Mizan Keadilan Tuhan [4]Deprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Mengapa Manusia diuji?
Telah Anda ketahui bahwa kita diciptakan untuk mengerjakan
kebaikan yang dapat mengantarkan kita dekat kepada Allah. Namun bagaimanakah
cara untuk memastikan standar kebaikan kita? Untuk memudahkan kita memahami
mahkamah Allah, Dia telah menetapkan suatu sistem ujian yang dapat menentukan
kesempurnaan ataupun kecacatan rohani kita. Allah berfirman dalam al-Qur’an:
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur
(dan) Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan). Karena itu, Kami
jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah menunjukkan jalan
(yang lurus) kepadanya; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (Qs.
Al-Insan [76]:3-4) Ujian diberlakukan kepada setiap orang yang beriman atau
kafir. Ujian di sini menegaskan bahwa manusia tidak ditakdirkan bahwa ia
termasuk penghuni surga atau neraka, tidak seperti sebagian golongan Kristian
dan sebagian besar kaum Muslimin yang beranggapan demikian. Jika tempat kita di
hari Kiamat telah ditentukan sebelumnya, lalu mengapa kita harus diperintahkan
untuk melakukan ini dan dilarang melakukan itu? Mereka yang meyakini bahwa Allah telah menakdirkan
sebelumnya perbuatan dan tujuan pamungkas kita, maka mereka tidak dapat membenarkan
teori ujian yang disebutkan pada sebagian ayat al-Qur’an. Demikian juga mereka
tidak dapat membenarkan keyakinannya terhadap hari Kiamat. Mengapa harus ada
hari Kiamat ketika segala sesuatunya telah ditentukan sebelumnya? Pengadilan
siapa yang akan dilangsungkan ketika seseorang hanya melakukan apa yang
dititahkan Tuhan kepadanya? Lantaran kita meyakini bahwa Tuhan mengetahui segalanya,
lalu mengapa Dia harus menguji kita? Ujian yang kita hadapi tidak bermaksud untuk menambah
pengetahuan Tuhan. Meski Tuhan mengetahui segalanya, masih dipandang perlu
menguji manusia sehingga bentuk keadilan Tuhan yang sebenarnya dan kasih Tuhan
dapat menjelma pada hari Kiamat. Jika Tuhan mengirim seseorang ke surga atau
neraka berdasarkan pengetahuan-Nya tanpa meletakkan mereka pada medan ujian
atas iman dan perbuatan mereka, maka mereka yang dikirim ke neraka memiliki hak
untuk memprotes mengapa mereka dihukum mengingat mereka tidak melakukan dosa
dan mengapa sebagian orang dihadiahkan surge tanpa amal kebaikan? Jadi untuk
menegakkan prinsip keadilan, maka wajib bagi Tuhan untuk menguji setiap orang
sebelum mengirim mereka surga atau neraka. Kategori Ujian dan Cobaan
Ujian dan cobaan dapat dibagi menjadi dua kategori: Pertama ujian dengan aturan syariah dan prinsip iman.
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, Tuhan mengutus nabi-nabi dengan
syariah dan manusia diharapkan untuk meyakini agama yang benar dengan tulus dan
mentaati aturannya dengan penuh keyakinan. Kategori kedua adalah kategori yang sedikit lebih sukar
yaitu dengan cobaan. Allah Swt berfirman: Dan sungguh Kami akan berikan cobaan kepadamu dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah
berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu), orang-orang yang apabila
tertimpa musibah, mereka mengucapkan, “Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji‘ûn (sesungguhnya kami adalah milik
Allah dan kami akan kembali kepada-Nya).” (Qs. Al-Baqarah [2]:155) Terdapat banyak bencana, peristiwa, banjir, gempa bumi,
kebakaran, perampokan, perang, huru-hara, wabah penyakit yang menimpa hidup
manusia: Dengan semua ini kita berada dalam altar dan medan ujian. Lalu
bagaimana menyikapi semua ini? Apakah iman kita tetap tegar? Apakah telah kita
buktikan diri kita sebagai pilar untuk dapat meniupkan harapan kepada orang
lain? Apakah telah kita tunjukkan ketegaran dan kesabaran kita dalam menghadapi
bencana ini? Kebahagiaan kita yang abadi bergantung pada hasil dari ujian-ujian
ini. Penderitaan dapat dinisbatkan kepada satu atau lebih dari
beberapa sebab di bawah ini: 1. Penderitaan kita merupakan akibat dari kelalaian atau
kealpaan kita. Seseorang menganggap enteng aturan kesehatan dan kemudian jatuh
sakit. Ia sendiri yang menjadi penyebab atas penderitaannya dan dalam hal ini
sakitnya ia merupakan konsekuensi natural dari kelalaiannya. Dalam istilah
hukumnya, tiada dosa yang terjadi dalam perbuatan ini. Hal ini merupakan
kerugian bagi dirinya sendiri. Tiada orang lain yang terlibat dalam hal ini. Ia
dapat, jika mau, menyalahkan dirinya sendiri. 2.Sebab kedua dari penderitaan dapat terjadi karena pengaruh
alam; penderitaan semacam ini selalu dikatakan kepada kita sebagai “perbuatan
Tuhan.” Gempa bumi, badai, prahara dan kejadian-kejadian natural lainnya berada
di luar control manusia dalam kategori ini. Kejadian ini merupakan sebuah
kemestian untuk menjalankan roda mesin dunia secara sistematis dan terencana.
Namun demikian, orang yang menderita dan daya ujinya dicoba dengan penderitaan
ini. 3.Sebab ketiga adalah penderitaan yang disebabkan oleh orang
lain. Sebab ketiga ini merupakan jenis penderitaan yang paling sulit. Seorang
penguasa tiran, tetangga yang mengganggu, anak yang membangkang, musuh yang tak
berbelas kasih, bawahan yang kurang disiplin, atasan pembual, pelanggan yang
curang, mitra kerja yang menelikung, pasangan yang menyiksa, hakim yang tidak
fair merupakan contoh-contoh yang dapat diberikan dalam masalah ini. Seseorang
harus menderita seluruh masalah ini, suka atau tidak suka, terkadang tanpa
kesalahan yang dilakukan olehnya. Alternatif Yang Ditawarkan?
Tuhan dapat membuat kita semua seperti malaikat, tanpa
adanya kemerdekaan berkehendak atau kekuasaan yang bersumber dari kita. Namun
dalam kasus kebaikan manusia ia tidak akan memiliki nilai sama sekali. Kebaikan
itu merupakan kebaikan Tuhan dan atas rencana Tuhan, Dia memberikan kekuasaan
dan kehendak kepada kita untuk berbuat apa saja yang kita sukai, lantaran hanya
dengan itu kita patut mengemban tanggung jawab atas perbuatan baik dan buruk
kita. Dan hanya dengan perantara itu kita dapat merasakan bahwa apa yang kita
peroleh merupakan sesuatu yang berharga. Lalu Tuhan memberikan kepada kita kehendak dan kekuasaan
untuk berbuat sesuai dengan apa yang kita sukai. Dan setelah penguasaan ini,
kita diutus ke muka bumi ini untuk diuji. Mencoba memvisualisasikannya dunia
ini: Ada seorang raja yang tiran, mencoba menguasai dunia dan mengenyahkan
orang-orang yang cinta kepada Tuhan di muka bumi. Raja tersebut bertentangan
dengan aturan-aturan Tuhan untuk memerintah dengan adil dan penuh kasih. Dengan
menjadi raja ini, ia gagal menjalani ujiannya. Di sisi lain adalah orang-orang yang cinta kepada Tuhan. Apa
yang diharapkan dari mereka? Mereka diharapkan untuk menjalani sebuah hidup
yang bernilai dan mengajak orang untuk mengikut mereka. Mereka merasa bahwa
Tuhan mengharapkan mereka untuk mengingatkan penguasa zalim mereka lantaran
inilah satu-satunya jalan untuk menyelamatkannya dari penderitaan abadi dan
menyelamatkan para korbannya dari kezalimannya. Jika mereka memilih untuk tidak
turut campur, mereka juga akan gagal dalam menjalani ujiannya. Jika mereka
memilih untuk menjalankan perintah Tuhan mereka sejatinya menunaikan tugasnya
bagi diri mereka, kemanusiaan dan bagi Tuhan. Apa yang kemungkinan akan terjadi, tidak keluar dari dua hal
berikut ini: Apakah sang raja menerima nasihat mereka, mendengarkan ceramah dan
mengikuti mereka ke jalan Tuhan; atau ia mengabaikan peringatan dan tidak
bergeming dari kezalimannya. Jika ia mengikuti nasihat dan kembali ke jalan
Tuhan, maka hal itu merupakan kebaikan bagi setiap orang: Orang-orang shaleh
telah menunaikan tugas mereka dengan beramar makruf; dan sang raja menunaikan
tugasnya dengan menjalankan nasihat mereka. Seluruhnya menjalani ujian ini
dengan berhasil. Akan tetapi jika ia mengabaikan peringatan mereka dan hendak
mengeyahkan mereka, maka ia kehilangan kesempatan untuk mencapai kejayaan dan
kesuksesan dalam ujian yang maha penting ini. Namun apa yang harus dilakukan
oleh orang-orang shaleh ini? Haruskah mereka tunduk menyerah kepada raja yang
tak mengenal Tuhan ini atau haruskah mereka melanjutkan usahanya untuk
memperbaiki raja tersebut? Jika mereka menyerah, kesuksesan yang mereka capai
sejauh ini akan berganti dengan kegagalan. Jika mereka tidak menyerah, mereka
tidak akan memiliki alternative kecuali menjalani hidup yang susah yang
ditimpakan oleh penguasa zalim tersebut. Ringkasnya, dapat kita katakan bahwa, Pertama, setiap orang
di dunia ini menjalani ujian; Kedua, setiap orang menyiapkan sebuah kesempatan
ujian bagi orang lain, sekaligus bagi dirinya sendiri. Sebagai contoh, seorang
usil mengganggu tetangganya, ia gagal dalam ujiannya; namun pada saat yang sama
ia menyediakan lahan bagi ujian orang lain juga. Jika tetangganya mencoba untuk
mengoreksi perilakunya dengan menunjukkan teladan yang baik, dan dengan
pendekatan persuasive, maka ia berhasil menjalani ujian yang ia hadapi, tanpa
peduli dengan apakah tetangannya yang usil itu merubah perilakunya atau tidak. Bagaimanapun, atas alasan ini Islam berharap kepada kita
untuk menunaikan tugas-tugas kita terhadap orang lain tanpa memperdulikan
apakah mereka menjalankan tugasnya atau tidak. Lagi pula, selama kita menjalani
ujian, kita ibarat seorang pelajar yang duduk di sebuah ruang ujian. Tiada
seorang pelajar pun yang rela merobek jawabannya lantaran pelajar yang lain
tidak menulis jawaban mereka pada ujian tersebut. Namun mengapa kita harus menderita karena ulah orang lain? Atau dengan nada lain: Mengapa kita harus nestapa karena
kesalahan orang lain? Kita adalah manusia biasa. Kita adalah manusia yang
memiliki perasaan. Mengapa perasaan kita harus diciderai hanya karena orang
lain gagal dalam tugasnya? Sebagaimana juga, seseorang boleh bertanya: “Mengapa
kita harus menderita luka atau kehilangan nyawa atau harta benda, atau bersedih
dan berduka, akibat sebuah peristiwa yang disebut sebagai “perbuatan Tuhan”
seperti gempa bumi, halilintar dan amukan badai? Seluruh pertanyaan ini akan memiliki relevansinya jika
kematian di dunia ini merupakan akhir dari kehidupan ini dan tiada hari
pembalasan. Namun, kini, posisinya adalah sebagai berikut: Terlepas dari seberapa besar penderitaan kita,
kejadian-kejadian tersebut tidak berlangsung lama. Kita memiliki pengetahuan
yang pasti bahwa lambat atau cepat, seluruh musykilah ini akan berakhir
lantaran masa tinggal kita di dunia ini akan berakhir pada suatu hari dan kita
akan dikirim ke dunia yang lain yang abadi. Segera setelah kita berpindah dari
dunia ini, kesusahan dan masalah kita akan berakhir dengan syarat kita telah
persiapkan diri kita untuk hal tersebut. Sesuai dengan keyakinan kita, Tuhan mengganjari manusia atas
penderitaannya, apakah ia Muslim atau non-Muslim. (Allamah Hilli, al‑Babu
‘l Hadi ‘Ashar, hal. 52) Orang-orang yang telah melakukan dosa
menderita berupa azab di hari Kiamat. Dan mereka yang tidak melakukan dosa,
seperti para nabi dan imam, yaitu orang-oranya yang banyak menderita di dunia
ini akan mendapatkan ganjaran yang sangat tinggi berikut kehormatan dan
kemuliaan yang tinggi di hadirat Allah Swt. Dalam pandangan Syiah, penderitaan di dunia ini
ujung-ujungnya adalah membersihkan manusia dari segala dosa, dan membawanya
dekat kepada Allah Swt di hari kiamat. Penderitaan; Peringatan atau Hukuman?
Di sini harus disebutkan bahwa terkadang penderitaan dan
bencana yang datang bukan merupakan ujian, melainkan sebagai sebuah peringatan
bagi para pendosa atau hukuman atas para pelanggar. Contoh-contoh seperti peringatan dapat dijumpai dalam hadis
Nabi Saw sebagai berikut: “Tatkala Allah murka kepada seseorang [dan tidak
ingin mengeyahkan mereka secara keseluruhan], harga-harga melambung tinggi,
jangka hidup semakin pendek, perniagaan tidak membuahkan untung dan pepohonan
tidak menghasilkan buah.” Nabi Saw juga menjelaskan bahwa perzinaan ketika
dipraktikkan secara terbuka akan menambah jumlah kematian mendadak, menyebabkan
petaka dan penyakit yang belum pernah terdengar sebelumnya. Ketika manusia
melakukan kecurangan pada timbangan, peringatan datang kepada mereka berupa
kelaparan, pengangguran dan penguasa zalim. Ketika orang-orang kaya menahan
zakat, kemiskinan akan menghantam kehidupan masyarakat. Imam ‘Ali bin Abi
Thalib bersabda: “Jika seluruh orang yang mampu membayar zakat, membayar zakat
mereka, maka tidak akan ada ditemukan seorang miskin di tengah masyarakat.” (al‑Majlisi, Biharu
‘l‑Anwar, jil.
70 (pasal. 137, 138) hal-hal. 308-377) Contoh-contoh di atas ini merupakan
sebagian contoh bagaimana Tuhan memberikan peringatan kepada kita supaya kita
memperbaiki jalan dan cara kita menjalani kehidupan ini. Dan contoh penderitaan sebagai hukuman dapat dijumpai pada
kisah Fir’aun, Namrud, kaum Luth, Su’aib, Nuh dan Shaleh. Kiranya pada
tempatnya jika disebutkan di sini bahwa malapetaka (seperti yang menimpa kaum
Luth, Fir’aun dan Namrud) telah enyah dari kehidupan kaum Muslimin sebagai
penghormatan kepada Nabi Saw yang merupakan “rahmat bagi semesta.” Namun
penderitaan sebagai peringatan bagi kaum pelanggar tetap berlanjut. Bagaimanapun, kita harus ingat bahwa Tuhan, dengan kasih dan
rahmatnya, telah menyembunyikan tujuan sejati sebuah penderitaan dari mata
kita. Oleh karena itu, kita tidak boleh mengatakan bahwa, misalnya, fulan
menderita sebuah penyakit kronsi sebagai seorang pendosa yang sedang menjalani
hukuman. Mengapa? Lantaran boleh jadi ia merupakan seorang yang baik yang
sedang menjalani sebuah ujian berat untuk kebaikannya. Jadi kita tidak boleh
menilai seseorang atas tampilan lahiriyahnya yang sedang diuji dengan kekayaan
atau kemiskinan, keburutungan atau kemalangan, kekuatan fisik atau kelemahannya?
Sebaliknya, kita harus konsentrasi pada perbaikan spiritual dan moral kita
masing-masing. |