Antara Qadha’, Qadar dan Kehendak Bebas Manusia newDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Definisi
Kata qadar berarti ukuran (miqdar), dan taqdir (takdir)
yaitu ukuran sesuatu dan menjadikannya pada ukuran tertentu, atau menciptakan
sesuatu dengan ukurannya yang ditentukan. Sedangkan kata qadha berarti
menuntaskan dan memutuskan sesuatu, yang di dalamnya menyiratkan semacam unsur
konvensi. Terkadang dua kata ini digunakan secara sinonim yang berarti nasib.
Maksud dari takdir Ilahi yaitu bahwa Allah Swt. telah menciptakan segala
sesuatu serta telah menetapkan kadar dan ukurannya masing-masing dari segi
kuantitas, kualitas, ruang dan waktu. Dan hal ini dapat teralisasi di dalam
rangkaian sebab-sebab. Sedangkan yang dimaksud qadha Ilahi adalah menyam-paikan
sesuatu kepada tahap kepastian wujudnya, setelah terpenuhinya sebab-sebab dan
syarat-syarat sesuatu itu. Berdasarkan maksud ini, tahap takdir itu lebih
dahulu dari tahap qadha’, karena di dalam takdir terdapat beberapa tahap
gradual dan syarat-syarat yang jauh, tengah dan dekat. Dan takdir ini dapat mengalami
perubahan dengan berubahnya sebagian sebab dan syaratnya. Misalnya, perjalanan janin yang berangsur-angsur dari
sperma, segumpal darah, segumpal daging sampai mem-bentuk janin yang sempurna.
Janin ini melewati tahap-tahap yang beragam untuk sampai kepada takdir
tersebut, dan di antara tahap-tahap itu adalah ruang dan waktu. Keluar atau
gugurnya janin pada salah satu tahap-tahap tersebut adalah perubahan pada
takdir itu. Adapun tahap qadha’ bersifat seketika dan serentak (daf’i).
Qadha’ ini berhubungan dengan tahap terpenuhinya segenap sebab-sebab dan
syarat-syarat. Maka itu, ia bersifat pasti serta tidak akan mengalami
perubahan. Allah swt berfirman: “Apabila Allah menetapkan suatu perkara, Ia akan
mengatakan: “Jadilah” maka terjadilah.” (Qs. Alimran: 47)[1] Akan tetapi, sebagaimana telah kami jelaskan, qadha’ dan
qadar ini juga bisa digunakan sebagai dua kata yang sinonim. Dari sinilah
qadha’ dan qadar dapat dibagi menjadi dua bagian: qadha’ dan qadar yang pasti
(hatmi) dan qadha dan qadar yang tidak pasti (ghairi hatmi). Berdasarkan
pembagian ini, sebagian riwayat, hadis, dan doa-doa menyinggung perubahan
tersebut. Di antaranya, bahwa bersedekah, patuh kepada kedua orang tua,
silaturahim dan doa termasuk faktor-faktor yang bisa mengubah qadha’. Qadha’ Qadar Ilmi dan Aini
Terkadang taqdir dan qadha’ Ilahi pun digunakan dengan arti
ilmu Allah, yakni ketika sebab-sebab serta syarat-syaratnya telah terpenuhi.
Atau ketika telah terpenuhinya sebab-sebab dan syarat-syarat yang mempunyai
pengaruh dalam mewujudkan fenomena-fenomena. Qadha’ qodar juga digunakan untuk
ilmu Tuhan terhadap kejadian fenomena-fenomena yang bersifat pasti. Arti qadha’
qadar ini dinamakan sebagai qadha qadar ilmi. Kerapkali kedua kata ini digunakan pula untuk penis-bahan
proses penciptaan yang bertahap kepada makhluk-makhluk di alam ini. Sebagaimana
pula terjadinya hal itu dalam wujud luar dinisbahkan kepada Allah Swt. Hal itu
dinamakan qadha’ qadar ‘aini. Sesuai dengan ayat dan riwayat yang menyinggung hal ini,
ilmu Allah dipercayakan kepada pada lauh mahfuz, yaitu makhluk Ilahi yang
tinggi dan mulia ang darinya terefleksi seluruh fenomena objektif (tahaqquq) di
dunia luar (khariji). Dan setiap orang dapat bersentuhan dengan mencapai lauh
mahfuz itu dengan ijin Allah swt. Ketika seseorang dapat mencapai peringkat tersebut, ia akan
menjadi alim dan mengetahui segala peristiwa yang telah lalu dan akan datang.
Ada lauh-lauh yang lainnya juga yang peringkat dan derajatnya lebih rendah
dibanding lauh mahfuz, yang padanya tercatat fenomena-fenomena dan
makhluk-makhluk dalam bentuk yang bersyarat, tidak sempurna. Dan setiap orang
yang dapat mengenal lauh tersebut akan mempunyai pengetahuan yang terbatas dan
tidak sempurna, bersyarat dan dapat berubah. Barangkali ayat Al-Qur’an ini
menjelaskan ihwal kedua lauh tersebut: “Sesungguhnya Allah Swt akan menghapus apa-apa
yang Ia kehendaki dan juga akan menetapkannya. Di sinilah terdapat ummul kitab
(kitab induk)” (Qs. Ar-Ra’ad: 39). Adanya perubahan pada takdir yang bersyarat dan tak pasti
semacam ini diistilahkan dengan bada’. Dengan ini, iman kepada qadh’a dan qadar
ilmi tidak melazimkan kesulitan-kesulitan logis yang lebih banyak sebagaimana
kesulitan-kesulitan yang berkaitan dengan ilmu Ilahi yang azali, seperti yang
telah kata pelajari keraguan Jabariyah di dalam masalah ilmu Ilahi. Dan telah
jelas bagi kita bagaimana kelemahan pandangan tersebut. Akan tetapi, yang lebih sulit lagi terdapat dalam hal
keyakinan terhadap qadha’ dan qadar ‘aini, khususnya dalam hal keimanan
terhadap nasib yang pasti. Dan kita akan berusaha untuk mengatasi dan menjawab
masalah ini dengan baik, meskipun jawaban dari masalah tersebut yang secara
global telah diungkapkan dalam persoalan Tauhid dengan pengertian pengaruh yang
mandiri. Antara Qadha’, Qadar dan Kehendak Bebas
Manusia
Telah kita pelajari pada pelajaran yang telah lalu bahwa
keyakinan terhadap qadha’ dan qadar ‘aini Ilahi itu menuntut adanya keyakinan
bahwa keberadaan setiap makhluk dari awal keberadaannya lalu tahap-tahap
pertumbuhannya sam-pai akhir usianya, bahkan sejak terpenuhinya syarat-syarat
yang jauh, seluruhnya tunduk kepada takdir dan pengaturan Ilahi yang mahabijak.
Begitu pula, terpenuhinya syarat-syarat bagi kemunculan dan proses mereka
hingga tahap akhir dari keberadaan mereka sungguh bersandar kepada kehendak
Allah swt. Dengan kata lain, sebagaimana wujud setiap fenomena itu
bersandar kepada ijin dan kehendak cipta (takwiniyah) Allah Swt., dan tanpa
izin dan kehendak-Nya, maka seluruhnya tidak akan mungkin mencapai pelataran
eksistensi. Demikian pula wujud dan terbentuknya segala sesuatu bersandarkan
kepada qadha’ dan takdir Ilahi; yang tanpa keduanya segala realitas tidak akan
sampai kepada bentuk dan batasan-batasannya yang khas serta ketentuan ajalnya.
Penjelasan atas penyandaran dan penisbahan ini pada dasarnya lebih merupakan
pengajaran secara bertahap tentang Tauhid dalam arti Pengaruh Mandiri; sebuah
derajat tauhid yang paling tinggi, yang memiliki peranan besar dalam membentuk
kepribadian seseorang, sebagaimana telah kami jelaskan. Adapun disandarkannya seluruh makhluk kepada izin Allah,
atau bahkan kepada kehendak-Nya itu lebih mudah dan lebih dekat kepada
pemahaman. Dibandingkan dengan menyandarkan tahap terakhir dan kepastian wujud
mereka kepada qadha’ Ilahi adalah sulit dan lebih banyak menjadi topik
perdebatan, karena sulitnya mengkompromikan antara keimanan terhadap qadha’
Ilahi ini dan keimanan terhadap kehendak bebas yang ada pada manusia dalam
menentukan jalan dan nasib hidupnya. Oleh karena itu, kita melihat sebagian kaum mutakalim, yaitu
para teolog Asy’ariyah, tatkala mereka menerima kemutlakan qadha’ Ilahi pada
perbuatan-perbuatan manusia, tampak kecondongan mereka kepada pemikiran
Jabariyah (determinisme). Lain halnya ketika kita melihat teolog lainnya, yaitu
kaum Mu’tazilah. Madzhab teologi ini tidak menerima pandangan Jabariyah. Kaum
Mu’tazilah mengingkari qadha’ Ilahi pada seluruh perbuatan manusia yang
bersifat sengaja dan berkehendak bebas. Masing-masing kelompok menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an dan
riwayat-riwayat yang saling berlawanan satu dengan yang lainnya, sebagaimana
hal ini tercatat di dalam ilmu Kalam dan dalam risalah-risalah yang membahas
secara khusus masalah jabr dan tafwidh, keterpaksaan dan kebebasan (mutlak). Titik inti persoalan yang mengemuka di sini adalah bahwa
perbuatan manusia itu, apabila ia bersungguh-sungguh dengan sifat kebebasan
kehendaknya, dan bahwa per-buatannya itu bersandar kepada kehendaknya sendiri,
maka bagaimana mungkin hal itu dapat disandarkan kepada kehendak dan qadha’
Allah swt. Sebaliknya, apabila perbuatan manusia itu disandarkan kepada qadha’
Ilahi, bagaimana mungkin hal itu tunduk kepada kehendak bebas manusia itu
sendiri. Untuk menjawab persoalan semacam ini dan meng-kompromikan
perbuatan manusia dan kehendak bebasnya, serta penyandaran dan penisbahannya
kepada qadha’ Ilahi, kita mesti membahas berbagai macam penyandaran satu akibat
kepada sebab yang beraneka ragam. Sehingga akan menjadi jelaslah jenis penyandaran
suatu perbuatan sengaja manusia kepada dirinya dan kepada Allah Swt. Macam Pengaruh Sebab yang Berbeda-beda
Dapat kita gambarkan adanya pengaruh berbagai sebab yang
berbeda-beda terhadap kejadian suatu makhluk melalui beberapa keadaan: Pertama, beberapa sebab secara serempak dan bersama-sama
memberikan pengaruh atas sesuatu. Misalnya, ber-kumpulnya biji dan air, panas
dan lainnya yang menyebabkan terbelahnya biji tersebut dan keluarnya tumbuhan. Kedua, beberapa sebab saling bergantian pengaruhnya. Setiap
sebab ini memberikan pengaruh ke atas sesuatu sedemikian rupa sehingga panjang
usianya terbagi sesuai jumlah sebab-sebab itu, dan setiap bagiannya merupakan
akibat dari sebab-sebab yang pada gilirannya memberi pengaruh juga. Misalnya,
beberapa mesin yang hidup secara bergiliran dan menjadi sebab bergeraknya
sebuah pesawat. Ketiga, masing-masing sebab mempengaruhi sebab yang lain
secara beruntun seperti benturan bola-bola, dimana setiap bola itu membentur
yang lainnya sehingga sebuah bola menjadi sebab pada gerak yang lain, dan bola
itulah yang menimbulkan gerakan berantai, satu sama lainnya saling mempengaruhi
dan menggerakkan yang lain, secara beruntun. Atau misalnya, kalau kita lihat
perhatikan pengaruh kehen-dak manusia dalam menggerakkan tangannya dan pengaruh
tangan dalam menggerakkan sebuah pena dan pengaruh pena dalam kejadian tindakan
menulis. Keempat, pengaruh yang muncul dari beberapa sebab vertikal,
dimana wujud setiap sebab itu bergantung kepada wujud sebab lainnya. Ini
berbeda dengan keadaan tiga di atas tadi, dimana wujud pena tidak mempunyai
hubungan dengan wujud tangan dan wujud tangan juga tidak berhubungan dengan
kehendak manusia. Pada seluruh keadaan ini, bisa terjadi berkumpulnya
(pengaruh) beberapa sebab pada satu akibat. Tidak sekedar bisa (baca: mungkin)
terjadi perkumpulan ini, akan tetapi mesti terjadi. Dan pengaruh kehendak Allah
dan kehendak manusia dalam perbuatan yang bersifat sengaja dan ber-kehendak
bebas itu termasuk ke dalam keadaan terakhir, yaitu keadaan keempat. Karena sesungguhnya
wujud manusia dengan kehendaknya itu berhubungan erat dengan kehendak Allah
swt. Adapun gambaran yang tidak mungkin terjadi, yaitu
berkumpulnya beberapa sebab pada satu akibat, ialah berkumpulnya dua sebab
pengada (dengan pengertian yang telah lalu), atau berkumpulnya dua sebab dalam
memberikan pengaruh yang sama secara sejajar atau bergantian, pada satu akibat.
Seperti dalam asumsi satu kehendak yang muncul dari dua subjek (pelaku) yang
sama-sama berkehendak, atau satu fenomena yang bersandar kepada dua kelompok
sebab yang kedua-duanya merupakan sebab lengkap (illah tammah). Jawaban atas keraguan
Berdasarkan penjelasan di atas, jelas bahwa penyandaran
kejadian perbuatan-perbuatan sengaja manusia itu kepada Allah swt. tidak
bertentangan dengan penyandarannya kepa-da manusia itu sendiri, karena dua
penyandaran ini berada pada kepanjangan yang lainnya, dan tidak ada benturan di
antara keduanya. Dengan kata lain, penyandaran suatu perbuatan kepada manusia
sebagai pelaku berada pada satu tahap. Sedangkan penyandaran perbuatan yang
sama kepada Allah Swt. berada pada tahap yang lebih tinggi. Pada tahap kedua
inilah keberadaan manusia sendiri, keberadaan materi yang terlibat dalam
kejadian perbuatannya dan juga keberadaan sarana-sarana yang digunakan untuk
menuntaskan perbuatan tersebut, semua itu bersandar kepada Allah Swt. Dengan demikian, pengaruh kehendak manusia yang merupakan
bagian akhir dari sebab sempurna terhadap perbuatannya itu tidaklah menegasikan
penyandaran seluruh bagian-bagian sebab sempurna kepada Allah Swt. Karena
Dialah dzat yang memiliki seluruh kekuatan. Pada-Nyalah kekuatan untuk
mewujudkan alam, manusia dan berbagai macam kondisi wujudnya. Dialah dzat yang
menganugrahkan wujud kepada manusia secara terus-menerus, dan seluruh makhluk itu
tidak terlepas dari-Nya sekejap pun, dalam keadaan dan kondisi apapun. Karena,
makhluk-makhluk ciptaannya itu tidaklah mandiri. Atas dasar ini, perbuatan-perbuatan sengaja manusia itu
senantiasa membutuhkan dan bergantung kepada Allah swt., dan tidak mungkin
keluar dari kehendak Ilahi. Seluruh sifat-sifat makhluk, ciri-ciri khusus dan
berbagai kelebihannya serta batasan-batasannya selalu berhubungan dan
bergantung kepada takdir dan qadha’ Allah Swt. Tidaklah seperti apa yang telah disebutkan di atas, bahwa
seluruh perbuatan ini ada kalanya hanya bersandar kepada kehendak manusia, ada
kalanya pula ia hanya bersandar kepada kehendak Allah saja. Sebab, dua kehendak
ini tidak berada pada satu tahap, sehingga yang tidak mungkin lagi bertemu
kedua-keduanya. Dua kehendak ini pun tidak mempunyai pengaruh dalam mewujudkan
berbagai per-buatan secara bergantian. Sesungguhnya kehendak manusia, sebagaimana asal keberadaan
wujud dirinya sendiri, senantiasa berhubung dan bergantung kepada kehendak
Allah, dan sesungguhnya kehendak Allah Swt. itu niscaya untuk terwujudnya
kehendak manusia tersebut. Allah swt. berfirman: “Dan
kalian tidak berkehendak melainkan Allah, pengatur alam semesta inilah yang
berkehendak.” (Qs. At-Takwir:
29). Manfaat Keyakinan pada Qadha’ dan Qadar
Keyakinan pada qadha’ dan qadar, di samping merupakan
peringkat yang tinggi ma’rifatullah dalam dimensi penalaran dan mendorong
manusia menuju kesempurnaan insaninya, secara praktikal menyimpan manfaat yang
melimpah. Sebagian manfaat ini telah kami kemukakan, dan berikut ini akan kami
jelaskan sebagian lainnya. Kaum mukmin yang meyakini bahwa setiap kejadian tidak bisa
lepas dari kehendak Allah Yang Bijak, dan semua kejadian itu bersumber dari
takdir dan qadha’ Ilahi, ia tidak akan merasa takut menghadapi peristiwa yang
menyakitkan. Ia tidak akan pernah berputus asa. Ketika ia merasa yakin bahwa
kejadian-kejadian itu merupakan bagian dari tatanan alam Ilahi Yang Bijak,
pasti akan terwujud sesuai dengan kemaslahatan dan kebijaksanaan, maka ia akan
menerimanya dengan lapang dada. Karena dengan jalan ini seorang mukmin akan
sampai kepada sifat-sifat yang terpuji seperti: sabar, tawakal, ridha, dan
sebagainya. Demikian pula hati seorang mukmin tidak akan terkait dan
tidak akan tertipu oleh dunia, dan tidak akan bangga dengan kesenangannya. Ia
tidak akan tertimpa penyakit sombong. Dan ia tidak akan menjadikan nikmat Ilahi
sebagai sarana untuk mencapai status sosial. Allah swt menyinggung manfaat-manfaat besar ini melalui
ayat-Nya: “Tidak ada suatu bencana apa pun yang menimpa di
muka bumi ini dan tidak pula pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam
kitab lauh mahfuz, sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu
adalah mudah bagi Allah. Kami jelaskan yang demikian itu agar kalian tidak
berduka cita dari apa yang lepas dari diri kalian dan supaya kalian jangan
terlalu bergembira terhadap apa yang diberikan-Nya terhadap kalian dan Allah
tidak menyukai orang yang sombong lagi membanggakan diri.”(Qs. Al-Hadid: 22-23). Hendaknya kita berusaha menghindari pengaruh-pengaruh yang
berlipat ganda dari penafsiran yang menyimpang terhadap masalah qadha’, qadar
dan tauhid dalam kemandirian pengaruh Allah. Karena penafsiran yang keliru atas
masalah-masalah tersebut akan mengaki-batkan kejemuan, kemalasan, kepasrahan di
hadapan tin-dak kezaliman dan kejahatan penguasa zalim, serta lari dari
tanggung jawab. Kiranya perlu kita ketahui bahwa sesungguhnya kebahagiaan dan
kesengsaraan abadi manusia hanyalah dapat diusahakan melalui perbuatan bebas
dan sengaja manusia sendiri. Allah swt. berfirman: “Sesungguhnya ia akan mendapat pahala dari
perbuatan baik yang ia lakukan dan ia akan mendapat siksa dari perbuatan buruk
yang ia kerjakan pula.” (Qs. Al Baqarah:286) “Dan manusia tidak akan mendapat balasan apa-apa
melainkan apa yang telah ia usahakan sendiri.” (Qs. An-Najm :39). [1] Lihat Qs.
Al-Baqarah: 117, Maryam: 35, Gafir: 68.
|