Dunia Imajinal, Ibnu ‘Arabi dan Problem Keanekaragaman Agama-Agama*Introduction (Pengantar)
Muhyi al-Din ibn al-‘Arabi, yang dikenal sebagai Syaikh
al-Akbar atau “the Greatest Master” mungkin adalah pemikir yang paling
berpengaruh pada paruh kedua sejarah Islam. Lahir di kota Murcia di Spanyol
Islam pada tahun 1165 M, ia menunjukkan bakat intelektual dan spiritual pada
usia yang sangat dini. Pada tahun 1200, ia mendapat ilham untuk pergi ke Timur,
dan pada tahun 1202 ia menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Dari sanalah kemudian
ia bepergian dari kota ke kota lain di pusat negeri-negeri Islam. Seringkali
menetap di Damaskus, di mana ia wafat pada tahun 1240. Ia meninggalkan lebih
dari 500 karya tulis. Karyanya Futuhat al-makkiyya atau “Pembukaan Makkah” yang
akan mengisi lebih dari 15.000 halaman dalam edisi barunya, menyajikan beberapa
kerlipan cahaya dan cahaya kilat ilmu pengetahuan tercerahkan yang ia dapati
ketika Tuhan “telah membukakan” baginya pintu-pintu “Khazanah Kedermawanan
Ghaib”. Ia merangkumkan ajarannya dalam bukunya yang paling terkenal dan sering
dipelajari, Fusus al-Hikam atau “Rangkaian gelang permata kebijaksanaan”
(“Bezels of Wisdom”). Ia menggabungkan hukum Islam, theology (ilmu kalam),
filsafat, mysticism (tasawuf-irfan), psikologi dan ilmu pengetahuan lainnya.
Beberapa murid utamanya menyebarkan ajarannya ke seantero dunia Islam, dan
dalam dua abad ada beberapa ekspresi intelektualitas Islami tak tersentuh oleh
kejeniusannya. Ia telah terus mengilhami banyak intelektual Muslim bahkan pada
abad sekarang, dan pengaruhnya telah diserap oleh bentuk-bentuk popular dari
Islam . Pentingnya pengaruh luar biasa Ibn ‘Arabi pada pemikiran
Islam terilhami oleh suatu bagian pendek dari buku (passage) yang sering
dikutip di mana dia mengingat kembali pertemuannya, sebagai seorang pemuda
berusia sekitar lima belas tahun, dengan filosof terkenal Ibn Rushd (Averrous),
ketika Ibn Rushd sudah berusia lima puluh lima tahun. Ibn Rushd melihat
kebijaksanaan (hikmah) dalam diri Ibn ‘Arabi muda, yang ia telah cari-cari
sepanjang seluruh hidupnya. Dalam bahasa tersirat, anak muda itu memberitahu
dia bahwa penyelidikan rasional tidaklah cukup untuk mencapai ilmu pengetahuan
yang lengkap tentang Tuhan dan dunia. Sudut pandang yang berbeda dari dua pemikir tersebut
menyiratkan pembedaan tujuan antara Islam dan Barat. Karya-karya filosofis Ibn
Rushd dipelajari dengan hati-hati oleh para filosof dan para theolog Barat,
membantu mereka untuk memapankan alam sebagai sebuah dunia (realm) otonom dari
upaya intelektual. Di bawah pembedaan mata akal, Tuhan secara gradual
diabstraksikan dari realitas yang dicerap (indera dan akal), yang segera
menjadi sebuah hipotesis yang dapat dibagi dengannya. Dunia alami menjadi
tempat yang layak bagi analisis rasional dan pembedahan, dan hasilnya adalah
fragmentasi ilmu pengetahuan umat manusia yang semakin bertambah, dengan suatu pemisahan
total di antara ilmu pengetahuan (science) dan etika. Secara kontras, Ibn Rushd
secara luas telah dilupakan di dunia Islam, namun perspektif Ibn al-‘Arabi
telah terintegrasi ke dalam arus utama kehidupan intelektual. Hasilnya adalah
sebuah harmoni antara persepsi akal (reason) dan persepsi spiritual. Para
intelektual Muslim jarang dapat mengerti alam semesta tanpa melihat
akar-akarnya di dalam Tuhan. Jika dunia alami berakar pada Tuhan, hal ini tak
dapat dipelajari tanpa sebuah penyelidikan tentang kebutuhan moral dan etika di
mana perakaran ini membutuhkannya. Hanya pada zaman sekarang, dengan dominasi
politis dan kultural Barat, sudahkah para intelektual Muslim tiba-tiba dapat
keluar dari pandangan dunia tradisional mereka dan melihat pada ilmu pengetahuan
yang tak berakar sebagai sebuah objek pengejaran yang pantas. Para sarjana Barat telah menawarkan penilaian yang berbeda
tentang Ibn ‘Arabi. Selama paruh pertama abad ini, hampir semua orientalis
mengabaikan atau melupakannya, sementara sejumlah kecil sarjana, termasuk H.S.
Nyberg, Miguel Asin Palacios, dan R.A. Nicholson, memulai tugas sulit untuk
mempelajari dan menganalisa karya-karyanya. Pada tahun 1950-an dan 1960-an,
Titus Burckhardt, Henry Corbin, dan Toshihiko Izutsu telah mengetahui kepentingan
filosofis intrinsik dari kitab-kitab Ibn ‘Arabi yang luar biasa. Ketimbang
membatasi kajian mereka terhadap peranannya di dalam tradisi intelektual Islam,
mereka berusaha menyarankan relevansi umum karya-karya tulisnya bagi sejarah
pemikiran umat manusia. Yang lebih mutakhir, perhatian kepada Ibn ‘Arabi telah
semakin bertambah dan para sarjana lainnya telah membantu menyarankan banyak
segi dari kepribadiannya dan ajaran-ajarannya. Khususnya, pantas disebutkan di
antaranya, Quest for the Red Sulphur, dan dua kajian mendalam oleh
MichelChodkiewiez – The Seals of the Saints dan An Ocean Without Shore. Para orientalis awal cenderung untuk mengabaikan Ibn ‘Arabi
dengan sejumlah alasan. Salah satu yang paling penting darinya adalah bahwa
karya-karyanya terlalu banyak volumenya dan sulit untuk mendorong siapa pun
untuk rela menghabiskan bertahun-tahun untuk mengkaji karya-karyanya. Yang
kedua adalah hampir semua orientalis sangat percaya diri bahwa metode ilmiah
modern telah memberi mereka pemahaman yang superior tentang segala sesuatu,
sehingga mereka merasa bebas untuk mengabaikannya sebagai sesuatu yang tak
terorganisir, inkoheren, atau takhayul terhadap apa pun yang tidak memenuhi
khayalan mereka –dan Ibn ‘Arabi jarang melakukan hal seperti ini. Yang lebih mutakhir,
persangkaan modern tentang karakter alami manusia telah dipertanyakan.
Pengerakan para intelektual dan sosial yang bermacam-macam yang menggumpal
bersama sebagai post-modernism, untuk semua kelebihan mereka, memberi kesaksian
untuk mengerogoti rasionalitas Barat. Pemutusan kepastian-kepastian kontemporer
punya satu kesuksesan besar untuk melakukan dengan hasrat para sarjana untuk
melihat kepada para pemikir non-Barat dalam suatu pencarian spirit konstan umat
manusia. Di dalam peradaban Islam, Ibn ‘Arabi berdiri sebagai monument agung
bagi kemungkinan pemeliharaan rasionalitas sembari secara simultan
mentransendensikannya, dan ia mau tak mau bertindak sebagai rambu suar bagi
mereka yang mencari sebuah jalan keluar dari jalan buntu pemikiran modern dan
postmodern. Ibn ‘Arabi secara tipikal telah dikenal sebagai seorang
sufi, dan ini adalah cukup benar jika kita memahami istilah Sufism untuk
merujuk kepada suatu aliran pemikiran dan praktek Islam yang menekankan
pengalaman langsung terhadap objek keimanan. Sebagaimana sejumlah sufi lainnya,
ia sering dikutip di Barat sebagai penganjur “Kesatuan Agama-agama’ (The Unity
of Religions). Para sarjana mencatat bahwa para Muslim Sufi pada umumnya punya
sebuah sikap yang lebih baik ketimbang Muslim non-Sufi terhadap agama-agama
selain Islam. Sejumlah sarjana tertarik untuk mengkaji Sufisme, paling tidak
sebagian karena penilaian liberalnya terhadap kemungkinan umat manusia dan ini
secara relatif merupakan pendekatan yang tidak-dogmatis terhadap keimanan dan
praktek Islam. Tentu saja hampir semua guru Sufi yang telah mendapatkan para
murid di Barat menekankan sisi universalistik dari pesan-pesan Sufi. Tidaklah sulit untuk memahami mengapa Sufisme harus dilihat
sebagai mempunyai pandangan positif terhadap keanekaragaman agama-agama.
Berbicara dalam sebuah cara skematis dan agak menyederhanakan, adalah fair
untuk mengatakan bahwa akar-akar penyimpangan antara Islam Sufi dan non-Sufi
terletak pada persepsi yang berbeda terhadap daya dorong fundamental dari
al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Ketika Muslim memahami agama menjadi
sesuatu yang pertama-tama menyinggung pada aktifitas, mereka menekankan pada
Syariah –hukum-hukum Islam yang diwahyukan—dan mereka menekankan
pertanggungjawaban individual dan sosial terhadap Tuhan. Secara teologis, hal
ini membawa kepada suatu visi Tuhan yang menekankan transendensi/keluhuran-Nya
dan kekakuan. Hampir semua Muslim non-Sufi termasuk dalam kategori ini dan
persepsi Barat yang umum terhadap Islam sebagai suatu yang kaku dan menjengkelkan
adalah terkait pada fokus eksklusif dari banyak Muslim mengenai domain ajaran
sosial dan hukum. Secara kontras, ketika Muslim melihat agamanya sebagai
berakar pada sikap batin seperti cinta dan belas kasih, mereka menempatkan
penekanan yang lebih besar pada kualitas yang membangun ikatan di antara para
pecinta. Secara teologis, hal ini membimbing kepada sebuah pengutamaan terhadap
prinsip yang diriwayatkan dalam Hadits: “Kasih sayang Tuhan mendahului
kemurkaan-Nya.” Wajah penuh cinta dan kelembutan dari Tuhan diletakkan di depan
ketimbang wajah yang marah dan menakutkan. Bentuk Islam yang lebih halus dan
lembut cenderung diutamakan oleh kaum Muslim yang condong pada ajaran Sufi. Kaum Muslim yang peduli terhadap issue dialog antar agama
punya pendapat yang beragam mengenai bagaimana mereka seharusnya mengevaluasi
agama-agama selain Islam. Tidaklah sulit untuk melihat bahwa ada dua posisi
ekstrim, dengan kebanyakan orang berada dalam salah satu di antaranya. Pada
satu ekstrim berdiri mereka yang secara ekslusif lebih fokus pada Syariah dan
kekakuan Ilahiyah. Mereka cenderung mengecam non-Muslim sebagai kafirin, bahkan
kadang-kadang mereka memasukkan ke dalam kategori non-Muslim (takfir) terhadap
setiap Muslim yang tidak sepaham dengan mereka. Mereka mendukung posisi mereka
dengan mengutip ayat-ayat al-Qur’an yang mengkritisi kepercayan dan
praktek-praktek khusus kaum yang tak beriman, musyrikin, Yahudi dan Kristen.
Pada ekstrim yang lain diketemukan mereka yang melihat hubungan umat manusia
dengan Tuhan hampir secara seutuhnya dalam batasan Cinta. Mereka yang bersandar
pada sisi spektrum ini seperti memberi kepada semua yang mengikuti suatu agama,
manfaat dari keraguan. Mereka mendukung posisi mereka juga dengan mengutip
ayat-ayat al-Qur’an yang memuji para Rasul Allah dan mereka yang mengikutinya.
Mereka menganggap bahwa kebaikan dan ketulusan hati di antara umat beriman
dalam agama-agama lain—sebagaimana juga Muslim yang baik—akan mendapatkan
keselamatan. Dan bahkan mereka yang berlaku buruk di antara mereka –sebagaimana
juga Muslim yang jahat—akan lebih suka mengambil pengampunan Tuhan yang tak
terduga dan berakhir dalam sebuah situasi yang lebih nyaman ketimbang hak
mereka untuk berharap. Banyak otoritas Sufi yang melihat secara positif terhadap
keanekaragaman agama-agama, telah mengekspresikan pendapat-pendapat yang fokus
pada kasih sayang Tuhan yang meliputi segala sesuatu. Sarjana modern yang telah
mendiskusikan ajaran ini biasanya melakukannya dengan mengutip bagian-bagian
tertentu dari ajaran Sufi klasik, atau dengan merumuskan kembali pesan-pesan
Sufi dalam bahasa kontemporer tanpa banyak perhatiannya kepada kata-kata aktual
perwakilan agung tradisi. Pada bab-bab berikut ini, saya mengambil sebuah
pendekatan ketiga, yaitu membawa, dalam bentuk yang relatif lebih rinci,
beberapa ajaran khusus Sufi yang punya satu ketegasan tentang kesatuan dan
keragaman dari warisan agama-agama umat manusia. “Keanekaragaman agama” (Religious Diversity) tersebut adalah
satu “problem” yang mungkin tidak jelas bagi setiap orang. Tentu saja, ini
bukanlah sebuah problem bagi Ibn ‘Arabi sendiri atau bagi mazhab pemikiran yang
ia bangun. Pada umumnya, kenyataannya, kebanyakan Muslim agak tidak kesulitan
menerima bahwa ada sesuatu yang natural (alami), normal, dan sudah merupakan
takdir Tuhan mengenai perbedaan pendapat keagamaan ketimbang, sebagai contoh,
kebanyakan orang Kristen. Pepatah yang tepat mengatakan, yang secara tipikal
disifatkan kepada para Nabi, adalah mudah untuk menemukan di dalam literatur
Islam: “Perbedaan di kalangan para ulama adalah sebuah rahmat.” “Banyak jalan
menuju Tuhan, sebanyak jiwa umat manusia.” Ibn ‘Arabi kadang menyebutkan “problem keanekaragaman
pendapat (Mas’ala Khilaf), tetapi pada umumnya ia ada dalam perbedaan pandangan
di antara mazhab Islam, dan secara tipikal ia ingin menunjukkan bahwa
keanekargaman telah mapan terbangun oleh kebijaksanaan Tuhan dan Rahmat-Nya.
Dalam satu bagian wacana, ia mendiskusikan issue ini, dalam gayanya yang khas,
dengan menunjukkan bahwa Tuhan sendiri adalah sumber dari semua keanekaragaman
di dalam kosmos (alam semesta). Oleh karena itu, keanekaragaman kepercayaan
juga berasal dari Tuhan. Tuhan sendiri adalah problem pertama keanekaragaman yang
menjadi terwujud (termanifestasi) di dalam alam semesta (kosmos). Hal pertama
dari setiap hal yang dianggap eksis adalah sebab dari keberadaannya sendiri. Di
dalam dirinya sendiri setiap hal mengetahui bahwa ia awalnya tidak ada, dan
bahwa ini kemudian menjadi ada melalui asal-usul temporal. Bagaimana pun juga
dalam kemenjadiannya ini, disposisi hal-hal yang eksis adalah beragam. Oleh
karena itu mereka memiliki pendapat yang berbeda-beda mengenai identitas
penyebab yang membawa mereka menjadi ada (eksis). Oleh karena itu Yang Real
(al-Haq) adalah problem pertama dari keanekaragaman di alam semesta (kosmos). Ibn ‘Arabi tidak melihat keanekaragaman pendapat ini sebagai
sebuah sumber keraguan atau kesusahan. Berlawanan dengan itu, ia menganggap hal
ini sebagai salah satu dari banyak tanda-tanda bahwa Rahmat Tuhan mendahului
kemurkaan-Nya, yang membimbing kepada kebahagiaan paripurna setiap makhluk.
Oleh karena itu ia melanjutkan bagian wacana ini dengan menulis, “Karena Tuhan
adalah akar dari semua keanekaragaman kepercayaan di alam semesta, dan karena
inilah Dia yang membawa kesempurnaan eksistensi setiap hal di alam semesta
dalam sebuah susunan yang tak dimiliki oleh apapun juga, setiap orang akan
berakhir dengan Rahmat-Nya (III 465.23) Sungguhpun keanekaragaman bukanlah sebuah masalah bagi Ibn
al-‘Arabi, hal ini tentunya dipandang seperti itu oleh banyak orang saat saat
ini, khususnya mereka yang mengajar di bidang kajian keagamaan (religious
studies). Dalam sebuah artikel panjang yang mendiskusikan tantangan di bidang
ini, president the American Academy of Religion baru-baru ini menulis, “Ada
kebutuhan kultural mendalam terhadaap pencanggihan dalam pemahaman perbedaan
keagamaan dan negosiasi suatu keanekaragaman keagamaan dunia. Kita hidup dan
bekerja dalam kebudayaan yang bergulat dengan jaringan kompleks dari isu-isu
yang terkait dengan pluralisme keagamaan (religious pluralism), kebebasan
beragama, dan keanekaragaman budaya. Persepsi tentang perbedaan ini, keanekaragaman, dan bahkan
antagonisme hanyalah digiatkan oleh kajian akademis terhadap agama-agama.
Karena aktifitas kesarjanaan bertambah, menjadi lebih jelas bahwa beberapa
fenomena dalam sejarah umat manusia adalah terpisah dari keyakinan dan praktek
keagamaan, atau, dalam masa yang lebih mutakhir, dari reaksi terhadap
keyakinan-keyakinan dan praktek-praktek keagamaan tersebut. Sebagaimana Mircea
Eliade telah katakan, menjadi manusia adalah menjadi homo religiosus. Sebagai
sebuah hasil, bahkan mereka yang disebut sebagai orang-orang non-religious,
memikirkan jalan yang mereka tempuh karena suatu interaksi tertentu dengan agama. Keanekaragaman yang membingungkan dari aktualitas sejarah
agama-agama terungkapkan dengan variasi yang besar dari pendekatan metodologis
yang diterapkan oleh para spesialis untuk mengkaji agama. Masing-masing
pendekatan tersebut membuat sumbangan penting terhadap pemahaman watak agama,
namun pada umumnya kokoh berakar di dalam pengalaman modernitas yang dialami
oleh Barat. Bahkan para sarjana yang berbicara sebagai theolog Kristen
cenderung untuk berhaluan/memanah asumsi-asumsi pemikiran modern. Seandainya
mereka menolak melakukannya, mereka sering berasumsi superioritas atau
kesempurnaan agama Kristen dan mendevaluasikan agama-agama lain secara sesuai,
dan tentu saja mereka suka untuk diabaikan oleh akademy. Para theolog Kristen
tersebut yang berupaya menghindari ke-eksklusifan sering mengakhirinya dengan
gambaran bahwa hampir semua orang Kristen menganggap penting keimanan mereka. Perspektif Ibn ‘Arabi tentang agama berbeda secara mendalam
dari asumsi metodologi Barat kontemporer tentang peranan dan fungsi umat
manusia di dalam alam semesta (cosmos). Tentu saja, kebanyakan sarjana agama
tidak menyuarakan asumsi mereka dengan cara itu, tetapi ini seperti asumsi yang
tak terkatakan yang menyajikan keumuman di antara mereka. Asumsi-asumsi ini
mungkin lebih mudah dinyatakan dalam term negatif ketimbang term positif.
Sebagai contoh, kesarjanaan modern—berlawanan dengan kesarjanaan Islam
tradisional—tidak mensyaratkan sebuah realitas paripurna yang menyatukan semua
eksistensi, suatu kebutuhan nyata bagi kehidupan umat manusia, suatu dimensi
moral bagi aktifitas manusia dan dunia alami, asal-usul ilahiyah dari
agama-agama, atau kebenaran teks-teks suci. Seseorang mungkin menjawab bahwa
fundamentalis Kristen, sebagai contoh, mensyaratkan beberapa atau semua hal tersebut,
dan bahwa mereka tidak memainkan peranan terhormat dalam lingkaran akademis.
Saya akan tambahkan bahwa mereka juga tidak mengetahui akan teknik penafsiran
mereka yang sukar dipisahkan atau evaluasi positif mereka mengenai pluralitas
keagamaan. Walaupun para penulis Muslim telah secara tipikal membuat
asumsi tertentu tentang watak realitas, mereka tidak membuatnya dalam cara yang
sama. Nyatanya, tradisi islam telah menyaksikan sebuah keanekaragaman yang
besar sepanjang masa, kendati banyak point kebersamaan/keumumannya. Tentang isu
keanekaragaman agama, beberapa sarjana Muslim cenderung kepada eksklusifisme,
beberapa ke arah keterbukaan dan inklusifisme, dan beberapa yang lainnya ke
arah ungkapan yang jernih tentang keniscayaan pluralitas. Ibn al-‘Arabi mungkin
mewakili pihak yang paling canggih dan pemikir yang mendalam pada kategori
terakhir. Saya tidak bermaksud untuk mengklaim bahwa Shaiykh al-Akbar
ingin menyediakan sebuah teori tentang agama atau rasionalisasi terhadap
keanekaragaman keagamaan. Namun dia bermaksud untuk menjelaskan realitas apa
adanya, dan sebagaimana Michel Chodkiewicz secara tepat mencatat,
popularitasnya selama berabad-abad adalah karena fakta bahwa “Dia punya sebuah
jawaban untuk segala sesuatu.” Tentu saja Shaiykh mengalamatkan jawabannya
kepada pertanyaan yang diajukan para intelektual Muslim, namun isu yang
terhampar di bawahnya adalah tidaklah terlalu unik bagi peradaban Islam. Sekali
seluruh pandangan dunianya dipahami, mudahlah untuk memahami bahwa jawabannya
adalah sepenuhnya bersambung (koheren) dengan suatu pandangan tertentu terhadap
realitas, dan bahwa inilah pandangannya—apakah setuju atau tidak setuju
dengannya—yang tak meninggalkan apa pun dalam pembahasannya. Adalah sulit untuk menjelaskan dalam beberapa kata apa yang
spesial mengenai ajaran Ibn al-‘Arabi. Ini tentunya upaya untuk menyederhanakan
hal-hal dengan melekatkan label kepadanya, tapi saya tak peduli bahwa para
sarjana modern telah memikirkan sebuah label yang mungkin layak atau tidak
layak yang pada saat yang sama menyesatkan. Satu cara untuk menyarankan
pemenuhan uniknya adalah bertanya kepadanya apa yang sesungguhnya dia pikirkan
dan dia lakukan, sungguh pun ia menyediakan beberapa jawaban bagi pertanyaan
ini dalam karya-karyanya. Dalam setiap kasus, mungkin bermanfaat untuk
merenungkan sebuah gelar yang nampaknya telah diklaim baginya sendiri. Yaitu
khatam al-awliya’ al-Muhammadiyya, (penghulu para wali Muhammadiyah), yang
biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai “Seal of Muhammadan Saints,”
tapi saya lebih suka menterjemahkannya sebagai “Seal of Muhammadan Friends (of
God).” Istilah Seals of the Friends (Khatam al-Awliya) diturunkan
dari sebuah gelar yg diberikan al-Qur’an kepada Nabi Muhammad, “Khatam
al-Nabiyyin.” Secara khas dipahami bahwa Muhammad adalah Nabi terakhir dari
rangkaian 124.000 nabi yang dikirim Tuhan ke dunia sejak zaman Nabi Adam as.
Dipahami juga bahwa di dalam dirinya sendiri Nabi Muhammad telah mencapai
seluruh kesempurnaan kemanusiaan yang dimiliki semua para nabi sebelumnya, dan
bahwa wahyu yang diterimanya dari Tuhan –al-Qur’an—telah mengumpulkan semua
ilmu pengetahuan kenabian ke dalam sebuah sintesa tunggal menyeluruh. Sebagaimana “Seal” (khatam/stempel/segel) istilah Friends of
God (Awlia Allah) adalah bersifat Qur’ani, dan pada zamannya Ibn ‘Arabi, ini
telah menjadi standar ekspresi yang digunakan untuk mendeskripsikan Muslim yang
sangat dekat mewujudkan model Insan Kamil (human perfection/Manusia Sempurna)
pada diri Nabi Muhammad. Banyak sarjana Barat yang telah menterjemahkan istilah
ini sebagai “Saint” (Santo), tapi “saints” punya konotasi Kristen yang tak bisa
diterapkan di dalam konteks Islam. Idea mengenai persahabatan ilahiyah adalah sebuah tema utama
karya tulis Ibn al-‘Arabi. Ringkasnya, dia mengikuti arus utama tradisi
(Sunnah) Islam dengan menyatakan bahwa Tuhan memilihnya sebagai shahabat-Nya
mereka yang mewujudkan kualitas terbaik dari ras manusia. Inilah Nabi yang
paling utama dan terkemuka. Kemudian wahyu Tuhan kepada para Nabi memungkinkan
bagi orang lain untuk juga menjadi Sahabat-sahabat-Nya. Setiap nabi adalah suatu sumber bimbingan dan satu model
dari kesempurnaan manusia. Mereka yang mengikuti jejak langkah seorang nabi
mungkin mendapatkan warisan dari nabi tersebut, dan warisan ini punya 3 dimensi
dasar: pekerjaan/karya, atau aktifitas yang mewujudkan ciri-ciri watak mulia;
kedudukan, atau pengalaman batin terhadap realitas ghaib; dan ilmu pengetahuan,
atau persepsi langsung dan pemahaman atas beragam modus realitas. Ibn al-‘Arabi menggangp bahwa tujuan agama adalah untuk
membawa pada kesempurnaan umat manusia pada tiga modus karya, kedudukan dan
ilmu pengetahuan. Para nabi adalah model-model yang memantapkan
paradigma-paradigma kesempurnaan yang berbeda. Ilmu pengetahuan adalah salah
satu dimensi kesempurnaan, dan dalam banyak cara merupakan hal yang paling
penting dan dimensi yang paling fundamental. Hal ini butuh pembedaan dan
meletakkan segala sesuatu pada tempatnya yang tepat. Dia menulis, “Karena
seseorang bergerak mendekati kesempurnaan. Tuhan memberinya pembeda di antara
berbagai urusan dan pembenaran baginya terhadap realitas (II 525.2). Realitas
adalah segala sesuatu di alam semesta (dunia/universe) yang diketahui oleh-Nya
sendiri. Masing-masing modalitas kesempurnaan manusia yang telah
dibangun oleh para nabi membawa bersamanya ilmu pengetahuan tentang konfigurasi
tertentu dari realitas. Realitas adalah tak terbatas, sehingga mereka dapat
diketahui dalam keberlangsungannya hanya oleh Tuhan. Meskipun demikian, adalah
mungkin bagi umat manusia untuk mengetahui prinsip-prinsip realitas yang
mewujud maupun yang tak mewujud, dan prinsip-prinsip tersebut secara khas
dipahami sebagai ditandai dengan nama-nama Tuhan. Dalam banyak bagian tulisan,
Ibn ‘Arabi menghubungkan modus-modus mengetahui realitas dengan nama-nama
Tuhan. Dalam pandangannya, para nabi yang agung, sembari mengetahui semua
nama-nama Tuhan, juga memiliki penglihatan batin khusus terhadap perilaku atau
gejala di mana nama-nama Tuhan tertentu menerapkan efeknya di alam semesta.
Dalam Fusus al-Hikam, dia mengaitkan masing-masing dari 27 nabi dengan satu
nama Tuhan yang khusus. Setiap nabi telah meninggalkan warisan, dan Ibn al-‘Arabi
memberitahu kita bahwa pada setiap zaman paling tidak ada 124.000 shahabat
(wali-wali) Tuhan—yaitu para ahli waris setiap nabi dalam sejarah (III 208.14).
Warisan kenabian menentukan beragam modus pengalaman otentik dan pengetahuan
tentang Tuhan. Dengan kata lain untuk mencapai ilmu pengetahuan yang benar,
seseorang mesti mengenal Tuhan berdasarkan kepada satu paradigma tertentu dari
kesempurnaan manusia yang ditentukan oleh nabi tertentu. Pertanyaan tentang bagaimana orang dapat meraih ilmu
pengetahuan yang dianugrahkan kepada seorang nabi adalah sentral dari karya
tulis Ibn al-‘Arabi. Jawaban sederhananya adalah, untuk memperluas peranan
inisiatif manusia, orang mesti mengikuti bimbingan yang diberikan para nabi.
Bagaimana pun juga, bimbingan dari kebanyakan para nabi, tidaklah diturunkan
kepada kita. Dalam kasus para nabi ini, satu-satunya cara untuk menerima sebuah
warisan adalah untuk menerimanya melalui perantaraan dari satu nabi terakhir.
Dan karena karya nabi Muhammad, kedudukan/maqom, dan ilmu pengetahuannya
meliputi segala sesuatu yang telah dianugrahkan kepada semua nabi sebelumnya,
cara terbaik untuk menerima suatu warisan nubuwah/kenabian adalah dengan
mengikuti Nabi Muhammad. Dalam setiap ksus, pada analisis terakhir, adalah
Tuhan sendiri yang memilih untuk menanugrahkan suatu warisan kenabian tertentu
mengenai suatu anugrah secara individual. Ibn al-Arabi sering berkata bahwa usaha manusia dapat
membawa pencari hanya sejauh pintu. Setelah mencapai pintu, mereka dapat
mengetuk sesering mungkin mereka suka. Tapi Tuhan harus memutuskan kapan dan
seandainya Dia akan membukakan pintu, dan Dia sendiri yang akan memutuskan apa
yang akan diberikan-Nya kepada para pencari. Hanya setelah pintu dibukalah
warisan kenabian dalam pengertian sepenuhnya mengambil tempat. Gambaran image
pembukaan pintu ini menjelaskan makna judul dari magnum opusnya Shaykh, Futuhat
al-makkiyyah, “Pembukaan Makkah.” Ibn al-‘Arabi tidak meraih ilmu yang terdapat
dalam karyanya dengan belajar atau penalaran diskusif. Mereka secara sederhana diberikan
kepadanya, ketika Tuhan membukakan pintu. Dalam passasi (wacana) khusus dia
menggambarkan prosesnya dengan mana sesorng mencapai pembukaan: “ketika para
pesuluk (penempuh perjalanan) yang bercita-cita tinggi (murid salik) melekat
pada tempat pengasingan (uzlah) dan berdoa dengan nama-nama Tuhan, ketika
mengosongkan hatinya dari pemikiran reflektif dan ketika ia duduk dalam
kemiskinan, tak punya apa-apa, di pintu Tuhannya, kemudian Tuhan akan
menganugrahinya dan memberinya sesuatu dari ilmu pengetahuan tentang-Nya,
berupa misteri ilahiyah, dan berupa ilmu ketuhanan… Karena itulah mengapa Abu
Yazid (al-Bustami ?? ) berkata: “Kamu ambil ilmu pengetahuan mati dari
kematian, tapi saya ambil ilmu pengetahuan saya dari Yang Maha Hidup yang tidak
mati” (I 31.4) Ketika pintu bterbuka baginya, Ibn al-‘Arabi menemukan bahw
dia mewarisi semua ilmu Nabi Muhammad. Di antara ilmu-ilmu tersebut adalah ilmu
pengetahuan yang tidak seorang pun selainnya—kecuali Jesus, pada akhir
zaman—akan menerima warisan ini dalam keutuhan sepenuhnya. Oleh karena itula
Ibn al-‘Arabi melihat dirinya sendiris sebagai Khatam al-Awliya Muhammadiyyah
(the Seal of Muhammadan Friendship), yaitu orang terakhir yang
mengaktualisasikan sepenuhnya mode tertentu persahabatan yang dihasilkan dari
perwujudan paradigma yang dibangun oleh Muhammad. Jelasnya, Ibn al-‘Arabi mengklaim menjadi Khatam al-Awliyaa
Muhammadan tidak berarti bahwa setelah dia tidak akan ada lagi awliya Allah
(friends of God). Melainkan, ini berarti bahwa tak ada seorang pun setelahnya,
kecuali Nabi Isa (Jesus), yang akan mewarisi secara total karya-karya,
kedudukan dan ilmu kenabian, suatu yang secara total direalisasikan oleh Nabi
Muhammad sendiri di antara para Nabi. Maka, Ibn al-‘Arabi menytakan bahwa
sahabat (awliya) Tuhan akan terus mewarisi nabi Muhammad, namun sejak zamannya
ke depan, warisan Muhammadi akan jadi parsial, yang berarti bahwa para ahli
waris akan mewarisi karya-karya, kedudukan, dan ilmu yang terkait dengan
nabi-nabi tertentu dari era sebelumnya. Sebagai contoh, Shaiykh menulis, “Sama
halnya Tuhan menstempel (sealed) kenabian dari agama yang diwahyukan melalui
Muhammad, maka Tuhan juga menstempel (sealed), melalui stempel Muhammadi,
perwalian (friendship) yang dicapai melalui warisan Muhammadi, namun tidak untuk
yang diraih melalui warisan para nabi lainnya. Di antara pada shahabat
(wali-wali) Tuhan ada yang mewarisinya dari Nabi Ibrahim, Musa dan Isa. Hal ini
akan terus ditemukan setelah Stempel Muhammadi ini. Namun setelah dia, tidak
seorang wali pun diketemukan ‘di atas jantung hati Muhammad’ (II 49.24). Jika hanya para shahabat (awliya) Tuhan Muhammadi mewarisi
semua ilmu nabi Muhammad—yang sama dengan ilmu semua nabi—stempel para wali ini
akan jadi seseorang pada zamannya dengan hampir semua ilmu tentang Tuhan.
Sepeti itu Ibn al-‘Arabi menulis tentang khatam (Seal) atau stempel, “Tidak ada
satupun yang lebih mengetahui tentang Tuhan… Dia dan al-Qur’an adalah saudara
kembar” (III 329.27). Klaim Ibn al-‘Arabi menjadi Khatam al-Awliya Muhammadiyya,
Stempel penutup/penghulu para wali Allah pengikut Muhammad, tentu saja adalah
sesuatu yang agak megah. Banyak sarjana, baik pada dunia Islam pra-modern dan
maupun Barat modern telah menolak hal ini. Meskipun demikian, fakta yang
tersisa bahwa tidak ada seorang pun setelah Ibn al-‘Arabi yang mendekati
kesesuaian dengan kedalaman, kesegaran, dan visinya yang rinci. Apakah kita
menerima atau tidak klaimnya ini, sukar untuk menolak gelaran baginya sebagai
“Greatest Master” ….(bersambung) * Terjemahan dari: IMAGINAL WORLD, Ibn al-‘Arabi and The
Problems of Religious Diversity, By William C. Chittick, State University of
New York Press, Translated by Ahmad Y. Samantho |