tiga proposisi: “Tiada yang wujud, Jika ada
yang wujud, ia tidak dapat dikenal; Jika ada yang wujud dan dapat
dikenal, ia tidak dapat dikomunikasikan.” Di abad modern salah satu pentolan
Nihilisme adalah Albert Camus (1960) yang memproklamasikan, “I proclaim that I
believe in nothing and that everything is absurd.” Sebuah proklamasi yang
menegaskan tidak adanya keyakinan pada segala sesuatu karena segalanya adalah
absurd, konyol dan nihil. Jalan lain yang ditempuh oleh sebagian manusia adalah jalan
hedonisme. Hedonisme merupakan maktab resmi yang berpandangan bahwa kita hidup
di dunia ini adalah untuk bersenang-senang. Dan bahwa bersenang-senang ini
merupakan satu-satunya dan sebaik-baiknya kebaikan dalam hidup ini. Berusaha
bertungkus-lumus untuk mencapai kesenangan dan kepuasan duniawi merupakan tujuan
ideal dari hidup ini. Humanisme, adalah sebuah ajaran yang mendudukkan manusia di
tempat Tuhan dan manusia dijadikan sebagai sentral dalam kehidupan ini. Menukil
August Comte (1857), penyembahan kepada manusia merupakan sebuah pekerjaan yang
paling mulia dan dianggap sebagai tugas yang harus dijalankan oleh setiap
manusia, dan tidak ada kesempurnaan yang lebih baik selain berbuat baik kepada
manusia. Aliran ini tidak mengakui –atau minimal tidak menaruh
perhatian sedikit pun terhadap- adanya kehidupan akhir dan final manusia dan
hubungannya dengan Tuhan, Sang Maha Pencipta. Erich Fromm (1980) memandang
bahwa cinta kepada kemanusiaan dan keadilan merupakan ganti Tuhan dan firman
Tuhan harus dicampakkan. Nilai kebaikan hakiki manusia tidak diukur dari sisi
ketuhanannya, keruhaniannya, dan malakutinya. Namun berdasarkan otak buminya
dan cara pandangnya sebagai ia manusia dalam kehidupan ini. Bukan
tempatnya di sini untuk membahas secara jeluk ketiga schools of thougt ini
apatah lagi meninjaunya secara kritis. Hal itu memerlukan ruang dan waktu lain.
Pandangan Alternatif
Tentu Socrates dan Plato dengan ajakannya beraporisme di
atas tidak sejalan dengan pandangan Nihilisme di atas. Kedua filosof besar
Yunani ini bahkan berdiri berhadap-hadapan dengan pembesar maktab Nihilisme,
Gorgias. Secara sepintas, ajakan beraporisme ini merupakan alamat penentangan
mereka dengan proposisi Gorgias. Karena mengkaji hidup adalah usaha untuk
memaknai hidup. Sementara puak nihilisme memandang bahwa hidup ini sebagai
“nothing” apatah lagi untuk memaknainya. Artinya ketika hidup ini dipandang
sebagai nihil, maka giliran untuk memaknainya tidak akan kesampaian. Lalu bagaimana Islam menjawab pertanyaan di atas? Pertanyaan
kesekian yang boleh jadi mengemuka dalam pikiran Anda. Apakah Islam mengamini
sikap nihilistik, hedonistik dan humanistik di atas? Sebelum menjawab
pertanyaan ini, saya akan mengajak Anda bersama Rumi untuk bersenandung syair
penciptaan di bawah ini: Ruzehâ-ye Fikr-e Man inast wa be Syabhâ Sukhanam Ke Cerâ Ghafil az ahwâl-e Khisytanam Mondeam Sakht Ajab Ke Che Sabab Sâkhte
Marâ Ya Che Bude ast Murâd-e Wei az In
Sâkhtanam Az Kujâ Âmadeam, Âmadanam Bahre Che Buwad Be Kujâ Mirawam Âkhir Nanimâi Watanam Pagi dan petang kumerenung dan berbisik lirih pada diriku Mengapa kulalai dari ihwal kedirianku Kutakjub bertanya sebab apa Dia merekaku Atau gerangan apa maksud Dia menciptaku Kudatang darimana, untuk tujuan apa kedatanganku Dimana akhirnya titik persinggahanku. (Rumi) Rumi dengan bahasa puitisnya, sebagaimana Socrates dan Plato
meski dengan gaya yang berbeda, mengajak kita untuk merenung dan berpikir untuk
apa kita datang ke dunia ini? Mengapa Tuhan menciptakan kita? Mengapa ia harus
ada dan untuk apa ia harus hidup? Gubahan syair Rumi di atas merupakan
terjemahan bebas dari sabda Imam ‘Ali As; “Semoga Allah merahmati orang yang
mempersiapkan dirinya dan menyiapkan dirinya untuk alam kubur? Orang yang
mengetahui dari mana? Di mana? Dan kemana ia akan menuju?” Alangkah indahnya Rumi menggubah hadis ini menjadi sebuah
syair yang menawan; “Kudatang dari mana, untuk tujuan apa kedatanganku? Dimana
titik akhir persinggahanku? Menyitir John Poweristi (ilmuan Jerman): Semakin maju
manusia makan pertanyaan ini akan semakin menganga bahwa mengapa manusia harus
mati dan apa tujuan dari kedatangan dan kepergian ini? Sebelum menjawab pertanyaan tujuan penciptaan manusia dari
sudut pandang Islam yang menitikberatkan pada pendekatan filosofis dan gnostis
dengan menggunakan ayat dan riwayat, kami mengajak Anda untuk memperhatikan
beberapa poin berikut ini: Apa tujuan (goal, hadaf) itu? Tujuan bermakna poin dan tanda
yang disasar oleh pemanah ketika ingin melontarkan panah. Tujuan dalam bahasa
keseharian kita, adalah hasil dari sebuah pekerjaan yang bebas dan penuh
ikhtiar. Dimana seorang yang berakal dan bebas memikirkannya semenjak awal
bahwa untuk sampai ke poin tersebut ia harus melakukan beberapa persiapan dan
pendahuluan. Tentu saja kalaulah ia tidak bermaksud untuk meniti jalan kepada
tujuan, pikiran ini tidak akan terlintas dalam benaknya. Pikiran untuk sampai
tujuan ini disebut sebagai ghayat karena yang disasar adalah akhir dari
perjalanan. Poin dan tanda yang menjadi maksud pelaku semenjak awal ini disebut
sebagai hadaf dan gharadh. Dan dari sisi idealnya tujuan yang mengikat kehendak
pelaku untuk mengerjakan perbuatan tersebut disebut sebagai “illat ghâyai”.
(Muhammad Taqi Misbah Yazdi: 1999) Dalam meniti jalan menuju tujuan ada lonceng peringatan yang
berdentang ritmis; Pada langkah perdana pencarian, dalam menemukan tujuan dan
jalan untuk sampai padanya, langkah kaki kita diiringi dengan lonceng
peringatan yang meski mengguncang namun untuk ketelitian dan kesadaran
fungsinya sangat bermanfaat. Lonceng peringatan itu berkata kepada kita:
“Kehidupan ini hanya sekali dan tiket yang tersedia hanya untuk sekali
perjalanan.” Peringatan ini mendorong kita untuk berpikir lagi dan memantapkan
tekad untuk berusaha bertungkus lumus sampai pada tujuan yang dicanangkan sejak
awal. Pandangan Irfan dan Filsafat
Dua pandangan ini masing-masing berjajar secara vertikal dan
dapat dibedakan antara satu dengan yang lain. Tuhan dalam pandangan Irfan
adalah Wujud nir-batas dan absolut yang memiliki instanta luaran. Dan tiada
wujud lain yang dapat dijumpai secara horizontal dan vertikal di bawahnya yang
sama atau berbeda dengan wujud-Nya. Namun dalam sudut pandang Filsafat, Wujud
Tuhan berada secara horizontal dan vertikal dan terdapat wujud-wujud yang lain
di bawah-Nya, dan menjadi sebab untuk seluruh kesempurnaan hakiki dan faktual
seluruh wujud tersebut. Dzat Wajib berada dalam hierarki wujud, dan tidak
memiliki kait-kait partikular dan imkan-imkan yang lain. Namun
harus diperhatikan bahwa para filosof setelah melesak melintasi tangga-tangga
kausalitas, memahami bahwa Dzat Pencipta tidak memiliki kait-kait dan bersifat
absolut. Dan pada puncak perjalanan seorang filosof, ia hinggap pada pengakuan
terhadap kesatuan wujud. Jawaban Filsafat dan Irfan Filsafat dan Irfan dalam menjawab pertanyaan apa hidup itu?
mengapa kita dicipta? Dan untuk tujuan apa? mengajak Anda untuk mencermati
poin-poin berikut ini. 1. Hubb Dzat; Keindahan-Nya
nyata-benderang tak-tersembunyikan. Tujuan penciptaan adalah Dzat Tuhan itu
sendiri. Lantaran Dia mencintai diri dan karya-Nya yang menyebabkan Dia
mencipta sehingga dengan cinta-diri ini sifat-sifat-Nya bertajalli. Dialah yang
menciptakan manusia dari ketiadaan (’adam) kepada keberadaan (wujud).
Sebelum manusia mendapatkan anugerah kehidupan, terlebih dahulu ia mendapatkan
nikmat keberadaan. Kehidupan merupakan anugerah Ilahi kepada manusia. Tuhan
Wujud dan Mewujudkan bahkan Swa-Eksisten. Tuhan Hidup dan Menghidupkan, Sumber
kehidupan bahkan Swa-Hidup dan Ever-Living. Hidup yang didapatkan oleh manusia
adalah bersumber darinya. Boleh jadi Tuhan mewujudkan sesuatu dimana dalam hal
ini manusia namun tidak memberikan kehidupan kepadanya. Manusia setelah dicipta
(diwujudkan) lalu ditiupkan nafas kehidupan pada dirinya. Dar Azal Partu husnat ze Tajali Dam Zad Isyq paida Syud wa Atasy bar hame ‘Alam Zad Pada azal pancaran keindahan-Mu menjelma Terajut cinta dan api membakar seluruh semesta (Hafiz) Maksudnya bahwa tatkala Tuhan menghendaki dzat-Nya
bertajalli muncullah cinta dan cinta itu membakar seluruh semesta dan manusia.
Semesta dan manusia yang terbakar cinta bergerak berlari ke arah-Nya.
“Ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan.” (Qs. Syura [42]:53)
Dalam ayat ini verba yang digunakan adalah verba present contionuos tense
(mudhâre’) yang menunjukkan kedawaman dan kesenantiasaan. Artinya bahwa seluruh
urusan seluruhnya senantiasa dan secara dawam kembali kepada Allah Swt.
(Al-Mizan, Muh. Husain Thaba-thabai) Hubb-Dzat ini dapat kita jumpai dalam sebuah hadis qudsi
yang terkenal sebagai hadis kanz, “Aku adalah Khazanah tersembunyi, Aku cinta
untuk dikenal, maka Kumencipta supaya dikenal.” Dengan demikian seluruh jagad raya ini bergerak berputar
menyasar tujuan ini. Dan manusia, mau-tak-mau, tahu-tidak-tahu, bergerak menuju
pada tujuan tersebut. “Dan hanya kepunyaan Allah-lah timur dan barat. Maka ke
arah mana pun kamu menghadap, di situlah terdapat “wajah” Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Baqarah [2]:115) Dimanapun engkau palingkan wajahmu engkau jumpai Tuhan Mahatahu
dan Mahaluas Jiwa merupakan tirai kecintaan-Nya Melihat cermin pancaran diri-Nya Setiap bunga yang bersemi adalah karya,
corak dan semerbak firman-Nya (Hafiz)
2. Istijla’: Jala bermakna melihat diri sendiri.
Misalnya melihat diri di hadapan cermin. Istijla’ artinya Allah Swt menampilkan
diri-Nya di luar sehingga Dia menyaksikkan diri-Nya. Kesempurnaan istijla ini
hanya dapat disaksikan pada sosok manusia sempurna (insan kamil); satu-satunya
manusia yang menjadi jelmaan sempurna Haq Swt. Pada diri insan kamil Allah Swt
menyaksikan jelmaan diri-Nya dan dialah yang mengemban amanat berat Ilahi di
pundaknya.(Yadullah Yazdan Panah:2001) “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit,
bumi, dan gunung-gunung, lalu semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan
khawatir akan mengkhianatinya. Tetapi manusia (berani) memikul amanat itu.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh (lantaran ia tidak mengenal
amanat itu dan menzalimi dirinya sendiri).“ (Qs. Al-Ahzab [33] :72) 3. Mengenal Tuhan dan Semesta; Tujuan penciptaan
manusia adalah manusia melihat dan mengenal semesta dengan pandangan Ilahiah;
“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah
Allah senantiasa turun di antara keduanya, agar kamu mengetahui bahwasanya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya ilmu Allah benar-benar
meliputi segala sesuatu.” (Qs. Thalaq [65]:12) Beriman kepada Allah yang
kekuasaan dan ilmu-Nya tiada terbatas sangat konstruktif bagi manusia. Dengan
anggapan bahwa Dia mengetahui segala sesuatu, oleh karena itu kita harus
berhati-hati untuk tidak terkontaminasi. Karena Dia berkuasa atas segala
sesuatu, oleh karena itu kita harus berhati-hati untuk senantiasa menempatkan
Dia dalam setiap urusan dan hanya pada-Nya meminta pertolongan. (Abdullah
Jawadi Amuli:2000) 4. Penghambaan kepada Tuhan; Manusia diciptakan untuk
beribadah dan menghamba kepada Tuhan dan tiada menyembah selain-Nya: “Dan Aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.“ (Qs.
Al-Dzariyat [51] :56) Lantaran ibadah yang menjadi maksud penciptaan mausia.
Namun apa yang dimaksud dengan ibadah itu hanya terfokus pada shalat, zakat,
puasa, haji dan semacamnya? Tentu saja tidak. Hakikat penghambaan adalah
manusia hanya menyembah kepada Tuhan dan dalam kehidupannya tiada tempat yang
ia jadikan sandaran selain Tuhan. Dialah sebagai satu-satunya tumpuan asa dan
harapan. (Mizan, Allamah Thaba-thabai). Dengan kata lain, setiap gerakan dan
perbuatan baik yang dilakukan manusia takala ia maksudkan untuk Tuhan dan
berwarna Ilahiah maka gerakan dan perbuatan tersebut tergolong sebagai ibadah.
Dalam keadaan sedemikian makan, tidur, belajar, pekerjaan seluruhnya dalam
pancaran satu cahaya. Shalat dan pujian yang seragam berseru “Katakanlah Dia
Allah.” Dalam kaitan ini, Baba Thahir bersenandung: Khusya Anan ke Allah Yarasyan bi Ke Hamdu Qul HuwaLlah Karaysan bi Khusya Anan ke Daim dar Namazand Behesyt Jâwidan Ma’wasyan bi Alangkah bahagianya mereka Tuhan menjadi penolongnya Hamd (memuji) dan QulHuwallah (berkata Allah) perbuatannya Alangkah bahagianya mereka yang senantiasa dalam kondisi
shalat Jannatul Ma’wa tempat kembalinya (Baba Thahir) Ayat di atas menunjukkan dan menegaskan bahwa “makhluk atau
ciptaan adalah penyembah Tuhan”, dan bukan bermakna bahwa “Dia adalah yang
disembah oleh makhluk”, karena hal ini bisa dilihat dari ayat yang mengatakan
“… supaya mereka menyembah-Ku“, bukannya mengatakan “Akulah yang menjadi
sembahan mereka”.Pada dasarnya yang ingin disampaikan adalah bahwa manusia itu
harus secara sadar, berpengetahuan, dan bebas menjadi hamba Tuhan. Manusia
harus yakin bahwa Tuhanlah yang layak untuk disembah dalam segala bentuknya.
Tuhan tidak ingin memaksa makhluk dan ciptaannya untuk menyembahnya. Dengan
demikian, manusia dan makhluk adalah penyembah Tuhan yaitu bahwa ia senantiasa
menyembah-Nya. Jadi titik tekan penyembahan dan ibadah di sini adalah bahwa
manusia dan makhluk sebagai subyek yang menyembah, bukan obyek yang disembah
(baca: Tuhan). 5. Pagelaran ujian; Tuhan Yang Mahapengasih dan
Mahabijaksana menyediakan lahan dan pelataran semesta sehingga segala potensi
menyempurna yang dimiliki manusia teraktualisasi secara menyeluruh. “Yang
menciptakan mati dan hidup supaya Dia mengujimu, siapa di antara kamu yang
lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.“ (Qs. Al-Mulk:2) Allamah Thaba-thabai Ra dalam menafsirkan ayat ini berkata:
“Bahwa adanya penciptaan hidup dan mati adalah untuk diketahui siapa yang lebih
baik amalnya. Maksudnya orang-orang yang lebih baik amalnyalah yang sebenarnya
menjadi maksud penciptaan. Adapun orang-orang selain mereka diciptakan lantaran
keberadaan orang-orang ini.” (Tafsir Al-Mizan) Dengan kata lain, untuk amal
shalehlah hidup dan mati diciptakan. Kehidupan dan kematian digelar sebagai
arena dan gelanggang bagi manusia untuk beramal shaleh. 6. Kedekatan (taqarrub) dan meraih rahmat Ilahi;
Tujuan penciptaan manusia adalah sampainya manusia ke rahmat dan qurb Ilahi;
“Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu,
tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi
rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk (menerima rahmat) itulah Allah menciptakan
mereka.“ (Qs. Hud [11]:118-119) Posisi tertinggi yang bisa diraih oleh manusia adalah maqam
kedekatan kepada Tuhan. Yang dimaksud dengan kedekatan kepada Tuhan adalah
bahwa manusia sampai pada derajat dimana dia menemukan hubungannya dengan
Tuhan. Sebagaimana Anda ketahui bahwa seluruh eksistensi dan
maujud-maujud dalam penciptaan memiliki interaksi dengan-Nya. Seluruh
maujud-maujud alam tidaklah bergantung sebagaimana kebergantungan mereka
kepada-Nya. Dalam salah satu ayat-Nya, Allah Swt berfirman, “Hai
manusia, kamulah yang memerlukan kepada Allah; dan hanya Allah-lah Yang Maha
Kaya lagi Maha Terpuji.” (Qs. Fathir [35]: 15) Yang dimaksud dengan kesempurnaan akhir adalah bahwa manusia
akan sampai pada suatu stasiun (maqam) dimana dia memahami kekurangan dan
kebergantungannya kepada Tuhan. Pemahaman ini, bukan merupakan pemahaman yang
diperolah secara hushuli (perolehan) karena pemahaman perolehan ini bisa
diperoleh dengan bantuan dari argumentasi-argumentasi filosofi, melainkan yang
dimaksud pemahaman di sini adalah pemahaman hudhuri dan penyaksian irfani
(mukasyafah dan musyahadah). Artinya bahwa manusia akan menggapai maqam tersebut dimana
dia tidak ada sesuatupun yang akan mampu menarik perhatiannya selain Tuhan,
wujudnya seakan telah memurni dan tidak ada satu perbuatanpun yang dilakukannya
selain untuk mencari keridhaan Ilahi. Manusia yang telah mencapai maqam dan
posisi seperti ini sama sekali tidak akan pernah menganggap adanya kemandirian
untuk dirinya dan dia mengarungi kehidupannya salam satu interaksi permanen dan
penyaksian irfani dengan Tuhan. Pada posisi dan derajat seperti ini, dimana
tidak ada lagi bekas dari diri dan kedirian baginya, apapun yang ada adalah
dari Tuhan. Imam Ali As berkaitan dengan interaksi pemahaman hudhuri dan
penyaksian irfani bersabda, “Aku tidak menyembah Tuhan yang tidak aku lihat.”
“Aku tidak melihat sesuatu kecuali aku melihat Tuhan bersamanya.” Dari keenam tujuan yang disebutkan di atas: Tujuan yang
disebutkan pada poin 2 hingga 6 dapat disimpulkan pada satu tujuan dengan
penjelasan bahwa Tuhan memberikan kebebasan kepada manusia sehingga dengan
pilihannya, ia menapaki jalan makrifat dan ibadah kepada Tuhan. Dan di
atas jalan tersebut ia menggapai rahmat Ilahi dan meraup kebahagiaan. Dan
dengan perantara rahmat itu ia mendekatkan diri kepada Tuhan. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa: Tujuan pamungkas dari penciptaan manusia adalah
mendekatkan diri kepada Tuhan. Ujian manusia, beribadah kepada Tuhan
masing-masing merupakan wasilah untuk sampai kepada tujuan pamungkas ini. Oleh
karena itu selain mendekatkan diri dan rahmat Ilahi, terdapat tujuan-tujuan
intermedit yang merupakan keniscayaan bagi manusia sampai kepada tujuan akhir
ini. (Taqi Misbah Yazdi:1367) Bagaimana sampai pada Tujuan
Sebagai penutup layak untuk disebutkan di sini bahwa secara
selintasan jalan untuk sampai kepada tujuan penciptaan. Allah Swt memberikan risalah di pundak manusia-manusia
terunggul dari kalangan para nabi dan wali. Dan manusia dengan mengikuti jalan
para nabi dan wali, mengamalkan petunjuk dan ajarannya maka ia akan sampai
kepada tujuan utama penciptaannya; Al-Qur’an dalam hal ini menegaskan: “Maka
bertakwalah kepada Allah. hai orang-orang berakal yang beriman. Sesungguhnya
Allah telah menurunkan peringatan kepadamu, dan mengutus) seorang rasul yang
membacakan kepadamu ayat-ayat Allah yang jelas supaya Dia mengeluarkan
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh dari kegelapan
kepada cahaya.” (Qs. Thalaq [56]:10-11) Ayat ini dengan nada khusus menjelaskan realitas ini bahwa
para nabi diutus untuk menarik tangan manusia, dan mengeluarkan manusia dari
kegelapan lantaran kejatuhannya dari kediaman aslinya, kepada cahaya yang
merupakan hakikat manusia dan ruh Tuhan yang terpendam dalam dirinya. “Hai nabi, sesungguhnya kami mengutusmu sebagai saksi,
pembawa kabar gembira, dan pemberi peringatan, dan sebagai penyeru kepada Agama
Allah dengan izin-Nya dan untuk menjadi pelita yang menerangi.” (Qs. Al-Ahzab
[33]:45-46) Ayat ini dengan jelas mengisahkan realitas bahwa pengutusan
para nabi adalah untuk menyeru dan mengajak manusia kepada Allah Swt dan mereka
bak pelita benderang, menerangi jalan manusia untuk mencapai tujuannya. Dari beberapa poin di atas dapat disimpulkan bahwa manusia
dicipta bukan tanpa tujuan. Lantaran Tuhan Sang Pencipta, berdasarkan hikmah
dan kebijaksanaan-Nya, tidak berbuat sesuatu tanpa memiliki tujuan. Penciptaan
manusia dan semesta bagi Tuhan merupakan hubb-Dzati (kecintaan diri), medan
bertajalli (manifestasi), supaya yang dicipta beribadah kepada Sang Pencipta,
medan ujian, dan yang paling pamungkas adalah untuk mendekatkan diri kepada
Tuhan. Mengkaji hidup dengan cara sedemikian mengajak manusia untuk
hidup yang lebih bernilai, berbobot dan berkualitas. Hidup yang berada di bawah
pancaran mentari Ilahi yang memberikannya kehidupan. “Hai orang-orang yang
beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan rasul apabila rasul menyerumu kepada
suatu yang memberi kehidupan kepadamu.” (Qs. Al-Anfal [8]:24) |