Mizan Keadilan Tuhan[3]Deprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Manusia itu Bebas atau Terpaksa?
Kini kita akan membahas perbedaan pokok teologis di kalangan
mazhab-mazhab Islam. Persoalan itu adalah mengenai manusia, apakah ia terpaksa
(determinisme) ataupun bebas (freewill) dalam perbuatan mereka. Dalam
pembahasan ini setidaknya terdapat empat pendapat yang masyhur: 1. Mu‘tazilah mengatakan bahwa manusia mempunyai kebebasan
mutlak untuk berbuat apa saja yang diinginkannya, dan Allah tidak berkuasa ke
atas perbuatannya. Mazhab teologis ini juga dikenali sebagai mazhab Qadariyyah. 2. Mujbirah mengatakan bahwa manusia tidak berkuasa atas
perbuatannya. Dia diumpamakan seperti alat dalam kekuasaan Allah seperti pena
di tangan kita. 3.Asya‘irah pula mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai
kuasa atau kehendak sendiri dalam perbuatannya, tetapi ia masih “menguasai”
perbuatan itu. Istilah yang digunakan oleh mereka ialah kasb. Sebenarnya apa
yang mereka maksudkan ini merupakan sesuatu yang mengusutkan pemikiran mereka
sendiri. 4.Syi‘ah mengatakan bahwa manusia tidak bebas sepenuhnya
daripada Allah, dan tidak juga dipaksa oleh Allah, tetapi kedudukan sebenarnya
adalah di antara dua (in between) keadaan ini. Dapat dilihat bahwa pandangan Mujbirah, Mu‘tazilah dan
al-Syi‘ah adalah lebih mudah dipahami, tetapi pandangan Asya‘irah tentang kasb
tidak mudah dipahami, sama seperti kepercayaan orang-orang kristian tentang
Trinitas (3 dalam 1 Tuhan). Jelaslah bahwa mereka menggunakan istilah ini
hanyalah sebagai perisai untuk menyembunyikan kepercayaan mereka yang
sebenarnya dimana secara umum sama seperti Mujbirah. Oleh karena itu, kedua
pandangan ini dapat dikatakan sebagai satu pandangan. Shibli Nu’mani, seorang
ulama Sunni yang terkenal, berkata, “Mereka yang cukup berani, secara terbuka
mengadopsi determinisme dan kemudian dikenal sebagai Jabriyah. Mereka yang ragu
menggunakan redaksi jabr, menggunakan kedok terma “kasb” dan “iradah”. Kedok ini direka oleh Abul Hasan al-‘Asy’ari.[1]
Oleh karena itu di sini kita perlakukan terma Jabariyyah dan Asy’ariyah sebagai
satu terma. Pada masa kiwari ini, para pengikut Ahlussunah keseluruhannya
adalah bermazhab Asya‘irah (dalam domain teologi) dan lantaran pembahasan ini
merupakan topim yang sangat penting, di sini kita akan membahasnya secara
global. Kepercayaan Ahlusunnah
Kepercayaan Ahlusunnah dalam masalah perbuatan manusia, sebagaimana
yang dijelaskan oleh Abu Hamid al-Ghazali , adalah seperti berikut: “Tidak ada perbuatan manusia walaupun dilakukan semata-mata
untuk dirinya (kasb), bebas dari kehendak Allah, baik dalam dunia materi
ataupun maknawi, perbuatan mengedipkan mata dan berpikir melainkan semuanya
dengan izin, kuasa, kehendak dan kemauan Allah. Hal ini termasuk perbuatan
buruk dan baik, untung dan rugi, jaya dan gagal, salah dan benar, taat dan
ingkar serta syirik dan kufur.”[2] Patut juga disebutkan di sini, kepercayaan ini diciptakan
oleh Bani Umaiyyah, pada masa mereka berkuasa, dimana mereka bertujuan
menjadikan kepercayaan ini sebagai perisai untuk melindungi segala kekejaman
dan kezaliman mereka. Begitulah pendapat tokoh Ahlusunnah yang terkenal,
al-‘Allamah Syibli al-Nu‘mani (dari India) yang telah mengakui realitas
tersebut dalam kitabnya al-Kalâm, “Biarpun semua faktor menyebabkan perbedaan
dalam kepercayaan, namun perbedaan politik juga memainkan peran penting dalam
masalah ini dimana pemerintahan Bani Umaiyyah merupakan dinasti yang sangat
signifikan berperan dalam munculnya kepercayaan ini. Mereka dengan kejam
menumpahkan darah, sehingga timbul keinginan di kalangan orang untuk
menentangnya, tetapi bagi golongan yang tercaplok oleh kekuasaan Bani Umayyah
sering kali melemahkan orang-orang ini dengan kata sakti bahwa “Segala sesuatu
yang berlaku adalah menurut kehendak Allah, dan oleh karena itu manusia tidak
boleh membangkang sama sekali. Segalanya sudah ditetapkan, dan apa saja yang
berlaku, apakah perbuatan itu baik atau buruk adalah menurut kehendak Allah dan
kita perlu mengakuinya.”[3] Kami kira penjelasan ini telah memadai untuk
menjelaskan secara global kepercayaan yang dianut oleh mazhab Ahlusunnah. Kepercayaan Syi‘ah
Di satu pihak Syi‘ah Imamiyyah Ithna-‘Asyariah percaya bahwa
kita sendiri dapat membedakan di antara “terjatuh dari atas atap” dan
“perbuatan turun ke bawah dengan menggunakan tangga.” Perbuatan yang kedua itu
dilakukan dengan kemampuan, kehendak dan keinginan kita, sementara perbuatan
terjatuh ke bawah adalah sebaliknya. Kita juga tahu bahwa perbuatan-perbuatan kita bukanlah
seperti perbuatan terjatuh ke bawah dari atas atap, bahkan ia adalah seperti
perbuatan turun dengan kuasa dan kemampuan kita sendiri. Oleh itu, ia adalah
perbuatan kita sendiri dan tidak dapat dikatakan bahwa perbuatan itu adalah
perbuatan Allah. Sekali lagi, kita lihat bahwa terdapat sebagian perbuatan
yang menyebabkan kita dipuji atau dicaci, sedangkan dalam sebagian perbuatan
yang lain, kita tidak dipuji ataupun dicaci. Hal ini dengan jelas menunjukkan
bahwa perbuatan yang pertama adalah berada dalam kuasa dan kehendak kita dimana
perbuatan yang kedua adalah berada di luar kekuasaan dan kehendak kita. Sebagai contoh, kita dianjurkan untuk merawat sebuah
penyakit dengan cara begini atau begitu, tetapi kita tidak dapat dianjurkan
untuk sembuh dengan pasti dari penyakit itu. Hal ini bemakna bahwa mendapatkan
perawatan berada dalam kekuasaan kita, sedangkan mendapatkan kesembuhan tidak
berada dalam kekuasaan kita. Oleh karena itu, kita dapat mengatakan bahwa terkadang
terdapat banyak perkara dan aspek kehidupan yang berada dalam kuasa dan
kemampuan kita, sedangkan yang lain tidak berada dalam kuasa dan kemampuan
kita. Dalam urusan dan perkara yang kita boleh diberikan nasihat, anjuran,
dipuji atau dicaci adalah berada dalam ruang kekuasaan dan kemampuan kita. Perintah-perintah agama berada dalam kumpulan ini. Lantaran
kita dianjurkan atau diperintahkan supaya melakukan atau tidak melakukan
perkara ini dan itu. Dengan demikian kita dipuji apabila kita mentaati
perintah-perintah tersebut dan dicela apabila kita mengingkarinya. Oleh karena
itu, adalah keliru beranggapan dan berkata bahwa kesalahan dan kebenaran,
ketaatan dan keingkaran, kepercayaan yang benar dan yang palsu adalah berdasarkan
perintah dan kehendak Allah. Syaikh Shaduq berkata “ Allah memiliki segala pengetahuan
tentang perbuatan manusia, tetapi Allah tidak memaksa mereka melakukan
sesuatu.”[4] Namun hal itu tidak berarti bahwa manusia bebas dan mandiri
dari Allah. Pada hakikatnya, kuasa dan kehendak untuk berbuat sesuatu menurut
apa yang kita kehendaki adalah dikurniakan oleh Allah. Senada dengan hal ini,
Imam Ja‘far Sadiq As mengatakan: “Tiada paksaan (oleh Allah), tidak ada
kekuasaan mutlak (yang dikurniakan oleh Allah kepada manusia), tetapi kedudukan
sebenarnya adalah di antara kedua-dua keadaan ini. (al-amru bainal amrain).”[5] Contoh berikut ini secara jelas menggambarkan “posisi
tengah” ini. Anggaplah tangan seseorang secara total mengalami kelumpuhan
sedemikian sehingga ia tidak mampu menggerakan jari-jemarinya. Seorang dokter
telah memasang sebuah alat listrik di tangannya dimana ketika alat tersebut
menyala, ia dapat mengguakan tangannya secara bebas dengan wajar. Alat tersebut
diaktifkan oleh sebuah remote control yang dijaga oleh dokter tersebut. Tatkala
dokter menyalakan alat tersebut, ia dengan leluasa dapat menggerakan tangannya,
namun ketika alat tersebut tidak menyala, ia tidak dapat melakukan apa pun.
Kini apabila alat tersebut menyala dan pasien menggerakkan tangannya kesana dan
kemari, dapatkah perbuatannya itu diatributkan secara bebas kepadanya? Tidak,
lantaran kekuatan bersumber dari alat tersebut yang sepenuhnya dikendalikan
oleh dokter. Perbuatan itu juga tidak dapat disandarkan kepada dokter? Tidak,
lantaran pasien tersebut melakukan perbuatan itu sesuai dengan kehendak dan
pilihannya. Hal ini merupakan contoh dari perbuatan-perbuatan kita. Kita tidak
terpaksa melakukan perbuatan itu karena kehendak dan pilihan berada di tangan
kita; kita juga tidak sepenuhnya mandiri, lantaran kekuasaan yang membolehkan
kita melakukan apa saja bersumber dari Tuhan. Potret Kebebasan Manusia
Pertanyaan yang dapat diajukan di sini adalah darimanakah
bermulanya kemampuan kita untuk melakukan sesuatu? Imam Musa Kazim As berkata:
“Seseorang manusia memperoleh kemampuan untuk melakukan sesuatu apabila
memenuhi empat syarat berikut ini: 1.Ketika tiada sesuatu halangan menegahnya 2.Sehat, kekuatan 3.Yang diperlukan untuk tugas itu mencukupi 4.Tuhan memberikan keadaan untuknya melakukan tugas itu. Ketika seluruh syarat yang disebutkan terpenuhi, seseorang
dapat melakukan segala sesuatu menurut kehendaknya sendiri.” Ketika Imam Musa Kazhim ditanya tentang suatu contoh, beliau
berkata: “Marilah kita andaikan bahwa ada seorang lelaki yang tidak mendapatkan
halangan, sehat dan kuat, namun ia masih tidak boleh melakukan perbuatan zina
kecuali ia menemui seorang wanita. Apabila (syarat yang keempat dipenuhi) dan
dia menemui seorang wanita, kemudian terserah orang tersebut untuk menentukan
satu daridua pilihan, apakah ia dapat mengendalikan nafsu jahatnya dan
menyelamatkan dirinya seperti yang dilakukan oleh Nabi Yusuf As ataupun ia
memilih untuk terjerat oleh pesona wanita dengan melakukan zina. Seandainya ia
mampu mengendalikan dirinya dari perbuatan dosa itu, hal tersebut bukanlah
akibat paksaan oleh Allah (seperti yang dipikirkan oleh sebagaian orang), dan
seandainya dia melakukan dosa, hal tersebut juga tidak berarti bahwa ia
mengatasi kekuasaan Allah (sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang).”[6] Determinasi dan Hari Kiamat
Menurut hemat kami, seandainya seseorang itu percaya kepada
adanya determinasi (keterpaksaan), pada masa yang sama dia seharusnya tidak
boleh percaya kepada Hari Kiamat. Sekiranya Allah telah menetapkan setiap
perbuatan yang hendak kita lakukan, lalu mengapa Dia harus mengenakan hukuman
kepada kita akibat melakukan perbuatan-perbuatan dosa, kejahatan dan perbuatan
yang menyalahi (perintah-Nya) karena Dia sendirilah yang telah menetapkannya ke
atas kita. Itu tentunya tidak adil sama sekali. Berikut ini adalah pembahasan yang mengemuka antara Imam
Musa Kazim As pada masa belianya dan Abu Hanifah, pendiri mazhab fiqih Hanafi
yang merupakan salah satu mazhab Ahlusunnah: Suatu ketika Abu Hanifah keluar untuk menemui Imam Ja‘far
Sadiq As. Ketika ia sampai di kediaman Imam, Imam sedang berada di dalam rumah.
Dan Abu Hanifah pun menunggunya di luar rumah. Tak berapa lama kemudian,
seorang bocah belia keluar dari rumah tersebut. Abu Hanifah pun bertanya
kepadanya: “Wahai kuculuk, daripada siapakah sebenarnya perbuatan seseorang
manusia? Bocah belia itu lalu berkata: “Wahai Abu Hanifah, hanya terdapat tiga kemungkinan;
manusia itu sendiri yang menjadi pelaku kepada perbuatannya, atau Tuhan sebagai
pelaku kepada perbuatan itu; ataupun kedua-duanya menjadi pelaku perbuatan
tersebut. Sekiranya Allah disebut sebagai pelaku kepada perbuatan seseorang
manusia, lalu mengapa Dia mengenakan hukuman ke atas manusia atas perbuatan
dosa itu? Bukankah itu merupakan suatu bentuk kezaliman, sementara Allah Swt
sendiri telah berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak menzalimi hamba-hamba-Nya.” Seandainya, keduanya, yaitu Allah dan manusia bersekutu
dalam perbuatan dosa, tentunya tidak adil sekiranya rekan sekutu yang lebih
berkuasa (Tuhan) menghukum rekan sekutunya yang lemah (manusia) atas perbuatan
yang mereka lakukan bersama-sama; dan oleh karena terbukti bahwa kedua-dua
pilihan tersebut tidak dapat diterima oleh akal dan mustahil, maka pilihan
ketiga terbukti benar yaitu manusia sendiri yang melakukan perbuatannya dengan
kuasa dan kehendaknya sendiri.” Abu Hanifah lalu mencium kening bocah tersebut. Bocah belia
itu adalah Musa, yang kemudiannya dikenali sebagai al-Kazim, Imam ketujuh dalam
mazhab Syi‘ah. Abu Hanifah Dan Bahlul
Abu Hanifah meyakini bahwa manusia tidak melakukan perbuatan
berdasarkan kuasa dan kehendaknya. Pada suatu ketika, pendapatnya ini telah
menjadi sebab terjadinya sebuah peristiwa. Bahlul merupakan seorang yang pandai
dan seorang pemimpin. Ia adalah salah seorang sahabat Imam Ja‘far Sadiq As yang
terkenal yang hidup hingga masa Imam ‘Ali Naqi As dan sempat berjumpa Imam
Hasan Askari As. Biasanya ia dipanggil sebagai Bahlul Majnun (Bahlul yang
gila). Hal ini lantaran ia berpura-pura menjadi gila untuk menyelamatkan
nyawanya dari tugas-tugas kehakiman yang ditawarkan Khalifah Harun al-Rasyid
kepadanya. Namun begitu dengan “kepintarannya ” itu, ia mengambil
kesempatan dari perangai kegila-gilaannya dengan selalu menentang tokoh-tokoh
besar pada zamannya (termasuk raja-raja) mengumbar kelemahan-kelemahan mereka
sendiri. Pada suatu ketika, ia terdengar Abu Hanifah, yang bermukim
di Kufah, Iraq memberitahu para pengikutnya: “ Saya mendengar tiga perkara dari
Imam Ja‘far Sadiq As yang menurut pendapat saya adalah salah. Para pengikutnya
itu lalu bertanya mengenai perkara-perkara tersebut. Abu Hanifah pun berkata: “Pertama, Imam Ja‘far Sadiq As berkata bahwa Allah Swt tidak
dapat dilihat. Tetapi hal itu tidak benar. Seandainya sesuatu itu wujud, maka
ia mesti dapat dilihat.” “Kedua, beliau mengatakan bahwa syaitan akan disiksa dalam
api neraka, tetapi hal itu mustahil berlaku kerana syaitan dijadikan dari api.
Bagaimanakah api boleh mencelakakan seseorang yang materinya juga bersumber
dari api?” “Ketiga, beliau mengatakan perbuatan manusia dilakukan
dengan kehendak dan kekuasaannya, dan manusia bertanggungjawab atasnya. Tetapi
perkara itu tidak tepat karena semua perbuatan manusia dilakukan berdasarkan
kehendak dan kekuasaan Allah, dan Allah yang sebenarnya bertanggungjawab atas
perbuatan tersebut.” Pada ketika para pengikutnya baru hendak memujinya, Bahlul
mengambil segumpal tanah dan melontarkannya tepat ke arah Abu Hanifah. Gumpalan
tanah itu tepat mengenai keningnya, lantas ia menjerit kesakitan. Para
pengikutnya menangkap Bahlul lalu Abu Hanifah membawanya menemui Hakim. Hakim (Qadi) mendengar aduan itu dan bertanya kepada Bahlul
apakah tuduhan tersebut benar atau keliru. Bahlul: “ Wahai Qadi! Abu Hanifah mengatakan ia mengalami
sakit yang kuat di kepalanya kerana terkena lontaran gumpalan tanah. Tetapi
saya berpendapat, dia berdusta. Saya tidak percaya kepadanya hingga saya
melihat “ sakit ” itu sendiri.” Abu Hanifah: “ Kamu benar-benar gila. Bagaimanakah aku dapat
menunjukkan “ sakit ” kepadamu? Adakah sesiapa yang pernah melihat “ sakit ”?” Bahlul: “Tetapi wahai Qadi! Tadi ia baru saja mengajarkan
para pengikutnya, seandainya sesuatu itu memang wujud, ia mestilah boleh
dilihat. Oleh kerana dia tidak dapat memperlihatkan “sakit” itu, saya anggap
berdasarkan kepercayaannya sendiri, ia tidak sakit sama sekali.” Abu Hanifah: “ Oh, sakitnya kepalaku!” Bahlul: “ Wahai Qadi, ada satu perkara lagi. Ia juga
memberitahu para pengikutnya bahwa karena syaitan dicipta dari api, maka api
neraka tersebut tidak dapat mencelakakannya. Sekarang, manusia direka dari
tanah seperti yang dinyatakan oleh al-Qur’an, sementara gumpalan tanah inilah
yang mencederainya. Saya heran bagaimana ia boleh menuding gumpalan tanah itu
dapat mencelakakan manusia yang juga diciptakan dari gumpalan tanah?” Abu Hanifah: “Wahai Qadi, Bahlul ingin melepaskan dirinya
dengan omong-omongnya itu. Tolonglah hajarlah ia karena telah mencelakaiku.” Bahlul: “ Wahai Qadi, saya kira Abu Hanifah ternyata telah
melakukan kesalahan dengan membawa saya ke mahkamah ini. Ia baru saja
memberitahu segala perbuatan manusia adalah dilakukan oleh Allah dan Allahlah
yang bertanggungjawab ke atas perbuatan-perbuatan mereka. Sekarang, kenapa ia
membawa saya ke sini? Seandainya ia benar-benar sakit akibat terkena gumpalan
tanah itu (dimana saya sendiri meragukan hal itu berdasarkan dalil-dalil yang
telah dijelaskan), ia sepatutnya menuntut Allah yang mencederainya dengan
melontar gumpalan tanah itu. Kenapa manusia yang tidak berdaya seperti saya
dibawa ke mahkamah sementara semua perbuatan yang saya lakukan itu sebenarnya
dilakukan oleh Allah? Mendengar timpalan Bahlul ini, Qadi pun membebaskannya.” Dengan demikian Bahlul dapat mematahkan argumen-argumen Abu
Hanifah yang berkeyakinan bahwa Tuhan itu dapat dilihat dan juga bahwa manusia
itu tidak bebas dalam melakukan perbuatan yang ia ingini. Kebebasan Manusia; Percaya atau Tidak
Seperti yang telah dijelaskan, Tuhan tidak menciptakan
sesuatu tanpa tujuan. Dari sini, kita patut mengemukakan sebuah pertanyaan,
apakah tujuan penciptaan manusia? Allah menciptakan manusia agar dia melakukan kebaikan yang
dapat mendekatkan dirinya kepada Allah. Manusia hadir ke dunia ini ibarat
sehelai kertas yang kosong. Sepanjang hayatnya, berbagai-bagai bentuk dan corak
tersalin pada kertas tersebut sebagai akibat atau kesan daripada pemikiran dan
perbuatan-perbuatannya. Kebaikan yang dia perolehi adalah seperti corak-corak
yang menawan dan apabila yang tergores adalah keburukan maka coraknya adalah
corak-corak yang buruk. Allah Swt berfirman: “Penuh berkah nan abadi Allah yang
di tangan-Nya segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang
menciptakan mati dan hidup supaya Dia mengujimu, siapa di antara kamu yang
lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Qs. Al-Mulk
[67]:1-2) Allah mengaruniakan hikmah, kebijaksanaan dan kekuatan
kepada manusia untuk mencapai kebaikan-kebaikan tersebut. Dia telah
memperlihatkan jalan yang lurus kepada manusia dan mengancamnya dari
jalan-jalan kesesatan, tetapi Dia (Allah) tidak memaksa manusia melakukan
perbuatan-perbuatan baik, begitu juga dengan perbuatan-perbuatan buruk. Dia
(Allah) telah memberikan kuasa atau kemampuan kepada manusia untuk melakukan
sesuatu sebagaimana yang diingininya dalam hidup ini. Al-Qur’an menegaskan:
“Demi jiwa manusia dan Dzat yang telah menyempurnakannya. Lalu Dia Allah
mengilhamkan kepadanya (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sungguh beruntunglah
orang yang telah menyucikannya, Dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya.”
(Qs. Asy-Syams [91]:7-9) Taufik dan Khidlan
Oleh kerana tujuan penciptaan kita adalah untuk melakukan
kebaikan dengan mentaati Allah dan karena kita diberikan kebebasan memilih,
Allah tidak memaksa kita untuk memilih jalan tertentu. Allah yang Maha Pemurah
sentiasa menolong manusia yang tulus ingin mentaati-Nya, tetapi pertolongan itu
bukanlah paksaan dari Allah. Marilah kita mengambil contoh, seorang tukang yang diminta
memperbaiki atap. Dia sepakat melakukan pekerjaan tersebut dan telah
bersiap-siap untuk memulai pekerjaan tersebut. Namun, kemudian ia menghadapi
beberapa kesulitan untuk mendapatkan tangga yang cukup panjang untuk dapat naik
ke atas atap tersebut. Anda tahu bahwa ia memang berhasrat melakukan pekerjaan
itu, tetapi Anda juga memaklumi bahwa dia akan menghadapi kesukaran karena tangganya
yang pendek itu. Oleh karena itu, Anda meminjamkan tangga yang mempunyai
ketinggian tertentu kepadanya dan dengan sebab itu, Anda telah memudahkan
pekerjaannya. Patut diingat bahwa, pertolongan itu diberikan tatkala ia
mempunyai hasrat yang kuat untuk melakukan tugas tersebut dan ketika dia telah
membuat persiapan yang cukup lengkap. Lantaran itu, pertolongan tadi bukanlah
memaksanya memulakai pekerjaan itu, dan juga bukan yang menyebabkan timbulnya
niat, keinginan atau kekuatan untuk memperbaiki atap tersebut. Niat, kehendak
dan kekuatan, seluruhnya telah tersedia. Apa yang Anda lakukan baginya hanyalah
menolongnya menuanaikan niatnya itu. Pertolongan seperti itu dari Allah Swt yang dikaruniakan
kepada orang-orang yang ikhlas ingin mentaati perintah-Nya disebutkan sebagai
taufik. Taufik bermakna membantu seseorang untuk melaksanakan tugas. Sekarang, marilah kita lihat dari sisi lain dari perumpamaan
ini. Sekiranya tukang tersebut tidak mau memperbaiki atap itu dan enggan
menerima tugas itu sama sekali, atau selepas ia sepakat melakukan tugas itu dan
kemudian berlengah-lengah serta mengemukakan berbagai-bagai alasan yang tidak
sesuai. Anda tahu bahwa dia memang tidak berniat melakukan tugas itu. Oleh
karena itu, tidaklah perlu sama sekali memberikannya tangga itu ataupun
menawarkan tangga itu kepadanya. Apakah dapat dikatakan bahwa dengan mengambil balik tangga
itu, Anda telah memaksanya untuk tidak melakukan tugas itu? Tentu sekali tidak.
Hal ini disebabkan karena orang itu dengan kehendak dan pilihannya sendiri
telah menolak tugas itu (atau menangguhkannya tanpa alasan yang wajar). Tangga
kepunyaan Anda itu tidak ada kaitan sama sekali dengan keputusannya itu. Dalam hubungannya dengan Allah Swt, dengan menarik balik
pertolongan dari orang-orang tersebut, yang dengan kehendak dan pilihan mereka
sendiri telah memilih untuk mengingkari perintah-perintah Allah, disebut
sebagai khidhlan. Khidhlan bermakna pengingkaran. Anda akan menemui banyak ayat al-Qur’an yang merujuk kepada
kedua-dua aspek pertolongan Allah tersebut. Di antaranya: “Barang siapa yang Allah menghendaki akan
memberikan petunjuk kepadanya, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk
agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya
Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke
langit. Begitulah Allah menimpakan kekotoran kepada orang-orang yang tidak
beriman.” (Qs. Al-An’am [6]:125) Lihatlah bahwa Allah tidak pernah menyesatkan golongan kafir
- Dia hanya membiarkan mereka berada dalam kesesatan. Hal ini bermaksud bahwa
mereka telah tersesat dan kemudian Allah membiarkan mereka terus tersesat.
Pengertian ini akan menjadi lebih jelas apabila Anda melihat redaksi ayat:
“Begitulah Allah menimpakan kekotoran kepada orang-orang yang tidak beriman.” Hal ini dengan jelas menunjukkan mereka dibiarkan berada
dalam kesesatan sebagai suatu bentuk hukuman karena kekufuran mereka. Mereka
telah memilih, dengan kehendak sendiri, untuk tidak beriman kepada Allah, dan
kemudian, sebagai hasil dari kekufuran itu, Allah membiarkan mereka dalam
kesesatan. Dalam ayat lain disebutkan: “Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa
nyamuk atau yang lebih kecil dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka
mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka. Akan tetapi, mereka
yang kafir akan berkata, “Apakah
maksud Allah menjadikan ini sebagai perumpamaan?” Dengan perumpamaan itu, Dia
menyesatkan banyak orang dan dengan perumpamaan itu (pula) Dia memberikan
petunjuk kepada banyak orang. Dan Dia tidak akan menyesatkan dengan perumpamaan
itu kecuali orang-orang yang fasik.” (Qs.
Al-Baqarah [2]:6) Di sini disebutkan bahwa orang-orang yang dibiarkan tersesat
itu hanyalah orang-orang yang telah pun melampaui batas dengan pilihan dan
kehendak mereka sendiri. Jelaslah bahwa mereka dibiarkan sesat karena mereka
sendiri yang telah menyesatkan diri dengan pilihan mereka yang keliru itu. Pengetahuan Tuhan dan Perbuatan Manusia
Setelah menguraikan pembahasan di atas satu pertanyaan asasi
patut diajukan di sini. Tuhan mengetahui segalanya. Dia mengetahuinya semenjak
sebelumnya, misalnya, Budi bakalan menjadi seorang yang kafir. Kini, Budi
memeluk Islam, hal ini bermakna bahwa pengetahuan Tuhan adalah salah; dan
lantaran pengetahuan Tuhan tidak pernah salah, oleh karena itu, Budi harus
tetap menjadi seorang kafir. Apakah hal ini tidak bermakna bahwa Budi harus
tetap menjadi seorang kafir lantaran pra-pengetahuan yang dimiliki Tuhan? Dalam menjawab pertanyaan ini hal yang perlu diketahui bahwa
apa yang akan terjadi; dan yang lain yang menyebabkan sesuatu itu terjadi.
Anggaplah ada seorang dokter yang setelah mendiagnosa seorang pasien,
mengumumkan bahwa pasien itu tidak akan bertahan lebih dari setengah jaman.
Dapatkah dikatakan bahwa dokter itulah yang menyebabkan kematian pasien
lantaran ia tahu bahwa sang pasien bakalan mati? Dapatkah tuntutan diajukan
kepadanya lantaran ia telah membunuh pasien tersebut?Tentu saja tidak.
Sebaliknya insiden ini akan dinukil untuk menunjukkan bagaimana
berpengalamannya dokter tersebut lantaran ia memprediksi apa yang akan terjadi
atas pasien tersebut pasca setengah jaman ke depan. Mari kita simak contoh ini sekali lagi. Dokter mengetahui
bahwa pasien bakalan mati, lantaran ia berada pada kondisi sedemikian sehingga
ia tidak dapat lagi survive lebih dari setengah jaman ke depan. Jadi,
pengetahuan tersebut bersumber dari kondisi pasien; bukan bahwa pasien itu
meninggal lantaran pengetahuan dokter. Pengetahuan yang dimiliki oleh sang
dokter merupakan hasil dari kondisi real sang pasien; kondisi pasien bukan
merupakan hasil dari pengetahuan dokter. Perbedaan sederhana ini banyak diabaikan oleh mayoritas kaum
Muslimin yang berpikir bahwa lantaran Tuhan mengetahui segala sesuatu yang akan
terjadi, maka hal itu harus terjadi. Mereka lalai menyadari bahwa Budi yang
akan mati adalah seorang kafir, lantaran ia akan mati dalam kondisi kekafiran
berdasarkan kehendaknya sendiri; pengetahuan Tuhan berdasarkan kehendak merdeka
Budi; bukan Budi mati dalam kondisi seorang kafir lantaran pengetahuan Tuhan. Tentu saja, terdapat perbedaan antara pengetahuan dokter dan
pengetahuan Tuhan; pengetahuan yang dimiliki oleh dokter adalah pengetahuan
yang tidak sempurna dan tidak lengkap. Oleh karena itu, prediksinya boleh jadi
salah pada waktu-waktu tertentu. Namun pengetahuan Tuhan merupakan pengetahuan
sempurna dan lengkap dalam setiap kondisi dan keadaaan. Oleh karena itu,
pengetahuan-Nya tidak pernah salah dan keliru setiap saat. Juga hal ini tidak
bermakna bahwa pengetahuan-Nya yang menjadi sebab dosa atau kemusyrikan atau
kemunafikan, keimanan dan kebaikan hamba-Nya. Kebaikan Tuhan
Seandainya seseorang dapat melakukan kebaikan kepada
seseorang tanpa mengganggu orang lain, namun ia tidak melakukannya, maka
keengganannya ini bertolak belakang dengan kebaikan, hal ini merupakan sebuah
keburukan. Oleh karena itu, apabila Allah dapat melakukan kebaikan kepada
makhluk-makhluk-Nya dan kemudian, Dia tidak melaksanakannya, perkara ini adalah
bertentangan dengan kebaikan Allah dan hal ini bukan merupakan sebuah perbuatan
yang terpuji. Atas alasan ini, dalam mazhab Syiah disebutkan: “Secara moral
merupakan kewajiban Allah melakukan setiap kebaikan (lutf) yang berhubung
dengan manusia.”[7] Apakah yang dimaksud dengan lutf yang diterjemahkan secara
umumnya sebagai rahmah atau kebaikan dalam pembahasan ini? Lutf merupakan suatu
kebaikan dari Allah yang akan menolong para hamba-Nya untuk mendekat, mengabdi,
mentaati dan menyempurnakan diri mereka kepada Allah. Memang wajar dinyatakan di sini bahwa Allah telah
memerintahkan manusia supaya berlaku adil, malahan Dia (Allah) sendiri telah
menganugerahi kita dengan sesuatu yang jauh lebih baik daripada keadilan-Nya
yaitu tafaddul (kemuliaan). (tafaddul memiliki makna sama dengan lutf) Kepercayaan bahwa lutf adalah wajib bagi Allah secara moral
merupakan suatu kepercayaan yang khusus yang terdapat dalam ajaran Syi‘ah
Ithna-‘Asyariah. Sementara, Ahlusunnah tidak percaya bahwa lutf adalah wajib
bagi Allah. Kalau saja mereka meyakini bahwa keadilan (‘Adl) saja tidak wajib
bagi Allah, apatah lagi lutf. Berdasarkan contoh yang dikemukakan oleh
Ahlussunah, seandainya Allah memasukkan orang yang baik dan saleh ke neraka dan
mengirim Setan ke surga, ia boleh diterima sebagai perbuatan yang benar. Maka
hal ini sah-sah saja. Kedua konsep, taufik dan lutf seperti yang dinyatakan di
atas pada dasarnya bertujuan untuk mendorong seseorang ataupun sekumpulan orang
untuk mentaati titah-perintah Allah. Bagaimanapun, adakalanya pertolongan itu
ditawarkan kepada seorang yang ingkar, bukan karena dia diharapkan mendapat
kebaikan dan dapat melaksanakan tugas-tugasnya, tetapi hanyalah untuk
mematahkan dalih atau alasan, agar dia tidak dapat lagi mendakwa bahwa
seandainya dia diberikan sedikit pertolongan, tentunya dia dapat menjadi
seorang hamba Allah yang taat. Hal seperti ini dikenali sebagai Itmam al-Hujjah
(penyempurnaan hujah). Beberapa contoh dapat dikemukakan di sini berkenaan dengan
masalah lutf. Kita tahu bahwa Tuhan menciptakan kita untuk melakukan
kebaikan-kebaikan di dunia ini sehingga kita dapat lebih dekat kepada-Nya di
hari Kiamat. Pertanyaannya adalah: Bagaimana kita dapat mengetahui apa kebaikan
dan keburukan itu? Akal manusia mengapresiasi kebaikan inheren atau keburukan
inheren dari kebanyakan perbuatan kita, namun dapatkah kita berhadap bahwa
setiap orang bertindak dan berbuat berdasarkan alasan sempurna? Tentu saja
tidak. Acapkali ketika hasrat atau marah menekan suara hikmah; acapkali tatkala
keuntungan segera (yang dapat diperoleh melalui jalan-jalan salah) nampaknya
lebih mengesankan ketimbang cemohooan masyarakat atau kehilangan kasih Tuhan
pada hari Kiamat. Jika Tuhan meninggalkan manusia tanpa alat efektif untuk
mencek pikiran-pikiran dan hasrat-hasrat jahatnya, maka hal ini akan berujung
pada tidak terwujudnya tujuan Tuhan itu sendiri. Oleh karena itu, Dia
menetapkan beberapa aturan dan mengutus para nabi dan imam untuk membawakan
aturan-aturan tersebut kepada para hamba-Nya, dan menjelaskan serta melindungi
aturan dan hukum tersebut dari penyimpangan. Dan Tuhan tidak meninggalkan kita, Dia juga menunjuk suatu
hari ketika seluruh manusia dikumpulkan untuk melaporkan keimanan dan amal
perbuatan mereka. Dan Dia, dengan kasih dan keadilan-Nya, menyampaikan berita
kepada kita bahwa akan datang hari perhitungan, hari ganjaran dan hukuman.
Berita ini membantu para hamba-Nya untuk menaati aturan dan hukum tersebut yang
dibawa oleh para nabi. Lalu menurunkan syariah merupakan sebuah lutf (kebaikan)
yang menolong manusia untuk mencapai tujuan hidupnya. Juga mengutus para nabi
dan imam, menentukan hari Kiamat merupakan contoh dari lutf Tuhan. Karena
perbuatan-perbuatan ini merupakan lutf, maka hal ini wajib bagi
Tuhan.[www.wisdoms4all.com] [1]. Shibli
Nu’mani, ‘Ilmu ‘l‑Kalam, hal. 28.
|