Asal-usul Tarekat Sufi Dan PeranannyaDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Abdul Hadi W. M.
Asal-usul tarekat (al-tariqah)
Sufi dapat dirunut pada abad ke-3 dan 4 H (abad ke-9 dan 10 M). Pada waktu itu
tasawuf telah berkembang pesat di negeri-negeri seperti Arab, Persia,
Afghanistan dan Asia Tengah. Beberapa Sufi terkemuka memiliki banyak sekali
murid dan pengikut. Di antara murid dan pengikut para Sufi terkemuka itu aktif
mengikuti pendidikan formal di lembaga-lembaga pendidikan Sufi (ribbat, pesantren). Di antara Sufi yang
memiliki banyak murid di antaranya ialah Junaid al-Baghdadi dan Abu Said
al-Khayr. Dalam mengikuti pendidikan formal itu para murid mendapat
bimbingan dan pelatihan spiritual untuk mencapai peringkat kerohanian (maqam) tertentu dalam ilmu suluk. Di
samping itu beberapa di antara mereka mendapat pengajaran ilmu agama, khususnya
fiqih, ilmu kalam, falsafah dan tasawuf. Pada masa itu ilmu Tasawuf sering pula disamakan dengan ilmu
Tarekat dan teori tentang maqam(peringkat kerohanian) dan hal (jamaknya ahwal, keadaan rohani). Di antara maqam
penting yang ingin dicapai oleh seorang penempuh jalan tasawuf ialah mahabba atau `isyq (cinta), fana` (hapusnya diri/nafs yang rendah), baqa` (rasa hidup kekal dalam Yang Satu), ma`rifa (makrifat) dan ittihad (persatuan mistikal), serta kasyf (tersingkapnya penglihatan hati). Arti Tariqa /Tarekat
Kata al-tariqa berarti jalan, sinonim dengan kata suluk.
Maksudnya ialah jalan kerohanian. Tariqa/tarekat kemudian ditakrifkan sebagai
‘Jalan kerohanian yang muncul disebabkan pelaksanaan syariat agama, karena kata syar
(darimana kata syariat berasal) berarti jalan utama, sedang
cabangnya ialah tariq (darimana
kata tariqa berasal).’ Pengertian di atas menunjukkan bahwa jalan yang ditempuh
dalam ilmu tasawuf, melalui bimbingan dan latihan kerohanian dengan tertib
tertentu, merupakan cabang daripada jalan yang lebih besar, yaitu Syariat.
Termasuk di dalamnya ialah kepatuhan dalam melaksanakan syariat dan hukum Islam
yang lain. Para Sufi merujuk Hadis yang menyatakan, “Syariat ialah
kata-kataku (aqwali), tarekat ialah perbuatanku (a`mali) dan
hakekat (haqiqa) ialah keadaan
batinku (ahwali), Ketiganya
saling terkait dan tergantung. Kemunculan tarekat Sufi juga sering dirujuk pada
Hadis yang menyatakan, “Setiap orang mukmin itu ialah cermin bagi mukmin yang
lain” (al-mu`min mir`at al-mu`minin). Mereka, para Sufi, melihat
dalam tingkat laku kerabat dan sahabat dekat mereka tercermin perasaan dan
perbuatan mereka sendiri. Apabila mereka melihat kekeliruan dalam perbuatan
tetangga mereka, maka mereka segera bercermin ke dalam perbuatan mereka
sendiri. Dengan cara demikian ‘cermin kalbu mereka menjadi lebih jernih/terang’.
Nampaklah bahwa introspeksi merupakan salah satu cermin paling penting dalam
jalan kerohanian Sufi. Kebiasaan di atas mendorong munculnya salah satu aspek
penting gerakan Tasawuf, yaitu persaudaraan Sufi yang didasarkan atas Cinta dan
saling bercermin pada diri sendiri. Persaudaraan Sufi inilah yang kemudian
disebut Tarekat Sufi. Munculnya tarekat membuat tasawuf berbeda dari gerakan zuhud (asketiK) yang merupakan cikal bakal
tasawuf. Apabila gerakan zuhud mengutamakan ‘penyelamatan diri’ melalui cara
menjauhkan diri dari kehidupan serba duniawi dan memperbanyak ibadah serta amal
saleh, maka tasawuf sebagai organisasi persaudaraan (tariqa) menekankan
pada ‘keselamatan bersama’. Di antaranya dalam bentuk pemupukan kepentingan
bersama dan keselamatan bersama yang disebut ithar. Sufi
yang konon pertama kali mempraktekkan ithar ialah Hasan al-Nuri, sufi abad ke-9
M dari Baghdad. Tarekatnya merupakan salah satu tarekat sufi awal dalam
sejarah. Yang disebut ithar ialah
segala amalan dan perbuatan yang dilakukan untuk kepentingan kerabat dan
sahabat dekat, termasuk soal-soal yang berhubungan dengan masalah ekonomi,
keagamaan, rumah tangga, perkawinan, pendidikan, dan lain sebagainya. Di antara
prakteknya yang berkembang menjadi budaya hingga sekarang, ialah melayani
kerabat atau tamu dengan penuh kegembiraan dan sebaliknya sang tamu menerima
layanan itu dengan penuh kegembiraan pula. Dalam suasana akrab pula terjadi
saling tukar informasi dan pikiran, dan sering pula dilanjutkan dengan
kerjasama dalam perdagangan, serta rancangan untuk saling menjodohkan anak-anak
mereka. Kanqah
Biasanya sebuah persaudaraan sufi lahir karena adanya
seorang guru Sufi yang memiliki banyak murid atau pengikut. Pada abad ke-11 M
persaudaraan sufi banyak tumbuh di negeri-negeri Islam. Mula-mula ia merupakan
gerakan lapisan elit masyarakat Muslim, tetapi lama kelamaan menarik perhatian
masyarakat lapisan bawah. Pada abasd ke-12 M banyak orang Islam memasuki
tarekat-tarekat sufi. Pada waktu itu kegiatan mereka berpusat di kanqah,
yaitu sebuah pusat latihan Sufi yang banyak terdapat di Persia dan wilayah
sebelah timur Persia. Kanqah bukan hanya pusat para Sufi berkumpul, tetapi juga
di situlah mereka melakukan latihan dan kegiatan spiritual, serta pendidikan
dan pengajaran formal, termasuk dalam hal kepemimpinan. Salah satu fungsi penting lain dari kanqah ialah sebagai
pusat kebudayaan dan agama. Sebagai pusat kebudayaan dan agama, lembaga kanqah
mendapat subsidi dari pemerintah, bangsawan kaya, saudagar dan
organisasi/perusahaan dagang. Tempat lain berkumpulnya para Sufi ialah zawiyah, arti harafiahnya sudut. Zawiyah ialah
sebuah tempat yang lebih kecil dari kanqah dan berfungsi sebagai tempat seorang
Sufi menyepi. Di Jawa disebut pesujudan, di Turki disebut tekke (dari kata takiyah, menyepi). Tempat lain lagi berkumpulnya Sufi ialah ribat. Ribat punya kaitan dengan tempat
tinggal perajurit dan komandan perang, katakanlah sebagai tangsi atau barak
militer. Pada masa berkecamuknya peperangan yang menyebabkan orang mengungsi,
dan juga berakibat banyaknya tentara tidak aktif lagi dalam dinas militer,
membuat ribat ditinggalkan tentara dan dirubah menjadi tempat tinggal para Sufi
dan pengungsi yang mengikuti perjalanan mereka. Ribat biasanya adalah sebuah
komplek bangunan yang terdiri dari madrasah, masjid, pusat logistik dan tempat
kegiatan lain termasuk asrama, dapur umum, klinik dan perpustakaan. Dapur
dibuat dalam ukuran besar, begitu pula ruang tamu dan kamar-kamar asrama. Ini
menunjukkan bahwa ribat setiap kali dikunjungi banyak orang, selain tempat
berkumpulnya banyak orang. Pada abad ke-13 M ketika Baghdad ditaklukkan tentara Mongol,
kanqah serta ribat dan zawiyah berfungsi banyak. Karena itu tidak heran apabila
di berbagai tempat organisasi kanqah tidak sama. Ada kanqah yang menerima
subsidi khusus dari kerajaan, ada yang memperoleh dana dari sumber swasta yang
berbeda-beda, termasuk dari sumbangan para anggota tarekat. Kanqah yang
mendapat dana dari anggota sendiri dan mandiri disebut futuh
(kesatria), dan mengembangkan etika futuwwa (semangat kesatria). Salah satu contoh kanqah terkemuka ialah Kanqah Sa`id
al-Su`ada yang didirikan pada zaman Bani Mameluk oleh Sultan Salahudin
al-Ayyubi pada tahun 1173 M di Mesir. Dalam kanqah itu hidup tiga ratus
darwish, ahli suluk, guru sufi dan pengikut mereka, serta menjalankan banyak
aktivitas sosial keagamaan. Organisasi kanqah dipimpin oleh seorang guru yang
terkemuka disebut amir majlis. Peranan
Sebagai bentuk organisasi sufi, tarekat ialah sebuah
perkumpulan yang menjalankan kegiatan latihan rohani menggunakan metode
tertentu. Biasanya metode itu disusun oleh seorang guru tasawuf yang juga ahli
psikologi. Tarekat kadang disebut madzab, ri`aya dan suluk. Dalam tarekat seorang guru sufi (pir) membimbing seorang murid (talib) dalam cara berpikir dan berzikir;
merasakan pengalaman keagamaan dan berbuat di jalan agama; serta bagaimana
mencapai maqam (peringkat
rohani) tertinggi seperti makrifat, fana dan baqa`, serta faqir. Pada mulanya tarekat berarti metode kontemplasi (muraqabah)
dan penyucian diri atau jiwa (tadzkiya al-nafs). Oleh karena semakin banyak
orang yang ingin mendapat latihan rohani tersebut, maka tarekat kemudian tumbuh
menjadi organisasi yang kompleks. Penerimaan dan pembai`atan murid pun harus
melalui ujian tertentu yang cukup berat. Pada abad ke-10 M tarekat dapat
dibedakan dalam dua model:
1. Model Iraq, yang diasaskan oleh Syekh Junaid al-Baghdadi. 2. Model Khurasan, yang diasaskan oleh Bayazid al-Bhistami. Perbedaan keduanya mula-mula disebabkan karena mengartikan
tawakkul berbeda. Tetapi perbedaan yang paling jelas antara keduanya terlihat
pada ciri dan penekanan latihan rohaniannya. Tarekat model Khurasan menekankan
pada ghalaba (ekstase)
dan sukr (kemabukan
mistikal). Sedangkan model Iraq menekankan pada sahw (sobriety). Perbedaan lain: di Arab biasanya para sufi berkumpul di
ribat, yang pada mulanya merupakan pos perhentian, rumah penginakan yang
dahulunya ialah tangsi tentara. Sedangkan di Khurasan para sufi biasa berkumpul
di kanqah atau sebuah pesanggrahan yang didirikan pengikut sufi yang
kaya.Pesanggarahan berperanan sebagai rumah pristirahatan dan pertemuan
informal. Tarekat-tarekat sufi yang besar dan memiliki banyak
pengikut, yang tersebar di berbagai negeri dan saling berhubungan satu dengan
yang lain secara aktif, biasa mendirikan organisasi sosial keagamaan atau
organisasi dagang, yang disebut ta`ifa. Organisasi
semacam ini pada mulanya tumbuh di Damaskus pada akhir abad ke-13 setelah
penaklukan tentara Mongol. Organisasi ini segera tumbuh di berbagai negeri
Islam. Di antara tarekat-tarekat besar yang aktif membina afilisasi dengan
gilda-gilda yang banyak bermunculan pada abad ke-13 – 16 M di seantero dunia
Islam ialah Tarekat Qadiriyah, Tarekat Shadiliyah, Tarekat Sattariyah, Tarekat
Naqsabandiyah, Tarekat Sanusiyah, Tarekat Tijaniyah, dan lain sebagainya. Pada akhir abad ke-13 M, setelah penaklukan bangsa Mongol
(Hulagu Khan) atas Baghdad ahli-ahli tasawuf dan tarekat memainkan peranan
penting dalam penyebaran agama Islam di India dan kepulauan Nusantara. Ini
disebabkan hancurnya perlembagaan Islam dan terbunuhnya banyak ulama,
cendekiawan, fuqafa, qadi, guru agama, filosof, ilmuwan, dan lain-lain akibat
penghancuran kota-kota kaum Muslimin oleh tentara Mongol dan juga akibat Perang
Salib yang berkepanjangan sejak abad ke-12 M. Hal ini dapat dimaklumi karena
pada umumnya para ulama, cendekiawan, fuqaha, dan lain-lain itu berada di
pusat-pusat kota dan sebagian besar bekerja di istana, sehingga ketika istana
dan kota dihancurkan mereka pun ikut terbunuh. Sebaliknya, para sufi pada umumnya adalah orang yang mandiri
dan suka mengembara ke berbagai pelosok negeri untuk mencari ilmu atau
menyebarkan agama. Mereka memiliki banyak pos-pos perhentian di seantera negeri
Islam dan murid-murid yang bertebaran di berbagai tempat. Di antara pengikut
mereka tidak sedikit pula para pedagang yang aktif melakukan pelayaran ke
berbagai negeri disertai rombongan pemimpin tarekat serta para pengikutnya. Di tempat tinggal mereka yang baru, para sufi itu aktif
mendirikan lembaga-lembaga pendidikan Islam, menyeru raja-raja Nusantara
memeluk agama Islam, seraya mempelajari sistem kepercayaan masyarakat setempat
dan kebudayaannya. Tidak sedikit pula dari mereka mempelopori lahir dan
berkembangny tradisi intelektual dan keterpelajaran Islam, termasuk penulisan
kitab keagamaan dalam bahasa setempat dan kesusastraan. Bangkitnya kesusastraan
Islam di luar sastra Arab, seperti dalam bahasa Persia, Urdu, Turki Usmani,
Sindhi, Swahili, Melayu, dan lain-lain dalam kenyataan dimulai dengan munculnya
pengarang yang juga ahli tasawuf. Misalnya Hamzah Fansuri dan Bukhari
al-Jauhari dalam kesusastraan Melayu. Tokoh-tokoh mereka yang terkemuka sebagai guru kerohanian
tidak hanya menguasai ilmu tasawuf, tetapi juga bidang ilmu agama lain seperti
fiqih, hadis, syariah, tafsir al-Qur’an, usuluddin, ilmu kalam, nahu, adab atau
kesusastraan, tarikh (sejarah), dan lain sebagainya. Bahkan juga tidak jarang
yang menguasai ilmu ketabibab, ilmu hisab (arithmatika), mantiq (logika),
falsafah, ilmu falaq (astronomi), perkapalan, perdagangan, geografi, pelayaran,
dan lain sebagainya. Dalam berdakwah tidak jarang mereka menggunakan media
kesenian dan juga menggunakan budaya lokal. Dengan itu segera agama ini
mempribumi dan berkat kegiatan mereka pula, terutama di kepulauan Melayu,
kebudayaan penduduk setempat dengan mudah diintegrasikan ke dalam Islam. (Sumber Rujukan:
(1) Tirmingham, The Sufi Order in Islam, 1972; (2) Anthony H. John,
“Sufism as a Category in Indonesian Literature and History” JSAH 2, July 1961; (3)
Seyyed Hossein Nasr, Living Sufism, 1980; (4) Annemarie Schimmel, Mystical
Dimensions of Islam; (5)
Abdul Hadi W. M., Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap
Karya-karya Hamzah Fansuri, 2001;
(6) S. A. Rizvi, A History of Sufism in India, 1978. AH WM) |