Haq Dan Batil Versi Nahjul BalaghahDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Muhammad Taqi Falsafi
Masalah peperangan dari sudut pandang sebab dan faktor
sosial dapat terjadi dari berbagai macam sumber dan alasan. Saya pada
kesempatan ini, dengan melihat sekilas periode singkat pemerintahan Imam Ali as
bermaksud mengkaji motivasi-motivasi dan faktor-faktor efektif dalam
peperangan-peperangan beliau as. Untuk maksud ini, saya menganggap penting
untuk membahas kata “Haq” dalam Nahjul Balaghah. Karena menurut hemat saya
pembahasan ini dapat mengungkap berbagai kesamaran dalam hal ini. Di antara khutbah-khutbah yang dianggap sesuai dengan
pembahasan ini adalah khutbah beliau as yang menyinggung permasalahan
campuraduk kebatilan dengan kebenaran dan menjelaskan bahwa apabila kebenaran
tidak bercampuraduk dengan kebatilan maka fitnah-fitnah para pembangkang juga
tidak akan terjadi. “Basis terjadinya fitnah adalah hawa nafsu yang diperturuti
dan perintah yang ditambah-tambahkan (bid'ah). Hal itu bertentangan dengan
Kitab Allah. Orang bekerjasama tentangnya sekalipun ia bertentangan dengan
Agama Allah. Apabila kebatilan murni dan tak bercampur dengan yang hak, ia tak
akan tersembunyi dari orang-orang yang mencarinya. Dan apabila yang hak murni
dan tidak bercampur dengan yang batil, orang-orang yang menaruh kebencian
kepadanya akan dibungkamkan. Namun, yang dilakukan ialah sesuatu diambil dari
sini dan sesuatu diambil dari sana, dan keduanya bercampur. Pada tahap ini
iblis menaklukkan teman-temannya, dan yang melepaskan diri hanyalah mereka yang
sebelumnya telah diberi Allah kebajikan”.[1] Haq dan Batil
Kata “haq” digunakan dalam Nahjul Balaghah dengan dua
bentuk: Salah satunya adalah “haq” lawan dari “tidak haq” yang berarti
“keadilan” lawan dari “kezaliman”. Yang lain dipakai dalam artian “sahih” yang
berarti “benar” lawan dari “tidak sahih” yaitu “kebatilan”. Tidak menjaga dan meninggalkan dua hal ini telah menjadi
sebab terjadinya peperangan-peperangan periode pemerintahan Amirul Mukminin as. Amirul Mukminin Ali as membangun pondasi pemerintahannya
berdasarkan penegakan keadilan dan mengembalikan urusan-urusan sosial kepada
jalur-jalur Islaminya: pembagian baitul mal berdasarkan keadilan Islami,
pengangkatan-pengangkatan, pencopotan-pencopotan, peperangan dan perdamaian
berdasarkan keadilan Islami dan... Akan tetapi penerapan keadilan yang
diinginkan oleh Amirul Mukminin Ali as dalam sebuah masyarakat -yang dalam
pasang surutnya kondisi pasca Rasulullah saw menjauh dari parameter-parameter
Islami, bid’ah-bid’ah berbahaya telah diciptakan, rasial dan permainan serta
pemberian upeti pemerintah kepada tokoh-tokoh dan pribadi-pribadi terkenal
sebagai sebuah tolok ukur pemerintahan yang telah diterima umum-, tentu saja
akan menghadapi berbagai macam kesulitan. Angan-angan, impian dan hawa nafsu
yang diikuti sebelum masa pemerintahan Imam Ali as berseberangan dengan
target-target Amirul Mukminin Ali as. Oleh karena itu, keadilan Ali as tidak
dapat dipikul dan diterima sedikitpun oleh mayoritas pribadi yang menyeleweng. “Suatu hak adalah sangat luas dalam uraian tetapi sangat
sempit dalam kesesuaian tindakan”.[2] “Haq” lebih luas dan mendalam untuk dibicarakan, disyiarkan
dan dipropagandakan, karena seluruh manusia menginginkan “haq” dan secara
fitrah mencari hakekat. Oleh karena itu, orang-orang yang menyeleweng sekalipun
mengklaimkan hakekat dan tidak ada seorang pun yang tidak mengklaimkan “haq”
untuk propaganda perbuatannya sendiri. Akan tetapi dalam tingkatan amal,
penerapan “haq” dan keadilan adalah perbuatan yang paling berat dan lahan
praktisnya adalah lahan yang paling terbatas. Kita kembali kepada sejarah. Untuk apa perang Jamal disulut?
Imam Ali as sendiri memperjelas hal ini di dalam Nahjul Balaghah. Salah satu
faktor peperangan tersebut adalah bahwa Thalhah dan Zubair sebagai dua sahabat
terkenal Nabi saw dan dua pribadi besar negara Islam, pada permulaan masa
pemerintahan Amirul Mukminin Ali as melontarkan pembicaraan seputar musyawarah
Amirul Mukminin Ali as dengan mereka dalam hal pemerintahan untuk menginginkan
upeti. Mereka berdua memprotes Imam Ali as kenapa beliau as tidak menetapkan
mereka sebagai konsultan dan wakil dalam hal-hal yang berkenaan dengan
pemerintahan. Imam Ali menjawabnya: “Anda berdua tidak menyukai urusan
kecil dan mengesampimgkan urusan besar. Dapatkah Anda mengatakan sesuatu di
mana Anda mempunyai hak yang saya rampas dari Anda atau saham yang merupakan
bagian Anda dan saya jauhkan dari Anda, atau seorang Muslim yang telah
meletakkan suatu pengaduan di hadapan saya dan saya tak mampu menyelesaikannya
atau tidak mengetahuinya, atau melakukan kesalahan tentang itu? Demi Allah,
saya tidak mempunyai keinginan atas kekhalifahan dan tidak pula menaruh
perhatian atas pemerintahan, tetapi Anda sendiri yang mengundang saya dan
menyediakan saya untuk itu”.[3] Inilah jawaban paling logis dan efektif yang dapat diberikan
kepada pribadi-pribadi seperti Thalhah dan Zubair dan bahkan dalam
kondisi-kondisi sensitif ketika kelompok “Bani Umayah” sebagai musuh
pemerintahan Islami paling berbahaya untuk memiliki pengaruh dalam semua
tempat, bid’ah dan fitnah sedang terbentuk di setiap pojok masyarakat Islami,
Imam Ali as tidak juga bersedia untuk berdamai atau memberikan upeti kepada
Thalhah dan Zubair yang mencampuradukkan haq dan batil. Oleh karena itu,
tersingkaplah hijab dari wajah-wajah penipu mereka dan tampak bahwa
sesungguhnya mereka tidak menginginkan maslahat dan kebaikan pemerintahan
Islami, akan tetapi memburu kekuasaan, dan pada akhirnya sebuah peperangan yang
tidak diinginkan dipaksakan kepada Amirul Mukminin as. Namun Amirul Mukminin Ali as dalam kondisi semacam ini yang
berperang untuk ridha Allah swt, tidak ragu atau bimbang sedikitpun, walaupun
banyak darah dari para pembangkang akan tumpah ke permukaan bumi. Berkenaan
dengan hal ini beliau as berkata: “Hati-hatilah! Setan[4] telah menghimpun kelompoknya dan
mengumpulkan tentara berkuda dan infantrinya. Bersama saya adalah
kebijaksanaan. Saya tak pernah menipu dan tidak pula saya tertipu. Demi Allah,
saya akan mengisi sepenuh-penuhnya bagi mereka sebuah kantong kulit dari mana
hanya saya sendiri akan menimba air. Mereka tak dapat berpaling darinya dan tak
dapat pula mereka kembali kepadanya.[5] Aku mengenal Islam dan al-Quran lebih baik dari siapapun dan
dalam menjalankan hukum Allah swt aku tidak mengkhawatirkan sebuah kejadian dan
peperangan pun... Dengan demikian, Amirul Mukminin as melangkah dengan pasti
dan membasmi fitnah Jamal. Akan tetapi tentu saja dalam
permasalahan-permasalahan sosial dan politik hal tersebut tidak berakhir sampai
di sini. Dampak dan efek sosial sebuah peperangan berdarah semacam ini yang
tidak dapat dihindarkan menimbulkan problem besar dalam pemerintahan Amirul
Mukminin Ali as. Thalhah, Zubair dan banyak tokoh terbunuh. Aisyah, Ummul
Mukminin mengalami kekalahan seperti itu... Rakyat terkadang menghadapi
kesamaran: Apa sesungguhnya yang terjadi, siapakah yang berada dalam kebenaran
dan siapa dalam kebatilan, di pihak medan tempur sini terdapat para sahabat dan
pembesar dan di pihak lain juga demikian... Dan kebimbangan semacam ini juga
dapat disaksikan di kalangan para sahabat Amirul Mukminin Ali as sendiri. Harits bin Hauth setelah peperangan Jamal bertanya kepada
Amirul Mukminin Ali as: "Apakah Anda mengira saya dapat membayangkan bahwa
kaum Jamal berada dalam kebatilan?" Beliau as menjawab: “Wahai Harits, Anda telah melihat ke
bawah diri Anda sendiri tetapi tidak ke atas Anda, dan karena itu Anda menjadi
bingung. Sesungguhnya Anda tak mengenal kebenaran, maka bagaimana Anda akan
mengetahui orang yang berada dalam kebenaran? Dan Anda tak mengenal kebatilan,
maka bagaimana Anda akan mengetahui orang yang berada dalam kebatilan?”.[6] Maka bagaimana engkau dapat berkomentar tentang
ketidak-batil-an pasukan Jamal. Kebetulan ucapan seperti ini juga pernah beliau
sampaikan kepada seseorang bernama Harits Hamedani: “Kebenaran tidak diketahui
dengan pribadi-pribadi akan tetapi kenalilah kebenaran maka engkau akan
mengenal orang-orangnya”. Haq Melawan Batil
Telah kita sebutkan kata “haq” yang dilontarkan dengan arti
“keadilan” lawan dari “kezaliman dan kesewenang-wenangan”, membawakan sebuah
rangkaian permasalahan dalam periode pemerintahan Ali as (karena pelaksanaan
haq dan keadilan tersebut). Namun “haq” dengan arti keduanya yang digunakan
berlawanan dengan “batil” juga dibahas. Hingga peperangan Shiffin, pelaksanaan
“keadilan”lah yang menimbulkan permasalahan dalam pemerintahan Amirul Mukminin
as, akan tetapi kejadian “hakamain” dan hal-hal yang menyangkut Khawarij,
terlontarlah pembahasan “haq” lawan dari “batil” dengan pengertian kedua,
permasalahan merambat kepada sisi akidah dan ideologi. Di sinilah terlontar ucapan “Kalimat haq namun yang
dimaksudkan adalah batil”. Syiar yang disemboyankan oleh Khawarij dalam
perkumpulan mereka (di sebuah padang sahara bernama “Harura” dan juga
tempat-tempat lain) adalah “La Hukma Illa Lillah Wa Lau Karihal Musyrikun”
(Tiada hukum kecuali milik Allah, walaupun orang-orang musyrik tidak
menyukainya). Dalam menghadapi semboyan dan syiar kelompok ini Amirul
Mukminin as memilih metode lunak dan menghindari peperangan dan pertumpahan
darah. Garis haluan Amirul Mukminin Ali as adalah bahwa selama arus Khawarij
berbentuk sebuah arus keyakinan dan politik dan masih belum berbentuk basis
militer dan perlawanan dengan pemerintahan Islami, maka hendaknya tidak
berperang dengan mereka, karena selama mereka belum melakukan teror,
pembunuhan, pencurian bersenjata dan…, mereka hanya berbentuk sebagai sebuah
arus pemikiran bodoh dan serangkaian keyakinan yang bercampur dengan fanatis. Bahkan kelompok ini datang ketika orang-orang berkumpul di
masjid, dan dengan perangai kasar dan tidak beradab melontarkan syiar tersebut.
(Dan terkadang mereka memutus khutbah Amirul Mukminin as, dan bahkan di
tengah-tengah jamaah shalat, mereka membacakan ayat-ayat yang turun seputar
pemutusan amal kaum musyrikin ditujukan kepada Amirul Mukminin as yang
berbunyi: “Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscayalah akan terhapuslah
amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi”,[7] walaupun demikian, Amirul Mukminin Ali
as dengan kebesaran yang menakjubkan dan kesabaran yang indah melayani mereka
dengan sikap rasional dan metode pendidikan Islami. Ucapan kaum Khawarij adalah bahwa Muawiyah dan Ali as dalam
masalah penerimaan hakamiyah telah melakukan syirik. Oleh karena itu, semuanya
harus kembali ke padang sahara yang menjadi tempat perang Shiffin. Dan setelah
itu selama tiga hari kita harus memohon ampun kepada Allah swt, dan selanjutnya
kita memulai perang dengan tentara Syam. Amirul Mukminin as berkata: Dengan
begitu kenapa kalian tidak mengatakan sikap keras melawan Muawiyah ini pada
hari itu ketika peperangan Shiffin yang hanya beberapa langkah lagi berjarak
dengan kemenangan? Mereka menjawab: Kita ketika itu sangat lelah dan banyak menderita
luka karena perang. Adapun sekarang kita telah menyadari kekeliruan kita
sendiri. Amirul Mukminin Ali as menjawab: “Hari itu ketika aku memberikan
motifasi kepada kalian untuk melanjutkan peperangan dengan Muawiyah dan
sementara kalian menerima hakamiyah, aku terpaksa menerima hakamiyah dan
mengikat perjanjian dengan musuh. Hari ini aku tidak dapat lagi melanggar
perjanjian. Rasulullah saw juga mengikat perjanjian dengan kaum Musyrikin dan
tidak pernah sekalipun beliau melanggarnya”. Akan tetapi mereka tetap
bersikeras mengumandangkan syiar batilnya. Amirul Mukminin Ali as sendiri berkenaan dengan syiar yang
mengandung muslihat “La hukma illa lillah” tersebut berkata demikian: “Sebuah
jumlah yang haq, (namun) dengannya mereka maksudkan untuk kebatilan, memang
benar bahwa tiada hukum kecuali milik Allah, namun mereka mengatakan: Tiada
pengaturan atau pimpinan kecuali milik Allah. Dan bahwasanya manusia harus
memiliki pengatur atau pemimpin, baik ataupun buruk”. Di sini dapat disaksikan bahwa kalimat “haq” digunakan
sebagai lawan dari “batil” bukan lawan “dzulm”. Ibnu Maitsam dalam mengomentari
ucapan Amirul Mukminin Ali as ini berkata: Ucapan dan propaganda “Tiada hukum
selain milik Allah” yang adalah sebuah kalimat haq namun dengannya mereka
maksudkan hal batil, pada kenyataannya adalah akibat tipu muslihat yang
ditanamkan para pengikut Muawiyah dalam benak Khawarij. Setelah hampir kalah
total, mereka menancapkan al-Quran di atas ujung tombak dan berteriak: Wahai
kaum Muslimin, al-Quran akan menghukumi antara kami dan kalian. Ini adalah sebuah kalimat haq, akan tetapi maksud mereka
adalah hanya menyelamatkan Muawiyah dari kekalahan dan tujuan batil mereka
adalah melemahkan barisan kaum Muslimin. Sebagai penutup kami nukil sebuah ucapan dari Amirul Mukminin
Ali as: “Bukan orang berakal yang mengetahui kebaikan dari keburukan akan
tetapi orang berakal adalah yang mengetahui kebaikan dari dua keburukan”. Semoga Allah swt membinasakan orang-orang munafiqin,
memenangkan tentara dan pejuang Islam, menyegerakan kemunculan Imam Zaman as
dan menjaga keselamatan wakil dan naib beliau as hingga saat itu. [IG.] |